pISSN: 2723 - 6609 e-ISSN : 2745-5254
Vol. 4, No. 7, Juli 2023 http://jist.publikasiindonesia.id/
Doi : 10.59141/jist.v4i7.651 818
PENGARUH BUDAYA PATRIARKI TERHADAP PARTISIPASI POLITIK
PEREMPUAN DI INDIA: STUDI KASUS MAYAWATI KUNARI DAN
PERJUANGANNYA MELAWAN DISKRIMINASI POLITIK TERHADAP
PEREMPUAN DALIT
Dinita Ayu Novela
Universitas Indonesia Depok, Indonesia
*Correspondence
INFO ARTIKEL
ABSTRAK
Diterima
: 27-06-2023
Direvisi
: 13-05-2023
Disetujui
: 14-07-2023
Budaya patriarki di India sudah melekat kedalam tatanan sosial dan
politik masyarakat. Hal inilah yang menyebabkan partisipasi politik
perempuan di India sangat kecil dan kehadirannya tidak dapat
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap politik dan
pemerintahan di India. Kenyataan ini semakin diperkuat dengan adanya
sistem kasta yang secara tidak langsung mendiskriminasikan peran
perempuan terutama bagi mereka yang berasal dari kasta terendah,
yaitu Dalit. Perempuan-perempuan Dalit tidak mendapatkan akses
pendidikan yang layak, sehingga tingkat iliterasi meningkat tajam. Hal
itu lah yang menyebabkan pengetahuan politik perempuan Dalit sangat
minim. Kemudian, muncul seseorang bernama Mayawati Kunari yang
merupakan perempuan Dalit dan Ia berhasil menjadi anggota parlemen
di India karena pendidikan politik yang cukup baik. Melalui Mayawati,
nasib perempuan Dalit saat ini jauh lebih baik dan mereka mampu
menunjukkan kepada laki-laki bahwa perempuan dapat diandalkan dan
dipercaya berada dalam kursi parlemen.
ABSTRACT
The patriarchal culture in India is embedded in the social and political
fabric of society. This is why women's political participation in India is
very small and their presence cannot have a significant influence on
politics and government in India. This fact is further reinforced by the
existence of a caste system that indirectly discriminates against the role
of women, especially for those from the lowest caste, namely Dalits.
Dalit women do not get access to proper education, so the level of
illiteracy increases sharply. This is what causes Dalit women's political
knowledge to be minimal. Then, someone named Mayawati Kunari
appeared who was a Dalit woman and she managed to become a
member of parliament in India because of her good political education.
Through Mayawati, the fate of Dalit women is currently much better
and they are able to show men that women can be relied upon and
trusted to be in the parliamentary seat.
Kata kunci: Budaya Patriarki;
Dalit; India; Mayawati Kunari.
Keywords: Patriarchal
Culture; Dalits; India;
Mayawati Kunari.
Attribution-ShareAlike 4.0 International
Pendahuluan
Budaya patriarki yang secara umum diartikan sebagai dominasi peran laki-laki
terhadap perempuan mendapatkan perhatian khusus dari masyarakat yang disebabkan
oleh peranan perempuan yang semakin berkembang terutama dari sisi kehidupan sosial,
politik, maupun ekonomi (Zuhri & Amalia, 2022). Namun pada kenyataannya,
ketidaksetaraan gender menyebabkan perampasan kekuasaan di kalangan perempuan
Pengaruh Budaya Patriarki Terhadap Partisipasi Politik Perempuan Di India: Studi Kasus
Mayawati Kunari Dan Perjuangannya Melawan Diskriminasi Politik Terhadap Perempuan Dalit
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 6, Juni 2023 819
semakin terlihat dalam dunia perpolitikan India saat ini. Dapat dicontohkan dalam
kehidupan sehari-hari saja, peran perempuan India dikecualikan dalam setiap proses
pengambilan keputusan di rumah tangga (Wahyudi, 2018). Sehingga, apabila
perempuan berada dalam ranah kebijakan publik sekalipun, suara mereka tidak akan
mudah mendapatkan aspirasi dengan baik. Konstitusi di India telah mencoba untuk
menghapus ketidaksetaraan gender dengan melarang diskriminasi berdasarkan jenis
kelamin, kelas sosial, dan mengabadikan hak-hak dasar untuk semua warga negara,
namun perempuan masih memiliki akses de jure dan bukan akses terhadap hak-hak
politik secara de facto (Davis et al., 2017).
Keikutsertaan perempuan dalam setiap perpolitikan negara telah memberikan
pesan yang kuat secara global tidak hanya berkaitan dalam hal kesetaraan dan
kebebasan berekspresi, namun negara sebaiknya menyediakan ruang untuk perempuan
dalam kerangka politik yang Demokratis (Agustin, 2016). Hal tersebut yang selalu
menjadi penghalang bagi perempuan di India, meskipun negara tersebut memiliki salah
satu hukum terkuat yang menghormati martabat perempuan, jika kembali pada adat
istiadat, tatanan patriarkal, dan norma masyarakat yang selalu memperlakukan mereka
layaknya berada dibawah kedudukan laki-laki. Di satu sisi, distribusi sumber daya di
India tidak merata sehingga perempuan tidak memiliki kecukupan sumber daya, baik itu
ekonomi, material, maupun sumber daya manusia. Perempuan di India cenderung
bekerja pada sektor privat dan melarang mereka untuk bekerja di luar rumah. Dengan
begitu, kondisi finansial perempuan di India sangatlah bergantung pada pihak laki-laki
yang kemudian menjauhkan mereka pada afiliasi politik yang kuat (Alam, Alam, &
Mushtaq, 2017).
