ANALISIS PERIODISASI HUKUM CAMBUK PROVINSI ACEH
Hanif Saputra, Nurus Sa’dah, Casmini
Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta1
Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta2
Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta3
Email: hanifbombayoffocial@gmail.com , nurus.saadah@uin-suka.ac.id , casmini@uin-suka.ac.id
*Correspondence : hanifbombayoffocial@gmail.com
INFO ARTIKEL |
ABSTRAK |
||||||
|
Hukum cambuk di Provinsi Aceh sebenarnya bukan hal baru, dari masa kerajaan Aceh Darussalam sebenarnya sudah diterapkan walaupun tidak seketat pada era sekarang. Tidak seperti pada provinsi lain, provinsi Aceh yang memiliki otonomi khusus tentu mudah untuk menerapkan peraturan hukum cambuk ini namun seiring perkembangan zaman tentu ada beberapa perubahan didalamnya. Hukuman cambuk dianggap sebagai hukuman yang sebanding kepada pelaku kriminal yang melanggar Syari’at Islam di Aceh ditambah lagi hukuman ini sudah sah menurut hukum dan tidak melanggar hak asasi manusia (HAM), namun walaupun begitu munculnya pro-kontra tetap ada dalam elemen masyarakat. Fokus pada penulisan ini adalah melihat bagaimana perkembangan hukum cambuk tersebut secara umum selama beberapa dekade. Adapun dalam penulisan ini menggunkan metode library research dan netnografi, yaitu data yang dikumpulkan bersumber dari jurnal, buku, laporan penelitian, serta berita dari media sosial yang bersangkutan dengan tema penulisan. Hasil dari penulisan ini didapatkan bahwa hukuman cambuk di Provinsi Aceh mengalami beberapa perubahan mengikuti perkembangan zaman dengan beberapa alasan khususnya dalam hal kemanusiaan dan psikologi kepada semua orang
ABSTRACT The caning law in Aceh Province is actually not new, from the time of the Aceh Darussalam kingdom has actually been implemented although not as strictly as in the current era. Unlike in other provinces, Aceh province, which has special autonomy, is certainly easy to implement this cuning law regulation, but with the times, there are certainly some changes in it. Caning is considered a comparable punishment to criminals who violate Islamic Shari'a in Aceh plus this punishment is lawful and does not violate human rights, but even so, the emergence of pros and cons remains in the elements of society. The focus on this writing is to look at how the cuning law has evolved in general over the decades. As for this writing, it uses library research and netnography methods, which is the data collected is sourced from journals, books, research reports, and news from social media related to the theme of writing. As a result of this writing, it was found that caning in Aceh Province underwent several changes following the times for several reasons, especially in terms of humanity and psychology to everyone |
||||||
Kata kunci: Hukum Cambuk; Aceh; Periode
Keywords: Law of Caning; Aceh; Period
|
|||||||
|
Attribution-ShareAlike 4.0 International |
Pendahuluan
Syari’at Islam yang menjadi dambaan masyarakat Aceh kini telah berjalan di bumi Serambi Mekkah, pemerintah secara yuridis telah memberikan wewenang penuh kepada Pemerintah Aceh untuk menentukan sendiri jalannya pemerintahan, terutama yang berkaitan dengan pelaksanaan syari’at Islam. Dalam kehidupan sehari-hari, pola tingkah laku masyarakat Aceh bisa dikatakan mencerminkan hukum Islam, artinya sesuai dengan aturan hukum Islam. Dalam sejarah yang panjang, masyarakat Aceh telah menempatkan hukum Islam sebagai pedoman hidupnya dalam segala bentuk kekurangan dan kelebihannya.
Salah satu peraturan unik yang terdapat di Aceh adalah adanya hukuman cambuk (Bahri, 2020) . Pada dasarnya pelaksanaan hukuman cambuk memiliki tujuan pemidanaan, secara umum, tujuan umum pemidanaan dalam Islam tercakup tujuan utama hukum Islam yaitu untuk menjaga lima hal pokok yaitu agama, jiwa, kehormatan, harta, dan keturunan
Perlu digaris bawahi adalah, Keberhasilan syariat bukan hanya diukur dari berapa banyak jumlah pelanggar yang dicambuk, berapa qanun yang sudah dihasilkan, atau masih ada atau tidak pelanggaran. Tetapi keberhasilan syariat yang paling penting adalah kesadaran masyarakat untuk tidak melakukan hal-hal yang berbau kriminalitas. Kesadaran masyarakat merupakan bentuk kepatuhan masyarakat terhadap aturan qanun yang mereka aplikasikan kedalam pola kehidupan, pergaulan dan tingkah laku mareka sehari-hari. Jadi, syariat juga memerlukan pendekatan rasio yang memadai, bukan hanya mengedepankan dorongan emosional keagamaan.
Pada kasus seperti ini maka pemerintah yang memiliki kedudukan bertanggung jawab untuk mengsosialisasikan penerapan yang lebih baik untuk masyarakatnya. Ini bertujuan agar masyarakat bisa lebih merasakan bagaimana emosi secara psikologi ketika hukuman cambuk tersebut berlansung serta dapat menjadi kontrol perilaku sosial agar hal-hal yang mengarah ke negatif bisa terus diminimalisir.
Selanjutnya kalau dilihat dari perspektif qanun Aceh dan hukum adat maka pelaksanaan hukuman cambuk yang berada di Aceh memiliki perbedaan diantara keduanya, artinya terlihat mereka mempunyai posisi masing-masing. Adapun perbedaan yang signifikan terdapat pada bentuk pelaksanaannya yaitu mengenai banyaknya jumlah cambukan yang dilakukan oleh qanun Aceh dan hukum adat Aceh. Selain itu ada juga perbedaan mengenai pandangan dalam memahami hukuman cambuk itu sendiri.
