pISSN: 2723 - 6609 e-ISSN : 2745-5254
Vol. 4, No. 7, Juli 2023 http://jist.publikasiindonesia.id/
Doi : 10.59141/jist.v4i7.652 844
REPRESENTASI PEREMPUAN DI DPR-RI: STUDI PERBANDINGAN
SULAWESI UTARA DAN KEPULAUAN BANGKA BELITUNG
Dinda Rembulan
Universitas Indonesia Depok, Indonesia
*Correspondence
INFO ARTIKEL
ABSTRAK
Diterima
: 30-06-2023
Direvisi
: 13-07-2023
Disetujui
: 14-07-2023
Penelitian ini membahas tentang fenomena representasi perempuan di
lembaga legislatif dengan merujuk pada perbandingan kasus di provinsi
Sulawesi Utara dengan provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Adapun,
perspektif teoritis yang dapat digunakan untuk menganalisis hal
tersebut didasarkan pada konsepsi dari Anne Phillips yang menjelaskan
tentang konsep representasi jender dengan menitikberatkan pada
pemahaman terhadap dua konsep utama, yakni “politics of presence”
(siapa yang merepresentasikan) dan “politics of ideas” (apa yang
direpresentasikan). Menyangkut pada anggapan bahwa eksistensi
perempuan dalam parlemen akan menjadikannya turut
memperjuangkan kepentingan-kepentingannya, seperti yang salah
satunya dapat dilihat dari kebijakan-kebijakan yang sensitif terhadap
jender. Sedangkan terakhir adalah kecenderungan di mana melalui
eksistensinya dalam politik, perempuan diproyeksikan akan
memberikan pendapat atau warna yang berbeda dalam setiap kebijakan
maupun keputusan yang akan diambil. Sementara itu, penelitian ini
diproyeksikan menggunakan metode kualitatif dengan didukung teknik
wawancara mendalam dan studi literatur untuk memperoleh data. Hasil
dari penelitian ini memperlihatkan bahwa ketika berhasil terpilih
sebagai anggota DPR, sosok Hillary Brigitta Lasut melakukan
simbolisasi sebagai perwakilan perempuan provinsi Sulawesi Utara
serta turut mendorong dan memperjuangkan sejumlah isu yang
berkaitan dengan perempuan, seperti dalam aspek partisipasi dan
pencalonan diri, kesetaraan jender, kepentingan perempuan serta
memberikan pendapat dalam setiap kebijakan maupun keputusan yang
akan diambil oleh parlemen.
ABSTRACT
This research discusses the phenomenon of women's representation in
the legislature by referring to a comparison of cases in North Sulawesi
province and Bangka Belitung Islands province. The theoretical
perspective that can be used to analyze this is based on the conception
of Anne Phillips who explains the concept of gender representation by
focusing on understanding the two main concepts, namely "politics of
presence" (who represents) and "politics of ideas" (what is
represented). The former relates to the assumption that the presence of
women in parliament will make them fight for their interests, as can be
seen in gender-sensitive policies. While the last is the tendency where
through their existence in politics, women are projected to provide
different opinions or colors in every policy and decision that will be
taken. Meanwhile, this research is projected to use qualitative methods
supported by in-depth interview techniques and literature studies to
obtain data. The results of this study show that when successfully
elected as a member of the House of Representatives, the figure of
Hillary Brigitta Lasut symbolized as a representative of North Sulawesi
provincial women and helped encourage and fight for a number of
issues related to women, such as in the aspects of participation and
self-nomination, gender equality, women's interests and giving opinions
Kata kunci: Representasi
Perempuan; Lembaga
Legislatif; DPR-RI; Dapil
Sulawesi Utara; Dapil
Kepulauan Bangka Belitung.
Keywords: Women's
Representation; Legislative
Institution; DPR-RI; North
Sulawesi constituency; Bangka
Belitung Islands constituency.
Representasi Perempuan Di DPR-Ri: Studi Perbandingan Sulawesi Utara Dan Kepulauan
Bangka Belitung
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 6, Juni 2023 845
in every policy and decision to be taken by the parliament.