Menanggapi minimnya partisipasi politik perempuan di India, terdapat sebuah
konvensi yang mendukung peran perempuan, bernama Convention on the elimination of
All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) yang telah diratifikasi kedalam
konstitusi India tahun 1993. Dalam konteks memperjuangkan partisipasi perempuan ini,
penulis akan fokus pada peran seorang Mayawati Kunari terhadap kelompok Dalit
dalam parlemen di India (Pahlevi, 2018).
Mayawati Kunari dikenal sebagai anggota parlemen dari partai BJP (Bahujan
Shamaj Party) pada tahun 1984. Sosok Mayawati ini banyak memberikan perhatian
khusus kepada hak politik perempuan dari Kasta Dalit dalam pemerintahan di India. Hal
itu disebabkan, Mayawati merupakan perempuan Dalit pertama yang mencalonkan diri
sebagai anggota parlemen dari wilayah Uttar Pradesh. Salah satu misi utama Mayawati
adalah ingin menyetarakan kedudukan perempuan, khususnya dalit dan kelompok
minoritas melalui tindakan afirmatif dengan membuka lapangan pekerjaan dalam
pemerintahan dan membantu program-program pembangunan desa. Mayawati
menyatakan dalam sebuah jumpa pers di Lucknow bahwa Partai Kongres terlalu bias
dalam menghadapi kaum Dalit dan tidak mengusahakan apapun untuk memperbaiki
sistem kasta dalam pemerintah. Di satu sisi, Mayawati juga menginginkan Partai
Kongres agar men-sistematiskan kepemimpinan Dalit mulai dari tingkat desa
(panchayat) sampai ke tingkat parlemen.
Dinita Ayu Novela
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 7, Juli 2023 820
Berdasarkan penjelasan diatas, budaya patriarki yang sudah melekat kuat baik
dalam sektor ekonomi, sosial, dan politik kemudian menimbulkan desakan dari berbagai
kelompok minoritas di India, salah satunya adalah kelompok dalit (Athahirah & Nurdin,
2022). Hal ini dibuktikan melalui perjuangan seorang Mayawati Kunari yang
merupakan perempuan Dalit mencalonkan diri sebagai anggota parlemen dari Uttar
Pradesh. Perjuangan Mayawati di parlemen memiliki satu tujuan, yaitu menghapus
diskriminasi peran perempuan akibat budaya politik patriarki didalam parlemen. Oleh
karena itu, penulis memiliki fokus penulisan jurnal dengan judul, “Pengaruh Budaya
Patriarki terhadap Partisipasi Politik Perempuan di India: Peran Mayawati Kunari dalam
Memperjuangkan Diskriminasi Politik Perempuan. (Huda & Dodi, 2020)
Ranjana Kumari menyatakan bahwa pada abad ke-21 ini pencapaian Demokrasi
reprsentatif disinyalir telah menyingkirkan sebagian besar kelompok masyarakat, salah
satunya adalah perempuan. Hal inilah yang kemudian dirasakan oleh kaum perempuan
di India, khususnya kelompok Dalit. Seperti pernyataan Lakshmiben bahwa budaya
patriarki merupakan perjuangan yang sangat berat untuk perempuan Dalit dalam
memenangkan kursi di parlemen. Perempuan tidak diakui kemampuannya dalam
berpolitik sehingga timbul minimnya kepercayaan dari kaum laki-laki. Hal tersebut
disebabkan oleh kedudukan perempuan Dalit sangat lemah dari kaum laki-laki dan kasta
yang lain, khususnya untuk bekerja dalam Panchayat (Dewan Desa). Perempuan Dalit
mengalami berbagai diskriminasi kelas sebagai kasta terendah yang terlihat saat mereka
mencalonkan diri dalam jabatan publik. Perempuan Dalit mengalami pelecehan seperti
penolakan akan informasi, diabaikan, atau dibungkam dalam rapat, yang kemudian
dalam beberapa kasus mereka memilih untuk keluar dari posisi mereka di parlemen
(Rokhmansyah, 2016).
Persaingan yang cukup ketat antar wanita Dalit dalam pemerintahan terlihat jelas
jika meninjau dari penelitian yang mengatakan bahwa hanya sepertiga dari 200 jumlah
wanita Dalit yang mendapatkan posisi penting di pemerintahan. Kedudukan perempuan
Dalit di parlemen tidak mungkin terlepas dari dua faktor, yaitu pendidikan dan
pengalaman sosial. Contohnya, seperti tingkat buta huruf yang cukup tinggi merupakan
rintangan utama yang kemudian menyulitkan mereka untuk mempelajari politik di
negaranya sendiri. Hal tersebut dibuktikan melalui pernyataan Manorama Gupta bahwa
India merupakan negara dengan tingkat buta huruf tertinggi di dunia melalui penelitian
yang dilakukan oleh United Nations pada Januari 2014, yaitu sebesar 284 juta
perempuan dewasa di India mengalami buta huruf. Selain menyebabkan kurangnya
pengetahuan politik, perempuan di India juga mengalami eksploitasi melalui daftar
pemilih, sehingga membatasi kemampuan mereka untuk memastikan hak politik mereka
diperhitungkan. Oleh karena itu, dengan rendahnya status sosial, pendidikan, ekonomi,
dan gender pada perempuan tersebut secara tidak langsung kedudukan mereka akan
dikuasai dengan mudah oleh kekuatan dominan. Melalui permasalahan tersebutlah yang
kemudian menggerakkan peran Mayawati untuk melawan diskriminasi peran
perempuan dalam politik dan pemerintahan di India.
