Strategi Branding Politisi Perempuan: Studi Kasus Strategi Personal Branding Puan Maharani 
Nakshatra Kusyala Devi Sebagai “Cucu Bung Karno” Dan “Putri Megawati Soekarnoputri” 
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 6, Juni 2023                             877 
 
secara  nasional  dalam  Negara  Kesatuan  Republik  Indonesia  (NKRI)  yang  kemudian 
dapat dimaknai sebagai cerminan dari sebuah multicultural society (Al Hamid, 2022). 
Sedangkan  kedua,  adanya  keberagaman  tersebut  juga  mengindikasikan  bahwa 
masyarakat  Indonesia  relatif  rentan  dengan  gejala  atau  sentimen  kedaerahan  hingga 
konflik  horizontal  maupun  vertikal  yang  dapat  berujung  pada  kekerasan  dan 
perpecahan, baik itu  dalam skala  yang lebih kecil (disorganisasi)  maupun skala yang 
lebih  besar  (disintegrasi)  (Husain,  2021).  Hal  itu  dikarenakan  keberagaman  tersebut 
justru  menjadi  bagian  yang  tak  terpisahkan  dengan  primordial  sentiment  karena 
masyarakat yang majemuk seperti Indonesia cenderung terbagi ke dalam sub-sub sistem 
yang masing-masing terikat dalam sebuah ikatan yang bersifat primordial. 
Adanya  primodial  sentiment  tersebut  yang  umumnya  dijumpai  dalam  realitas 
perpolitikan  di  tingkat  lokal,  kemudian  kerap  dimanifestasikan  dalam  wujud  sifat 
budaya  dan  tingkah  laku  politik  pada  konteks  suku  (tribe),  daerah  (region),  agama, 
kelompok  etnis,  hingga  pengelompokkan-pengelompokkan  sejenis  yang  sifatnya 
askriptif,  melekat,  hingga  “given”.  Untuk  itu,  sekalipun  memiliki  sebuah  identitas 
nasional yang sama dalam semangat kebangsaan dan kenegaraan, keberagaman dalam 
masyarakat  Indonesia  tidak  serta  merta  dapat  menegasikan  bahwa  setiap  individu 
memiliki  identitas  primordial  yang  berbeda.  Kemudian,  dalam  memahami  adanya 
primordial  sentiment  atau  primordial  loyalty  di  tengah  konteks  keberagaman 
masyarakat Indonesia, argumen dari Edward Shils setidaknya dapat dijadikan sebagai 
salah satu rujukan untuk memperkuat pandangan Clifford Geertz. Menurutnya, di balik 
ikatan-ikatan kekeluargaan atau kekerabatan yang terdapat dalam tiap individu, terselip 
sebuah “relational qualities” yang kompleks dan haruslah dipahami sebagai primordial 
karena  tidak  hanya  ditandai  dalam  sebuah  fungsi  interaksi  semata,  melainkan  juga 
merujuk  pada  ikatan-ikatan  darah  (primordial  bonds  atau  primordial  attachment) 
sebagai  cerminan  dari  properti  kultural  yang  bersifat  memaksa  dan  mengikat  para 
anggotanya.  Terlebih,  hal  tersebut  juga  selaras  dengan  apa  yang  disampaikan  oleh 
Geertz dimana ikatan primordial juga dipandang olehnya sebagai sesuatu yang bersifat 
involunter  dan  memiliki  daya  paksa  dalam  mentrasedensi  alinasi  serta  relasi  yang 
dipengaruhi  oleh kepentingan-kepentingan  yang  sifatnya  situasional  maupun  kondisi-
kondisi sosial yang berlaku secara konkret. 
Adapun jika dikaitkan dengan sosok Puan Maharani, setidaknya dapat dilihat dari 
bagaimana  label  sebagai  bagian  dari  “trah  Soekarno”  kemudian  kerap  kali dilekatkan 
pada dirinya. Padahal, jika ditinjau berdasarkan sistem garis keturunan patrilineal, sosok 
Puan Maharani  lebih cocok untuk dilabeli sebagai bagian dari  trah keluarga Kiemas, 
marga Taufik Kiemas, sang ayah. Akan tetapi, label “trah Soekarno” nampaknya justru 
menjadi label (brand) yang lebih melekat kuat dalam diri Puan Maharani. Hal ini pun 
menjadi  celah  (gap)  yang  menarik  untuk  diteliti  lebih  lanjut.  Apalagi,  jika 
dikontekstualisasikan dengan momentum saat Puan Maharani mencalonkan diri dalam 
pemilu legislatif untuk pertama kalinya pada tahun 2009. Pada saat itu, dirinya berhasil 
meraih  242.504  suara  dari  daerah  pemilihan  Jawa  Tengah  V  yang  sekaligus 
menjadikannya  sebagai  caleg  terpilih  dengan  suara  terbanyak  di  peringkat  ketujuh.