pISSN: 2723 - 6609 e-ISSN : 2745-5254
Vol. 4, No. 7, Juli 2023 http://jist.publikasiindonesia.id/
Doi : 10.59141/jist.v4i7.650 875
STRATEGI PERSONAL BRANDING PUAN MAHARANI SEBAGAI CUCU
BUNG KARNO & PUTRI MEGAWATI
Rafifrian Evandio
Universitas Indonesia Depok, Indonesia
*Correspondence
INFO ARTIKEL
ABSTRAK
Diterima
: 29-06-2023
Direvisi
: 19-07-2023
Disetujui
: 20-07-2023
Penelitian ini menjelaskah tentang strategi branding politisi perempuan
dengan merujuk pada studi kasus strategi personal branding Puan
Maharani Nakshatra Kusyala Devi sebagai “cucu Bung Karno” dan
“putri Megawati Soekarnoputri”. Sosok Puan Maharani sendiri dikenal
oleh publik Indonesia sebagai putri tunggal dari Megawati
Soekarnoputri dengan suami ketiganya, Muhammad Taufiq Kiemas.
Dengan statusnya tersebut, sosok Puan Maharani sering kali
diasumsikan oleh berbagai kalangan sebagai suksesor dari trah atau
keturunan Soekarno (Bung Karno) selaku kakeknya. Rampersad yang
mengungkapkan bahwa setiap orang pada umumnya cenderung
memiliki sebuah brand, namun sebagian besar orang tidak
menyadarinya dan tidak mengelolanya secara strategis, konsisten, dan
efektif. Bahkan, personal branding merupakan sintesis dari semua
pengharapan, citra dan persepsi yang diciptakan dalam pemikiran orang
lain sewaktu mereka membaca atau mendengar nama seseorang. Selain
itu, Rampersad juga menyebutkan bahwa brand yang dimiliki oleh
seseorang haruslah otentik; merefleksikan karakter yang sebenarnya;
dan diciptakan berdasar pada nilai-nilai yang dipegang oleh seseorang,
keunggulan, keunikan, dan kepandaian orang tersebut. Untuk
memperoleh data, penelitian ini menggunakan data sekunder yang
diperoleh dari studi terhadap literatur-literatur yang relevan. Hasil
penelitian ini memperlihatkan bahwa Puan Maharani Nakshatra
Kusyala Devi berhasil membangun personal branding sebagai salah
satu sosok politisi perempuan yang berhasil terlibat dalam politik
dengan turut didukung penggunaan citra sebagai “cucu Bung Karno”
dan “putri Megawati Soekarnoputri” sebagai brand yang melekat pada
dirinya.
ABSTRACT
This research explains the branding strategies of female politicians,
with a reference to the case study of the personal branding strategy of
Puan Maharani Nakshatra Kusyala Devi, who is known to the
Indonesian public as the only daughter of Megawati Soekarnoputri and
her third husband, Muhammad Taufiq Kiemas. With her status, Puan
Maharani is often assumed by various groups as the successor to the
legacy of her grandfather, Soekarno (Bung Karno). According to
Rampersad, every individual generally has a brand, but most people
are not aware of it and do not manage it strategically, consistently, and
effectively. Personal branding is the synthesis of all the expectations,
images, and perceptions created in the minds of others when they read
or hear someone's name. Moreover, Rampersad emphasizes that a
person's brand must be authentic, reflecting their true character and
created based on their values, strengths, uniqueness, and abilities. The
data for this research was obtained from secondary sources through a
study of relevant literature. The results of this research show that Puan
Maharani Nakshatra Kusyala Devi has successfully built a personal
branding as a female politician who has been actively involved in
Kata kunci: Politisi
Perempuan; Personal Branding;
Puan Maharani; Cucu Bung
Karno; Putri Megawati
Soekarnoputri.
Keywords: Female politician;
Personal Branding; Puan
Maharani; Granddaughter of
Bung Karno; Daughter of
Megawati Soekarnoputri.
Rafifrian Evandio
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 7, Juli 2023 876
politics, with the strategic use of the images "cucu Bung Karno" and
"putri Megawati Soekarnoputri" as attributes closely associated with
her brand.