Pengaruh Budaya Patriarki Terhadap Partisipasi Politik Perempuan Di India: Studi Kasus
Mayawati Kunari Dan Perjuangannya Melawan Diskriminasi Politik Terhadap Perempuan Dalit
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 6, Juni 2023 821
Metode Penelitian
Untuk memperoleh data-data yang diperlukan, penelitian ini menggunakan
metode kualitatif. Metode kualitatif sendiri merupakan metode penelitian yang
dilakukan untuk menggambarkan suatu fenomena secara lebih spesifik dan
komprehensif (Neuman, 2007). Adapun, penelitian ini secara garis besar termasuk
dalam jenis penelitian sosial yang diproyeksikan dapat mengumpulkan dan
menganalisis berbagai temuan penelitian yang diperoleh, sehingga mampu memberikan
jawaban terhadap pertanyaan penelitian yang diajukan (Payne & Payne, 2011).
Kemudian, terkait dengan teknik pengumpulan data, penelitian ini menggunakan
metode wawancara mendalam (in-depth interview) terhadap sejumlah informan yang
dianggap memiliki kompetensi yang cukup dan relevan dengan fokus permasalahan
penelitian ini, sehingga output yang diperoleh nantinya termasuk dalam jenis data
primer. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan data sekunder yang merujuk pada
literatur-literatur terkait, baik itu dalam bentuk buku, artikel jurnal, publikasi-publikasi
ilmiah dan institusi maupun publikasi-publikasi yang sifatnya daring. Untuk itu, berikut
ini merupakan daftar informan yang akan dijadikan sebagai rujukan.
Hasil dan Pembahasan
Partisipasi politik perempuan dapat diukur dalam tiga dimensi yang berbeda.
Pertama, partisipasi perempuan sebagai pemilih, kedua, partisipasi perempuan sebagai
perwakilan yang terpilih, dan yang terakhir, partisipasi perempuan dalam proses
pengambilan keputusan (Wibowo, Rahmawan, & Syafaat, 2020). Ketiga dimensi
partisipasi politik tersebut terasa sulit untuk dipraktekan oleh perempuan di India.
Meskipun diberi predikat sebagai negara demokrasi terbesar dunia, India memiliki
tingkat keterwakilan perempuan dalam politik yang sangat rendah. Pada kenyataannya,
perempuan di India dihadapkan berbagai macam masalah dan kritik ketika memutuskan
untuk terjun dan terlibat langsung di dunia politik. Oleh karenanya, India berada di
peringkat ke 111 dalam tingkatan dunia terkait dengan jumlah perempuan di parlemen
nasional (Astuti, Afandi, & Listuani, 2019).
Secara umum, hambatan terbesar untuk perempuan berpartisipasi dalam politik di
India disebabkan oleh norma sosial dan budaya masyarakat yang menyebabkan
terjadinya diskriminasi dan kekerasan seksual terhadap perempuan, serta tingkat buta
huruf yang tinggi. Pertama, sikap diskriminasi yang dialami perempuan India terwujud
dalam keterbatasan mereka untuk mengakses informasi dan sumber daya dibanding
laki-laki. Hal ini disebabkan karena norma sosial dan budaya masyarakat India
membentuk pola pikir perempuan berada di kelas yang lebih rendah dari laki-laki.
Kedua, kekerasan, terutama kekerasan seksual, mempengaruhi kemampuan perempuan
untuk berpartisipasi secara aktif dalam berbagai bentuk hubungan sosial dan politik.
Terakhir, buta huruf membatasi kemampuan perempuan untuk memahami sistem dan
isu politik.
Berbeda dengan kondisi perempuan India pada umumnya, Kerala, suatu daerah di
India bagian selatan, kondisi dan status perempuan di daerah tersebut telah berkembang
Dinita Ayu Novela
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 7, Juli 2023 822
pesat. Indikator pembangunan tradisional telah menunjukan bahwa status perempuan di
Kerala sangat baik, terutama jika dibandingkan dengan situasi perempuan di wilayah
India lainnya. Kerala merupakan satu-satunya negara bagian di India yang mana tingkat
melek huruf pada perempuan sama dengan tingkat melek huruf laki-laki. Selain itu,
berkat sistem matriarki yang berlaku di komunitas Nair mampu membuat perempuan di
Kerala memperoleh pendidikan dan memiliki tingkat kesehatan yang baik. Dengan
pendidikan, perempuan di Kerala memiliki perspektif yang lebih luas terhadap
masyarakat dan menyadari peran mereka di dalamnya.
Pendidikan dan kesehatan merupakan faktor-faktor yang berpengaruh dalam
menentukan status sosial politik seseorang. Pendidikan dan tingkat kesehatan yang baik
diyakini sebagai langkah awal perempuan dalam berpolitik. Dengan pendidikan dan
kesehatan yang sedemikian rupa, maka seharusnya perempuan di Kerala memiliki akses
untuk berpartisipasi aktif dalam politik. Ditambah lagi dengan hadirnya Amandemen
ke-73 dan ke-74 pada Konstitusi India pada tahun 1992 dan 1993, yang mengatur
reservasi kursi dan jabatan sebesar 33% untuk perempuan di semua tingkatan daerah
atau yang dikenal sebagai Panchayats. Amandemen ini merupakan suatu bentuk
tindakan afirmatif yang memastikan perempuan mendapatkan akses yang sama dengan
laki-laki dalam struktur kekuasaan politik.