Padahal dengan diterapkan hukum cambuk ini diharapakan bisa membentuk proses sosial yang baik didalam elemen masyarakat. Dimana menurut (Soekanto, 2007) bentuk umum proses sosial adalah adanya interaksi sosial (yang juga dinamakan proses sosial) karena interaksi sosial menjadi syarat utama terjadinya berbagai macam aktivitas sosial. Kemudian interaksi sosial adalah hubungan-hubungan yang bersifat sosial serta dinamis yaitu maksudnya disini adalah menyangkut hubungan antara berbagai orang dengan perorangan, antara kelompok manusia, maupun antara perorangan dengan kelompok manusia.
Untuk sekarang hukuman cambuk di Provinsi Aceh tentu sudah banyak mengalami perubahan, ini terjadi karena ilmu pengetahuan terus berkembang ditambah lagi dengan perkembangan teknologi dan mudahnya akses terhadap banyak informasi menjadikan masyarakat dan juga penegak hukum untuk terus melakukan pembaharuan yang lebih baik untuk kepentingan bersama. Cukup menarik untuk dikaji bagaimana perkembangan hukum cambuk di Provinsi Aceh yang dari awal pelaksanaan sampai sekarang masih bertahan.
Fakta Literatur
Sudah banyak wacana penulisan studi mengenai hukum cambuk di Aceh, Pertama, seperti wacana studi yang dikaji hukuman cambuk melalui perspektif hukum (HAM, n.d.) . Sebagaimana yang dikatakan (Ablisar, 2014) bahwa hukuman cambuk merupakan salah satu jenis hukuman yang ditentukan dalam Al-Quran dan Sunnah dan juga pasal 2 RKUHP mengandung asas legalitas materil yang secara implisit mengakui hukum yang hidup dalam masyarakat atau hukum pidana adat.
Kedua, studi tentang cambuk sebagai hukuman serta bagaimana efektivitasnya hukuman tersebut bagi masyarakat (HUSAINI, 2012) ,(Rahman, 2022) . Dalam penerapan hukum tersebut (Rahman, 2022) menyimpulkan bahwa penjatuhan hukuman cambuk belum efektif. Hal ini dikarenakan keefektifan penjatuhan hukuman cambuk dalam memberikan efek jera tidak hanya berlaku pada pelaku pidana tetapi juga bagi masyarakat umum. Adapun faktor yang menghambat hukum cambuk (jinayat) dalam mengurangi angka pelanggaran adalah kurangnya pendidikan dan pelatihan bagi aparat penegak syariat dalam menghadapi kasus pelanggaran.
Ketiga, studi tentang perkembangan mengenai hukuman cambuk pernah ditulis oleh (Iqbal & Kabir, 2020) . Dalam tulisannya menyimpulkan bahwapelaksanaan ‘uqubat cambuk dilakukan di tempat terbuka yang bisa di lihat oleh masyarakat dengan tujuan untuk memperoleh efek jera bagi pelaku dan sebagai bentuk pencegahan bagi masyarakat agar bisa mengambil pembelajaran dari pelaksanaan ‘uqubat cambuk tersebut. Kendati demikian, peraturan terbaru ini melakukan sebuah terobosan dengan mengubah tempat pelaksanaan ke Lembaga Pemasyarakatan dengan pertimbangan salah satu alasannya bahwa pelaksanaan ‘uqubat cambuk selama ini yang dilakukan di tempat terbuka banyak dihadiri oleh anak-anak.
Dari banyaknya tulisan mengenai tentang hukuman cambuk, penulis merasa cuma sedikit yang membahas hukuman tersebut dari kacamata pembaharuan di era sekarang, oleh karenanya pembedaan disini adalah melihat dan menganalisa periodisasi hukuman cambuk dari masa ke masa.
Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk melengkapi studi-studi sebelumnya yang kurang melihat dari ilmu sisi periodisasi dan alur hukum cambuk yang ada di Aceh, penulis merasa ini juga menjadi sebuah hal yang penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan khususnya mengenai keunikan dalam setiap daerah dalam hal ini adalah Provinsi Aceh.
Adapun tujuan lain dari punulisan ini selain memberikan informasi juga ingin menjelaskan bahwa tujuan pelaksanaan hukuman dalam Islam itu sendiri adalah sah dan tidak bertentangan, walaupun dalam hukum cambuk ini terdapat banyak pro dan kontra namun apabila kita analisa lebih dalam maka sebenranya ini juga bagian dari hukum yang sudah disepakati.
Metode Penelitian
Dalam penelitian ini penulisan akan menggunakan metode Library Research, yang dalam artiannya pengumpulan data nantinya akan bersumber dari buku, jurnal, hasil penelitian dan lain sebagainya. Selain itu penulis juga menggunakan metode Netnografi, adalah sebuah metode yang melakukan penelitian antropologi melalui internet, dimana menggunakan informasi yang tersedia secara publik serta semua orang bebas berbagi melalui media sosial . Kebutuhan untuk menggunakan metode ini dalam penelitian dirasa terus berkembang, karena sejauh ini metode netnografi telah digunakan dalam ilmu kesehatan, pendidikan, marketing, sosiologi, geografi manusia, komunikasi dan politik. Metode netnografi ini mencakup berbagai disiplin ilmu secara online; seperti analisis isi, “penggalian teks” dari pengetahuan anonym yang belum dieksplorasi, menciptakan cerita dengan cara “dari mulut ke mulut” dan juga penelitian observasional .
Secara umum pada penelitian ini adalah termasuk kepada penelitian Kualitatif. Seperti yang dijelaskan oleh (Suyanto, 2007), dengan latar belakang teoritis penelitian kualitatif yang berakar dari paradigma interpretative tersebut maka penelitian kualitatif memiliki ciri-ciri tersendiri yang berbeda dari penelitian kuantitatif, salah satunya adalah cara memandang sifat realitas sosial. Penelitian kualitatif menganggap realitas sosial itu bersifat ganda. Realitas sosial merupakan hasil kontruksi pemikiran dan bersifat holistis. Di pihak lain, penelitian kuantitatif memandang realitas sosial bersifat tunggal, konkret, dan teramati .