Attribution-ShareAlike 4.0 International
Pendahuluan
Pemilu dalam negara yang demokratis perlu diselenggarakan dalam nuansa yang
transparan serta menjunjung tinggi kebebasan berpendapat, dan berorganisasi
masyarakat (Rohmatillah, Sa’diyin, & Zaini, 2023). Dalam rangka menyampaikan
partisipasi dan aspirasi masyarakat, penting untuk melaksanakan pemilihan umum yang
berlangsung secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Pemilihan umum
menjadi suatu kebutuhan ketika jumlah penduduk menjadi terlalu besar untuk
menerapkan sistem demokrasi langsung seperti yang ada pada zaman Yunani kuno.
Dalam hal ini, diperlukan pengiriman perwakilan yang akan mewakili masyarakat
dalam melakukan musyawarah dan pengambilan keputusan (Ardiansa, 2016). Pemilihan
umum juga merupakan cara yang paling damai untuk mengatasi perbedaan dan
kepentingan yang ada dalam masyarakat yang terbagi-bagi. Melalui proses pemilihan,
terjadi persaingan antara partai politik dan calon kepala pemerintahan di tingkat
nasional, regional, lokal, dan bahkan tingkat yang lebih rendah seperti desa, rukun
warga, dan rukun tetangga (Tadanugi, 2020). Selain itu, pemilihan umum juga
merupakan proses untuk memilih calon yang akan menduduki posisi eksekutif, seperti
Presiden, Wakil Presiden, Gubernur, Wakil Gubernur, Walikota, Wakil Walikota,
Bupati, dan Wakil Bupati. Selain itu, pemilihan umum juga menentukan wakil rakyat
yang akan mengisi posisi legislatif, seperti DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, DPRD
Kota, dan DPRD Kabupaten. Dalam rangka memastikan kehadiran wakil yang mewakili
secara proporsional, Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2003 yang mengamanatkan partai politik untuk mencalonkan setidaknya 30% calon
perempuan dalam setiap daerah pemilihan legislatif. Terlebih, praktik yang sering
dikenal dengan istilah affirmative action ini setidaknya telah mencuat untuk pertama
kalinya sejak diterapkan pada pemilu 2004 hingga pemilu tahun 2019 kemarin (Hervina,
Hertanto, & Warganegara, 2021).
Pendukung kuota perempuan minimal 30% dalam pemilihan umum memiliki
argumen yang kuat, seperti perempuan yang telah mencapai prestasi di berbagai bidang,
namun masih menghadapi kendala akses yang terbatas dalam dunia politik. Hal ini
menyebabkan kurangnya perhatian terhadap perspektif perempuan dalam pengambilan
keputusan politik. Akibatnya, perempuan mengalami keterasingan dalam proses
pengambilan keputusan, sehingga penting untuk mendorong kehadiran perempuan
dalam proses tersebut. Pendapat lain yang signifikan dalam mendukung kuota
perempuan minimal 30% adalah bahwa setiap kebijakan pemerintah memiliki dampak
yang berbeda antara warga negara perempuan dan warga negara laki-laki. Salah satu
contoh kebijakan yang penting untuk perempuan adalah kebijakan terkait hak
reproduksi (seperti akses ke aborsi, program keluarga berencana, penanganan kekerasan
Dinda Rembulan
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 7, Juli 2023 846
berbasis gender, dan upaya mengurangi angka kematian ibu saat melahirkan) yang dapat
memengaruhi kemandirian perempuan secara keseluruhan. Kedua, kebijakan yang
menyangkut relasi antara laki-laki dan perempuan seperti masalah perkawinan,
perceraian, kekerasan dalam rumah tangga yang masih menjadi catatan besar. Selain itu,
ada juga kebijakan yang dianggap netral namun memiliki dampak yang berbeda bagi
perempuan, seperti kebijakan terkait pekerja migran, industrialisasi, konflik bersenjata,
dan berbagai isu lainnya.
Namun, dalam kenyataannya, implementasi kebijakan kuota afirmatif 30 persen
untuk meningkatkan representasi perempuan di lembaga legislatif masih menghadapi
kendala yang menghalangi pencapaian yang maksimal. Hal ini menjadikan masalah ini
sebagai salah satu isu fundamental dalam upaya mewujudkan kesetaraan gender yang
lebih nyata dan konkret. Hal ini setidaknya dapat dilihat dari belum tercapainya kuota
afirmatif minimal 30 persen dalam lembaga legislatif di Indonesia. Dalam hal
keterwakilan perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), tren dari waktu ke waktu
menunjukkan bahwa kuota afirmatif minimal 30 persen belum berhasil dicapai
sepenuhnya. Meskipun terjadi peningkatan pada beberapa periode, namun masih
terdapat kesenjangan antara target kuota dan kenyataan yang ada, seperti yang terlihat
dalam tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1
Tren Keterwakilan Perempuan di DPR-RI Periode 1955-2019
No.