Kondisi perempuan di Kerala memang berbeda dengan kondisi perempuan di
India pada umumnya. Ia memiliki akses terhadap pendidikan dan tingkat kesehatan
yang baik. Namun, pada kenyataanya kesadaran dan partisipasi politik perempuan di
Kerala tidak berbanding lurus dengan tingkat pendidikan dan kesehatan tersebut.
Meskipun dengan kondisi perempuan di Kerala yang sedemikian rupa, tingkat
partisipasi perempuan terbatas dilihat dari minimnya jumlah perempuan pada tingkat
pengambilan keputusan. Hal ini dibuktikan dengan kehadiran perempuan sebagai
legislator yang tidak mengalami peningkatan sejak 20 tahun belakangan. Grafik di
bawah menunjukan jumah kandidat perempuan yang terpilih di parlemen nasional
Kerala tahun 1996-2015.
Pengaruh Budaya Patriarki Terhadap Partisipasi Politik Perempuan Di India: Studi Kasus
Mayawati Kunari Dan Perjuangannya Melawan Diskriminasi Politik Terhadap Perempuan Dalit
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 6, Juni 2023 823
Sumber: http://www.indiaspend.com/cover-story/in-kerala-women-surge-into-politics-and-fail-
64992
Amandemen ke-73 dan ke-74 pada Konstitusi India sejatinya memainkan peran penting
untuk memastikan perempuan dibelahan India manapun dapat berpartisipasi secara aktif. Dapat
dilihat grafik diatas menunjukan adanya peningkatan jumlah kontestan perempuan dari sejak
tahun 1996 hingga 2015. Namun, partisipasi perempuan sebagai perwakilan yang terpilih tidak
mengalami perkembangan yang signifikan. Di tahun 2015, dari 105 kontestan perempuan yang
mendaftar hanya 8 orang yang terpilih. Berikut grafik perbandingan jumlah laki-laki dan
perempuan dalam pemilihan di Kerala.
Sumber: http://www.indiaspend.com/cover-story/in-kerala-women-surge-into-politics-and-fail-
64992
Dinita Ayu Novela
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 7, Juli 2023 824
Grafik di atas memberikan gambaran mengenai perbandingan jumlah kontestan
laki-laki yang lebih mendominasi dari jumlah kontestan perempuan. Sejak tahun 1996
hingga tahun 2016, jumlah kontestan yang terpilih tidak melebihi angka 10%. Jumlah
keterpilihan perempuan tertinggi terjadi pada tahun 1996. Namun, jumlah tersebut terus
menurun hingga mencapai angka 5,7% pada tahun 2016. Menurut beberapa laporan,
banyak politisi atau kontestan perempuan yang merasakan kesulitkan ketika
berpartisipasi dalam politik. Penyebab utama dari kesulitan tersebut adalah untuk
menyamakan kesenjangan gender yang ada antara perempuan dan laki-laki.
Tidak terpilihnya kontestan perempuan dalam pemilihan umum dapat dijelaskan
karena budaya patriarki yang telah melekat erat dengan kebudayaan India. Marginalisasi
kelompok perempuan lahir sebagai hasil dari sikap dan praktik kebudayaan patriarki
yang mengakar kuat. India sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia
memiliki Amandemen ke 73 konstitusi India sebagai salah satu hukum terkuat untuk
memberi keleluasaan perempuan untuk berpartisipasi dalam politik. Tetapi, adat istiadat
budaya patriarki yang berlaku sebagai norma di masyarakat selalu memposisikan
perempuan dibawah laki-laki. Perempuan diajarkan untuk tunduk kepada laki-laki
karena dianggap tidak memiliki sumber daya yang memadai, baik dari segi ekonomi
maupun sebagai sesama manusia. Dengan pola pikir yang sedemikian rupa, maka
perempuan dipercaya tidak memiliki kapabilitas yang sama dengan laki-laki. Oleh
karena itu, partisipasi perempuan sebagai perwakilan yang terpilih tidak mengalami
perkembangan yang signifikan. Konteks patriarki menjadi salah satu alasan untuk
perempuan tidak terlibat dalam arena politik.
Lebih lanjut, perempuan Dalit kerapkali mendapatkan perlakuan diskriminatif
serta berada di dalam ikatan patriarkis di dalam masyarakat. Dalam memperjuangkan
hak-haknya untuk melawan diskriminasi, perempuan-perempuan Dalit melakukan
gerakan sosial dan politik dengan memiliki tuntutan-tuntutan yang diajukan kepada
pemerintah terutama mengenai partisipasi perempuan Dalit di Panchayati Raj. Salah
satu gerakan perempuan Dalit ialah gerakan Dalitbahujan Samaj Movement yang
dinisasi oleh Bahujan Samaj Party atau (BSP), memiliki agenda tuntutan untuk
memperoleh hak-hak kesetaraan, kesempatan dalam sosial-ekonomi dan
mengkonsolidasi jaminan pemerintah pusat mengenai jumlah kursi untuk perempuan
Dalit sebagaimana tercantum di dalam Panchayati Raj Act (Govinda, 2006). Adanya
gerakan Dalitbhujan Samaj Movement yang di inisasi oleh partai BSP ini telah
meningkatkan kepercayaan diri perempuan-perempuan Dalit yang kemudian terlibat di
dalam kontestasi pemilihan umum untuk meraih kursi di Panchayati Raj.
