Jurnal Indonesia Sosial Teknologi: p�ISSN: 2723 - 6609

e-ISSN : 2745-5254

������������������������������ ����������� Vol. 2, No. 2 Februari 2021

 

MODEL PENDIDIKAN KEWIRAUSAHAAN DI PONDOK PESANTREN AL-INSAN KOTA CILEGON PROVINSI BANTEN

 

Muhiyi

Program Pascasarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor

Email: [email protected]

 

Abstract

This study aims to state that the Al-Insan Islamic boarding school is an educational institution that will educate its students with religious knowledge only and is not sensitive to social and economic affairs. This type of research is qualitative research. The methodology used in this research is the phenomenological method. The approach used is the content analysis approach. The data sources in this study are a number of documents from the Al-Ihsan Islamic Boarding School, the results of interviews with sources, while those used as secondary sources consist of books and various writings, journals, websites, and various other references about the three pesantren. The data analysis technique used is descriptive analysis, namely by describing and presenting the data in the form of a comprehensive and holistic systematic description, then analyzed with a social historical approach to Islamic education, namely by looking at the processes of the birth of the institution with various sociological factors that influence it. The results of this study include that the growth and development model of the Al-Insan Islamic boarding school has not only succeeded in producing scholars who are experts in the science of religion, but also participates in developing entrepreneurship, which is influenced by various social, economic, cultural, and other factors. This means that the Al-Insan Islamic boarding school wants to combine ukhrawi and worldly interests, but the first must come first.

 

Keywords: education model; boarding school; entrepreneurship

 

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menyatakan bahwa pondok pesantran Al-Insan adalah lembaga pendidikan yang akan mendidik santrinya dengan� ilmu-ilmu agama saja dan tidak peka terhadap� urusan kemasyarakatan dan perekonomian. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Metodelogi yang digunakan penelitian ini adalah metode fenomenologi. Adapun pendekatan yang digunakan adalah pendekatan content analysis. Sumber data dalam penelitian ini adalah sejumlah dokumen-dokumen Pondok� Pesantren Al-Ihsan, hasil wawancara dengan narasumber, sedangkan yang dijadikan sumber sekunder terdiri-dari buku dan berbagai tulisan, jurnal, website, dan berbagai referensi lainnya tentang tiga pesantren tersebut. Teknik analisa data yang digunakan adalah deskriptif� analisis yaitu dengan menggambarkan dan memaparkan data-data dalam bentuk urian yang sistematis komprehensif dan holistic, kemudian dianalisis dengan pendekatan sejarah social pendidikan Islam, yaitu dengan melihat proses-proses lahirnya lembaga tersebut dengan berbagai faktor sosiologis yang mempengaruhinya. Hasil penelitian� ini antara lain bahwa model pertumbuhan dan perkembangan pondok pesantren Al-Insan tidak hanya berhasil melahirkan para ulama yang ahli dalam ilmu agama, tetapi ikut serta dalam mengembangkan kewirausahaan, yang dipengaruhi oleh berbagai faktor social, ekonomi, budaya, dan yang lainnya. Ini artinya pondok pesantren Al-Insan ingin memadukan kepentingan ukhrawi dan duniawi, tetapi yang pertama harus didahulukan.

 

Kata kunci: model pendidikan; pondok pesantren; kewirausahaan

 

Pendahuluan

Ada anggapan mayarakat bahwa Pondok Pesantren Al-Insan hanya mengajarkan dan mencetak generasi para santri untuk memperdalam ilmu keislaman atau Tafaqquh Fid Din. Anggapan tersebut tidak semuanya� benar. Karena ternyata di Kota Cilegon terdapat Pondok Pesantren Al-Insan. Pada samping mengajarkan dan memperdalam ilmu agama Islam juga mengembangkan kewirausahaan atau entrepreneurship, sehingga penulis tertarik untuk mengadakan penelitian ini.

Akan ditinjau dari segi sejarah, belum ditemukan data sejarah kapan persisnya pertama kali berdirinya pondok pesantren. Ada pendapat mengatakan bahwa pondok pesantren telah tumbuh sejak awal masuknya Islam ke Indonesia. Sementara yang lain berpendapat bahwa pondok pesantren baru muncul pada masa Walisongo dan Maulana Malik Ibrahim dipandang sebagai orang yang pertama mendirikan pondok� pesantren (Daulay, 2018).

Tidak ragukan lagi� bahwa pondok pesantren merupakan fenomena atau fakta sosial unik dalam masyarakat di Indonesia (Bruinessen, 1995).� Selain identik sebagai komunitas sosial Islam yang khas, pondok pesantren juga dianggap sebagai salah satu subkultur sosial masyarakat Indonesia. Artinya, pondok pesantren merupakan entitas yang memiliki struktur, nilai dan budaya, serta pengaruh tersendiri dalam masyarakat. Atau dalam bahasa lain dapat dikatakan, di mana terdapat pondok pesantren, di tempat itu pula terdapat perubahan sosial.

Oleh sebab itu pula, secara genealogis asal-usul pondok pesantren tidak dapat dipisahkan dari sejarah dakwah dan pengaruh Walisongo abad ke 15-16 di Jawa. Pondok Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang unik di Indonesia. Lembaga pendidikan ini telah berkembang khususnya di pulau Jawa selama berabad-abad (Ismail, Huda, & Kholiq, 2002).

Setelah para wali sukses menyebarkan Islam dari satu wilayah ke wilayah lainnya dengan cara dan metode yang bijaksana sehingga mudah diterima oleh masyarakat banyak, tak pelak lagi Islam menjadi agama yang populis dan banyak pengikutnya.

Karena beberapa kelebihan yang dimiliki oleh para wali, membuat masyarakat semakin tertarik untuk belajar dan menimba ilmu dengan mendirikan pondok-pondok kecil tempat mereka belajar dan beristirahat. Dari sini kemudian berkembang lembaga pendidikan yang kemudian disebut pesantren.

Tatkala Raja Raden Patah Muslim pertama naik tahta di Jawa (1478-1546), pondok pesantren berkembang pesat karena didirikan di setiap wilayah yang diasuh oleh masing-masing anggota Wali Songo itu sendiri. Barangkali motivasi yang mendorong kemajuan tersebut adalah bahwa raja itu sendiri mendapat pendidikan di pondok pesantren. Pada periode ini pondok pesantren menjadi marak sebagai pusat pendidikan sehingga pulau Jawa menjadi salah satu pusat pendidikan Islam menyamai pusat-pusat Islam lainnya di Sumatra .

Pada masa-masa kerajaan Islam Nusantara, pondok pesantren berdiri di pusat-pusat kekuasaan dan ekonomi rakyat serta menjadi satu-satunya lembaga pendidikan bangsa saat itu. Pondok pesantren juga menjadi pusat kaderisasi putra-putra mahkota di beberapa daerah di Nusantara pada masa itu. Bahkan di Banten penguasanya begitu peduli terhadap pendidikan Islam. Mereka sering mendatangkan ulama-ulama dari Mekkah, bahkan banyak ulama dari negara-negara lain menjadikan Istana Banten sebagai pusat kajian dan studi pada masa itu (sekitar abad ke- 17 M).