Periode
Persentase
1.
1955-1956
6,3%
2.
Konstituante 1956-1959
5,1%
3.
1971-1977
7,8%
4.
1977-1982
6,3%
5.
1982-1987
8,5%
6.
1987-1992
13%
7.
1992-1997
12,5%
8.
1997-1999
10,8%
9.
1999-2004
9%
10.
2004-2009
11,09%
11.
2009-2014
18,03%
12.
2014-2019
17,32%
13.
2019-2024
20,52%
Sumber: Diolah dari berbagai sumber
Representasi Perempuan Di DPR-Ri: Studi Perbandingan Sulawesi Utara Dan Kepulauan
Bangka Belitung
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 6, Juni 2023 847
Sementara itu, tren berbeda justru ditunjukkan dalam keterwakilan perempuan di
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di mana pada pemilu tahun 2019 tercatat berhasil
mencapai kuota afirmatif minimal 30 persen (yang sebagaimana dapat dilihat pada tabel
2 di bawah ini).
Tabel 2
Tren Keterwakilan Perempuan di DPD-RI Periode 2004-2019
Periode
Persentase
2004-2009
21,09%
2009-2014
26,52%
2014-2019
25,76%
2019-2024
30,88%
Sumber: Dataspasial.id dan Cakra Wikara Indonesia, 2020.
Berdasarkan data yang terlihat dalam tabel 1 dan 2, terlihat bahwa tren
keterwakilan perempuan di lembaga legislatif telah mengalami peningkatan yang
mendekati angka kuota afirmatif minimal 30 persen. Tren peningkatan tersebut juga
terlihat nyata dalam konteks provinsi Sulawesi Utara. Pada pemilihan legislatif tahun
2019, terutama di DPR tingkat provinsi, Sulawesi Utara berhasil memiliki empat
perwakilan perempuan dari total enam anggota dewan yang mewakili daerah pemilihan
provinsi Sulawesi Utara. Dari keempat perempuan tersebut, salah satu yang menarik
untuk diperhatikan adalah Hillary Brigitta Lasut. Selain masih muda, Hillary juga
merupakan figur baru yang berhasil muncul dalam dunia politik di Sulawesi Utara.
Dengan menjadikannya sebagai studi kasus, jurnal ini akan mengulas secara lebih
mendalam mengenai bagaimana sepak terjang Hillary Brigitta Lasut sebagai salah satu
politisi perempuan di dalam merepresentasikan dan mengadvokasi isu serta kepentingan
kaum perempuan di lembaga legislatif (Jovani, 2020).
Metode Penelitian
Dalam pengumpulan data, penelitian ini menggunakan metode penelitian
kualitatif, yang mana bila merujuk pada pandangan dari John W. Creswell dapat
dipahami sebagai sebuah metode dalam penelitian ilmiah yang ditujukan untuk
mengeksplorasi permasalahan yang berkaitan dengan kehidupan manusia maupun
aspek-aspek sosial, sehingga tidak bias dengan proses generalisasi yang biasanya terjadi
pada metode penelitian lainnya.
Hasil dan Pembahasan
Penelitian dari (Gusmansyah, 2019) menunjukkan bahwa persoalan yang terkait
dengan aspek kesetaraan jender tidak dapat dipisahkan dari substantif pemahaman
Dinda Rembulan
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 7, Juli 2023 848
tentang kebijakan jender yang tersedia. Hal ini dikarenakan dalam konteks proses
demokratisasi yang berlangsung, representasi dan akuntabilitas merupakan prasyarat
mutlak yang harus dipenuhi di dalam mengupayakan terciptanya demokrasi yang
berkualitas. Namun, masih kuatnya keyakinan dan ide-ide yang membatasi ruang gerak
perempuan untuk terlibat dalam politik nyatanya masih menjadi faktor hambatan yang
efektif di dalam mewujudkan aspek kesetaraan jender secara konkret. Bahkan,
kemunculan terminologi-terminologi seperti konsep dan peran jender, publik, privat
hingga adanya stereotype terhadap isu-isu jender justru turut menyebabkan persoalan
ketidaksetaraan dan ketidakadilan antara perempuan dan laki-laki menjadi kian nyata di
mana akibatnya dapat dilihat dari terciptanya marjinalisasi dan perlakuan secara
diskriminatif terhadap perempuan di dalam ruang-ruang politik formal.
