Jurnal Indonesia Sosial
Teknologi: p�ISSN: 2723 - 6609
e-ISSN : 2745-5254
PENANGANAN TINDAK
PIDANA PEMILU DALAM SENTRA PENEGAKKAN HUKUM TERPADU (GAKKUMDU)
Sarah Bambang, Sri
Setyadji dan Aref Darmawan
Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
Email: [email protected], [email protected]
[email protected]
Abstrak
Latar Belakang Penelitian ini membahas
tentang Penanganan Tindak pidana Pemilihan Umum melalui Sentra Peneggakan Hukum
terpadu oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum Namun dalam proses Peneggakkanya
adanya perbedaan pendapat dalam menangani permasalah pada tindak pidana Pemilu
tersebut,maka perlu adanya Penyamaan Persepsi terkait karakteristik Tindak
Pidana Pemilihan Umum dan Kewenangan Sentra Gakkumdu agar nantinya dalam
Penegakan Hukumnya bisa berjalan dengan baik. Rumusan masalah dari Penelitian ini adalah harus mengetahui
karateristik tindak pidana pada pemilihan umum dan bagaimana kewenangan Sentra
Penagakan Hukum Terpadu pada Badan Pengawas Pemilihan Umum. Metode Pendekatan
yang digunakan dalam Penelitian ini adalah Penelitian Hukum Normatif, yaitu
penelitian yang mengkaji peraturan hukum, asas-asas hukum dan juga
teori/doktrin hukum. penelitian ini juga menggunakan pendekatan
perundang-undangan dan Pendekatan konseptual yang berkait dengan konsep
karakteristik tindak pidana pemilihan umum dan kewenangan lembaga sentra
gakkumdu dalam menegakkan hukum pada pelanggaran pemilihan umum. Kesimpulan
dari penelitian ini adalah karakteristik tindak pidana pemilihan umum adalah
perbuatan yang melawan hukum pada masa Tahapan Pemilu sesuai dengan undang-
undang nomor 7 tahun 2017 dan undang-undang nomor 6 tahun 2020, ciri-ciri
pemidanaan nya adalah Pelaku yang dapat terjerat Tindak Pidana Pemilihan Umum
adalah Peserta Pemilu, Penyelenggara Pemilu dan juga Masyarakat Umum yang
berkaitan dengan Pemilu.Tujuannya terdapat pencegahan agar tidak terjadinya
tindak pidana Pemilu, dan sebagai alat untuk pencegahan kejahatan sehingga
mengandung unsur pencelaan sesuai syarat dan ketentuan yang berlaku.Kewenangan
Tindak Pidana Pemilihan Umum adalah Setra Gakkumdu dengan Kewenangan yang
bersifat Non Atributif (non orisinil).
Kata kunci: pidana; gakkumdu; pemilu
Pendahuluan
Dalam Perkembangan Hukum di
Indonesia terutama pada Masa Pemilihan Umum, masalah hukum pemilu termasuk
masalah hukum yang kompleks. Di samping banyaknya kategori masalah, pelaksanaan
penanganan masalah hukum pemilu juga melibatkan banyak lembaga/ institusi.
Dalam Undang � Undang Nomor 7 Tahun 2017 setidaknya diakui enam jenis masalah
hukum pemilu, yaitu :
pelanggaran
kode etik penyelenggara pemilu, pelanggaran administrasi pemilu, sengketa
pemilu, tindak pidana pemilu, hukum lainnya (Hamimah, 2018).
Banyaknya
jenis masalah hukum pemilu juga linear dengan banyaknya institusi yang terlibat
dalam penanganannya. Setidaknya ada sembilan institusi yang terlibat, yaitu:
(1) Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), (2) Badan Pengawas Pemilu
(Bawaslu); (3) Komisi Pemilihan Umum (KPU); (4) Kepolisian Negara; (5)
Kejaksaan; (6) Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara; (7) Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi; (8)
Mahkamah Agung; dan Mahkamah Konstitusi (Arifin, 2016). Belum lagi
keterlibatan Komisi Penyiaran atau Dewan Pers untuk mengawasi pemberitaan dan
iklan kampanye. Sehingga, setidaknya akan ada 10 institusi yang terkait dengan
penyelesaian masalah hukum pemilu.