Perjuangan perempuan Dalit untuk memperoleh hak-hak kesetaraan dan
keterlibatan dalam politik pun di fasilitasi oleh Lembaga Swadaya Masyarakat atau
LSM-LSM yang mendorong kesadaran perempuan Dalit untuk mengetahui hak-haknya,
memberikan Pendidikan, dan memberikan kesadaran perempuan Dalit untuk terlibat di
dalam ranah politik. Hadirnya LSM yang membantu perempuan-perempuan Dalit ini
Pengaruh Budaya Patriarki Terhadap Partisipasi Politik Perempuan Di India: Studi Kasus
Mayawati Kunari Dan Perjuangannya Melawan Diskriminasi Politik Terhadap Perempuan Dalit
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 6, Juni 2023 825
kemudian membentuk suatu relasi dengan Bahujan Samaj Party atau BSJ di Uttar
Pradesh untuk memberikan pemahaman mengenai politik, hak-hak perempuan, serta
identitasnya. Meskipun kedua elemen ini memiliki perbedaan ruanglingkup interaksi
namun keduanya saling melengkapi dimana BSJ memberikan adanya politik
keterwakilan sedangkan LSM dapat mempromosikan identitas nya sebagai perempuan
dan Dalit. Adanya gerakan sosial dan politik yang mengupayakan keterlibatan
perempuan Dalit di dalam ranah serta memperjuangkan hak-haknya merupakan suatu
bentuk untuk mendorong terealisasinya kesetaraan di dalam tatanan masyarakat India.
Dalam menjalani kehidupan sebagai perempuan Dalit yang memasuki ranah
politik dengan terlibat di dalam lembaga pemerintahan yakni, Panchayati Raj, mereka
kerapkali mendapatkan hambatan-hambatan. Hambatan yang dialami oleh perempuan
Dalit yakni, status gender, kasta, dan ekonomi yang rendah menyebabkan perempuan
Dalit mengalami kesulitan untuk mendapatkan akses pendidikan sehingga tingkat
literasi pada perempuan Dalit menjadi rendah, ikatan patriarkis pun menjadi salah satu
hambatan terbesar yang dihadapi oleh perempuan Dalit. Hambatan yang berasal dari
keluarga Perempuan Dalit ketika keluarganya tidak mendukung sehingga mobilitas
perempuan Dalit menjadi terbatas sebab mereka membutuhkan izin dari suami atau
keluarga untuk berpergian terutama di malam hari. Terlebih lagi, perempuan Dalit
kerapkali mengalami keterpaksaan untuk terlibat di dalam ranah politik oleh suaminya
sehingga mereka mendapatkan tekanan yang besar dari suami.
Selain faktor hambatan yang berasal dari keluarga, hambatan yang muncul
selanjutnya datang dari lingkungan Panchayati Raj itu sendiri. Dominasi laki-laki yang
begitu kuat di dalam Panchayati Raj ditunjukan dengan perlakuan anggota laki-laki
yang memiliki kecenderungan untuk menekan kebebasan perpendapat perempuan Dalit
pada rapat-rapat yang diselenggarakan. Penekanan kebebasan berpendapat ini, mereka
menyatakan bahwa seharusnya perempuan Dalit tidak berbicara di depan kasta
dominan. Hal tersebut menunjukan bahwa Perempuan Dalit mendapatkan perlakuan
yang diskriminatif yang berakibat pada sulitnya untuk memperjuangkan kepentingan
perempuan Dalit di dalam Panchayati Raj. Kemudian, hambatan yang dihadapi oleh
perempuan Dalit mereka mendapat tuduhan bahwa perempuan Dalit dinilai tidak
kompeten untuk dapat mengatur institusi publik. Hambatan-hambatan tersebut membuat
perempuan Dalit mengalami diskriminasi, keterbatasan mobilitas yang kemudian akan
berpengaruh pada aspirasi yang dimilikinya sebab adanya hambatan-hambatan tersebut
sangat menghambat upaya untuk menyukseskan agenda perempuan Dalit untuk
mendapatkan kesetaraan dan kehidupan yang lebih layak meskipun secara fisik mereka
hadir di dalam Panchayati Raj namun aspirasi mereka mengalami kesulitan untuk
diwujudkan.
Berdasarkan konsep kehadiran yang dikemukakan oleh Phillips merupakan
bentuk representasi politik yang tidak hanya memberikan gagasanya melainkan
kontribusinya sesuai dengan pengalaman mereka. Kemudian politik kehadiran tersebut
sebagai bentuk respon mengenai gender, ras, dan suku yang termarginalkan dari
masyarakat. Dalam konteks representasi politik perempuan Dalit merupakan suatu
Dinita Ayu Novela
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 7, Juli 2023 826
bentuk politik kehadiran. Hal ini disebabkan oleh perempuan Dalit merupakan
kelompok yang termarginalkan dari masyarakat baik mereka berasal dari kasta rendah
yakni, Dalit dan identitas mereka sebagai perempuan. Phillips menjelaskan bahwa
didalam lembaga legislatf harus terdapat kehadiran kelompok minoritas dan perempuan
sebab mereka dapat memperjuangkan kepentingan-kepentingannya di Parlemen. Di
India sendiri, penetapan mengenai kuota representasi kaum Scheduled Caste atau kasta
terendah, Kasta yang berasal dari suku-suku, dan perempuan telah diatur di dalam
Amandemen konstitusi 73 tahun 1993 yang menetapkan adanya kursi yang
diperuntukan untuk kalangan-kalangan tersebut di dalam Panchayati Raj.
Dalam upaya meraih kedudukan di Panchayati Raj perempuan Dalit terlibat
dalam gerakan-gerakan sosial dan politik untuk menuntut pemerintah pusat agar dapat
mengakomodasi tuntutan-tuntutannya termasuk keterlibatan perempuan Dalit di politik.