Dari semua daerah di Indonesia, Banten mengirim jumlah penduduk yang paling besar ke koloni Jawa di Mekkah. Pemimpin yang mendapat kehormatan yang paling besar pada umumnya juga berasal dari daerah Banten itu. Di kalangan ulama, Syekh Muhammad Nawawi, yang lebih dikenal dengan Nawawi Banten, adalah yang paling masyhur. Namanya diambil dari nama seorang penulis textbook dalam mazhab Syafi�i, dan dengan mengambil nama tersebut, dia juga menghormati pelopornya. Ayahnya Umar bin Arabi, pernah menjabat Penghulu Kecamatan di Tanara Banten, dan mengajarkan sendiri dasar-dasar pengetahuan suci kepada anak-anaknya, Nawawi, Tamim, dan Ahmad. Tiga saudara ini selanjutnya mendapat pengajaran dari Haji Sahal, seorang ulama yang masyhur di daerah Banten waktu itu. Kemudian mereka pergi ke Purwakarta, Karawang dimana Raden Haji Yusuf menarik banyak murid dari seluruh Jawa, khususnya dari Jawa Tengah. Pada usia yang masih agak muda, tiga saudara ini naik haji dan kemudian Nawawi bermukim selama tiga tahun di Mekkah. Waktu pulang dengan khazanah ilmu yang sudah banyak, Nawawi sudah mempunyai rencana untuk menetap di bawah lindungan Bait Allah dan rencana ini cukup dapat dilaksanakan.

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh anggapan yang menyatakan bahwa pondok pesantran Al-Insan �adalah lembaga pendidikan yang akan mendidik santrinya dengan� ilmu-ilmu agama saja dan tidak peka terhadap� urusan kemasyarakatan dan perekonomian.

Unit-unit ekonomi tersebut bisa menopang sarana dan prasarana lembaga di lingkungan Pondok Pesantren Al-Insan Dari sini terbentuklah usaha ternak kambing etawa, ternak sapi, ternak lele, ternak unggas, usaha jasa sewa dan pengadaan tenda, serta pemanfaatan limbah biogas.

Fenomena unik inilah yang menarik bagi penulis untuk melakukan kajian dan akademik terhadap pondok pesantren tersebut dengan judul �Model Pendidikan Kewirausahaan di Pondok Pesantren Al-Insan Kota Cilegon Provinsi Banten di Kota Cilegon Banten�

Kedua, pasca pemberlakuan Undang undang� Nomor 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional;� kebanyakan pondok pesantren mengadopsi dan mengadaptasi kurikulum atau sistem pendidikan nasional. Namun, hal itu tidak dilakukan pondok pesantren ini justru tsiqah� dalam kajian tafaqquh fid d�n dalam pengertian mendalami ilmu-ilmu pokok (ushul al-d�n) Q.S. Al-Taubah: 122. Sebuah sikap berani di saat gelombang pragmatisme menjadi fenomena global dunia.

Ketiga, kendati tetap menjaga kesalafiyahannya, pondok pesantren ini punya inovasi ekonomi dengan membuka beragai jenis usaha untuk memberikan bekal dan modal soft skill kehidupan bagi santri-santrinya agar mereka siap menghadapi tantangan nyata dunia.

Ada permasalahan yang menurut peneliti perlu ditanamkan kepada Pondok Pesantren Al-Insanyang penulis teliti yaitu: aspek pemasaran diperlukan bumbu-bumbu marketing yang menarik, misalnya diceritakan� tentang bagaimana produk yang dilaksanakan di Pondok Pesantren tersebut. Perlu juga memanfaatkan digital marketing yang jangkauannya luas dan terukur, karena sementara ini wirausaha yang dilakukan oleh ketiga Pondok Pesantren ini perlu adanya langkah-langkah strategis untuk lebih cepat� menuju kesuksesan.

 

Metode Penelitian

Pendekatan penelitian adalah pendekatan kualitatif� dengan lokus studi pondok Pesantren Al-Insan Kota Cilegon Provinsi Banten. Instrumen utama dalam pengumpulan data penelitian kasus dengan pendekatan kualitatif adalah peneliti itu sendiri, yaitu peneliti sebagai perencana, pelaksana, pengumpulan data, analisis, penafsir data, dan dia menjadi pelapor hasil penelitiannya (Moleong, 2012).

Hasil penelusuran ahli sejarah menunjukkan bahwa cikal bakal pendirian pondok pesantren di Nusantara pada masa-masa awal terdapat di daerah-daerah sepanjang pantai utara Jawa, seperti Giri (Gresik), Ampel Denta (Surabaya), Bonang (Tuban), Kudus, Lasem, dan Cirebon. Kota-kota tersebut pada waktu itu merupakan kota kosmopolitan yang menjadi jalur penghubung perdagangan dunia, sekaligus tempat persinggahan para pedagang dan mubalig Islam yang datang dari Jazirah Arab seperti Persia dan Irak.

Pondok Pesantren dalam proses perkembangannya masih tetap disebut sebagai suatu lembaga keagamaan yang mengajarkan ilmu agama Islam. Dengan segala dinamikanya pondok pesantren dipandang sebagai lembaga yang merupakan pusat dari perubahan-perubahan masyarakat lewat kegiatan dakwah Islam. Seperti tercermin dari berbagai pengaruh pesantren terhadap perubahan dan pengembangan individu, sampai pada pengaruhnya terhadap politik di antara pengasuhnya dan pemerintah.

�� Meskipun begitu, tokoh yang dianggap berhasil mendirikan dan mengembangkan pondok pesantren dalam arti yang sesungguhnya adalah Raden Rahmat (Sunan Ampel). Ia mendirikan pondok pesantren di Kembang Kuning, yang pada waktu didirikan hanya memiliki tiga orang santri, yaitu Wiryo Suroyo, Abu Hurairah, dan Kyai Bangkuning. Kemudian ia pindah ke Ampel Denta, Surabaya dan mendirikan pondok pesantren di sana. Misi dakwah Islam dan pendidikan Sunan Ampel mencapai sukses, sehingga beliau dikenal oleh masyarakat Majapahit. Setelah itu kemudian bermunculan pondok pesantren baru yang didirikan oleh para santri dan putra beliau. Misalnya oleh Raden Patah, dan pondok Pesantren Tuban oleh Sunan Bonang.

Memang, pondok pesantren bila dilihat dari latar belakangnya, tumbuh dan berkembang dengan sendirinya dalam masyarakat yang terdapat implikasi-implikasi politis sosio kultural yang menggambarkan sikap ulama-ulama Islam sepanjang sejarah.

 

Hasil dan Pembahasan

A.  Sebagai At-Tafaqquh Fid Din

�Apabila pondok pesantren menginginkan bangkitmya kembali agama Islam yang dapat memberikaan rahmatan lil alamin, tidak ada cara lain kecuali pondok pesantren tersebut memperdalam dan mencetak generasi para santri untuuk memperdalam ilmu ke Islaman atau Tafaqquh Fid Din. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam QS; At- Taubah (9) : 122, yang artinya : �Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang), mengapa sebagian dari setiap golongan diantara mereka tidak pergi untuk Tafaqquh Fid Din (memperdalam agama).

B.  Mencetak Ulama

Pondok Pesantren Salafiyah di samping berperan sebagai Tafaqquh Fid Din� juga sebagai lembaga pengkaderan yang dapat melahirkan� ulama, Karena pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang semakin dirasakan kehadirannya oleh masyarakat luas. Sehingga kehadiran pondok pesantren ini di tengah masyarakat selalu direspon positif oleh mereka. Lalu kemudian pondok pesantren salafiyah juga sebagai lembaga dakwah, harus mampu menempatkan dirinya sebagai transformator, motivator dan invator masyarakat. Sehingga pondok pesantren dapat menciptakan para lulusannya yang mempunyai kemampuan analisis dan antisipatif.