Attribution-ShareAlike 4.0 International
Pendahuluan
Jika merujuk pada realitas politik Indonesia yang berkembang sejak bergulirnya
Reformasi, dapat dilihat bahwa isu primordial merupakan salah satu identitas yang
kerap kali digunakan oleh para politisi (Wati, 2021). Hal itu dikarenakan isu primordial
kerap kali dijadikan oleh para politisi sebagai salah satu praktik politik identitas yang
biasanya ditujukan untuk dapat meraih simpati dan dukungan dari masyarakat
khususnya bagi yang memiliki kesamaan aspek primordial dengan politisi tersebut.
Terkait dengan hal itu, istilah primordial sendiri secara teoritis berasal dari terminologi
“primordialisme” yang jika merujuk pada perspektif dari Bayar (2009) dapat dipahami
berdasarkan dua paradigma, yakni primordial dan konstruktivis (Wulandari, Zahro, &
Sujoko, 2022). Dalam paradigma primordial, primordialisme dimaknai sebagai sebuah
“keterikatan pribadi yang tak terbatas” dalam konteks masyarakat modern. Lebih lanjut,
primordialisme turut dikaitkan dengan kondisi ketika seseorang berpikir tentang
keterikatan relasi dengan orang lain tidak hanya didasarkan pada sebuah ikatan darah
semata, melainkan sebagai kualitas “relasional signifikan” tertentu yang tidak hanya
didasari pada proses interaksi sosial semata, melainkan karena ikatan darah dianggap
memiliki makna tertentu yang tak dapat dilukiskan secara pasti (Susilo & Nisa, 2019).
Di samping itu, jika merujuk pada definisi yang terdapat dalam paradigma
konstruktivis, primordialisme lebih dimaknai sebagai sebuah properti yang bersifat
dinamis dan senantiasa berkembang baik dalam lingkup identitas individu maupun
organisasi kelompok (AZIZ, 2021). Sementara itu, para penganut paradigma
konstruktivis memiliki kesepahaman pada dua proposisi utama dari primordialisme,
yakni bahwa seorang individu memiliki banyak identitas etnis (tidak tunggal) dan
identitas yang diidentifikasi cenderung bervariasi karena disesuaikan dengan variabel
kausal tertentu, seperti komposisi organisasi kelompok etnis tertentu hingga faktor
demografis etnis (Habibi, 2019). Hal ini yang kemudian menjadi pembeda antara apa
yang dipahami oleh para penganut paradigma primordial dengan konstruktivis di mana
kaum konstruktivis meyakini bahwa primordialisme merupakan identitas yang variatif,
sementara kaum primordial melihat hal tersebut sebagai identitas tunggal dengan
banyak dimensi di dalamnya.
Dalam konteks di Indonesia, keberagaman identitas dalam peradaban masyarakat
khususnya yang berlaku di tingkat lokal yang terdiri atas berbagai jenis suku, etnis, ras,
bahasa, agama, hingga adat istiadat setidaknya dapat dimaknai ke dalam dua dimensi
yang berbeda (Dewi, 2020). Pertama, adanya keberagaman tersebut secara konkret
mencerminkan bahwa bangsa Indonesia dibangun di atas fondasi kebhinekaan dalam
sebuah kerangka kebangsaan (nation) maupun kenegaraan (state) yang terintegrasi
Strategi Branding Politisi Perempuan: Studi Kasus Strategi Personal Branding Puan Maharani
Nakshatra Kusyala Devi Sebagai “Cucu Bung Karno” Dan “Putri Megawati Soekarnoputri”
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 6, Juni 2023 877
secara nasional dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang kemudian
dapat dimaknai sebagai cerminan dari sebuah multicultural society (Al Hamid, 2022).
Sedangkan kedua, adanya keberagaman tersebut juga mengindikasikan bahwa
masyarakat Indonesia relatif rentan dengan gejala atau sentimen kedaerahan hingga
konflik horizontal maupun vertikal yang dapat berujung pada kekerasan dan
perpecahan, baik itu dalam skala yang lebih kecil (disorganisasi) maupun skala yang
lebih besar (disintegrasi) (Husain, 2021). Hal itu dikarenakan keberagaman tersebut
justru menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan primordial sentiment karena
masyarakat yang majemuk seperti Indonesia cenderung terbagi ke dalam sub-sub sistem
yang masing-masing terikat dalam sebuah ikatan yang bersifat primordial.