Selanjutnya akan ada beberapa tahap yang penulis lakukan untuk memproses data yang telah didapatkan, yaitu heuristic, ferivikasi, dan interpretasi. Tahap pertama yaitu heuristik adalah pengumpulan sumber, sumber tersebut nantinya ialah yang sesuai dengan tema penelitian yang akan diteliti . Tahap kedua adalah verifikasi yaitu suatu metode yang dibutuhkan dalam penulisan sejarah untuk menganalisis, menyeleksi, dan menguji suatu sumber yang valid dan bisa dipertanggung jawabkan. Dan tahap ketiga adalah interpretasi, yaitu merupakan tahapan penafsiran terhadap sumber yang sudah diperoleh dalam penelitian sejarah, tujuan dari tehnik ini adalah untuk proses menganalisis dan juga menafsirkan sumber yang sudah diverifikasi, ini diperlukan karena untuk mencari makna yang terkandung dan saling adanya keterkaitan antara beberapa fakta yang telah penulis kumpulkan.
Hasil dan Pembahasan
Seluk beluk ‘Uqubat (Hukuman Cambuk)
Hukuman cambuk atau pada bahasa Fiqihnya adalah ‘Uqubat, merupakan salah satu bentuk hukuman dalam hukum Islam yang terdiri dari dua suku kata yaitu ‘uqubat dan cambuk. Hukum cambuk ini sudah sesuai dengan peraturan daerah Aceh yaitu qanun, ini terdapat pada Qanun no.6 Tahun 2014 tentang hukum Jinayat ‘uqubat, dimana sebuah hukuman yang dapat dijatuhkan oleh hakim kepada pelaku jarimah.
Kata cambuk ini apabila dilihat dari etimologinya yaitu, “dera” atau “jild” sebagaimana dikatakan bahwa “dera” merujuk kepada cambuk dan “mendera” merujuk kepada pukulan dengan cambuk, memukulnya dengan cemeti, dan melecut. Cambuk itu pula berarti sebuah alat untuk melecut atau memukul yang terbuat dari jalinan tali dari serabut atau serat kulit kayu, atau juga bisa diartikan sesuatu yang dapat memberikan dorongan ke arah yang lebih baik. Mencambuk itu sendiri berarti memukul dengan cemeti hingga berkali-kali. Secara bahasa maka cambuk dalam bahasa Arab disebut jald dimana kata ini berasal dari kata jalada yang berarti memukul dikulit atau memukul dengan cambuk yang terbuat dari kulit.
Dalam studi hukum pidana Islam berbicara mengenai hukum cambuk bukanlah suatu hal yang baru. Bisa di definisikan bahwa hukuman cambuk merupakan salah satu bentuk hukuman had pada beberapa jenis kejahatan yang telah ditetapkan oleh syara’ yaitu zina ghairu muhsan, qazaf dan minuman khamar. Selanjutnya hukuman cambuk menjadi salah satu pilihan utama dalam penetapan sanksi jarimah ta’zir. Hal disebabkan karena setelah dilihat prosesnya secara keseluruhan ditemukan bahwa hukuman cambuk ini dianggap memberi efek yang lebih baik daripada beberapa sanksi ta’zir lainnya seperti penjara, pengasingan dan denda.
Dalam perspektif Al-Quran sebenarnya hukum cambuk ini sudah dijelaskan dan merupakan salah satu jenis hukuman yang sudah ditetapkan, ini terdapat pada Surah An-Nuur ayat 2 untuk tindak pidana zina, dan Surah An-Nuur ayat 4 untuk tindak pidana menuduh orang lain berbuat zina atau disebut juga Qadzaf. Pada ayat tersebut menjelaskan bahwa jumlah cambukakn untuk penzina 100 kali, sedangkan untuk perbuatan menuduh orang lain berzina tanpa ada bukti itu sebanyak 80 kali. Kemudian ada juga sanksi kepada pemabuk yang meminum minuman keras yang dalam beberapa hadist dijelaskan bahwa meraka akan dikenakan sebanyak 40 kali cambukan.
Seperti yang sudah penulis singgung diatas bahwa dalam menjelaskan hukum cambuk dalam perspektif Islam kurang lengkap rasanya apabila kita tidak merujuk lansung keapada sumbernya yaitu Al-Quran, berikut begini arti dan makna dari Surah An-Nur ayat 2:
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka dera lah tiap-tiap seseorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dari hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang beriman (QS. An-Nur:2)”
Dan juga terdapat dalam surah yang sama namun pada ayat ke 4:
“Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan terhormat (berbuat zina), kemudian itu tidak mengemukakan empat saksi, maka hendaklah mereka di dera deapan puluh kali deraan, dan janganlah diterima kesaksian dari mereka selama-lamanya. Itulah orang- orang fasik (QS. An-Nur:4)”
Sejalan dengan itu ada beberapa hadist yang juga menjelaskan persoalan hukuman cambuk:
“Dari Ubadah ibn Ash-Shamit ia berkata: Rasulullah SAW telah bersabda “Ambillah dariku, ambillah dariku, sesungguhnya Allah telah memberi jalan keluar bagi mereka (pezina). Jejaka dengan gadis hukumannya dera seratus kali dan pengasingan selama satu tahun. Sedangkan duda dan janda hukumannya dera seratus kali dan rajam.” (HR. Jama’ah kecuali Al Bukhari dan An-Nasa’i)
Kemudian, hukum cambuk ini bukan hanya persoalan pada zina saja tetapi juga berpengaruh bagi mereka yang meminum minuman keras atau khamar, dalam hal ini Rasulullah SAW juga bersabad yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik tentang hukuman bagi pemabuk:
“Dari Anas bin Mâlik, bahwa ada seorang lelaki yang telah minum khamar dihadapakan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau menderanya dengan dua pelepah kurma sebanyak 40 kali. Anas mengatakan, “Abu Bakar juga telah melakukannya. Ketika Umar (menjadi khalifah) dia meminta saran kepada para sahabat, Abdurrahman bin ‘Auf berkata, “(jadikanlah hadnya) Had yang paling ringan yaitu 80 deraan”. Maka Umar memerintahkannya (dera 80 kali bagi pemabuk). [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]
Berbicara mengenai khamar, ada perbedaan mengenai pengertian khamar diantara para ahli fiqh. Imam Hanafi berpendapat bahwa khamar adalah minuman yang terbuat dari anggur, kurma, gandum, madu dan beberapa yang lain. Menurutnya walaupun masih ada zat lain yang memabukkan bukan berarti khamar, beliau menempatkan khamar khusus pada minuman yang memabukkan yang sesuai disebutkan oleh Rasulullah SAW. Sedangkan pendapat tiga imam yang lain, yakni Imam Malik, Syafi’I, dan Imam Hambali berpendapat bahwa, setiap minuman yang bersifat memabukkan maka hukumnya haram tanpa terkecuali. Mayoritas dunia Islam dan jumhur ulama mengikuti pendapat yang kedua ini.