Jika melihat persoalan keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif pada
pemilu-pemilu yang telah dilangsungkan, dapat dikatakan bahwa hal itu masih belum
menunjukkan perbaikan ke arah yang lebih progresif, sekalipun terjadi peningkatan dari
segi persentase (Niron & Seda, 2020). Hal ini dinyatakan oleh Eusabius Separera Niron
& Asterius Bata Seda (2021) yang menunjukkan bahwa tren angka representasi
perempuan pada daftar calon tetap anggota legislatif tampaknya tidak jauh berbeda dari
pemilu-pemilu legislatif sebelumnya, sekalipun secara keseluruhan semua partai politik
sudah berusaha menerapkan kebijakan afirmasi berupa pencalonan perempuan minimal
30 persen dalam daftar calon anggota legislatif. Menurut Niron & Seda, partai politik
belum menunjukkan komitmen yang kuat terhadap isu afirmasi perempuan. Hal ini
terlihat dari sedikitnya jumlah perempuan yang ditempatkan di nomor urut satu, hanya
sebanyak 235 orang atau 19 persen. Sementara itu, jumlah perempuan terbanyak
ditempatkan di nomor urut tiga, yaitu sebanyak 781 orang atau 67 persen, dan di nomor
urut enam sebanyak 572 orang atau 65 persen. Bahkan, upaya-upaya peningkatan
keterwakilan perempuan pada pemilu legislatif 2019 tampaknya masih menjadi sebuah
persoalan yang relatif serius karena disebabkan oleh sejumlah faktor, seperti kaderisasi
yang dilakukan oleh partai politik cenderung instan sehingga tidak berkontribusi
terhadap peningkatan kapabilitas dan kapasitas perempuan dalam berkontestasi,
mayoritas partai politik masih melakukan proses pencalonan secara tertutup, sehingga
berakibat pada rendahnya keterwakilan perempuan, hingga lemahnya dukungan
finansial untuk perempuan yang akhirnya membuat ruang persaingan antara caleg
perempuan dan caleg laki-laki menjadi tidak setara (Niron & Seda, 2020).
Sementara itu, temuan penelitian dari (Darmansyah & Sartika, 2021) Hal ini
menunjukkan bahwa meskipun Partai Persatuan Pembangunan (PPP) telah
menunjukkan komitmennya untuk meningkatkan partisipasi dan keterwakilan
perempuan di DPRD Kota Dumai dalam periode 2019-2024, upaya tersebut belum
secara langsung menghasilkan peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen.
Hal itu mengingat tidak ada satu pun caleg perempuan yang berhasil terpilih
sebagai anggota DPRD Kota Dumai periode 2019-2024 (Darmansyah & Sartika, 2021).
Kondisi yang relatif sama juga dapat dijumpai dalam kasus di Bangka Belitung yang
sebagaimana diungkapkan oleh (Ranto & Zulkarnain, 2023) di mana diperlihatkan
Representasi Perempuan Di DPR-Ri: Studi Perbandingan Sulawesi Utara Dan Kepulauan
Bangka Belitung
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 6, Juni 2023 849
Politisi perempuan yang berhasil terpilih sebagai anggota legislatif di daerahnya
seringkali tidak memiliki kesempatan untuk menduduki jabatan politik yang strategis.
Pengalaman di Bangka Belitung menunjukkan dampak positif dari keberhasilan
perempuan dalam berkompetisi, tetapi juga mencatat beberapa tantangan yang perlu
dikritisi. Pertama, partisipasi perempuan dalam politik tidak hanya sekadar memenuhi
kuota perempuan, tetapi juga melibatkan mereka sebagai kandidat yang aktif. Kedua,
hasil dari pemilihan umum legislatif tahun 2019 harus digunakan sebagai momentum
untuk memberikan kesempatan kepada perempuan yang terpilih untuk menduduki
posisi penting di tingkat kepemimpinan politik di wilayah legislatif.