Pergerakan yang dilakukan oleh perempuan Dalit diinisiasi oleh salah satu partai politik
yakni, partai Bahujan Samaj Party atau BSP yang menginsiasi terciptanya Dalitbahujan
Samaj Movement. Selain, mendapat dukungan dari partai BSP, perempuan Dalit pun
mendapat dukungan dari LSM-LSM yang memberikan pemahaman mengenai hak-hak
serta identitas yang dimilikinya. Pergerakan perempuan Dalit ini mampu mendorong
meningkatnya partisipasi perempuan Dalit di Panchayati Raj sehingga hadirnya
perempuan Dalit merepresentasikan golongan minoritas dan perempuan. Namun, dalam
kenyataanya ketika perempuan Dalit berada di dalam institusi pemerintahan yakni,
Panchayati Raj, mereka mengalami sejumlah hambatan yang mempengaruhi aspirasi
atau agenda kepentingan yang dimilikinya. Hambatan tersebut terbagi menjadi,
hambatan yang berasal dari keluarga dan hambatan yang berasal dari anggota-anggota
institusi Panchayati Raj itu sendiri. Hambatan yang berasal dari keluarga menimbulkan
keterbatasan mobilitas perempuan Dalit serta hubungan patriarkis yang melemahkan
Perempuan Dalit itu sendiri. Kemudian, hambatan yang berasal dari anggota-anggota
institusi Panchayati Raj ialah mengenai sentiment ras dan identitas yang dimiliki oleh
Perempuan Dalit. Perempuan Dalit kerapkali disudutkan sebagai kalangan yang
memiliki kasta rendah sehingga mereka tidak memiliki hak untuk menyatakan
pendapatnya di dalam rapat-rapat, kemudian Perempuan Dalit dinilai tidak kompeten
sebab pada umumnya Perempuan Dalit tidak memperoleh Pendidikan tinggi
sebagaimana kasta-kasta tinggi yang memiliki latar Pendidikan tinggi.
Ketika hambatan-hambatan tersebut mempengaruhi representasi perempuan
Dalit di parlemen maka mereka mengalami kesulitan untuk menyalurkan aspirasi-
aspirasinya. Jika melihat dari kategorisasi pembagian kelpmpok minoritas dan
perempuan di parlemen menurut Phillips, representasi perempuan Dalit termasuk dalam
kategoriasi representasi deskriptif. Hal ini disebabkan karena Perempuan Dalit terlibat
di dalam politik akan tetapi hanya bersifat simbolik yang berarti secara kuantitas dan
secara kehadiran Perempuan Dalit memang terlibat di dalam Panchayati Raj namun
Perempuan Dalit masih mendapatkan hambatan-hambatan untuk dapat mempengaruhi
kebijakan-kebijakan yang membawa kepentingan baik kepentingan mengenai
Perempuan maupun kepentingan mengenai Dalit itu sendiri.
Pengaruh Budaya Patriarki Terhadap Partisipasi Politik Perempuan Di India: Studi Kasus
Mayawati Kunari Dan Perjuangannya Melawan Diskriminasi Politik Terhadap Perempuan Dalit
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 6, Juni 2023 827
Berdasarkan pemaparan yang telah dijelaskan, dapat disimpulkan bahwa dalam
upaya untuk memperjuangkan hak-haknya dengan terlibat di dalam Panchayati Raj,
perempuan Dalit melakukan gerakan-gerakan sosial dan politik. Gerakan sosial dan
politik yang dilakukan oleh perempuan Dalit diinisasi oleh partai BSP dan LSM-LSM
yang membantu memberikan Pendidikan dan pemahaman mengenai hak-hak yang
dimiliki oleh perempuan Dalit. Adanya gerakan-gerakan tersebut mampu mendorong
representasi perempuan Dalit di dalam Panchayati Raj meningkat tentunya dengan
melalui mekanisme pemilihan umum sebelumnya. Namun, ketika perempuan Dalit
terlibat di dalam Panchayati Raj mereka mengalami hambatan-hambatan yang
mempengaruhi proses aspirasi yang dilakukan oleh Perempuan Dalit. Hambatan-
hambatan tersebut berasal dari keluarga dan dari anggota-anggota institusi Panchayati
Raj yang memberikan dampak sulitnya perempuan Dalit untuk melakukan mobilitas
politik, terjadinya diskriminasi terhadap Perempuan Dalit baik oleh laki-laki di dalam
Panchayati Raj maupun golongan kasta tinggi yang melihat Perempuan Dalit tidak
layak untuk mengemukakan pendapatnya. Hambatan-hambatan tersebut membuat
representasi politiknya hanya bersifat simbolik saja sebab mereka masih mengalami
kesulitan untuk mempengaruhi kebijakan-kebijakan substansial yang menyangkut
kepentingan Perempuan Dalit itu sendiri.
Sistem Kasta di India
Sistem kasta di India telah menjadi budaya dalam kehidupan sehari-hari,
khususnya politik (Maulana & Putra, 2021). Hal ini dibuktikan melalui sebagian besar
anggota parlemen perempuan berasal dari kasta yang lebih tinggi, sehingga kasta
memainkan peran penting dalam menentukan peluang dan dampak yang dirasakan oleh
seluruh masyarakat India. Terdapat empat kasta besar yang sangat berpengaruh, yaitu
Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra. Selain kasta besar ini terdapat pula kasta
minoritas yang termasuk kedalam kelompok Ati-Shudras yaitu Dalit. Mereka
terpinggirkan dan sering mendapat perlakuan yang diksriminatif. Oleh karena itu upaya
untuk menyingkirkan ketidaksetaraan berdasarkan kasta membuat beberapa raja dan
koloni Inggris mengenali sebagian besar populasi kasta rendah dan populasi religius
yang terpinggirkan secara historis, serta secara tidak langsung kasta sangat
mempengaruhi profil, loyalitas, dan kerja perwakilan di Parlemen India (Permatasari
Rafiun, 2020).