Setelah ada beberapa rujukan yang kuat melalui ayat dan hadist diatas, maka patutnya kita harus mengetahui ketentuan dalam pelaksanaan hukuman cambuk tersebut, yaitu diantaranya seperti; pukulan yang diberikan diharapkan bukan pukulan yang terlalu keras dan berlebihan serta bukan pula yang terlalu pelan, kemudian cambuk yang dipakai juga harus cambuk yang tidak terlalu besar dan buka ukuran cambuk yang terlalu kecil, dan beberapa ketentuan lainnya.
Hukum cambuk yang dilihat dari perspektif Islam sebenarnya memiliki tujuan dalam penerapannya, baik itu hukum cambuk ataupun jenis hukuman lainnya pada dasarnya memiliki beberapa tujuan, yaitu seperti pencegahan orang tersebut melakukan jarimah agar tidak mengulangi perbuatannya. Kemudian disamping mencegah pelaku jarimah, hukuman dalam pandangan Islam diharapkan juga untuk membuat orang lain tidak melakukan hal yang sama dalam artiannya adalah mempunyai efektifitas kepada khalayak ramai, selain itu tujuan lain dalam penerapan sebuah hukuman adalah untuk mendidik serta memperbaiki pelaku agar sadar dan bertaubat atas perbuatannya.
History of The Caning Punishment in Aceh
Dalam perjalanan sejarah hukuman cambuk secara umum, ternyata hukum cambuk ini telah lebih dulu dipraktekkan sejak dahulu pada zaman Romawi Kuno. Ini menjadikan hukuman cambuk merupakan salah satu hukuman paling tua di dunia. Digunakan sejak tahun 195 sebelum Masehi oleh imperium bangsa Romawi kuno dengan tujuan untuk menghukum para pidana yang status mereka bukanlah warga negara. Hukuman cambuk ini juga digunakan pada masa perbudakan dimana hukuman tersebut akan diberikan kepada budak yang membangkang atau melarikan diri.
Bila kita bandingkan dengan hukum cambuk yang ada di Al-Quran, maka hukum cambuk yang dilakukan oleh bangsa Romawi cukuplah sadis dan mengerikan. Hukum cambuk versi mereka menjadikan hukuman cambuk yang paling menyakitkan yang pernah dikenal manusia. Cambuk bangsa Romawi ini berupa cambuk pendek bercabang yang terbuat dari kulit binatang atau pilihan rali, kemudian pada bagian ujung diikatkan sejumlah paku atau pecahan kaca atau juga logam kecil yang tajam. Akibat dari model cambuk seperti ini para korban cambuk mengalami luka yang sangat parah, karena pada setiap cambukan akan meninggalkan luka yang sangat dalam sehingga tulang iga pun dapat terlihat.
Perlu diketahui bahwa, pelaksanaa hukuman cambuk pertama kali dilakukan di Indonesia terjadi setelah masa kerajaan Islam Nusantara, yaitu tepatnya pada tanggal 24 Juni 2005 di halaman Masjid Agung Bireun Provinsi Aceh. Sejak tahun 2005 saat itu dan sampai dengan 2008, jumlah pelaku yang melanggar qanun dan dijatuhkan sanksi hukuman cambuk ini mencapai 275 orang. Bila dirincikan maka pada tahun 2005 sebanyak 101 orang, tahun 2006 sebanyak 61 orang, tahun 2007 sebanyak 58 orang dan pada tahun 2008 sebanyak 55 orang.
Namun jauh sebelum itu ketika Aceh masih dalam bentuk pemerintahan kerajaan ternyata sudah ada hukuman cambuk yang telah terjadi. Kejadian ini terjadi ketika pada masa Kerajaan Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M), dimana pada waktu itu Sultan Iskandar Muda menghukum putera semata wayangnya yang bernama Meurah Pupok dengan cara menghukum cambuk karena telah melanggar hukum dan adat Aceh yaitu ia telah melakukan zina dengan salah seorang istri pengawal istana Sultan. Pada saat itu untuk menghormati sebuah hukum dan sebagai contoh kepada rakyat maka Sultan sendiri lah yang mencambuk puteranya tersebut.
Hukuman cambuk di Aceh diawasi oleh pemerintah, dalam hal ini ada instansi khusus yang menanggani perihal tersebut, ini merujuk kepada Keputusan Gubernur Provinsi Aceh nomor 01 Tahun 2004 Tentang Organisasi dan tata cara kerja Wilayatul Hisbah pada pasal 1 angka 7 menyebutkan bahwa: Wilayatul Hisbah (WH) adalah lembaga yang bertugas mengawasi, membina, dan melakukan advokasi terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan bidang syariat Islam dalam rangka amar ma’ruf nahi mungkar.