Perempuan di negara-negara Asia Tenggara seperti Kamboja, Filipina, Malaysia,
Indonesia, dan Timor-Leste menghadapi tantangan yang relatif serupa dalam partisipasi
politik. Salah satu tantangan tersebut adalah apakah keterwakilan perempuan dalam
lima negara tersebut hanya bersifat deskriptif atau sudah mencapai tingkat substansial,
serta apakah indikator deskriptif yang ada sudah memadai untuk mencapai pencapaian
substansial dalam partisipasi politik perempuan.
Kedua tantangan tersebut memerlukan kerjasama dan sinergi antara pemerintah,
partai politik, dan gerakan masyarakat sipil, terutama gerakan perempuan dalam
melakukan upaya politik yang sejalan. Ketidakharmonisan dalam hubungan antara
pemerintah, partai politik, dan gerakan masyarakat sipil menjadi hambatan utama dalam
mencapai keterwakilan perempuan yang substansial. Untuk mencapai keterwakilan
perempuan yang substansial, penting untuk menyadari bahwa identitas perempuan tidak
seragam, sehingga kepentingan perempuan juga beragam. Dalam penelitian ini, terlihat
adanya peningkatan dalam cara pandang dan praktik keterwakilan politik perempuan,
namun masih ada dominasi identitas perempuan yang terlalu seragam. Dalam mencapai
keterwakilan politik yang substansial, yang menjadi hal terpenting adalah adanya
keterikatan antara perempuan di parlemen dengan masyarakat yang mereka wakili.
Menurut (Ballington, 2011), Penerimaan terhadap perspektif perempuan dan
partisipasi aktif perempuan dalam politik dianggap sebagai prasyarat bagi pembangunan
demokrasi dan berkontribusi pada penguatan tata kelola yang baik (good governance).
Partai politik memiliki peran sentral dalam mendorong inisiatif pemberdayaan
perempuan melalui partisipasi mereka yang luas. Hal ini memiliki manfaat politik dan
keuangan dalam siklus pemilihan. Dengan menerapkan reformasi yang transparan dan
resmi untuk mendukung partisipasi perempuan, partai politik memiliki potensi untuk
mengubah persepsi publik, memperluas basis dukungan, dan meningkatkan citra mereka
baik di tingkat nasional maupun internasional. Keuntungan politis dan praktis yang
mungkin mereka peroleh termasuk mendapatkan basis dukungan baru, menarik anggota
baru, menarik pendanaan publik ke partai, dan meningkatkan reputasi mereka di mata
negara lain.
Di samping itu, pentingnya peranan partai politik di dalam mendorong
keterwakilan perempuan setidaknya juga dikemukakan oleh (Syahputa, Darkasyi, &
Ahmady, 2021). Menurut mereka, peran partai politik dalam menjamin keterwakilan
perempuan pada lembaga legislatif relatif berhasil dilakukan oleh Partai Aceh. Dengan
Dinda Rembulan
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 7, Juli 2023 850
mengupayakan partai sebagai pendorong keterwakilan perempuan di legislatif dan juga
peran yang dilakukan partai untuk mengusung perempuan di wilayah dapil strategis,
kemudian ditemukan beberapa faktor yang mempengaruhi pemenangan dari calon
perempuan yaitu pengaruh figur dibelakang calon legislatif perempuan, kesolidan tim
sukses dan faktor finansial. Selain itu, kesimpulan dari penelitian tersebut menyatakan
bahwa upaya afirmasi untuk memastikan keterwakilan perempuan di lembaga legislatif
hanya berhasil dilakukan oleh Partai Aceh. Partai ini terlihat lebih berhasil dalam
mendorong persiapan kader perempuannya untuk berpartisipasi dalam politik. Adapun
faktor pemenangan caleg perempuan terpilih didasari oleh pengaruh figur dibelakang
dari perempuan yaitu orang tuanya yang seorang pengusaha dan mempunyai jaringan
politik yang cukup baik.