C.  Tradisi Keagamaan

Pada umumnya pondok pesantren Indonesia termasuk di dalamnya Pondok Pesantren di Kota Cilegon Provinsi Banten, pada era modern seperti saat sekarang ini juga masih berfungsi sebagai pusat kegiatan keagamaan (religi). Dalam fungsi sosialnya pondok pesantren saat ini masih sangat berperan penting dalam menjaga nilai-nilai tradisional keagamaan sebagai ciri khas ke Islaman.�

Pada akhir-akhir ini ada anggapan pondok pesantren merupakan benteng perlindungan tradisi keagamaan. Sehingga orang pondok pesantren disebut sebagai kaum tradisional. Atas sebutan itu kebanyakan orang bersikap bangga atas tradisi keagamaan yang dilakukan seperti melaksanakan tahlillan, marhabanan, dzikiran dan lain sebagainya. Namun tidak sedikit juga yang merasa terhina dan ada pula yang merasa bingung tidak tahu ucapan itu apa, sebagai pujian atau cercaan. Oleh karena pola pikir serta tata nilai yang didapat dari warisan masa lalu disebut tradisi.

1.    Sebagai Agent of Development (Sebagai Agen Perubahan)

Sebagai respon atas politik pendidikan Belanda waktu itu, para kyai mendirikan sistem madrasah yang diadopsi dari madrasah-madrasah yang mereka temukan ketika menuntut ilmu di Mekkah. Selain itu pondok pesantren juga mulai mengajarkan ilmu-ilmu umum seperti matematika, ilmu bumi, bahasa Indonesia, bahkan bahasa Belanda, yang dipelopori oleh Pondok Pesantren Tebu Ireng pada tahun 1920. Selain itu para kyai juga mulai membuka pondok pesantren khusus bagi kaum wanita.

Hasilnya sungguh memuaskan pondok pesantren semakin diminati. Sepanjang abad ke-18 hingga abad ke-20, pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam semakin dirasakan keberadaannya oleh masyarakat secara luas, sehingga kemunculan pondok pesantren di tengah masyarakat selalu direspon positif oleh mereka (Zuhairini, 2004).� Sambutan masyarakat atas kehadiran pondok pesantren dapat dilihat animo dan antusias masyarakat mendirikan dan mengirimkan anak-anaknya untuk menuntut ilmu di pondok pesantren.� Padahal, ketika tahun 1920-an, pondok pesantren besar hanya mengasuh 200 orang maka pada tahun 1930-an jumlah santri pada pondok pesantren besar melonjak dengan drastis mencapai lebih 1500 orang (Hasymy, 1981).

Pondok pesantren dilahirkan untuk memberikan respon terhadap modernisasi yang mulai marak. Di beberapa pondok pesantren diajarkan kewirausahaan. Sehingga pondok pesantren salafiyah lulusannya bukan hanya� sebagai� ahli agama, tetapi dapat melahirkan entrepreneur yang bisa eksis di masyarakat sekitarnya. Situasi dan kondisi sosial ini, yakni di suatu masyarakat yang tengah dihadapkan pada runtuhnya sendi-sendi moral, maka pesantren menawarkan transformasi nilai. Kehadiran Pondok Pesantren� Salafiyah bisa disebut sebagai agen perubahan sosial (agent of social change), yang selalu melakukan pembebasan pada masyarakat dari segala keburukan moral, penindasan politik, kemiskinan ilmu pengetahuan, dan bahkan dari pemiskinan ekonomi.

Pondok Pesantren Al-Insan Cilegon,� juga berkembang sedemikian rupa akibat bersentuhan langsung dengan masyarakat sekitar dengan situasi dan kondisi zaman yang selalu berubah sebagai upaya untuk menjawab tangtangan zaman. Sehingga Pondok Pesantren Salafiyah Al-Insan, Kota Cilegon, juga ikut andil dan berkontribusi dalam mengembangkan perannya dari sekedar lembaga keagamaan dan pendidikan Islam menjadi lembaga pengembangan masyarakat (center of excellence).

2.    Cilegon Gudang Pondok Pesantren

Secara historis, perkembangan pondok pesantren di Kota Cilegon tidak bisa dipisahkan dengan perkembangan dakwah Islam Wali Songo di Pulau Jawa, yang kemudian menyebar ke kawasan Banten. Seperti dijelaskan para ahli sejarah, perkembangan Islam di Banten dipelopori oleh Sunan Gunung Djati atau Syarif Hidayatullah.� Menurut cerita berbagai babad, setelah Pelabuhan Sunda-Pakwan (Pakuan) dikuasai Sunan Gunung Jati dari Cirebon, ia meminta anaknya Maulana Hasanuddin untuk bertahan dan mengembangkan Islam dan memperkuat kedudukan Banten. Dengan dukungan politik Kerajaan Demak dan semangat dakwah, serta dukungan umat Islam Banten, ia juga berhasil mengislamkan bagian barat pantai Pelabuhan Banten, serta Pelabuhan Sunda Kepala (Pawawoi, 2009).

Menurut data Rencana Kerja Pemerintah Daerah Kota Cilegon tahun� 2015, hingga tahun 2013 di Kota Cilegon terdapat 53 pondok pesantren yang tersebar di beberapa kecamatan, dengan jumlah santri sebanyak 53.598. Keberadaan pondok pesantren tersebut didukung oleh 1.060 tenaga pengajar/ustadz (Agustini, Riswanda, & Fuad, 2017).

Dari jumlah tersebut di atas terdapat� pondok pesantren yang menjadi fokus penelitian penulis yaitu Pondok Pesantren Al-Insan.Mengapa pondok pesantren tersebut menjadi lokus penelitian?� Karena di samping dapat melahirkan dan mencetak ulama yang� ahli dalam� agama, menjaga tradisi keagamaan seperti, tahlilan, marhabanan dalailan dan yang lainnya,� juga pondok pesantren tersebut dirasa dapat melahirkan dan mengembangkan kewiraushaan yang tentunya dapat melahirkan entrepreneur yang sukses dalam berwirausaha.

Perkembangan akhir-akhir ini menunjukkan bahwa pondok pesantren Al-Insan Cilegon ini tetap berjalan meneruskan segala tradisi yang diwarisi secara turun temurun tanpa perubahan dan improvisasi yang berarti kecuali sekedar bertahan. Namun ada juga pondok pesantren yang mencoba mencari jalan sendiri dengan harapan mendapatkan hasil yang lebih baik dalam waktu yang singkat. Pondok Pesantren semacam ini adalah pondok pesantren yang menyusun kurikulum berdasarkan pemikiran terhadap kebutuhan santri dan masyarakat sekitarnya.

Kendati demikian, terdapat pula pondok pesantren yang tetap keukeuh dengan tradisi salafiyahnya. Artinya, pondok pesantren tersebut betul-betul independen dalam pengaturan kurikulum dan materi pembelajaran, tidak terikat dan tak mengikuti pola, model, dan sistem Pendidikan Nasional. Beberapa pondok pesantren yang mengikuti pola demikian antara lain : Pondok Pesantren Al-Insan Kota Cilegon.