Banyaknya
jenis masalah serta banyaknya pihak yang terlibat menunjukkan begitu kompleknya
masalah hukum pemilu, atau setidak-tidaknya masalah hukum pemilu didesain
dengan demikian kompleks. Jangankan untuk melaksanakan, memahaminya pun butuh
energi ekstra agar tidak salah paham yang berakibat fatal dalam pelaksanaannya.
Pada gilirannnya, pelaksanaan penegakan hukum
pidana pemilu
pun menghadapi berbagai persoalan, baik karena konten aturannya yang tidak
terlalu mendukung maupun karena faktor penegak dan budaya hukum.
Maka perlu
adanya pembahasan terkait dengan bagaimana bentuk kewenangan sentra penegakkan
hukum terpadu dalam menangani tindak pidana pemilihan umum pada badan pengawas
pemilihan umum.
Metode Penelitian
Dalam tulisan ini, Penulis
menggunakan metode penelitian hukum yang bersifat Normative, yakni sebuah
penelitian yang bahan didapat dari study kepustakaan, selanjutnya mengemukaan
problem hukum yang terjadi di masyarakat guna dianalisa menggunakan toeori
serta intrepetasi peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta beberapa
bahan referensi lainnya.
Hasil dan Pembahasan
1. Pentingnya
Pengaturan Tindak Pidana Pemilu
Sebelum lebih
jauh mengulas arti penting pengaturan tindak pidana pemilu, terlebih dahulu
perlu disinggung perihal istilah dan defenisi tindak pidana pemilu (Sudiatmaka & Mangku, 2019). Secara umum,
istilah tindak pidana pemilu merupakan terminologis yang sama atau menjadi
bagian dari tindak pidana dalam rezim hukum pidana. Istilah lain untuk �tindak
pidana�� adalah �perbuatan pidana�� atau �delik��
yang dalam bahasa Belanda disebut dengan strafbaar feit . Jika dikaitkan
dengan pemilu, maka dapat diistilahkan dengan delik pemilu atau tindak pidana
pemilu.
Dengan menggunakan
istilah delik atau tindak pidana pemilu, ia akan menjadi lebih spesifik, yaitu
hanya terkait perbuatan pidana yang terjadi dalam proses penyelenggaraan
pemilu. Dalam arti, istilah tindak pidana pemilu diperuntukan bagi tindak
pidana yang terjadi dalam atau berhubungan dengan pelaksanaan tahapan-tahapan
pemilu
Dalam Tindak pidana Pemilihan Umum (�Pemilu�) menurut
Pasal 1 angka 2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2018 tentang Tata Cara
Penyelesaian Tindak Pidana Pemilihan dan Pemilihan Umum (�Perma 1/2018�)
sebagai berikut:
Tindak Pidana Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut
Tindak Pidana Pemilu adalah tindak pidana pelanggaran dan/atau kejahatan
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan
Umum.� Defenisi yang sama juga dapat
dijumpai dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 2015 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2015 tentang pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.
Berdasarkan defenisi tersebut, perbuatan/tindakan yang
dapat dinilai sebagai tindak pidana pemilu adalah perbuatan yang
dikriminalisasi berdasarkan Undang-Undang Pemilu. Sesuai defenisi itu
(Afifah, 2014) , juga dapat dipahami bahwa tindak pidana pemilu adalah
pelanggaran terhadap suatu kewajiban, hal mana pelanggaran tersebut diancam
sanksi pidana dalam UU Pemilu.
Lebih jauh, kriminalisasi atas perbuatan tertentu sebagai
tindak pidana pemilu dibagi menjadi dua kelompok, yaitu : pelanggaran dan
kejahatan. Hanya saja, Undang � Undang Pemilu Legislatif tidak mendefenisikan
secara spesifik apa yang dimaksud dengan tindak pidana dalam bentuk pelanggaran
dan apa pula cakupan/defenisi tindak pidana kejahatan. Undang � Undang ini
hanya mengatur bentuk-bentuk perbuatan yang dikategorikan sebagai pelanggaran
dan juga kejahatan yang satu sama lain sulit untuk membedakannya secara pasti
(Fahmi, 2016).
Lalu, untuk apa sesungguhnya proses penyelenggaraan
pemilu harus ditopang dengan instrumen hukum pidana pemilu? Hal apa yang
melatari mengapa instrumen ini menjadi penting? Sebagai bagian dari sistem
pengaturan penyelenggaraan pemilu, ketentuan tindak pidana pemilu pada dasarnya
untuk menopang terwujudnya pemilu yang jujur dan adil. Dalam konteks itu, arti
penting pengaturan tindak pidana pemilu dapat diturun menjadi dua hal penting.