Selain itu, contoh kasus lainnya dapat dilihat dalam temuan penelitian dari
(Makkasau, 2016) yang menunjukkan bahwa rumusan visi dan misi Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan secara umum dinilai sangat berpihak kepada perempuan karena
tidak adanya perbedaan antara kaum laki-laki dan kaum perempuan. Dalam
menanggapi kebijakan afirmatif tersebut, DPP (Dewan Pimpinan Pusat) mengeluarkan
surat keputusan yang mewajibkan adanya keterwakilan perempuan sebesar 30% dalam
proses pencalonan. Hal ini menunjukkan responsivitas partai terhadap kebijakan
tersebut. Akan tetapi, dalam menjalankan perannya di dunia politik, kader-kader
perempuan yang ada justru mengalami beberapa hambatan, seperti hambatan psikologi,
hambatan kultural serta hambatan ekonomi. Yang menunjukkan bentuk-bentuk
pemberdayaan yang dilakukan DPD Partai Demokrat Lampung terkait dengan
rekrutmen kader perempuan, pendidikan dan pelatihan kader, dan memberikan
dukungan administrasi. Faktor-faktor yang mendukung pemberdayaan perempuan
meliputi dukungan dari Pemerintah Lampung, dukungan dari organisasi-organisasi
perempuan yang memberikan dukungan, dan juga kekompakan internal Partai
Demokrat. Sementara itu, hal-hal yang menjadi faktor penghambatnya adalah terkait
dengan kurangnya minat perempuan berpolitik, kurangnya pemahaman perempuan
terkait politik, dan perempuan memiliki waktu yang lebih pendek dibandingkan laki-
laki.
Di samping itu, temuan serupa juga dapat dilihat dalam penelitian (Fernandez,
Darsono, & Sulistyani, 2022) Partisipasi perempuan dalam partai politik terjadi dalam
skala yang sangat tinggi, mencakup kegiatan seperti kepengurusan, pertemuan
organisasi, pemberian suara, kampanye, diskusi politik, dan rapat umum. Perempuan
secara aktif terlibat dalam berbagai kegiatan politik yang dilakukan oleh partai politik.
Akan tetapi, persoalan fundamental dari politik perempuan adalah terkait dengan
adanya ketidakadilan yang lahir akibat adanya kesenjangan yang terjadi antara hak
politik perempuan dan peran serta posisi politiknya dengan hak politik dan peran politik
laki-laki. Peran perempuan dalam partai politik saat ini masih terbatas pada keanggotaan
dalam struktur kepengurusan. Namun, perempuan di partai politik juga menghadapi
sejumlah kendala. Beberapa masalah yang sering dihadapi termasuk akses terhadap
pendidikan dan pekerjaan, isu keadilan dan kesetaraan gender, tanggung jawab
Representasi Perempuan Di DPR-Ri: Studi Perbandingan Sulawesi Utara Dan Kepulauan
Bangka Belitung
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 6, Juni 2023 851
domestik yang berlebihan, pengaruh budaya patriarki yang memengaruhi peran
perempuan, faktor agama, serta pengaruh hubungan kekeluargaan. Masalah-masalah ini
umumnya dihadapi oleh perempuan dalam partai politik, baik itu di partai Golkar, PPP,
maupun PDIP. Hal ini menyebabkan terlihat bahwa banyak perempuan yang enggan
terlibat dalam urusan partai. Selain itu, kendala lain yang sering muncul di beberapa
partai adalah adanya diskriminasi terhadap perempuan serta ketidakadilan yang dialami
oleh perempuan dalam lingkungan partai politik.
Perlawanan perempuan terhadap dominasi laki-laki tidak bisa dipisahkan dari
sistem patriarki yang tidak adil. Hal ini disebabkan oleh kecenderungan untuk
memandang perempuan sebagai makhluk yang rendah atau dianggap lebih lemah
dibandingkan laki-laki dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam skala pribadi,
keluarga, masyarakat, dan dalam konteks politik negara.
Budaya patriarki dan norma sosial di Indonesia memberikan tekanan kepada
perempuan untuk tidak terlibat dalam politik dan pemerintahan. Namun, kebijakan
pemerintah terkait isu perempuan semakin responsif terhadap perspektif jender. Namun,
perempuan tetap berada dalam posisi yang rentan terhadap berbagai bentuk manipulasi
politik dan seringkali dimanfaatkan sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaan. Pasal 27
ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan
bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang setara sebagai warga negara.