Ketika perempuan di India menghadapi situasi dimana mereka ingin bekerja di
pemerintahan, mereka harus berunding dengan keluarganya. Akan lebih mudah jika
perempuan ini berasal dari elit politik dengan lebih dari satu anggota yang berpartisipasi
dalam politik. Jika perempuan itu sudah aktif dalam kehidupan politik sebelum
menikah, ia bisa menghadapi tekanan luar biasa dari keluarga suaminya agar sesuai
dengan peran tradisional yang memungkinkan sedikit ruang untuk mengejar karir politik
yang aktif, sehingga pilihan terberatnya antara memilih keluarga dengan keluar dari
politik atau meninggalkan keluarga untuk mengejar masa depan yang tidak pasti dalam
politik. Hal tersebut disebabkan oleh kurangnya dukungan keluarga dan stigma
Dinita Ayu Novela
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 7, Juli 2023 828
perceraian merupakan kelemahan yang jelas bagi wanita dalam politik
(Permataningtyas, 2021).
Mayawati Kunari adalah seorang perempuan Dalit berasal dari Uttar Pradesh. Ia
merupakan seorang pengagum Ambedkar yang kemudian menjadi dorongan untuk
melawan sistem kasta. Setiap tanggal 14 April, Ia dan keluarganya pergi ke Delhi untuk
merayakan Ambedkar Jayanti. Perayaan ini dipandang sebagai proses 'mobilisasi sosial'
bagi masyarakat Dalit, sehingga mendorong kesadaran akan hak seseorang di bawah
konstitusi yang membuka jalan bagi mobilisasi dan kebangkitan politik. Kemudian,
Mayawati terlibat kedalam politik Dalit yang radikal. Ia termasuk kedalamgenerasi
ketujuh puluhan wanita Dalit muda, perkotaan, berpendidikan, yang merasa terganggu
dengan pengkhianatan bersejarah tentang kasta mereka oleh Partai Kongres. Peran
Mayawati sebagai citra politik Dalit, tetap saja harus melawan berbagai bentuk
“penindasan ganda” yaitu kasta dan gender. Hal ini dibuktikan ketika Perdana Menteri
dari Dalit akan memiliki dampak besar pada skenario politik nasional dan melibatkan
kaum Dalit ke dalam arus utama sosial. Wilayah Uttar Pradesh kemudian menjadi
laboratorium politik karena wilayah ini dipandang sebagai mikrokosmos India.
Selain itu, Mayawati Kunari muncul sebagai sosok perempuan dari kelompok
kasta minoritas, yaitu Dalit yang kemudian mampu membuktikan bahwa perempuan-
perempuan di India menjadi anggota parlemen. Keinginan Mayawati untuk
memperjuangkan partisipasi politik perempuan Dalit ini berangkat dari konsep bias
gender yang mengakar kuat di India, dimana laki-laki adalah sosok individu yang kuat
dan mampu mengerjakan segala sesuatu dengan baik, sedangkan perempuan hanyalah
individu yang lemah dan identik dengan pekerjaan rumah untuk mengurus anak,
keluarga, dan mebahagiakan suami. Konteks tersebut tidak hanya dirasakan oleh
perempuan Dalit saja melainkan perempuan dari kasta yang lebih tinggi dan
berpendidikan juga merasakan hal yang sama. Namun yang membedakan dengan
perempuan Dalit adalah kasta terendah yang terpinggirkan, sehingga perhatian
pemerintah dari segi pendidikan pun sangat minim. Hal tersebutlah yang mengakibatkan
tingkat iliterasi perempuan Dalit cukup tinggi dan mengakibatkan mereka “buta”
terhadap politik.
Terpilihnya Mayawati di parlemen kemudian langsung mengupayakan berbagai
usaha untuk membuka lapangan pekerjaan bagi perempuan Dalit di pemerintahan dan
membantu program desa. Hal tersebut sesuai dengan konsep bias gender dalam institusi
ekonomi yaitu lapangan pekerjaan yang mana antara perempuan dan laki-laki dibedakan
dari segi pekerjaannya. Mayawati ingin menghapuskan diskriminasi patriarkal dalam
konsep bias gender yang menyatakan bahwa perempuan hanya memiliki lapangan
pekerjaan yang sangat minim dan monoton, yaitu rumah tangga, sedangkan laki-laki lah
yang bekerja pada perusahaan. Oleh karena itu, Mayawati membuka lapangan pekerjaan
bagi perempuan Dalit dan minoritas di India. Hal tersebut secara tidak langsung mampu
mematahkan sentimen negatif kaum laki-laki di India bahwa perempuan dapat
dipercaya untuk bekerja di parlemen meskipun di satu sisi mereka juga harus mengurus
rumah tangganya. Pernyataan tersebut sebenarnya masih belum bisa direalisasikan
Pengaruh Budaya Patriarki Terhadap Partisipasi Politik Perempuan Di India: Studi Kasus
Mayawati Kunari Dan Perjuangannya Melawan Diskriminasi Politik Terhadap Perempuan Dalit
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 6, Juni 2023 829
seutuhnya, karena India masih terbentur dengan budaya dan adat istiadat. Sehingga,
peran perempuan untuk terjun dalam politik masih terus diusahakan agar partisipasi
politik perempuan meningkat dan tidak ada lagi budaya patriarki yang melekat dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat India.