Pertama, norma tindak pidana pemilu ditujukan untuk
melindungi peserta pemilu, lembaga penyelenggara dan pemilih� dari berbagai tindakan pelanggaran dan
kejahatan pemilu yang merugikan. Kedua, norma tindak pidana pemilu ditujukan
untuk menegakkan tertib hukum dan masyarakat dalam penyelenggaraan pemilu
(Nursyamsi & Ramadhan, n.d.).
Sehubungan dengan dua tujuan/arti penting pengaturan
tindak pidana pemilu tersebut, tentu sangat disadari bahwa pemilu adalah sebuah
kontestasi. Di mana, semua pihak tentu akan melakukan langkah apa saja agar
dapat memenangkan pemilu, termasuk melakukan pelanggaran. Pelanggaran tersebut
dapat saja merugikan peserta pemilu lainnya, merugikan penyelenggara dan juga
pemilu.
Kerugian yang dialami peserta bisa dalam bentuk gagalnya
yang bersangkutan memeroleh kursi karena adanya kecurangan peserta lain secara
langsung ataupun melalui upaya tidak fair melalui kolusi dengan penyelenggara
pemilu. Sementara kerugian yang dialami penyelenggara bisa saja dalam bentuk
terganggungnya proses penyelenggaraan, integritas penyelenggara dan
penyelenggaraan pemilu yang berada di bawah tanggung jawabnya. Sedangkan
kerugian pemilih bisa terjadi dalam bentuk tidak terjadinya proses konversi
suara menjadi kursi sesuai dengan kehendak pemilih melalui proses pemberian
suara yang dilakukan pemilih. Agar hak berbagai pihak berkepentingan dalam
pemilu dapat terlindungi, maka hukum pidana dijadikan salah satu instrumen memeliharanya.
Bagaimanapun, tertib penyelenggaraan pemilu mesti dijaga dengan menggunakan
hukum pidana.
Selain itu, sebagai bagian dari hukum pidana, ketentuan
pidana pemilu juga ditujukan untuk menegakkan tertib hukum dan masyarakat.
Sebagaimana dikemukakan Remmelink, hukum pidana bukan ditujukan pada dirinya
sendiri, tetapi ditujukan untuk menegakkan tertib hukum dan melindungi
masyarakat hukum,� termasuk masuk hukum
pemilu.
2. Sistem
Peradilan Pidana Pemilu
Sebagai� bagian�
dari� rezim� hukum�
pidana,� mekanisme peradilan
pidana pemilu juga mengikuti sistem peradilan pidana secara umum. Dalam sistem
peradilan pidana, terjalin sebuah kerangka jaringan sistem peradilan yang
mendayagunakan hukum pidana (hukum pidana materiil, hukum pidana formil dan
hukum pelaksanaan pidana)� secara
terintegrasi. Dalam kerangka itu, semua unsur sub sistem penegakan hukum yang
terdiri dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan
terlibat dalam satu jaringan kerja yang saling berkaitan satu sama lain.
Dalam hukum pidana
pemilu, sistem kerja demikian juga berlaku. Hanya saja, terdapat sejumlah
karakter khusus yang terdapat dalam hukum pidana pemilu. pertama, dari segi
hukum materil yang digunakan, tindak pidana pemilu diatur secara khusus dalam
UU Pemilu dan UU Pilkada. Sejumlah tindak pidana pemilu bahkan sebelumnya telah
ditentukan sebagai tindak pidana umum, seperti melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan (Pasal 293 UU Pemilu Legislatif), pemalsuan dokumen (298 UU Pemilu
Legislatif), melakukan perbuatan pengrusakan (Pasal 311 UU Pemilu Legislatif).
Hanya saja, pengaturan berbagai tindak pidana tersebut dalam UU Pemilu adalah
dalam kaitannya dengan pelaksanaan pemilu (Mulyadi, 2019).