Adanya primodial sentiment tersebut yang umumnya dijumpai dalam realitas
perpolitikan di tingkat lokal, kemudian kerap dimanifestasikan dalam wujud sifat
budaya dan tingkah laku politik pada konteks suku (tribe), daerah (region), agama,
kelompok etnis, hingga pengelompokkan-pengelompokkan sejenis yang sifatnya
askriptif, melekat, hingga “given”. Untuk itu, sekalipun memiliki sebuah identitas
nasional yang sama dalam semangat kebangsaan dan kenegaraan, keberagaman dalam
masyarakat Indonesia tidak serta merta dapat menegasikan bahwa setiap individu
memiliki identitas primordial yang berbeda. Kemudian, dalam memahami adanya
primordial sentiment atau primordial loyalty di tengah konteks keberagaman
masyarakat Indonesia, argumen dari Edward Shils setidaknya dapat dijadikan sebagai
salah satu rujukan untuk memperkuat pandangan Clifford Geertz. Menurutnya, di balik
ikatan-ikatan kekeluargaan atau kekerabatan yang terdapat dalam tiap individu, terselip
sebuah “relational qualities” yang kompleks dan haruslah dipahami sebagai primordial
karena tidak hanya ditandai dalam sebuah fungsi interaksi semata, melainkan juga
merujuk pada ikatan-ikatan darah (primordial bonds atau primordial attachment)
sebagai cerminan dari properti kultural yang bersifat memaksa dan mengikat para
anggotanya. Terlebih, hal tersebut juga selaras dengan apa yang disampaikan oleh
Geertz dimana ikatan primordial juga dipandang olehnya sebagai sesuatu yang bersifat
involunter dan memiliki daya paksa dalam mentrasedensi alinasi serta relasi yang
dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan yang sifatnya situasional maupun kondisi-
kondisi sosial yang berlaku secara konkret.
Adapun jika dikaitkan dengan sosok Puan Maharani, setidaknya dapat dilihat dari
bagaimana label sebagai bagian dari “trah Soekarno” kemudian kerap kali dilekatkan
pada dirinya. Padahal, jika ditinjau berdasarkan sistem garis keturunan patrilineal, sosok
Puan Maharani lebih cocok untuk dilabeli sebagai bagian dari trah keluarga Kiemas,
marga Taufik Kiemas, sang ayah. Akan tetapi, label “trah Soekarno” nampaknya justru
menjadi label (brand) yang lebih melekat kuat dalam diri Puan Maharani. Hal ini pun
menjadi celah (gap) yang menarik untuk diteliti lebih lanjut. Apalagi, jika
dikontekstualisasikan dengan momentum saat Puan Maharani mencalonkan diri dalam
pemilu legislatif untuk pertama kalinya pada tahun 2009. Pada saat itu, dirinya berhasil
meraih 242.504 suara dari daerah pemilihan Jawa Tengah V yang sekaligus
menjadikannya sebagai caleg terpilih dengan suara terbanyak di peringkat ketujuh.
Rafifrian Evandio
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 7, Juli 2023 878
Kemudian, pada pemilu 2014, dirinya berhasil kembali terpilih dengan raihan sebanyak
369.927 suara yang membuatnya menempati peringkat kedua caleg terpilih yang
memiliki suara terbanyak. Bahkan, pada pemilu 2019, Puan Maharani berhasil meraih
posisi puncak dengan menempati peringkat pertama caleg terpilih peraih suara
terbanyak dengan capaian 404.034 suara (Marina, 2019). Hal ini pun menunjukkan
bahwa dalam setiap pemilu, tren perolehan suara yang berhasil diraih oleh Puan
Maharani relatif mengalami kenaikan. Hingga kemudian menjelang pemilu serentak
tahun 2024, mulai bertebaran baliho dan spanduk yang bertuliskan Puan Maharani
sebagai “Cucu Bung Karno” dan “Putri Megawati Soekarnoputri” yang setidaknya
mengindikasikan bahwa sang politisi mulai menggunakan identitas primordial sebagai
strategi personal branding terhadap dirinya. Oleh karena itu, penelitian ini hendak
melihat bagaimana penggunaan isu primordial melalui label sebagai “Cucu Bung
Karno” dan “Putri Megawati Soekarnoputri” oleh Puan Maharani sebagai strategi
personal branding dirinya.
Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan teknik ilmu pengetahuan yang digunakan sebagai
penunjang suatu penelitian yang ditujukan untuk menunjukkan seperangkat asumsi
konseptual dan filosofis yang menjadi dasar justifikasi terhadap penggunaan suatu
metode (Martono, 2015). Penelitian yang dikaji dalam tulisan ini merupakan penelitian
sosial yang diharapkan mampu mengidentifikasi pertanyaan penelitian dan cara untuk
mengumpulkan dan menganalisis berbagai temuan data yang diperoleh. Untuk
memperoleh temuan berupa data yang dapat menjawab persoalan yang dibahas,
penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan analisis deskriptif.
Menurut Creswell, metode kualitatif merupakan sebuah metode dalam penelitian ilmiah
yang ditujukan untuk mengeksplorasi permasalahan yang berkaitan dengan kehidupan
manusia maupun aspek-aspek sosial, sehingga tidak bias dengan proses generalisasi
yang biasanya terjadi pada metode penelitian lainnya (Creswell, 2013). Selain itu,
penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari studi dokumentasi yang
terdiri atas buku, jurnal, makalah seminar, skripsi, tesis, disertasi, laporan riset, koran,
publikasi lembaga maupun internet dan sumber-sumber tertulis lainnya. Setelah itu,
penelitian ini kemudian akan melakukan proses analisis data yang dapat didefinisikan
sebagai proses pengorganisasian, penyusunan, pengurutan dan pengategorian data ke
dalam suatu pola atau kategori untuk dapat dipahami maknanya. Dalam memahami
makna dari data yang diperoleh, penelitian ini akan melakukan intepretasi terhadap
setiap temuan yang ada agar dapat dikaitkan dengan persoalan yang dibahas.
Hasil dan Pembahasan
Terpilihnya sosok Puan Maharani Nakshatra Kusyala atau yang kerap disebut
Puan Maharani sebagai Ketua DPR-RI periode 2019-2024 telah mengukirkan sejarah
baru kepemimpinan perempuan di Indonesia. Pasalnya, sejarah telah mendaulat Puan
sebagai sosok perempuan pertama yang berhasil menjadi ketua DPR-RI. Meskipun
Strategi Branding Politisi Perempuan: Studi Kasus Strategi Personal Branding Puan Maharani
Nakshatra Kusyala Devi Sebagai “Cucu Bung Karno” Dan “Putri Megawati Soekarnoputri”
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 6, Juni 2023 879
dalam konteks pimpinan DPR yang sifatnya kolektif-kolegial, tampilnya sosok Puan
bukanlah menjadi sesuatu yang baru. Hal ini mengingat jauh sebelum terpilihnya Puan,
DPR telah lebih dulu memiliki sosok pimpinan perempuan. Sosok yang dimaksud
diantaranya adalah Fatimah Achmad yang kala itu menjabat sebagai Wakil Ketua
MPR/DPR periode 1997-1999 dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia (F-PDI) dan
Khofifah Indar Parawansa yang menjabat Wakil Ketua DPR-RI bidang Industri,
Perdagangan, dan Pembangunan sejak 6 Oktober 1999 hingga 28 Oktober 1999 dari
Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (F-PKB).
Meskipun begitu, terpilihnya sosok Puan sebagai ketua DPR setidaknya dapat
dianggap sebagai sebuah pencapaian besar yang berhasil ditorehkan bangsa Indonesia.
Mengapa tidak? Sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, Indonesia telah
berhasil menunjukkan pada khalayak dunia bahwa perempuan dapat tampil sebagai
pemimpin. Bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa ibunda Puan, Megawati
Soekarnoputri yang merupakan putri sulung dari bapak proklamator Indonesia,
Soekarno, merupakan presiden perempuan pertama Indonesia. Hal ini kemudian
menjadi sebuah kebanggaan tersendiri bagi segenap rakyat Indonesia bahwa di tengah
proses transisi demokrasi yang masih berlangsung hingga kini, tampilnya sosok
perempuan dalam jabatan politik yang otoritatif menjadi sebuah keniscayaan bahwa
demokrasi Indonesia telah berjalan relatif mapan jika dibandingkan dengan banyak
negara demokrasi lainnya.