Oleh karenanya hukum cambuk ini juga cukup berpengaruh kedalam nilai sosial, khususnya masyarakat Aceh yang menerapkan hukuman cambuk ini. Pada dasarnya nilai sosial adalah sekelompok ukuran, patokan-patokan, keyakinan atau juga anggapan yang hidup dan terus berkembang di dalam kehidupan masyarakat tertentu. Kemudian sekelompok keyakinan-keyakinan tersebut juga dianut oleh kebanyakan orang yang berada didalam komunitasnya, sehingga membuat wacana apa yang benar, apa yang salah, serta apa yang pantas dilakukan dan apa yang pantas untuk ditinggalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Walaupun cukup ada pihak yang mengatakan cukup berpengaruh namun tetap saja ada di beberapa daerah yang bahkan hukum cambuk ini terbilang belum efektif dalam penerapannya di lapangan. Seperti temuan (Rahman, 2022) bahwa di Kabupaten Nagan Raya mengenai hukuman cambuk ini belumlah efektif, ini dikarenakan efek jera yang dihasilkan oleh hukum cambuk hanya dirasakan oleh pelaku jarimah saja, namun efek kepada masyarakat banyak sulit untuk dilihat, ini terbukti dari menngkatnya angka pelanggaran pada setiap tahunnya. Lebih dari itu dikarenakan juga keterbatasan sarana dan prasarana dari pihak pemerintah dan kurangnya pendidikan dan pelatihan bagi aparat penegak qanun syari’at oleh karenanya perlu ditingkatkan dari segala aspek termasuk sosialisasi kepada masyarakat.
Ketika kita lihat dalam efeknya dalam sosial maka kita berharap hukuman cambuk ini juga bisa berpengaruh terhadap moral dan juga norma dalam elemen masyarakat. Berbicara mengenai dua variabel tersebut, maka bisa di definisikan moral adalah keharusan perilaku yang dibawa oleh nilai. Sedangkan norma merupakan sebuah sumber dasar hukum yang menguatkan kedudukan konsep, nilai, moral dan juga perilaku yang akan dilakukan. Ini tak lepas dari perjuangan rakyat Aceh yang dari dulu ingin mendirikan syariat Islam yang dimana sifat fanatisme terhadapa syariat Islam sudah cukup kuat mengakar dalam diri masyarakat Aceh dan akhirnya banyak dari aturan tersebut mudah untuk dilaksanakan.
Instansi dan Pro-Kontra
Hukum cambuk Aceh pada masa kerajaan Aceh dulu barangkali masyarakat terlihat sedikit shock, karena hukuman cambuk sering dijatuhkan pengadilan dan dilaksanakan di tengah masyarakat. Kemudian seiring berjalannya waktu ketika Udang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 disahkan, pada saat itu masyarakat Aceh membuat suatu instansi yang diberi nama Pengadilan Rakyat, yaitu fungsi dan tugasnya adalah menjatuhkan hukuman badan kepada para penjudi, peminum minuman keras, dan juga kepada pelaku perzinahan.
Awalnya ini berjalan sukses dimana pengadilan dan penjatuhan hukuman ini digelar si semua kabupaten, bahkan hanya dalam waktu empat bulan saja sudah ada sekitar 40 kasus yang ditanggani. Namun pada akhirnya instansi yang akhirnya mendapat stereotype “Pengadilan Liar” ini baru berhenti ketika para ulama turun tangan yang memberikan penjelasan bahwa di dalam Syari’at Islam mengenai penjatuhan hukuman haruslah ditanggani oleh pengadilan yang sah dan juga berwenang, serta hanya boleh di laksanakan oleh petugas resmi yang diberi amanah dan wewenang oleh pemerintah.
Setelah “pengadilan liar” tadi bubar, maka yang terjadi selanjutnya adalah ada beberapa kesempatan yang digunakan oleh rakyat untuk terus memojok para ulama dengan melontarkan pertanyaan umum mengenai kapan instasi yang berwenang tersebut yaitu Mahkamah Syari’ah mejatuhkan hukuman kepada para pelaku kejahatan. Dan kebanyakan dari masyrakat meminta hukuman yang dimaksud adalah berupa hukuman cambuk, karena mereka merasa itu sudah sesuai dengan kondisi Aceh yang mana menganut syari’at Islam.
Dan pun dalam metode melaksanakan hukuman cambuk ini harus dilakukan didepan umum agar para pelaku bisa mendapatkan rasa malu terhadap perbuatan yang dilakukannya, kemudian pelaku diharuskan memakai pakaian khusus yaitu pakaian yang tipis agar terasa di kulit, menutup aurat agar tidak terjadinya luka pada bagian-bagian tertentu, dan tidak boleh mencambuk muka, kemaluan, dan dada. Serta para eksekutor ditunjuk oleh pihak kejaksaan, mereka ini menggunakan cambuk yang terbuat dari kulit atau rotan dan berukuran panjang 1 meter da n 1 cm garis pusat dengan posisi pukulan 90 derajat.
Bila kita simak bagaimana hukum cambuk ini dominan diterapkan atau pelaku yang sering dijatuhi hukuman cambuk adalah mereka yang melakukan perbuatan zina atau mesum. Di Aceh sendiri, zina disebut dengan istilah “meumukah” dimana pada masa dahulu dipandandang sebagai kejahatan besar (fashiyah) dan sangat tidak terpuji dalam masyarakat. Ini mengharuskan pelaku dihukum siksa (had) dan si pelaku juga dibedakan antara orang yang muhsin yaitu merdeka, dewasa, beristri dengan nikah yang sah dan telah menggauli istrinya, dan yang tidak mushin. Hukuman bagi orang yang mushin adalah masing-masing mendapat 100 kali cambukan dan diasingkan selama satu tahun, sedangkan bagi yang tidak muhsin maka ia akan dicambuk 50 kali dan juga diasingkan tetapi hanya setengah tahun saja.