Konsekuensinya,
tindak pidana tersebut hanya dapat dituntut jika dilakukan dalam konteks
pemilu. Dalam arti, berbagai perbuatan yang ditetapkan sebagai tindak pidana
pemilu hanya dapat dituntut sesuai UU Pemilu, bukan ketentuan pidana umum. Hal
ini sesuai dengan penerapan asas lex specialis derogat legi gerali. Menurut
asas ini, semua unsur-unsur suatu rumusan delik terdapat atau ditemukan kembali
di dalam peraturan lain, sedangkan peraturan yang disebut kedua (yang khusus)
itu disamping semua unsur-unsur peraturan pertama (yang umum) memuat pula satu
atau beberapa unsur lain (Hamzah, 2012).� Dalam kaitan
dengan pemilu, unsur lain yang dimaksud adalah tindak pidana tersebut terjadi
dalam kaitannya/dalam proses penyelenggaraan pemilu.
Kedua, dari aspek
hukum formil, hukum pidana pemilu juga tunduk pada ketentuan yang berlaku dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Di mana, pengadilan negeri
dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana pemilu
menggunakan KUHAP, kecuali ditentukan lain dalam Pemilu. Frasa �kecuali
ditentukan lain dalam Undang-Undang ini� dalam Pasal 262 UU Nomor 8 Tahun 2012
merupakan klausul yang memberi kekhususan tertentu bagi proses pemeriksaan
dugaan tindak pidana pemilu.
Salah satu
kekhususannya adalah sangat terbatasnya waktu penyidikan, penuntutan dan
pemeriksaan oleh pengadilan. Pembatasan waktu dalam memeriksa dan mengadili
tindak pidana pemilu sesungguhnya ditujukan agar penanganan tindak pidana
pemilu dapat memberikan kepastian hukum bagi tahapan penyelenggaraan pemilu.
Selain itu, kekhususan tindak pidana pemilu juga terlihat pada keterbatasan
upaya hukum bagi orang yang dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana pemilu.
Di mana, terhadap putusan pengadilan hanya dapat dilakukan banding dan putusan
pengadilan banding (Pengadilan Tinggi) memiliki sifat terakhir dan mengingat
serta tidak dapat dilakukan upaya hukum lain.�
Dengan demikian, upaya kasasi sebagai upaya hukum biasa tidak tersedia
dalam pemeriksaan tindak pidana pemilu.
Ketiga, penegakan
hukum pidana pemilu tidak saja melibatkan aparatur penegak hukum dalam sistem
peradilan pidana biasa, melainkan juga melibatkan institusi penyelenggara
pemilu (Setiawan, 2020),� dalam hal ini
Bawaslu dan jajarannya. Penyidikan dugaan tindak pidana pemilu terlebih dahulu
harus dengan adanya laporan/ rekomendasi dari Bawaslu Propinsi� dan Panwaslu Kabupaten/kota.� Dalam mekanisme tersebut, dugaan pelanggaran
pemilu terlebih dahulu harus melalui kajian Bawaslu beserta jajaran. Di mana,
apabila hasil kajian pengawas pemilu berkesimpulan adanya dugaan tindak pidana
pemilu, maka hasil kajian beserta rekomendasi pengawas pemilu diteruskan kepada
penyidik kepolisian.
Oleh karena melibatkan
sejumlah institusi dalam penanganan tindak pidana pemilu, maka untuk tujuan
menyamakan pemahaman dan pola penanganan tindak pidana pemilu oleh Bawaslu,
Kepolisian dan Kejaksaan, diatur dan dibentuklah sebuah sentra penegakan hukum
terpadu (Sentra Gakumdu).� Di mana,
institusi ini berkedudukan sebagai tempat untuk menyamakan pandangan antar
institusi yang terlibat dalam menangani tindak pidana pemilu
(Yeni, 2020).
Hanya saja, dalam
pengaturan teknis dan praktiknya, Gakkumdu justru ditempatkan sebagai institusi
yang bertugas menyelenggarakan penanganan tindak pidana pemilu secara
terpadu.� Pada saat yang sama, juga
memberi penilaian apakah bukti-bukti dugaan tindak yang diserahkan Bawaslu
beserta jajaran telah terpenuhi atau setidak. Dalam konteks itu, dalam keadaan
tertentu, penyidik kepolisian justru hanya memosisikan diri sebagai pihak yang
menerima bersih laporan tanpa melakukan penyidikan lagi. Padahal, sesuai UU
Pemilu, penyidik kepolisian yang semestinya melakukan penyidikan atas telah
terjadinya dugaan tindak pidana pemilu.