Kesimpulan
India merupakan negara Demokrasi terbesar di dunia sebagai negara yang relatif
otonom dan perekonomian yang sangat maju. Jika diitinjau dari politik dan
pemerintahannya, India masih kurang terbuka dengan kehadiran perempuan di parlemen
sebagai representasi masyarakatnya. Hal ini disebabkan oleh budaya patriarki yang
masih melekat dalam kehidupan sehai-hari yang kemudian berimbas pada dunia
perpolitikan India. Oleh sebab itu, muncul sosok perempuan yang memiliki tujuan
mulia setelah terpilihnya Ia di parlemen. Uniknya adalah kemunculan Mayawati ini
bukanlah perempuan yang berasal dari kasta tetinggi melainkan kasta terendah, yaitu
Dalit. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran politik Dalit di India sudah cukup tinggi,
walaupun budaya dan adat istiadat masih membatasi peran perempuan untuk terjun
dalam politik. Namun, kehadiran Mayawati sudah membuka jalan bagi perempuan
untuk bekerja di parlemen dan memperjuangkan perempuan dari diskriminasi politik di
India.
Dinita Ayu Novela
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 7, Juli 2023 830
Biblaiografi
Agustin, Maya Nur. (2016). Partisipasi Fatayat Nahdlatul Ulama Sidoarjo Dalam
Pendidikan Politik Bagi Perempuan. Kajian Moral Dan Kewarganegaraan, 3(4).
https://doi.org/10.26740/kmkn.v3n4.p%25p
Alam, G. M. Monirul, Alam, Khorshed, & Mushtaq, Shahbaz. (2017). Climate change
perceptions and local adaptation strategies of hazard-prone rural households in
Bangladesh. Climate Risk Management, 17, 5263.
Astuti, Pudji, Afandi, Muhammad Arif, & Listuani, R. H. (2019). Kajian Peran dan
Partisipasi Politik Perempuan pada Pemilihan Kepala Daerah di Jawa Timur.
Jurnal Litbang Kebijakan. Surabaya: Cakrawala, 13(2), 124.
Athahirah, Astika Ummy, & Nurdin, Nurliah. (2022). Hak Asasi Manusia (HAM),
Gender dan Demokrasi: sebuah tinjauan teoritis dan praktis. CV. Sketsa Media.
Davis, Alan L., Carcillo, Joseph A., Aneja, Rajesh K., Deymann, Andreas J., Lin, John
C., Nguyen, Trung C., Okhuysen-Cawley, Regina S., Relvas, Monica S.,
Rozenfeld, Ranna A., & Skippen, Peter W. (2017). The American College of
Critical Care Medicine clinical practice parameters for hemodynamic support of
pediatric and neonatal septic shock: executive summary. Pediatric Critical Care
Medicine: A Journal of the Society of Critical Care Medicine and the World
Federation of Pediatric Intensive and Critical Care Societies, 18(9), 884.
Huda, H. M. Dimyati, & Dodi, Limas. (2020). Rethinking Peran Perempuan dan
Keadilan Gender: Sebuah Konstruksi Metodologis Berbasis Sejarah dan
Perkembangan Sosial Budaya. CV Cendekia Press.
Maulana, I. Putu Ari Putra, & Putra, Ida Bagus Gede Dharma. (2021). Metafora
konseptual kasta dalam masyarakat Bali: Kajian linguistik kognitif. PRASI,
16(02), 92104.
Pahlevi, Farida Sekti. (2018). Peran Kesenian Tradisional Dongkrek Sebagai Media
Pendidikan Nilai Moral. Jurnal Ibriez: Jurnal Kependidikan Dasar Islam
Berbasis Sains, 3(2), 221234.
Permataningtyas, Winny. (2021). Korupsi dan Ketidaksetaraan Gender sebagai
Tantangan Utama Good Governance di India. Academia Praja: Jurnal Ilmu
Politik, Pemerintahan, Dan Administrasi Publik, 4(1), 134153.
Permatasari Rafiun, Indah. (2020). Pengaruh CARE India Dalam Upaya Mengatasi
Kekerasan Berbasis Gender di India. Universitas Bosowa.
Rokhmansyah, Alfian. (2016). Pengantar gender dan feminisme: Pemahaman awal
kritik sastra feminisme. Garudhawaca.
Wahyudi, Very. (2018). Peran Politik Perempuan dalam Persfektif Gender. Politea:
Pengaruh Budaya Patriarki Terhadap Partisipasi Politik Perempuan Di India: Studi Kasus
Mayawati Kunari Dan Perjuangannya Melawan Diskriminasi Politik Terhadap Perempuan Dalit
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 6, Juni 2023 831
Jurnal Politik Islam, 1(1), 6383. https://doi.org/10.20414/politea.v1i1.813
Wibowo, Kunto Adi, Rahmawan, Detta, & Syafaat, Azman Hamdika. (2020). Efikasi
politik dan jenjang partisipasi politik pemilih pemula. Jurnal Kajian Komunikasi,
8(2), 152165. https://doi.org/10.24198/jkk.v8i2.26433
Zuhri, Saifuddin, & Amalia, Diana. (2022). Ketidakadilan gender dan budaya patriarki
di kehidupan masyarakat Indonesia. Murabbi, 5(1).