Selain menjadi salah satu cerminan dari kemapanan demokrasi di Indonesia,
tampilnya sosok Puan Maharani sebagai ketua DPR juga menjadi salah satu gambaran
terhadap supremasi kaum perempuan. Hal ini didasari oleh pencapaian yang berhasil
diraih Puan sejak debut pertama kalinya pada Pileg 2009, dimana ketika itu dirinya
merupakan caleg yang berhasil memperoleh suara terbanyak kedua nasional setelah
Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas). Pencapaian itu kemudian berhasil dipertahankan
pada pemilu berikutnya di tahun 2014, meskipun harus berada di bawah rekan satu
partainya sendiri yang kini menjadi Bupati Landak, yaitu Karolin Margret Natasha.
Namun, karier politik Puan rupanya berhasil sampai ke titik puncak setelah rekapitulasi
suara diselesaikan oleh KPU. Berdasarkan hasil rekapitulasi tersebut, Puan merupakan
caleg peraih suara tertinggi se-nasional dengan raihan sebanyak 404.034 suara dari
daerah pemilihan Jawa Tengah V (Solo, Sukoharjo, Klaten, dan Boyolali). Pencapaian
itu membuat Puan memiliki legitimasi yang kuat untuk menjadi perwakilan PDI-
Perjuangan pada posisi pimpinan DPR. Apalagi, hal itu semakin mulus adanya setelah
revisi UU MD3 (MPR, DPR, DPD, DPRD) mengembalikan ketentuan pengisian jabatan
pimpinan DPR berdasarkan perolehan kursi terbanyak. Alhasil, karena PDI-Perjuangan
berhasil keluar sebagai pemenang dengan capaian 128 kursi di DPR, menjadikan Puan
yang merupakan salah satu pengurus DPP dapat dicalonkan menjadi pimpinan DPR.
Dengan terpilihnya Puan Maharani sebagai ketua DPR yang baru, menarik
kemudian untuk diulas lebih lanjut adalah menyangkut dengan sejauh mana hal itu
dapat dimaknai sebagai harapan baru bagi perempuan Indonesia atau justru hanyalah
merupakan simbolisme semata. Hal tersebut tentunya tidak dapat dipisahkan dari
Rafifrian Evandio
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 7, Juli 2023 880
realitas politik yang menunjukkan bahwa besarnya biaya untuk maju dalam pemilu
menjadi hambatan kandidat perempuan. "Terlalu besarnya modal yang harus
dikeluarkan untuk bisa duduk ke bangku parlemen membuat perempuan memilih untuk
tidak maju sebagai kandidat" ujar Rahayu Saraswati selaku peneliti CWI dalam
wawancaranya dengan jurnal perempuan.
Sistem politik, pemilu dan kepartaian yang belum ramah terhadap perempuan
menjadi problem yang perlu diperhatikan (Daniswara & Riwanto, 2021). Hasil
penelitian CWI tahun 2019 mengenai perwakilan perempuan membuktikan bahwa
partai politik cenderung menganggap bahwa pencalonan perempuan hanya untuk
memenuhi kuota admnistratif. Perwakilan perempuan juga seringkali hanya dimaknai
sebagai tabungan suara partai. Kebanyakan partai yang mengusung perempuan juga
tidak turut memberikan penguatan kapasitas kader. Penelitian itu turut menekankan
pada sisi paradoks dari kebijakan afirmatif pemilu. Tidak hanya secara sistem, namun
budaya masyarakat yang masih patriarkis menjadi penghambat perempuan untuk terjun
ke dunia politik. Kultur politik juga masih memperlihatkan maskulinitas, sehingga
kebijakan relatif belum menyeluruh ramah terhadap perempuan.
Kebijakan yang sensitif terhadap kepentingan perempuan sebenarnya sudah cukup
masif di Indonesia. Hal itu contohnya dpat dilihat dari kebijakan UU No. 23 tahun 2004
mengenai penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, UU No. 12 tahun 2006
mengenai kewarganegaraan, UU No. 21 tahun 2007 mengenai pemberantasan
perdagangan orang dan lain sebagainya. Hanya saja banyak kebijakan lain yang
tumpang tindih dengan kemaslahatan perempuan. Beberapa hal lain turut luput dari
regulasi pemerintah, seperti regulasi penjara perempuan. Kebijakan soal perempuan
juga ada yang mengalami penangguhan seprti RUU PKS. Harapan Bagi Kebijakan Pro
Perempuan?