Sikap pondok pesanten Al-Insan demikian kuat, karena bagi mereka tantangan yang dihadapi oleh pendidikan Islam tetap saja kompleks dan berat, karena faktanya lembaga pendidikan yang �menginduk� regulasi pemerintah juga tidak mudah menyelesaikan masalah-masalah di masyarakat.

Untuk memenuhi berbagai tuntutan dan tekanan globalisasi tersebut, terlepas dari kekurangan dan kelemahannya, dunia pondok pesantren salafiyah berusaha sekuat tenaga dan membuat inovasi-inovasi, sembari tetap mempertahankan kekhasan dan keaslian nilai-nilai salafiyahnya.

Beberapa usaha dan inovasi yang dilakukan pondok pesantren Al-Insan adalah membuka usaha (entrepreneruship), bertani, berternak, dan sebagainya. Hal tersebut dilakukan sebagai sarana edukasi bagi santri untuk hidup mandiri dan siap memberikan kontribusi kepada masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan.

Bagi pondok pesantren Al-Insan, kemandirian merupakan prinsip, sikap, nilai dari seorang santri. Sebanyak apapun ilmu yang dimiliki seseorang, jika ia tak mandiri, maka hal itu petaka bagi dirinya. Celakanya lagi, santri yang tidak mandiri tidak akan memberi manfaat kepada orang lain atas ilmu yang telah diraihnya.

Prinsip, nilai, dan sikap inilah yang ditempuh Pondok Pesantren Al-Insan,� Kota Cilegon dalam mengembangkan dakwah agama dan membina santri-santrinya. Pada tengah-tengah gegap-gempita arus deras modernisme dan globalisme, dengan ciri utamanya pemenuhan hak-hak ekonomi, industrialisasi, dan dunia kerja, dan sebagainya.

Bila mengikuti irama dan gaya hidup modernisme dunia, dan� Kota Cilegon sebagai kota modern, mestinya pondok Pesantren Al-Insanmengadopsi atau mengadaptasi sistem dan nilai kurikulum pendidikannya seperti halnya pondok pesantren modern atau madrasah, yaitu mengikuti regulasi negara.

Seperti dijelaskan di muka, pondok pesantren pada umumnya mendidik santi-santrinya menjadi orang yang belajar dan ahli agama. Namun, pondok pesantren Al-Insan mampu memberikan �dua ilmu kehidupan� sekaligus bagi santrinya, yaitu ilmu-ilmu akhirat dan ilmu-ilmu keduniaan.

3.    Pondok Pesntren Al-Insan Berkiprah dalam Kewirausahaan

Terdapat anggapan bahwa pondok pesantren umumnya hanya menghasilkan alumni atau ahli agama. Secara sosiologis, fakta dan pandangan ini tidak bisa dibantah. Lebih lagi pondok pesantren salafiyah yang memang hanya memfokuskan diri pendidikannya pada kajian tafaqquh f�d d�n.

Meski demikian, fakta dan anggapan tersebut tidak selamanya benar. Adalah Pondok Pesantren� Al-Insan yang di luar fakta dan pendapat tersebut.� Pondok pesantren ini, selain mencetak ahli agama juga mendidik para santrinya menjadi wirausahawan (entrepreneur) yang siap berkhidmat di masyarakat.

Pendidikan wirausaha diajarkan kepada para santri, karena pondok pesantren memandang para santri setelah lulus akan kembali ke masyarakat. Mereka tidak hanya memenuhi kebutuhan masyarakat dengan mengajar ilmu agama, tetapi juga harus memenuhi kebutuhan mereka sendiri, keluarga dan anak-anaknya nanti (Tolib, 2015).

Pondok Pesantren Al-Insan dituntut pula untuk mempersiapkan para santrinya dengan berbagai keahlian yang dibutuhkan di masyarakat. Atau paling tidak mereka dapat mandiri atau eksisitensinya diakui di masyarakat. Untuk maksud tersebut, beberapa keahlian dan/atau keterampilan diajarkan oleh pondok pesantren, antara lain keahlian berternak seperti ternak sapi, kambing etawa, unggas, ikan lele,� bertani� melon, cabe ,dan teknis las, pemanfatan kotoran sapi dan kambing menjadi biogas untuk memasak, warung wakaf dan pelbagai bentuk kewirasuhaan lainnya.

Dari kegiatan tersebut, para alumni Pondok Pesantren Al-Insan mampu melahirkan �sarjana� dan para ahli agama yang multi talenta. Selain ahli agama, mereka juga terampil dalam bertani, beternak, dan melakukan pelbagai jenis wirausaha.

Pengembangan wirausaha di Pondok Pesantren Al-Insan pada dasarnya tidak hanya diperlukan oleh santri an sich, lebih dari itu secara institusional Pondok Pesantren juga memerlukannya. Melalui kegiatan wirausaha, rencana pembangunan dan pengembangan pondok pesantren dapat dilakukan. Selain itu, hasil usaha wirausaha dapat pula meringankan biaya bagi wali santri, karena biaya santri dapat disubsidi.

Pondok pesantren ini menarik untuk diteliti, karena beberapa alasan berikut ini: Pertama, pondok pesantren tersebut tetap bergeming dengan kesalafiyahannya di tengah arus modernisme dan globalisme yang menuntut dunia pendidikan mengarahkan santrinya siap kerja pada dunia kerja dan industri.

 

A.  Sejarah Pondok Pesantren Al-Insan

Perkembangan Pondok Pesantren Al-Insan tidak bisa dilepaskan dari dinamika sosial politik dan ekonomi Kota Cilegon sebagai kota industri. Seperti umumnya kotai ndustri, Kota Cilegon merupakan salah kota penting yang dijadikan tujuan masyarakat untuk mencari kerja. Karena itu, di kota ini terdapat banyak kaum urban dari pelbagai daerah yang mengadu nasib keberuntungan di berbagai perusahaan besar seperti PT Krakatau Steel, PT Cilegon Karya Nusa, PT Chandra Asri Petrocehemical, Amoco Mitsui PT. Argamas Bajatama PT, Asahimas Chemical PT, ASDP Merak PT. dan sebagainya.

Seperti diketahui, Kota Cilegon merupakan salah satu dari tujuh pemerintahan Kabupaten dan Kota yang ada di wilayah Provinsi Banten. Kota Cilegon dipimpin oleh seorang wali kota yang dipilih langsung oleh rakyat. Kota Cilegon di samping sebagai kota industri juga sebagai daerah lintas antara� pulau Jawa dari arah pulau Sumatera, telah menjadikan kota ini menjadi pusat transportasi baik melalui darat maupun laut.

Di wilayah ini terdapat beberapa pelabuhan besar, salah satunya adalah pelabuhan penyeberangan Merak-Bakauheni. Selain dijadikan tempat singgah, daerah ini juga menjadi tempat tujuan para pencari kerja dari berbagai daerah lainnya.

Berdasarkan letak geografisnya, Kota Cilegon terletak berada di bagian ujung sebelah barat Pulau Jawa dan terletak pada posisi : 5 52�24� � 6 04�07� Lintang Selatan (LS),105 54�05� � 106 05�11� Bujur Timur (BT) (HAKIM, 2018).