Berbicara mengenai instansi yang berwenang, seperti yang sudah penulis sebelumnya dimana ada instansi khsusus yang menangganinya yaitu Wilayatul Hisbah (WH), karena Aceh menerapkan syari’at Islam secara keseluruhan maka instansi ini juga harus diperkuat dengan masuk ke aspek pemerintahan tingkat desa, jadi penerapan syari’at islam sejatinya bukan hanya terjadi di kota-kota besar seperti ibukota kabupaten maupun provinsi.
Perlu diketahui susunan WH Tingkat Provinsi, Kabupaten/Kota dan Kecamatan, terdiri dari ketua, wakil ketua, sekretaris dan juga para muhtasib, yaitu orang-orang yang juga ikut menegakkan syari’at islam secara lansung di lapangan atau bahasa mudahnya adalah mereka pengawas syari’at islam di kampung tempat mereka tinggal agar tidak terjadi hal-hal yan tidak diinginkan, dan mereka ini juga pengangkatannya dilakukan oleh Gubernur, Bupati/Walikota.
Selanjutnya susunan WH tingkat kemukiman atau RT/RW adalah terdiri dari seorang coordinator dan beberapa muhtasib didalamnya, dan wilayah tugas mereka ini adalah di gampong-gampong serta mereka hanya diangkat oleh Bupati/Walikota dan pengangkatan muhtasib ini terlebih dahulu melalui konsultasi dengan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) daerah setempat. Ini semua juga sudah tercantum jelas pada Keputusan Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 01 Tahun 2004 Tentang Organisasi dan tata cara Kerja Wilayatul Hisbah pada pasal 3 ayat 1,2, dan 3.
Pembentukan Wilayatul Hisbah ini bukan tanpa alasan bahkan punya pondasi dalil yang kuat. Dimana dalam Islam, dalil pondasi tentang keberadaan lembaga WH ini dimulai dengan beberapa praktek yang terjadi pada zaman Rasulullah SAW. Sebagian ulama merujuk pada peristiwa penghacuran berhala-berhala yang ada di sekitar Masjidil Haram dan juga di Kota Mekkah yang dilakukan oleh beberapa orang sahabat di bawah komando Ali bin Abi Thalib, yang dimana kejadian ini setelah futuh (penaklukan) kota Mekkah, serta penunjukan Said bin Ash sebagai pengawas pasar di Kota Madinah. Beliau bertugas menjaga dan memeriksa tingkat keakuratan alat timbangan dan takaran keaslian uang yang digunakan dan juga mengawasi perilaku dalam bertransaksi tersebut. Kejadian pada masa Rasulullah SAW inilah yang akhirnya digunakan sebagai salah satu dalil tentang adanya tugas pengawasan seperti yang dilakukan oleh lembaga Wilayatul Hisbah di Provinsi Aceh.
Dalam analisa penulis menilai bahwa sebenarnya Provinsi Aceh yang menerapkan Syari’at Islam patut kita apresiasi khususnya oleh kaum muslim di Indonesia, namun semenjak Aceh di proklamirkan sebagai daerah Syari’at Islam dan muncul beberapa aturan misalnya seperti diterapkannya hukum cambuk, justru berbagai rintangan dan tantangan terus berdatangan terhadap kebijakan syari’at Islam di Aceh, dan penolakan ini datang dari pihak non muslim maupun dari pihak muslim yang sekuler.
Memang pokok persolan utama dan paling kontriversial dalam penerapan Qanun Jinayat pada Provinsi Aceh adalah mengenai hukuman cambuk tersebut. Dimana ada beberapa reaksi public tentang ‘uqubat cambuk ini, yaitu seperti menolak Qanun Jinayah yang masih mencantumkan hukuman yang mereka anggap itu melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) dan juga merendahkan martabat manusia, biasanya para anggota dari kelompok penolakan ini berasal dari aktivis HAM. Mereka berpendapat bahwa, ketentuan hukuman badan seperti hukum cambuk ini bertentangan dengan HAM Internasional dan peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia khususnya mengenai Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang HAM.
Ada juga yang mengutarakan pendapat dari pandangan dunia Barat yaitu menurut mereka hukuman dalam hukum pidana Islam itu jelas melanggar HAM, itu dikarenakan perbedaan yang mendasar dari cara pandang HAM itu sendiri. Namun itu semua bisa dibantahkan oleh pakar Hukum Internasional dan HAM Universitas Syiah Kuala Saifuddin Bantasyam. Menurutnya penerapan hukuman cambuk yang terdapat dalam Qanun Jinayah Provinsi Aceh kalau ditinjau dari sisi HAM maka tidak ada yang melanggar sama sekali, ini hanya karena perbedaan pada cara pandang saja. Kemudian mengenai rasa sakit dan juga penderitaan ketika eksekusi berlansung itu merupakan muncul dari atau karena sanksi hukum yang dilaksanakan secara benar, adil, berdasarkan bukti-bukti yang cukup, dan disertai dengan penghormatan terhadap hak terdakwa.
Perkembangan dan Pembaharuan
Seperti yang sudah penulis singgung sebelumnya, menurut (Din, 2009) pelaksanaa hukuman cambuk pertama kali dilakukan di Indonesia terjadi setelah masa kerajaan Islam Nusantara, yaitu tepatnya pada tanggal 24 Juni 2005 di halaman Masjid Agung Bireun Provinsi Aceh. Namun menurut (Ferizal, 2019) hukum jinayat ini mulai diberlakukan pada tanggal 23 Oktober 2015, yang dimana tujuannya adalah sebagai upaya pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh secara kaffah.
