pISSN: 2723 - 6609 e-ISSN : 2745-5254
Vol. 4, No. 5, Mei 2023 http://jist.publikasiindonesia.id/
Doi : 10.59141/jist.v4i6.631 726
PENGGUNAAN DOKUMEN ELEKTRONIK SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM
PUTUSAN PERKARA PORNOGRAFI (STUDI PUTUSAN NOMOR 16/PID
SUS/2021/PN KUPANG DAN PUTUSAN NOMOR 162/PID.SUS/2020/PN
KUPANG)
Karloswan Sersan Sedau
1*
, Reny Rebeka Masu
2
, Ishak Alfred Tungga
3
Universitas Nusa Cendana Kupang, Indonesia
*Correspondence
INFO ARTIKEL
ABSTRAK
Diterima
: 30-05-2023
Direvisi
: 13-06-2023
Disetujui
: 14-06-2023
Tujuan penelitian ini adalah untuk: pertama menjelaskan fungsi
dokumen elektronik sebagai alat bukti oleh hakim dalam pertimbangan
Putusan Perkara Pornografi Nomor: 16/Pid.Sus/2021/PN Kupang dan
Nomor: 162/Pid.Sus/2021/PN Kupang. Kedua, untuk mengetahui
pertimbangan hakim dalam Putusan Perkara Pornografi Nomor:
16/Pid.Sus/2021/PN Kupang dan Nomor: 162/Pid.Sus/2021/PN
Kupang. Penelitian ini dilakukan di Pengadilan Negeri Kupang,
menggunakan metode literature review yaitu pengumpulan intisari dari
dokumen, buku jurnal, majalah, surat kabar, dan sumber yang berasal
dari media elektronik atau laporan-laporan yang berhubungan dengan
topik yang diteliti di mana teknik analisis bahan yang penulis gunakan
adalah teknik analisis deskriptif. Hasil penelitian yang dilakukan
penulis menunjukan bahwa: (1) Alat bukti berupa Informasi elektronik
dan/atau dokumen elektronik, bisa berdiri sendiri sebagai alat bukti
sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 Undang-undang Nomor 19 tahun
2016 tentang ITE dan alat bukti yang tidak berdiri sendiri (pengganti
surat dan perluasan bukti petunjuk) Pasal 184 ayat (1) KUHAP. (2)
Disparitas dalam perkara pornografi Putusan Nomor:
16/Pid.Sus/2021/PN.Kpg di pidana penjara selama 1 (satu) tahun
sedangkan Putusan Nomor: 162/Pid.Sus/2020/PN.Kpg dipidana penjara
selama 9 (sembilan) bulan. Perbedaan putusan tersebut merupakan
pertimbangan hakim dilatar-belakangi oleh rasa keadilan yang berbeda
yang kemudian dapat dibedakan sebagai pertimbangan yuridis dan non
yuridis.
ABSTRACT
The purpose of this study is to: first, to explain the function of
electronic documents as evidence by judges in the consideration of the
Decision on Pornography Case Number: 16/Pid.Sus/2021/PN Kupang
and Number: 162/Pid.Sus/2021/PN Kupang. Second, to find out the
judge's consideration in the Decision on Pornography Case Number:
16/Pid.Sus/2021/PN Kupang and Number: 162/Pid.Sus/2021/PN
Kupang. This research was conducted at the Kupang District Court,
using the literature review method, namely collecting digests from
documents, journal books, magazines, newspapers, and sources
originating from electronic media or reports related to the topic under
study where the material analysis technique the author uses is
descriptive analysis technique. The results of the research conducted by
the author show that: (1) Evidence in the form of electronic information
and / or electronic documents, can stand alone as evidence as stated in
Article 5 of Law Number 19 of 2016 concerning ITE and evidence that
does not stand alone (substitute for letters and expansion of clue
evidence) Article 184 paragraph (1) KUHAP. (2) Disparity in
pornography cases Decision Number: 16/Pid.Sus/2021/PN.Kpg was
Kata kunci: Penggunaan
Dokumen Elektronik; Alat
Bukti; Pertimbangan Hakim;
Putusan Perkara; Pornografi.
Keywords:. Use of Electronic
Documents; Evidence; Judges
Consideration; Case
Decisions; Pornography.
Penggunaan Dokumen Elektronik Sebagai Alat Bukti Dalam Putusan Perkara Pornografi (Studi
Putusan Nomor 16/Pid Sus/2021/Pn Kupang Dan Putusan Nomor 162/Pid.Sus/2020/Pn
Kupang)
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 6, Juni 2023 727
imprisoned for 1 (one) year while Decision Number:
162/Pid.Sus/2020/PN.Kpg was imprisoned for 9 (nine) months. The
difference in these decisions is the judge's consideration motivated by a
different sense of justice which can then be distinguished as juridical
and non-juridical considerations.