Secara Administratif wilayah berdasarkan Undang-Undang No. 15 tahun 1999 tentang terbentuknya Kotamadya Daerah Tingkat II Depok dan Kotamadya Daerah Tingkat II Cilegon pada tanggal 27 April 1999, Kota Cilegon mempunyai batas-batas wilayah sebagai berikut: sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Bojonegara (Kabupaten Serang)-sebelah barat berbatasan dengan Selat Sunda-sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Anyer dan Kecamatan Mancak (Kabupaten Serang)-Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Kramatwatu (Kabupaten Serang). Secara geografis, Kota Cilegon dapat dilihat pada gambar berikut:

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 1

���� Peta Kota Cilegon dan batas-batasnya

Sejak menjadi otonom, pembangunan dan arus industriliasasi di Kota Cilegon semakin bertambah pesat. berbagai perusahaan nasiomal dan multinasional pun tumbuh banyak. Karena itu pula, kota ini diserbu para pencari kerja dari pelbagai daerah.

Selain itu mereka juga mengadu nasib pada sektor jasa, industri, perdagangan, dan sebagainya. Realitas Kota Cilegon yang gegap gempita dengan industrialisasi, kemodernan, heterogenitas kaum urban, dan sebagainya tentu menyisakan masalah sosial dan lainnya bagi masyarakat setempat.

Kondisi demikian menginspirasi sejumlah tokoh agama setempat mendirikan pondok pesantren sebagai benteng agama dan moral masyarakat atas arus dan dampak negatif modernism dan industraliasme,

Pondok Pesantren didirikan biasanya didorong oleh dua hal, yaitu: 1) sebagai respon terhadap gejala sosial yang berkembang di tempat dan waktu tertentu. Secara empiris, kehadiran pondok pesantren tidak hanya di tempat-tempat yang suasana keagamaannya terlihat kuat, tetapi dalam banyak kasus justru lahir di daerah yang kehidupan agamanya lemah; 2) pondok pesantren berkembang didorong oleh suasana sosial kultural yang mengelilinginya (Aboebakar, 1957).

Selain alasan-alasan di atas, pendirian pondok pesantren sebagaimana halnya pendirian madrasah, juga digunakan sebagai sarana dan alat menyebarkan ajaran-ajaran agama Islam sebagaimana dulu dilakukan para ulama dan khalifah, serta raja.

Hal ihwal ini pula yang menjadi alasan teori sosiologis berdirinya Pondok Pesantren Al-Insan. Pesantren ini didirikan pada tahun 2006 oleh Kyai Gaos Adhom, S.Ag. Ia adalah� putra dari pasangan KH Hamdani dan Tulelah. Pada awal berdirinya, pondok pesantren ini yang berlokasi di Link. Kerotek kelurahan� Kalitimbang, Kecamatan Cibeber Kota Cilegon.

Menurut Pengasuh Pondok Pesantren Al-Insan Ustadz Adbul Gofur, ST, pada mulanya pondok pesantrennya hanya mengkhususkan pada santri usia dasar dan menengah (ula-wustha). Namun dalam masa perkembangan berikutnya berdatangan pula para santri yang berusia sekolah menengah tingkat atas (SMA). Dari waktu ke waktu jumlah santri yang datang semakin bertambah, bukan saja yang berasal dari kawasan setempat namun juga berdatangan dari pelbagai kota, baik masih dalam provinsi maupun dari provinsi lain.

Pondok Pesantren Al-Insan bertujuan untuk mencetak generasi muda yang berilmu dan beriman serta berkepribadian luhur sesuai karakter bangsa Indonesia. Sesuai dengan namanya, pondok pesantren ini menanamkan kapada para santri yang mempunyai jiwa insani dalam segala amal perbuatan. Pondok Pesantren salafiyah ini menekankan kepada para santrinya untuk siap menjadi manusia wiraswasta. Karena itu pula pondok pesantren ini bertekad memberi bekal berbagai ketrampilan, di antaranya, bertani, beternak, dan perkoperasian.

1.    Kegiatan� Enterpreneurship di Pondok� Pesantren Al-Insan

Kegiatan kewirausahaan di pondok pesantren Al-Insan antara lain, ternak kambing etawa, ternak ikan lele, ternak unggas, pemanfatan limbah menjadi biogas untuk memasak, warung wakaf dan yang lainnya,� khsusnya di lingkungan pondok� pesantren Al-Insan.

Pondok Pesantren Al-Insan merupakan pondok pesantren salafi yang melaksanakan usaha (entrepreneurship) karena usaha merupakan salah satu kunci sukses dan berusaha ini dalam rangka menjalankan usaha yaitu peternakan kambing etawa dengan bermodalkan kemampuan untuk mengawinkan kambing tepat waktu dan memperoleh hasilnya (anakan/cempe). Jika peternak yang dalam hal ini di pondok pesantren al-Insan, sudah mampu menguasai aspek ini maka jumlah kambing etawa yang diperoleh dari proses pengembang biakan ada prediktif atau dapat diestimasi dan diduga, seperti pemahaman yang benar akan skema kawin kambing etawa betina , akan sangat berpengaruh pada kesuksesan ini.

Berikut ini adalah analisa prediksi yang disampaikan ke penulis bahwa jumlah anakan atau cempe kambing etawa yang didapat dari 1 ekor kambing etawa betina. Di sini diasumsikan kambing etawa betina selalu mengeluarkan 2 ekor anak betina (pada kenyataannya jumlah anak yang dihasilkan bervariasi dari 1, 2, 3 atau 4 ekor tapi pada umumnya 2 ekor). Selain usaha kambing etawa kami juga mengembangkan usaha ternak ayam kampung khususnya di pondok pesantren Al-Insan

Berikut ini adalah asumsi perhitungan biaya usaha ternak ayam kampung sepetri hasil wawancara antara saya sebagai peneliti dengan nara sumber yang sekaligus juga pimpinan pondok pesantren Al-Insan yaitu Ust. Abdul Ghfur, ST. Beliau menyampaikan untuk ternak ayam kampung,� apa saja yang harus dipersiapkan� ketika memulai usaha tersebut di pondok pesantren Al Insan, antaralaian :

a.    Ayam kampung dengan jenis super.

b.    Populasi sekitar 150 ekor.

c.    Masa panen sekitar� 2 bulan.

d.   Bobot panen sekitar 800 gram.

e.    Tingkat kematian sebesar 2%.

f.     Biaya lain-lain.

Anggap saja harga bibit ayam kampung jenis super sebesar Rp. 8000 x 150 ekor ayam kampung, hasilnya adalah modal awal membeli bibit ayam sebesar Rp1,200,000, kemudian biaya pakan sekitar Rp 250.000, obat dan vitamin Rp150.000, kandang dengan lahan milik� sendiri R7.500.000, peralatan makan dan minum ayam kampung sekitar Rp. 500.000.

Kebutuhan berikutnya adalah harga pemanas sekitar Rp. 800.000, kemudian terpal sebesar Rp 400.000, biaya lain-lain untuk memenuhi kebutuhan mendadak sebesar Rp1.000.000. Total biaya operasional seluruhnya adalah Rp.11.800.000. (Sebelas juta delapan ratus ribu rupiah).

Keuntungan dari hasil panen ayam kampung, bisa kita hitung sesuai dengan anggaran yang telah disediakan untuk usha ternak ayam kampung yang akan dan sedang kita jalani dilingkungan pondok pesantren Al-Insan.