Keempat, pemeriksaan
perkara tindak pidana ditangani oleh majelis khusus yang dibentuk pada
pengadilan negeri maupun pengadilan tinggi.23 Di mana, hakim khusus perkara
pidana pemilu mesti memiliki syarat dan kualifikasi tertentu yang
pengangkatannya ditetapkan berdasarkan Keputusan Kedua Mahkamah Agung Republik
Indonesia.24
Setidaknya empat hal
itulah yang menunjukan kekhususan sistem peradilan pidana pemilu yang diatur
dalam UU Nomor 8 Tahun 2012. Selanjutnya akan digambarkan sistem peradilan
pidana pemilu sebagaimana diatur dalam UU tersebut. Hanya saja, karena sistem
peradilan pidana pemilu juga melibatkan Bawaslu dan jajaran, terlebih dahulu
akan digambarkan proses penanganan pelanggaran pemilu oleh pengawas pemilu.
Sebab, penanganan perkara pelanggaran pemilu (termasuk pidana) oleh Bawaslu dan
jajaran merupakan pintu awal untuk seluruh proses penegakan hukum pemilu yang
lainnya. Oleh karena itu, secara berturut-turut akan ditampilkan bagan sistem
penyelesaian pelanggaran pemilu oleh Bawaslu dan bagan sistem penanganan tindak
pidana pemilu yang melibatkan Bawaslu, kepolisian, kejaksaan dan pengadilan.
�����������������������
Alur Penanganan Pelanggaran Pemilu
(Berdasarkan Perbawaslu Nomor 7 Tahun 2018)
Alur Penanganan Tindak Pidana Pemilu
Alur penanganan
tindak pidana dalam sistem peradilan pidana pemilu sebagaimana diuraikan di
atas menunjukkan birokrasi penanganan yang tidak sederhana. Sistem penanganan
tindak pidana pemilu jauh lebih rumit dibandingkan tindak pidana biasa yang
hanya melibatkan polisi, jaksa dan pengadilan. Sementara tindak pidana pemilu
juga melibatkan pengawas pemilu. Sehingga, kondisi inipun dinilai sebagai salah
satu alasan kenapa penanganan tindak pidana pemilu menjadi tidak efektif (Sulistyoningsih,
2015).
Dengan waktu
penanganan tindak pidana pemilu yang amat singkat, birokrasi penanganan tindak
pidana pemilu mesti didesain lebih sederhana. Di mana, keterlibatan polisi dan
jaksa lagi ditempatkan secara terpisah dari proses pengawasan pemilu yang
dilakukan pengawas pemilu. Dalam konteks ini, polisi dan jaksa harus didesain
berada dalam satu kesatuan lembaga pengawas pemilu dalam menegakkan hukum
pidana pemilu. Dalam konteks ini, mengubah desain kelembagaan pengawas pemilu
dengan memasukkan unsur polisi dan jaksa secara ex officio merupakan salah satu
cara untuk memotong panjangnya rangkaian birokrasi penangan perkara tindak
pidana pemilu. Dengan cara itu, semua tindakan penyelidikan, penyidikan dan
penuntutan tindak pidana pemilu akan berada di bawah satu komanda. Sehingga
penegakan hukum pidana pemilu dalam waktu yang sangat singkat tentunya akan
berjalan lebih baik
3. Pembuktian
Tindak Pidana Pemilu
Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2017 tidak mengatur secara khusus ikhwal pembuktian dalam perkara
tindak pidana pemilu. Dalam arti, tidak terdapat ketentuan yang memberikan
karakter tersendiri dalam pembuktian tindak pidana pemilu. Ketiadaan pengaturan
pembuktian tindak pidana pemilu berkonsekuensi terhadap tunduknya rezim
pembuktian tindak pidana pemilu pada sistem pembuktian dalam KUHAP. Hal itu
didasarkan pada ketentuan Pasal 481 ayat (1) yang menyatakan, Pengadilan negeri
dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana Pemilu
menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, kecuali ditentukan lain
dalam Undang-Undang ini. Ketentuan tersebut mengisyaratkan bahwa pembuktian
tindak pidana pemilu sepenuhnya mengikuti apa yang diatur dalam KUHAP.
Dengan karakter
khusus yang dimiliki tindak pidana pemilu, seperti singkatnya waktu penanganan,
sesungguhnya membutuhkan adanya ketentuan terkait pembuktian yang lebih
spesifik selain yang diatur dalam KUHAP. Jika hanya mengacu pada KUHAP, penanganan
tindak pidana pemilu akan jauh dari efektif. Apalagi untuk tujuan mengawal
integritas pemilu yang jujur dan adil.