Hadirnya sosok perempuan sebagai ketua parlemen turut memunculkan harapan
baru. Eksistensi perempuan dalam parlemen penting dalam membenahi kebijakan
mengenai perempuan. Hal itu tentu karena kesamaan pengalaman sebagai perempuan,
sehingga memiliki preferensi yang senada, kemudian dapat menciptakan kebijakan
yang sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan perempuan. “Semangat Kartini selalu
menginspirasi kami meluaskan aspek pendidikan dan menekan angka buta huruf” kata
Puan, dilansir dari Liputan6com.
Kesimpulan
Adapun, dengan dilandaskan pada teori feminis mengenai keterwakilan
perempuan yang diungkapkan oleh Anne Phillips, dapat dikatakan bahwa pentingnya
political presence atau kehadiran sosok wakil yang memiliki kesamaan identitas dengan
konstituen. Kesamaan identitas mempengaruhi kesamaan ide dalam pembuatan
kebijakan. Seperti wakil perempuan berhak berbicara mengenai persoalan kepentingan
perempuan. Walaupun teori itu tidak menjamin keterwakilan perempuan sepenuhnya
bisa diwakili oleh identitas. Mengingat identitas seseorang saat ini tidak hanya satu.
Strategi Branding Politisi Perempuan: Studi Kasus Strategi Personal Branding Puan Maharani
Nakshatra Kusyala Devi Sebagai “Cucu Bung Karno” Dan “Putri Megawati Soekarnoputri”
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 6, Juni 2023 881
Seperti pada sosok perempuan, tentu di masyarakat perempuan juga terbagi dalam kelas
sosial yang berbeda kebutuhannya satu sama lain. Meskipun perempuan secara kodrat
memiliki kebutuhan yang sama.
Rafifrian Evandio
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 7, Juli 2023 882
Biblaiografi
al Hamid, Rizal. (2022). Reinterpretation Of Understanding Pancasila And The Value
Of Diversity Post-Reform Era: Reinterpretasi Pemahaman Pancasila Dan Nilai-
Nilai Kebhinekaan Pasca Reformasi. Empirisma: Jurnal Pemikiran Dan
Kebudayaan Islam, 31(1), 1629. https://doi.org/10.30762/empirisma.v31i1.448
Aziz, Faadillah Irsyad. (2021). Politik Identitas Komunitas KEPEMUDAAN (Studi
Kasus Paguyuban Pemuda 13 di Perum Kertasari, Desa Sukamaju, Kecamatan
Baregbeg, Kabupaten Ciamis). Universitas Siliwangi.
Daniswara, Vani Oviana, & Riwanto, Agus. (2021). Keterwakilan Politik Perempuan Di
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Dalam Pemilu Tahun 2019
(Analisis Yuridis Terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang
Pemilihan Umum Dikaitkan Dengan Perolehan Kursi Anggota Dewan
Perempuan). Res Publica, 5(1), 98113.
https://doi.org/10.20961/respublica.v5i1.58448
Dewi, Putu Yulia Angga. (2020). Paradigma Inisiasi Kultural Ke Multikulturalisme.
Purwadita: Jurnal Agama Dan Budaya, 4(1), 3346.
https://doi.org/10.55115/purwadita.v4i1.538
Habibi, Nadhir Muhammad. (2019). Kritik Herbert Marcuse atas kategori eros milik
Sigmund Freud: Studi Literatur. Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim.
Husain, Sulfitri. (2021). Problem Sosial Budaya. Nuta Media.
Marina, Nurul Fitria. (2019). Peran Ruang Terbuka Hijau dalam Pembangunan Kota.
Prosiding Seminar Nasional Rekayasa Teknologi Dan Industri (ReTII) Ke-14,
14(14), 473478. Institut Teknologi Nasional Yogyakarta.
Susilo, Muhammad Edy, & Nisa, Nurul Latifatun. (2019). Strategi Komunikasi Politisi
Perempuan. Jurnal Ilmu Komunikasi, 16(1), 5465.
https://doi.org/10.31315/jik.v16i1.2682
Wati, Widya. (2021). Menguatnya politik identitas di indonesia baik karena faktor
agama, sosial, dan etnis. Jurnal Pendidikan PKN (Pancasila Dan
Kewarganegaraan), 2(2), 6687.
Wulandari, Maulina Pia, Zahro, Maharina Novia, & Sujoko, Anang. (2022). Strategi
Komunikasi Politik Politisi Perempuan Dalam Membangun Citra Pemimpin
Perempuan (Analisis Naratif Gaya Komunikasi Politik Khofifah Indar
Parawansa). Interaktif: Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial, 14(1), 2649.