2.    Profil Pondok Pesantren Al-Insan Cilegon

Untuk melihat profil Pondok Pesantren Al-Insan dapat dilihat pada visi, misi, para guru, sarana dan prasarana pondok pesantren dan lain-lainnya. Visi Pondok Pesantren Al-Insan adalah sebagai lembaga pendidikan Islam yang mencetak kader-kader pemimpin serta mendorong lahirnya tatanan masyarakat yang moralitasnya kuat, menuju kapasitas intelektual yang saleh dan salehah demi mengamalkan ajaran Rasulullah SAW.

Adapun misinya adalah: 1) Menanamkan akhlaqul karimah melalui pendidikan dan pembiasaan dalam kehidupan sehari-hari; 2) Mempersiapkan kader-kader santri unggulan dan berkualitas menuju terbentuknya khoiru ummah; dan 3) Mendidik dan mengembangkan kader-kader santri yang berbudi pekerti tinggi, berbadan sehat, berpengetahuan luas, dan berfikir bebas serta siap berkhidmat kepada agama, bangsa dan negara.

Visi dan misi Pondok Pesantren Al-Insan ini seirama dengan tujuan pendidikan sebagaimana diamanatkan pada Undang-undang Sistem Pendidikan Nasioanl Nomor 20 Tahun 2003.

Sebagai subsistem, pendidikan Islam mempunyai tujuan khusus yang harus dicapai, dan tercapainya tujuan tersebut akan menunjang pencapaian tujuan pendidikan nasional secara keseluruhan yang menjadi suprasistemnya (Daradjat, 2017). Dalam konteks ini, pondok pesantren merupakan pendidikan keagaman, Pendidikan keagaman adalah pendidikan khusus yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat melakukan peranan yang menurut penguasaan pengetahuan khusus tentang ajaran agama.

Untuk mewujudkan visi dan misinya, Pondok Pesantren Al-Insan mendiskripsikannya pada logo yang terdiri atas pena, buku, padi dan kapas, serta bintang tiga sebagaimana gambar di bawah ini:

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 2

 

Logo Pondok Pesantren Al-Insan

 

Pendirian Pondok Pesantren Al-Insan sebagai badan hukum berdasarkan Akta Yayasan Nomor 56� pada� Notaris Muhammad Isyah, SH dan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor 396501042012 tertanggal 28 Juli 2012, serta Surat Keputusan Menteri Agama Kota Cilegon Nomor 2806420072043007 tertanggal 3 Februari 2010.

Pondok Pesantren Al-Insan berdomisili secara hukum di Jalan Cikerai No. 10 Link. Karotek Kelurahan Kalitimbang Kecamatan Cibeber Kota Cilegon seperti terlihat pada gambar peta di bawah ini:

3.    Profil Guru Pondok Pesantren Al-Insan

Menurut data �pondok pesantren Al-Insan 2019, para guru pondok pesantren Al-Insan adalah lulusan sarjana. Mereka terdiri 12 orang. Dari jumlah tersebut, sebanyak 10 guru alumni dari Jurusan Fakultas Tarbiyah, satu orang dari Jurusan Metalurgi dan satu orang dari Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan.

Sesuai dengan Bab IV Pasal 9 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, para guru pondok pesantren Al-Insan telah memenuhi syarat dan kualifikasi peraturan tersebut. Ini artinya, secara administratif dan akademik, para guru pondok pesantren ini memenuhi standard pendidikan nasional. Guru sebagai tenaga professional memiliki peran strategis untuk mewujudkan visi penyelenggaraan pembeljaran sesuai dengan prinsip profesionalitas dan untuk mewujudkan profesionalitas guru, perlu perbaikan tata kelola guru, menjadi pertimbangan dalam menerbitkan Peraturan Pemerintah� Nomor 74 tahun 2008 tentang guru. Secara rinci, profil para guru pondok pesantren Al-Insan dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 1

Profil Dewan Guru Pondok Pesantren Al-Insan

No

Nama Lengkap

Tempat, Tanggal Lahir

JK

 

Jabatan

Pendidikan Terakhir

Jenjang

Jurusan

1.       

Abdul Gofur, ST

Serang, 05/06/1981

L

Pimpinan

S1

Teknik Metalurgi

2.       

Musyafa'ah, S.Pd.I

Lamongan, 29/08/1973

P

Guru

S1

Tarbiyah/PAI

3.       

Hayatunnufus, S.Pd.I

Serang, 21/08/1983

P

Guru

S1

Tarbiyah/ PAI

4.       

Afiyah, S.Pd.I

Serang, 06/04/1986

P

Guru

S1

Tarbiyah/ PAI

5.       

Ipah Rahmawati

Lebak, 15/11/1992

P

Guru

S1

Tarbiyah/ PAI

6.       

Farhanudin, S.Pd.I

Jakarta, 16/08/1991

L

Guru

S1

Tarbiyah/ PAI

7.       

Ina Mutmainah, S.Pd.I

Serang, 15/08/1988

P

Guru

S1

Tarbiyah/ PAI

8.       

Muhtar, S.Pd.I

Serang, 16/05/1977

L

Guru

S1

Tarbiyah/ PAI

9.       

Marhawi, S Pd.I

Serang, 30/04/1985

L

Guru

S1

Tarbiyah/ PAI

10.   

Muhlis, S.Pd.I

Serang, 09/01/1988

L

Guru

S1

Tarbiyah/ PAI

11.   

Ruslan Amin, S.Pd.I

Serang, 07/09/1985

L

Guru

S1

Tarbiyah/ PAI

12.   

M. Rebidin, S.Pd

Serang, 15/07/1987

L

Guru

S1

BK/BP

13.   

Iwan

Lampung, 26/06/1983

L

Umum

SLTA

14.   

A. Safroni

Serang, 24/11/1971

L

Umum

SLTA

 

15.   

Saefullah

Serang, 17/02/1958

L

Umum

SLTA

 

4.    Profil Santri Pondok Pesantren Al-Insan Cilegon

Meski tidak memberikan ijazah formal sebagaimana sekolah dan madrasah bagi lulusannya, Pondok Pesantren Al-Insan tetap menjadi destinasi masyarakat. Hal ini terbukti dengan minat masyarakat Kota Cilegon Provinsi Banten khusunya, dan daerah lain-lainnya, yang belajar di pondok pesantren ini. Selama tiga tahun terakhir, warga masyarakat yang belajar di Pondok Pesantren Al-Insan kurang lebih 36-49 anak yang mendaftar per tahunnya.� Secara terperinci, santri yang belajar di pesantren ini dapat dilihat pada tabel dan gambar berikut

Tabel 4.2.

Profil Santri Pondok Pesantren Al-Insan

 

No

 

Tahun

 

Tingkatan

Jenis Kelamin

Jumlah

L

P

1.       

2017

Ula

6

5

11

2.       

 

Wustho

12

12

24

3.       

 

Ulya

-

4

4

4.       

2018

Ula

8

8

16

5.       

 

Wustho

12

8

20

6.       

 

Ulya

-

11

11

7.       

2019

Ula

5

5

10

8.       

 

Wustho

7

3

10

9.       

 

Ulya

3

13

16

10.   