Jika
dibandingkan dengan penanganan tindak pidana korupsi, salah satu faktor yang
mendukung efektifitas penanganan tindak pidana korupsi adalah tersedianya ruang
pembuktikan lebih luas dibanding apa yang termuat dalam KUHAP. Salah satunya,
perluasan definisi bukti petunjuk sebagaimana diatur dalam Pasal 188 ayat (2)
KUHAP. Dalam Pasal 26 A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi diatur sebagai
berikut :
Alat bukti yang
sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2)
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak
pidana korupsi juga dapat diperoleh dari:
1. Alat
bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau
disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
2. Dokumen,
yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau
didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik
yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang
terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan,
foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
Ketentuan UU
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di atas memberi kesempatan cukup luas bagi
penyidik untuk membuktikan dugaan tindak pidana korupsi secara lebih mudah.
Sebab, penyidik tidak saja terbatas pada cara memperoleh alat bukti yang diatur
dalam KUHAP, melainkan lebih luas dari itu.
Jika hal yang
sama diterapkan dalam penanganan tindak pidana pemilu, tentunya pembuktian
tindak pidana pemilu akan jauh lebih mudah. Sebab, penyidik memiliki sumber
bukti yang lebih luas dari sekedar ketentuan KUHAP yang dapat dikatakan sangat
terbatas. Sehingga, sebuah dugaan tindak pidana pemilu tidak dengan mudah lolos
karena alasan tidak cukup bukti untuk membawanya ke proses pengadilan (Soerodibroto,
1919).
Apalagi tindak
pidana pemilu sangat mudah diselundupkan ke dalam berbagai aktifitas lainnya.
Dengan berbagai cara, pelaku tindak pidana pemilu justru mudah untuk lepas dari
jeratan hukum karena bukti-bukti terjadinya tindak pidana pemilu sangat sulit
untuk ditemukan.
4. Problem
Penegakan Hukum Pidana Pemilu
Problem
penegakan hukum pidana pemilu setidaknya dapat disigi dengan melihat
masing-masing komponen dalam sistem hukum yang secara langsung berpengaruh
terhadap penegakan hukum. Lawrence M. Friedman menilai, berhasil atau tidaknya
hukum ditegakkan tergantung pada tiga komponen sistem hukum. Pertama, substansi
hukum (legal substance). Substansi hukum adalah aturan, norma, dan pola prilaku
nyata manusia yang berada dalam sistem itu.
Kedua,
struktur hukum (legal structure) atau struktur sistem hukum. Friedman
menyebutnya sebagai kerangka atau rangka atau bagian yang tetap bertahan atau
bagian yang memberi semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan.� Keberadaan struktur hukum sangat penting,
karena betapapun bagusnya norma hukum, namun jika tidak ditopang aparat penegak
hukum yang baik, penegakan hukum dan keadilan hanya sia-sia. Ketiga, budaya
hukum (legal culture). Kultur hukum adalah opini-opini, kepercayaan-kepercayaan
(keyakinan-keyakinan), kebiasaan-kebisaaan, cara berfikir, dan cara bertindak,
baik dari para penegak hukum maupun dari warga masyarakat tentang hukum dan
berbagai fenomena yang berkaitan dengan hukum (Ali,
2009).
Berangkat
dari tiga indikator tersebut, belum efektifnya penegakan hukum pidana pemilu
juga tidak dapat dilepaskan dari masalah yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan pemilu, khususnya terkait tindak pidana pemilu; masalah
profesionalisme aparat penegakan hukum yang terdiri dari pengawas pemilu,
kepolisian, kejaksanaan dan hakim pada pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi;
dan budaya hukum penyelenggaraan pemilu yang jauh dari kondisi sehat.
Pada
taraf norma, peraturan perundang-undangan sebagaimana diulas pada bagian
sebelumnya belum cukup jelas dan lengkap mengatur hukum materil maupun hukum formil.
Bahkan hukum formil yang ada tidak cukup memadai untuk menegakkan hukum pidana
pemilu secara efektif. Sementara pada level struktur, penegak hukum dihadapkan
pada persoalan masih belum memadainya pemahaman aparatur terhadap jenis tindak
pidana pemilu; belum profesional dan masih terjadinya �tolak-menolak� yang
berujung pada kebuntuan dalam menangani perkara pidana pemilu. Sedangkan pada
ranah budaya hukum, pihak-pihak berkepentingan, terutama peserta pemilu masih
berkecenderungan untuk �mengakali� aturan yang ada sehingga dapat berkelit dari
tuntutan hukum. Masyarakat politik bukannya membangun kesadaran akan perlunya
mengikuti pemilu sesuai aturan-aturan yang ada, melainkan justru membangun
sikap culas atas aturan yang ada (Santoso,
2017).