Kuota minimal 30% keterwakilan perempuan diterapkan dalam Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Ketidakseimbangan gender dalam sektor politik
dan pemerintahan dapat menjadi penghalang bagi partisipasi perempuan dalam ruang
publik. Dalam pandangan perempuan, politik seharusnya mencakup semua aspek
kehidupan, baik di ruang publik maupun ruang pribadi. Rendahnya partisipasi politik
perempuan di Kecamatan Cibal Barat dipengaruhi oleh budaya patriarki dan stereotip
negatif yang ada dalam masyarakat. Ada pun beberapa faktor yang menjadi penghambat
atau penghalang sehingga representasi perempuan dalam politik Cibal Barat masih
rendah, seperti faktor ekonomi, faktor pendidikan, faktor kultural, faktor individu,
maupun faktor sosial masyarakat. Faktor-faktor tersebut bersifat mendasar karena itu
representasi perempuan dalam dunia politik khususnya di Kecamatan Cibal Barat belum
juga usai.
Namun, temuan berbeda justru diperlihatkan oleh penelitian dari Audra Jovani
(2018) yang menyatakan bahwa budaya patriarki tidak serta merta menjadi penyebab
dari masalah keterwakilan perempuan. Dengan merujuk pada kasus keterwakilan
perempuan di DPRD Provinsi Nusa Tenggara Timur pada pemilu legislatif 2014,
dikatakan bahwa keterwakilan perempuan NTT di lembaga legislatif patut diapresiasi,
di mana jumlah perempuan mengalami peningkatan yang signifikan pada Pemilu 2014.
Tujuh perempuan anggota legislatif di DPRD Provinsi NTT mampu menunjukkan
bahwa faktor budaya patriarki yang kuat tidak menghalangi mereka masuk dalam ranah
politik untuk mewakili konstituen dari daerah pemilihan masing-masing dan motivasi
mereka berpolitik adalah untuk memperjuangkan kepentingan dan kebutuhan konstituen
yang berkaitan dengan isu perempuan dalam kemiskinan, kesehatan ibu dan anak,
Dinda Rembulan
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 7, Juli 2023 852
pendidikan, tenaga kerja, lingkungan dan pemberdayaan ekonomi perempuan dalam
penyusunan kebijakan di parlemen. Namun demikian, terkait dengan kuota 30 persen
masih jauh dari harapan. Untuk itu diperlukan sinergitas dari elit partai politik dan
masyarakat sipil (civil society) dalam rangka mendorong dan menempatkan perempuan
potensial dalam pencalonan di setiap partai politik. Apabila jumlah perempuan semakin
banyak di lembaga legislatif maka dapat dipastikan kebijakan-kebijakan yang dihasilkan
adalah untuk kesetaraan dan kesejahteraan perempuan dan laki-laki.
Kesimpulan
Berdasarkan tiga kategori yang disebutkan di atas, peneliti menyimpulkan bahwa
persoalan keterwakilan perempuan dalam politik tetap menjadi isu yang signifikan
dalam upaya mencapai kesetaraan dan keadilan gender. Meskipun ada tren peningkatan
persentase keterwakilan perempuan dalam beberapa kasus, masih ada tantangan dalam
hal ketidakhadiran perwakilan perempuan yang gagal terpilih dalam pemilu atau tidak
diberikan kesempatan dan akses oleh partai politik. Hal ini disebabkan oleh dominasi
budaya patriarki yang masih melibatkan. Hal ini pun setidaknya tercermin dalam kasus
di provinsi Kepulauan Bangka Belitung di mana sejak pemilu era Reformasi
dilaksanakan pada tahun 2004, 2009, 2014, hingga 2019, para caleg perempuan untuk
lingkup DPR-RI masih belum berhasil untuk terpilih mewakili daerah tersebut. Padahal,
jika merujuk pada daftar calon tetap anggota legislatif pada pemilu legislatif 2019 dari
provinsi Kepulauan Bangka Belitung, dapat dilihat bahwa tiap partai politik telah
menyertakan calon perempuan untuk dapat berkontestasi memperebutkan tiga kursi
perwakilan DPR-RI yang tersedia. Meskipun proporsi calon perempuan masih belum
seimbang dibandingkan dengan calon laki-laki, penelitian ini bertujuan untuk
menyelidiki secara lebih mendalam masalah ketidakseimbangan gender dan kurangnya
perwakilan perempuan di DPR-RI dari provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Penelitian
ini akan difokuskan pada konteks pemilihan umum legislatif tahun 2019.