 

Jumlah

53

76

129

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Dalam kehidupan sehari-hari, para santri hidup seperti saudara sanak famili, berbaur dalam satu keluarga sepenangungan. Kebersamaan (berjama�ah) dan kepedulian antar santri menjadi prinsip utama dalam pesantren Al-Insan. Oleh karena itu pula, jiwa social menjadi nilai spiritual mereka dalam menghadapi segala tantangan dan masa depan hidup mereka.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 3

Santriwan dan santriwati berkumpul bersama di halaman Masjid Pondok Pesantren

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 4

Para santri usai belajar ternak kambing etawa

 

5.    Sarana Prasarana dan Pendanaan Pendidikan Pondok pesantren Al-Insan Cilegon

Untuk menunjang dan mendukung kegiatan pembelajaran, Pondok Pesantren Al-Insan menyediakan sejumlah sarana dan prasarana bagi para ustadz dan santrinya sebagai berikut: masjid/mushala, asrama, ruang kelas, kantor usaha, laboratorium wirausaha, kamar mandi, dapur, bengkel, dan sebagainya. Semua pondok pesantren di Indonesia� termasuk di Cilegon Provinsi Banten adalah merupakan lembaga swasta, di mana kemandirian menjadi salah satu cirri utamanya, tujuan pendidikan pondok pesantren bukanlah mengejar kepentingan kekuasaan, uang dan keagungan dunia, tetapi ditanamkan kepada mereka bahwa belajar nyantri adalah semata-mata kewaajiban dan pengabdian ke Allah S.W.T.

Kebutuhan ekonomi pondok Pesantren Al-Insan relative kecil dan mudah, karena hanya membutuhkan sebuah tempat pertemuan sederhana, untuk acara penerimaan tamu-tamu baik wali santri, calon wali santri atau tamu lain yang memang ingi sekedar silaturrahiem dengan pihak pondok pesantren Al-Insan. Di sisi lain. sebagaimaana lazimnya pondok pesantren, pelaksanaan tugas kebersihan, keindahan, keamanan sarana prasarana pondok pesantren dikelola langsung oleh para santri dengan bimbingan para ustadznya. Mereka bertugas secara bergiliran sesuai dengan jadwal dan tempat yang telah ditentukan.

Sedangkan sumber pendanaan operasional, dan SDM, �pondok pesantren Al-Insan memiliki potensi dalam penyediaan sumber �dana operasional dan sumber daya manusia pondok pesantren, termasuk juga� dari sumbangan santri, yang berkualitas, ulet, sabar, jujur, dan tekun dan dari santri (wali santri) yang didukung oleh amal usaha, kemudian sumbangan dari pemerintah dan sumbangan masyarakat, karena tujuan dari pesantren Al-Insan menyelenggarakan kewirausahaan itu adalah menumbuhkan jiwa usaha santri, sehingga santri dapat menciptakan usaha-usaha baru di bidang pertanian, peternakan, pemanfatan hasil limbah dijadikan� biogas untuk memasak di linkungan pesantren Al-Insan, dan 1 (satu) tahun terahir ini pondok pesantren Al-Insan� juga dipercaya untuk mengembangkan warung wakaf, yang diinisiasi oleh Global wakaf dan Aksi Cepat Tanggap (ACT), yang salah satu tujuannya adalah memberantas kemiskinan dan mengembangkan perkembangan bagi kemaslahatan umat.

Pendanaan terkait dengan anggaran pembiayaan pesantren baik yang menyelanggrakan kewirausahaan maupun yang tidak, sebenarnya berdasarkan amanat Peraturan Menteri Agama nomor: 13 tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Islam pasal 53 yaitu pembiayaan oendidikan keagmaan� Islam bersumber dari; penyelenggara, pemerintah, pemerintah daerah,masyarakatm dan/atau sumber lainyang sah.

6.    Sistem dan Kurikulum Pondok Pesantren Al-insan Cilegon

Sebagai pesantren salaf, Pesantren Al-Insan pada awal� berdirinya hanya mendidik dan mengajarkan kepada santri-santrinya ilmu-ilmu keagamaan (al-�ul�m al-d�niyah) seperti Ilmu-ilmu Alquran, Tafsir, Hadis, Ush�l Fiqh, Fikih, dan ilmu-ilmu bahasa Arab seperti Nahwu, Sharf, Balaghah, dan lain-lainnya. Kurikulum merupakan alat yang sangat penting dalam keberhasilan dalam suatu pendididkan termasuk di dalamnya pendidikan pesantren Al-Insan, tanpa adanya kurikulum yang baik dan tepat maka akan sulit dalam mencapai� tujuan dan sasaran pendidikan pondok pesantren yang telah dicita-citakan� oleh suatu lembaga pendidikan pesantren yang merupakan pendidkan non formal, karena segala sesuatu harus ada manajemennya, bila ingin menhasilkan sesuatu yang baik, sesuai dengan apa yang di harapkan.

Karena itu pula, buku atau kitab yang dijadikan referensi dan kurikulum dalam kegiatan pembelajaran santri adalah kitab-kitab berbahasa Arab, baik yang ditulis ulama Timur Tengah maupun yang ditulis ulama Indonesia.

Dalam kegiatan pembelajaran, di pesantren Al-Insan,� kyai pesantren mempunyai peran sentral dalam merumuskan dan menyusun kurikulum. Kendati demikian, pembelajaran kitab-kitab di pondok pesanten Al-Insan disusun berdasarkan kebutuhan masyarakat. Secara umum kurikulum pesantren disususn berkenaan dengan ibadah dan muamalah (interaksi) dengan masyarakat, serta kompetensi yang dimiliki kiai.

Dilihat dari aspek kompetensinya, kurikulum Pondok Pesanten Al-Insan terdiri dari atas kurikulum intrakurikuler, kokurikuler dan ekstrakurikuler. Kurikulum intrakurikuler bersifat khusus, yaitu kurikulum yang mengajarkan materi-materi kejuruan santri. Sedangkan kurikulum intrakurikuler merupakan kurikulum campuran, di mana santri belajar semua bidang keilmuan agama dari mulai fikih, hadist, tafsir juga tauhid. Fokus penekanan kurikulum kokurikuler pondok pesanten salafi khusus juga salafi campuran adalah beberapa bidang ilmu alat yang meliputi; ilmu nahwu, ilmu saraf, ilmu balaghah.

Adapun kurikulum ekstrakurikuler merupakan kurikulum tambahan (nafilah). Kurikulum ini harus dipilih para santri agar mereka dapat menyalurkan bakat dan minatnya. Kurikulum ini meliputi kegiatan nasyid, marawis, jam�iyah al-qurra� tahlilan. Selain kegiatan yang bersifat soft skill, pesantren juga memberikan beberapa keahlian lain seperti menjalankan praktek program warung wakaf, BLK (Balai latihan Kerja)� dari Kementerian Tenaga kerja (Kemenaker), mengelas, beternak, dan lain-lainnya.

Waktu yang digunakan dalam proses pembelajaran adalah setelah shalat Subuh, tepatnya pagi hari sekira pukul 07.00 samapai menjelang waktu Dzuhur pukul 12.00 hingga waktu shalat Ashar. Kemudian proses belajar dilanjutkan pada malam hari setelah salat Isya sampai pukul 22.00.