Tiga
persoalan penegakan hukum pidana pemilu tersebut berkelindan sedemikian rupa
sehingga penegakan hukum pemilu benar-benar lumpuh (sekedar tidak mengatakan
mati suri). Akibatnya, perkara-perkara dugaan tindak pidana pemilu pun tidak
tertangani dengan baik.
Kesimpulan
Sistem penanganan tindak pidana pemilu
masih membutuhkan pembenahan agar dapat diterapkan dengan baik dan efektif
untuk menjadi salah satu instrumen mewujudkan pemilu yang jujur dan adil.
Perbaikan sistem penanganan meliputi perbaikan regulasi; penguatan kapasitas
dan profesionalisme penegak hukum pemilu; dan peningkatan kesadaran hukum
seluruh pemangku kepentingan pemilu. Tanpa melakukan itu, sistem penanganan
tindak pidana pemilu akan selalu jalan di tempat dan tidak akan berhasil guna
dalam menopang perwujudan pemilu yang jujur dan adil.
Afifah, Wiwik. (2014). Tindak Pidana Pemilu Legislatif
di Indonesia. Mimbar Keadilan, 240075.
Ali, Achmad. (2009). Menguak Teori Hukum (Legal
Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence). Jakarta: Kencana Prenada
Media Grup.
Arifin, Firmansyah. (2016). Penegakan Hukum Pemilu:
Tinjauan Atas Putusan Pengadilan Tindak Pidana Pemilu 2014. Jurnal Hukum
PRIORIS, 4(3), 348�364.
Fahmi, Khairul. (2016). Sistem Penanganan Tindak
Pidana Pemilu. Jurnal Konstitusi, 12(2), 264�283.
Hamimah, Siti. (2018). Memperkuat Peran dan Fungsi
BAWASLU dalam Pengawasan dan Penegakan Hukum PEMILU. Seminar Nasional Hukum
Universitas Negeri Semarang, 4(3), 803�828.
Hamzah, Andi. (2012). Asas-asas hukum pidana di
Indonesia & perkembangannya. Sofmedia.
Mulyadi, Dudung. (2019). Analisis Penerapan
Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Pemilu. Jurnal Ilmiah Galuh Justisi, 7(1),
14�28.
Nursyamsi, Fajri, & Ramadhan, Muhammad Nur.
(n.d.). PELINDUNGAN HAK PILIH PENYANDANG DISABILITAS MENTAL DALAM PENDEKATAN
RANGKAIAN PROSES PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 135/PUU-VIII/2015
PERSONS WITH MENTAL DISABILITIES RIGHTS TO VOTE. JURNAL, 17.
Santoso, Topo. (2017). Pengaturan tindak pidana pemilu
di empat negara asia tenggara. Jurnal Hukum & Pembangunan, 34(2),
129�142.
Setiawan, Andi. (2020). JEJARING KELEMBAGAAN BAWASLU
DALAM PENANGANAN PELANGGARAN PEMILIHAN UMUM SERENTAK. Jurnal Academia Praja,
3(02), 322�340.
Soerodibroto, R. Soenarto. (1919). KUHP dan KUHAP:
Dilengkapi Yusrisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad. -.
Sudiatmaka, Ketut, & Mangku, Dewa Gede Sudika.
(2019). Penanganan dan Penegakan Hukum Terkait Pemilihan Kepala Daerah Secara
Langsung di Kabupaten Buleleng. Jurnal Media Komunikasi Pendidikan Pancasila
Dan Kewarganegaraan, 1(1), 25�35.
Sulistyoningsih, Dewi Permatasari. (2015).
Pertanggungjawaban Pidana Dalam Tindak Pidana Pemilu (Studi Terhadap
Pelanggaran Pemilu Di Indonesia). Mimbar Keadilan, 278186.
Yeni, Yeni. (2020). Peran Sentra Penegakan Hukum
Terpadu (Gakkumdu) Dalam Penindakan Tindak Pidana Pemilu Pada Pemilihan Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Solok Tahun 2019. Abstract of
Undergraduate Research, Faculty of Law, Bung Hatta University, 11(1).