Representasi Perempuan Di DPR-Ri: Studi Perbandingan Sulawesi Utara Dan Kepulauan
Bangka Belitung
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 6, Juni 2023 853
Biblaiografi
Ardiansa, Dirga. (2016). Menghadirkan Kepentingan Perempuan dalam Representasi
Politik di Indonesia. Jurnal Politik, 2(1), 2. https://doi.org/10.7454/jp.v2i1.82
Ballington, Julie. (2011). Empowering Women for Stronger Political Parties: A Good
Practices Guide to Promote Women’s Political Participation. United Nations
Development Programme.
Darmansyah, Ramlan, & Sartika, Ade. (2021). Representasi Perempuan dalam Politik
(Studi Pemilihan Legislatif Kota Dumai Periode 2019-2024). Journal Civics and
Social Studies, 5(1), 115.
Fernandez, Frederik, Darsono, Darsono, & Sulistyani, Utami. (2022). Affirmative
Action: Studi Tentang Keterlibatan Perempuan Dalam Partai Golongan Karya di
Kabupaten Magetan. JURNAL ILMU SOSIAL Dan ILMU POLITIK, 2(2), 120
138. https://doi.org/10.30742/juispol.v2i2.2573
Gusmansyah, Wery. (2019). Dinamika kesetaraan gender dalam kehidupan politik di
Indonesia. Jurnal Hawa: Studi Pengarus Utamaan Gender Dan Anak, 1(1).
Hervina, Ari, Hertanto, Hertanto, & Warganegara, Arizka. (2021). Keterwakilan
Perempuan pada Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Tulang
Bawang Barat pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2019. Journal of Research in
Social Science and Humanities, 1(2), 3542.
Jovani, Audra. (2020). Women’s Representation in Politics: Case Study of Women
Legislative Member in ReJovani, A. (2020). Women’s Representation in Politics:
Case Study of Women Legislative Member in Regional of Representatives Nusa
Tenggara Timur Period of 2014-2019. KnE Socia. KnE Social Sciences, 367376.
Makkasau, Andi Muhammad Ashari. (2016). Implementasi Affirmative Action Terhadap
Keterwakilan Perempuan Dalam Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten Sleman Periode 2014-2019. UII Yogyakarta.
Niron, Eusabius Separera, & Seda, Asterius Bata. (2020). Representasi politik
perempuan pada lembaga legislatif (Studi tentang pencalonan perempuan pada
pemilihan umum legislatif tahun 2019). ARISTO, 9(2), 203228.
Ranto, Ranto, & Zulkarnain, Ariandi A. (2023). Tuan Mengakselerasi Politik
Perempuan Di Parlemen: Dari Hulu Hingga Hilirisasi. Journal of Governance
Innovation, 5(1), 125143. https://doi.org/10.36636/jogiv.v5i1.2458
Dinda Rembulan
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 7, Juli 2023 854
Rohmatillah, Arman Rohmatillah, Sa’diyin, Moh, & Zaini, Ahmad Afan. (2023).
Tantangan dan Prospek: Implementasi Prinsip-Prinsip Demokrasi dalam Hukum
Tata Negara Indonesia. JOSH: Journal of Sharia, 2(2), 90100.
https://doi.org/10.55352/josh.v2i2.540
Syahputa, Wandi, Darkasyi, Muliawati, & Ahmady, Iqbal. (2021). KETERWAKILAN
POLITIK PEREMPUAN DALAM LEMBAGA LEGISLATIF (STUDI KASUS:
FAKTOR PEMENANGAN CALEG PEREMPUAN TERPILIH DPRK ABDYA
2019)”.
Tadanugi, Imanuel Natoralemba. (2020). Partisipasi Politik Masyarakat dalam
Pelaksanaan Pemilihan Umum Anggota DPRD di Kabupaten Poso Tahun 2014.
Jurnal Ilmiah Administratie, 2(2), 87113.