Adapun metode pembelajaran kurikulum kurikuler dilakukan dengan tiga cara, yaitu bandongan, sorogan,dan hafalan. Metode bandongan merupakan metode pembelajaran dengan berpusat pada guru (guru yang aktif dan santri pasif) di mana para santri dengan duduk di sekeliling guru (kiai) yang membaca kitab dan santri menyimak masing-masing kitab dan mencatat jika dipandang perlu. Metode sorogan adalah metode pembelajaran dimana santri menghadap guru secara satu persatu dengan membawa kitab yang dipelajari. Adapun metode pembelajaran dengan hafalan berlangsung di mana santri menghafal teks atau kalimat tertentu dari kitab yang dipelajarinya. Kendati demikan, para santri tingkat tinggi (uly�) juga diajarkan metode Bahtsu al-Masa�il. Yaitu membahas hal-hal yang bersifat furu�iyah, bukan ushuliyah.

Metode sorogan diterapkan untuk materi penunjang seperti ilmu nahwu, dan ilmu saraf, waktu pelaksanaannya adalah setelah santri melaksanakan shalat subuh, baik di rumah kiai maupun di majelis ta�lim, mengingat pesantern Al-Insan termasuk kategori atau tipologi pesantren salafiyah yang mengkaji kitab-kitab kuning, identik dengan pesantren tradisional, metode sorogan di pondok pesantren Al-Insan ini adalah sistem belajar mengaji di mana santri membaca kitab yang dikaji, sistem sorogan ini merupakan bagian pengajian yang paling sulit dari keseluruhan sistem metode pendidikan Islam tradisional, karena metode sorogan memerlukan kesabaran ketekunan, kerajinan, ketatandan disiplin dari santri itu sendiri, dan metode sorogan ini merpakan cirikhas pesantren salafiyah, sehingga metode sorogan ini seperinya sangat dipertahankan� oleh umumnya pesanteren salafiyah termasuk di dalam nya pesantren Al-Insan.

Sementara metode bandongan atau� wetonan adalah metode kuliah, di mana para santri mengikuti pengajian/pelajaran dengan duduk di sekeliling kiai yang menerangkan secara kuliah, santri menyimak kitab masimg-masing dan membuat catatan padanya,� istilah wetonan berarti dalam bahasa jawa Banten adalah waktu, yang berarti pengajian ntersebut diberikan pada waktu-waktu tertentu, yaitu dilakukan� sebelum atau setelah shalat fardu, biasanya pelaksanaannya dilakukan di majelis ta�lim.

 

Kesimpulan

Dari pembahasan dan temuan penelitian pada bab-bab sebelumnya, kesimpulan besar penelitian ini adalah :

Pertama, bahwa model pertumbuhan dan perkembangan pondok pesantren Al-Insan di Kota Cilegon, tumbuh dan berkembang sesuai dengan visi, misi, dan motivasi pendirian masing-masing pondok pesantren. Hal ini terjadi karena pondok pesantren Al-Insan� memang hanya dikhususkan bagi masyarakat yang berminat mendalami ilmu-ilmu agama dan tidak berorientasi mencari kerja semata. Jadi santri betul-betul didesain hanya untuk mencari tafaqquh fid din dalam mencari ridha Allah dalam menuntut ilmu.

Kedua, konsep kewirausahaan yang dikembangkan di� Pondok Pesantren Al-Insan, berbasis keimanan, keikhlasan dan profesionalitas. Kewirausahaan secara Islam ini berlandaskan keimanan pada ajaran al-Quran dan al-Hadits sebagai wujud ketaatan dan rasa tanggungjawab kepada Allah SWT.

Dalam berwirausaha,� Pondok Pesantren Al-Insan kyai dan ustadz-ustadznya membimbing kepada santri-santrinya untuk mengosongkan diri dari niat-niat yang tidak baik, semata-mata karena Allah (ikhlas). Pondok Pesantren Al-Insan tersebut� penulis menemukan telah melakukan pengembangan usaha secara professional. Terbukti bahwa Pondok Pesantren tersebut, semakin tumbuh dan berkembang dalam mengembangkan kewirausahaannya.

Ketiga, bahwa jenis-jenis� usaha kewirausahaan yang dikembangkan di Pondok Pesantren Al-Insan adalah pertanian, peternakan, pemanfatan limbah kotoran ternak menjadi biogas untuk memasak, bengkel las, dan membuka warung wakaf. Pondok Pesantren Al-Insan mempunyai kontribusi dan pengaruh yang positif bagi santri, masyarakat Kota Cilegon dan masyarakat lain pada umumnya. Hal tersebut terbukti dengan kian tumbuh dan bertambahnya unit usaha Pondok Pesantren. Selain itu, kepercayaan dari berbagai pihak yang melakukan kerjasaman dengan Pondok Pesantren merupakan bukti lain kemajuan, peran dan dedikasi sosial ekonomi Pondok� Pesantren kepada masyarakat. Sebagai lembaga pendidikan Islam, Pondok Pesantren Al-Insan� pun tidak meninggalkan dan menanggalkan peran intinya sebagai pencetak kader-kader ulama yang ahli dalam� agama.

Temuan-temuan di atas membuktikan, bahwa Pondok Pesantren Al-Insan merupakan satu dari sekian agen perubahan (agent of change) terpercaya bagi kehidupan sosial masyarakat, pembawa dan penyeru umat untuk berbuat pada hal-hal yang maslahat, dan memadukan atau menyatukan urusan-urusan dunia dan urusan� akhirat.

Uraian dan kesimpulan penelitian ini meneguhkan, tak diragukan lagi bahwa Pondok Pesantren Insan mempunyai kontribusi besar terhadap pembangunan bangsa Indonesia dalam pelbagai aspeknya, terutama pembangunan jiwa bangsa Indonesia

 

Bibliografi

 

Aboebakar, H. (1957). Sedjarah hidup KHA Wahid Hasjim dan karangan tersiar. Panitya Buku Peringatan Almarhum KHA Wahid Hasjim.

 

Agustini, Murni, Riswanda, Riswanda, & Fuad, Anis. (2017). Strategi pemerintah kota cilegon menuju cilegon smart city. Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

 

Bruinessen, Martin van. (1995). Kitab kuning, pesantren dan tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia. Bandung: Mizan, 17.

 

Daradjat, Zakiah. (2017). Ilmu pendidikan islam.

 

Daulay, H. Haidar Putra. (2018). Sejarah Pertumbuhan & Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. Kencana.

 

Hakim, Lukmanul. (2018). Peran Forum Komunikasi Majlis Ta�lim (Fkmt) Dalam Pembangunan Kota Cilegon (Studi di Kota Cilegon). Universitas Islam Negeri" Sultan Maulana Hasanuddin" Banten.

 

Hasymy, Ali. (1981). Sejarah masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia. Alam�arif.

 

Ismail, S. M., Huda, Nurul, & Kholiq, Abdul. (2002). Dinamika Pesantren dan Madrasah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.

 

Moleong, Lexy J. (2012). Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung. Pariwisata Pedesaan Sebagai Alternatif Pembangunan Berkelanjutan (Laporan Penelitian Hibah Bersaing Perguruan Tinggi) Yogyakarta.

 

Pawawoi, Andi. (2009). Analisis Kedip Tegangan (Voltage Sags) Akibat Pengasutan Motor Induksi Dengan Berbagai Metode Pengasutan Studi kasus di PT. Abaisiat Raya. Jurnal Teknika, Universitas Andalas, 1(32).

 

Tolib, Abdul. (2015). Pendidikan di pondok pesantren modern. Ris�lah, Jurnal Pendidikan Dan Studi Islam, 2(1), 60�66.

 

Zuhairini, Zuhairini. (2004). Sejarah Pendidikan Islam. Bumi Aksara.