Pada tahun 2012 dimana juga ada pelaksanaan hukuman cambuk di Kota Langsa, dimana ada 11 pelaku maisir (perjudian) dan juga khalwat (mesum) di cambuk oleh Mahkamah Syari’ah yang bertempat di Tribun Lapangan Merdeka Kota Langsa, karena eksekusi bertempat di lapangan maka otomatis bisa disaksikan oleh khalayak ramai dan juga dihadiri oleh beberapa pegawai pemerintah setempat dan juga aparat untuk pengamanan prosesi pelaksanaan hukuman tersebut. Sempat jadi bahan tertawaan oleh penonton sekitar karena para pelaku ada yang merintih kesakitan dan ada juga yang pura-pura pingsan demi bisa mempercepat proses hukuman.
Dua tahun selanjutnya juga ada dilakukan hukuman cambuk, kali ini bertepatan di Ibukota Provinsi Aceh yaitu di Kota Banda Aceh yang dimana mengenai peraturan Syari’at Islam jauh lebih ketat. Kejadian hukum cambuk ini terjadi pada tahun 2014, empat orang ini dihukum karena terbukti melakukan maisir (perjudian) dan hukuman mereka dilaksanakan di halaman Masjid Agung Al-Makmur, desan Lampriet, Kota Banda Aceh. Pada momen ini juga turut dihadiri oleh khalayak ramai bahkan ada juga yang mencoba mengabadikannya.
Pro-Kontra Persoalan Tempat Eksekusi
Bisa kita lihat bahwa hukum cambuk pada saat itu masih dilakukan didepan khalayak ramai dan dapat disaksikan oleh siapa saja, bahkan hal unik lainnya adalah aparat juga turut mengundang masyarakat melalui pengunguman di masjid agar ikut hadir menyaksikan serta diumumkan siapa nama pelaku dan jenis kejahatan yang dilakukan . Di satu sisi bila dilihat dari kacamata ilmu psikologi ini memang cukup berpengaruh dimana rasa malu yang ditimbulkan oleh pelaku tentu sangat besar.
Seperti yang dikatakan (Anshari, 2017), dimana dampak pelaksanaan hukum cambuk didepan umum ini diharapkan menjadi salah satu upaya pendidikan dan pembinaan secara psikologi bagi para pelaku yang melanggar syari’at Islam, harapannya tentu para pelaku ini menyadari dan menyesali kesalahan yang dilakukannya sehingga bisa mengantarkannya untuk menjadi pribadi yang lebih baik kedepannya terutama manusia sebagai mahluk sosial dan seorang hamba yang memiliki Tuhan.
Senada dengan itu, (Zainuddin, 2011) juga menjelaskan bahwa metode hukum cambuk yang dilaksanakan didepan umum secara psikologis akan berdampak jauh lebih besar daripada hukuman kurungan penjara yang pelaksanaannya dilakukan di tempat tertutup, hukuman cambuk didepan umum juga akan menjadi sebuah preventif prower dalam mencegah untuk terjadinya sebuah pelanggaran pidana kedepannya, ini sebenarnya juga menjadi pelajaran yang berharga pagi para pelaku agar tidak mengulanginya apapun jenis kejahatannya.
Namun seiring berjalannya waktu pada hukum cambuk ini memang tak bisa kita pungkiri bahwa masih ada kekurangan dalam hal pelaksanaannya, misalnya saja pembiaran secara bebas yang dilakukan oleh penonton untuk merekam kejadian di lapangan dan dikhawatirkan rekaman tersebut akan diunggah ke media sosial sehingga akan mengakibatkan efek yang jauh lebih berbahaya apalagi kita kihat bagaimana bebasnya orang-orang yang berpendapat di dunia maya.
Belum lagi ada anak-anak yang juga ikut menonton ketika proses hukuman berlansung, disatu sisi itu sebagai bahan pendidikan kepada mereka tetatpi kita juga melihat ada banyak orang dewasa memaki kepada pelaku sehingga persepsi yang seharusnya menjadi pendidikan kepada anak justru membuat dampak negative yang diterima, padahal tujuan diberlakukan didepan umum adalah untuk bisa mengambil pelajaran secara emosional dimana para penonton membayangkan bahwa ada keluarga mereka ataupun diri sendiri yang menjadi pelaku.
Berangkat dari hal diatas tersebut yang pada akhirnya memutuskan untuk membuat aturan baru mengenai hukum cambuk ini. Kemudian dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 262 ayat (1) Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 mengenai tempat terbuka dan bisa dilihat oleh banyak orang yang pada akhirnya telah mengalami perubahan, dan semua ini terdapat pada Peraturan Gubernur No. 5 Tahun 2018 pasal 30 ayat (1) hingga (3).
Sebelumnya peraturan mengenai kegiatan apa saja yang bisa dikenakan hukuman cambuk sudah ada seperti dalam Qanun No. 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Bidang Aqidah, Ibadah, dan Syiar Islam, kemudian ada juga Qanun No. 11-14 Tahun 2003. Namun pada akhirnya pemerintah mengumpulkan itu semua dalam satu wadah yang akhirnya pada tahun 2013 lahirnya Qanun No. 7 dan pada 2014 lahir Qanun No.6, yang semuanya berbicara mengenai tentang Hukum dan tata acara Jinayat.
Karena hukuman cambuk ini dianggap penting dan berpengaruh bagi masayrakat, maka dari pihak Gubernur pun mengeluarkan peraturan sehingga payung hukum cambuk untuk dilaksanakan akan semakin kuat. Sebelum 2013 ada Peraturan Gubernur N. 10 Tahun 2005 mengenai hukum cambuk, pada pasal 4 ayat (1), ‘Uqubat cambuk dilaksanakan di suatu tempat terbuka yang dapat disaksikan oleh orang banyak dengan dihadiri oleh jaksa dan dokter. Artinya dari tahun 2003-2014 hukuman cambuk masih dilaksanakan ditempat terbuka dan bisa dihadiri oleh siapa saja.
Akhirnya pada tahun 2018, pemerintah Aceh mengeluarkan Peraturan Gubernur No. 5 Tahun 2018 tentang hukuman cambuk ini, dimana terdapat pada pasal 30 dengan ayat (1)-(3) yang menjelaskan adanya tempat ekseskusi yang baru dari peraturan sebelumnya, adapun bunyi dari ayat tersebut adalah;
1)Uqubat cambuk dilaksanakan disuatu tempat terbuka dan dapat diihat oleh orang yang hadir;
2)Pelaksanaan Uqubat cambuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh dihadiri oleh anak-anak dibawah usia 18 tahun.
3)Tempat terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertempat di Lembaga Pemasyarakatan/Rutan/Cabang Rutan.
Dikeluarkan peraturan baru ini bisa diartikan sebagai penegasan ada pembaharuan dalam peraturan hukum cambuk pada tahun-tahun sebelumnya, yaitu dumulai dari tahun 2003 sampai 2014, yang mana pada saat itu hukum cambuk masih dilaksanakan di perkarangan masjid ataupun di lapangan. Lahirnya peraturan ini tentu pemerintah tidak sembarangan mengambil sikap namun walaupun demikian pro dan kotra dalam masyarakat tentu ada.
Salah satu perdebatan yang muncul adalah pihak dari Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh tidak diminta untuk mempertimbangkan persolan peraturan ini, namun dilain pihak, khususnya Gubernur dan Dinas Syari’at Islam Aceh mengklaim sudah meminta pendapat dari banyak pihak, yaitu dari ahli hukum, akademisi dan juga ulama. Lebih lanjut, persoalan ketidak setujuan ini juga datang silih berganti. Penolakan terhadap peraturan baru ini juga datang dari kalangan ormas Front Pembela Islam (FPI) cabang Aceh, dimana saat itu banyak dari anggota ormas tersebut bersama mahasiswa berdemo didepan kantor gubernur. Adapun penolakan juga terjadi dalam internal pemerintah yaitu dari DPRA, dimana menurut mereka pemindahan hukuman cambuk ke lapas akan membatasi masyarakat yang ingin melihat serta tidak ada efek jera yang berarti.
Kesimpulan
Dari penjabaran yang sudah ada bisa kita lihat benang merahnya yaitu perkembangan dan pembaharuan mengenai hukuman uqubat cambuk di Aceh telah mengalami perubahan dalam beberapa periode. Dimana yang pada awalnya dilaksanaka pada perkarangan masjid atau lapangan namun sejak 2018 mulai dilaksanakan dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Memang banyak terjadi pro dan kontra setelah dikeluarkan peraturan baru ini namun walaupun begitu pemerintah tetap saja pada pendiriannya, disatu sisi pihak yang menolak mengatakan ini tidak sesuai dengan Syari’at Islam dimana seharusnya hukum cambuk dilaksanakan di tempat terbuka, namun menurut pemerintah ini semua untuk menjaga psikologi bagi yang menonton khususnya anak-anak. Dengan demikian kita bisa mengetahui bahwa hukum cambuk di Aceh akan terus dikaji oleh pihak-pihak terkait, menurut penulis ada kemungkinan di masa yang akan datang bisa jadi aka nada peraturan baru, ini bisa kita lihat bagaimana dalam periodisasi hukuman ini berjalan.
Bibliografi
Ablisar, Madiasa. (2014). Relevansi hukuman cambuk sebagai salah satu bentuk pemidanaan dalam pembaharuan hukum pidana. Jurnal Dinamika Hukum, 14(2), 278–289.
Anshari, M. Nur An. (2017). Dukungan Sosial Keluarga Sebagai Upaya Pendidikan Psikologis Pada Pelanggar Qanun Syariâ€TM at Islam Pasca Hukuman Cambuk Di Kota Langsa Provinsi Aceh. Analitika: Jurnal Magister Psikologi UMA, 9(1), 21–26. https://doi.org/10.31289/analitika.v9i1.736
Bahri, Syamsul. (2020). Cemeti Berduri: Hukuman Cambuk Terhadap Non-Muslim Di Aceh. Minoritas Dalam Pandangan Syariah Dan Ham Narasi Kaum Muda Muslim, 151.
Din, Muhammad. (2009). Stimulasi Pembangunan Hukum Pidana Nasional Dari Aceh Untuk Indonesia.
Ferizal, Indis. (2019). Hukuman Cambuk Terhadap Kontrol Sosial. Legalite: Jurnal Perundang Undangan Dan Hukum Pidana Islam, 4(II), 166–180. https://doi.org/10.32505/legalite.v4iII.1315
Ham, Hukum Islam D. A. N. (N.D.). Hukum Cambuk Aceh Dalam Perspektif.
Husaini, N. I. M. (2012). Cambuk Sebagai Bentuk Hukuman (Studi Komparatif Antara Qanun Aceh Dan Hukum Adat Aceh). Perpustakaan Uin Sunan Kalijaga.
Iqbal, Muhammad, & Kabir, Attarikhul. (2020). The Implementation of The Cunning Punishment in Aceh [Perkembangan Pelaksanaan Hukuman Cambuk di Aceh]. Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana Dan Politik Hukum, 9(1), 153–175. https://doi.org/10.22373/legitimasi.v9i1.7331
Rahman, Cut Amatun. (2022). Efektivitas Hukum Cambuk (Jinayat) Dalam Menciptakan Efek Jera Di Kabupaten Nagan Raya. Institut Pemerintahan Dalam Negeri.
Soekanto, Soerjono. (2007). Sosiologi Suatu Pengantar.
Suyanto, Bagong dan Sutinah. (2007). Metode Penelitian Sosial Berbagai Alternatif Pendekatan.
Zainuddin. (2011). Problematika Hukuman Cambuk di Aceh.