Attribution-ShareAlike 4.0 International
Pendahuluan
Indonesia diakui sebagai negara hukum sesuai dengan ketentuan yang tercantum
dalam UUD 1945, khususnya dalam Pasal 1 Ayat (3). Ini berarti bahwa semua bidang
kehidupan negara diatur berdasarkan prinsip-prinsip hukum. Hukum harus dilaksanakan
dan ditegakkan (Heru Kurniawan, 2020). Semua orang berharap bahwa ketika terjadi
peristiwa nyata, hukum akan diterapkan dengan adil. Hukum dibuat untuk kepentingan
manusia, oleh karena itu, implementasi dan penegakan hukum harus memberikan
manfaat yang nyata dan bermanfaat bagi masyarakat (Moho, 2019). Peran yang sangat
penting dalam negara hukum diemban oleh penegak hukum, terutama hakim. Tugas
utama hakim meliputi pemeriksaan, pengadilan, dan memberikan putusan atas perkara
yang diajukan kepada mereka (Marsinah, 2018).
Terbitnya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 merupakan hasil perubahan
yang dilakukan terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik. Undang-Undang tersebut menjadi dasar hukum yang substantif
dalam mengatur tentang alat bukti elektronik (Rajab, 2018). Dalam hal ini, Undang-
Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik memberikan pengakuan terhadap
keberadaan alat bukti elektronik, menunjukkan bahwa alat bukti tidak hanya terbatas
pada yang diatur dalam KUHAP. Meskipun demikian, muncul permasalahan ketika
persyaratan formil yang diatur dalam KUHAP diterapkan pada alat bukti elektronik
(Pribadi, 2018).
Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, sebagai dasar
hukum untuk alat bukti elektronik, tidak memberikan ketentuan yang terperinci
mengenai prosedur atau tata cara pengajuan alat bukti elektronik di Pengadilan.
Akibatnya, seringkali alat bukti elektronik ini tidak memiliki kekuatan pembuktian yang
sama dengan alat bukti konvensional yang diatur dalam KUHAP (Riadi, Rato, &
Susanti, 2022).
Pasal 183 KUHAP menyatakan bahwa seorang hakim hanya dapat memutuskan
seseorang bersalah dan menjatuhkan hukuman pidana jika ia memiliki minimal dua alat
bukti yang sah yang memberikan keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi
dan terdakwa yang bersalah. Alat bukti tersebut diperoleh melalui pemeriksaan di
sidang pengadilan, yang didasarkan pada surat dakwaan yang diajukan oleh Penuntut
Umum dan dilimpahkan ke pengadilan. Pasal 184 KUHAP juga menjelaskan bahwa alat
bukti yang sah termasuk keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan
keterangan terdakwa (Pratiwi & Yulianti, 2022).
Karloswan Sersan Sedau, Reny Rebeka Masu, Ishak Alfred Tungga
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 6, Juni 2023 728
Penggunaan dokumen elektronik sebagai alat bukti dalam mengungkap kejahatan
internet dapat dilihat dalam kasus pornografi (Daniel Widya Kurniawan, 2020).
Pornografi merupakan permasalahan sosial yang rumit, terutama karena adanya
peningkatan kasus pornografi yang terjadi melalui media sosial seperti Facebook,
Messenger, WhatsApp, dan berbagai platform lainnya yang memanfaatkan kemajuan
teknologi. Oleh karena itu, penggunaan dokumen elektronik diharapkan dapat menjadi
alat bukti yang efektif dalam membuktikan kejahatan pornografi yang semakin marak
saat ini (Frananda, 2021).
Hasil pra-penelitian yang dilakukan oleh peneliti di Pengadilan Negeri Kupang
mengungkapkan beberapa putusan perkara pornografi yang akan disampaikan. Salah
satunya adalah putusan perkara dengan nomor 16/Pid.Sus/2021/PN Kupang yang
melibatkan terdakwa bernama Aprolus Afner Nalle, yang dihukum oleh majelis hakim
dengan pidana penjara selama satu tahun (Banjarnahor & Faridah, 2023). Peneliti
merasa tertarik untuk melakukan penelitian yang kemudian dijelaskan dalam tulisan ini
dengan judul "Penggunaan Dokumen Elektronik sebagai Alat Bukti oleh Hakim dalam
Pertimbangan Putusan Perkara Pornografi (Studi Putusan Nomor 16/Pid Sus/2021/PN
Kupang dan Putusan Nomor 162/Pid Sus/2020/PN Kupang)".
Metode Penelitian
1. Spesifikasi Penilitian
Spesifikasi penelitan yang calon peneliti kerjakan yakni bersifat normatif yakni
menelaah sumber-sumber pustaka, putusan pengadilan, dokumen serta buku-buku.
2. Aspek Penelitian
a. Dokumen Elektronik sebagai alat bukti oleh hakim dalam perkara pornografi
putusan nomor: 16/Pid.Sus/2021/PN Kupang dan nomor 162/Pid.Sus/2021/PN
Kupang.
b. Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi terhadap perkara pornografi dalam
putusan nomor: 16/Pid.Sus/2021/PN Kupang dan nomor 162/Pid.Sus/2021/PN
Kupang
c. Contoh kasus pidana dengan alat bukti Dokumen Elktronik;
d. Kasus pornografi pada putusan nomor 16/Pid.Sus/2021/PN Kupang
e. Kasus pornografi pada putussan nomor 162/Pid.Sus/2020/PN Kupang
3. Metode pendekatan. Metode pendekatan yang digunakan calon peneliti dalam
penelitian ini adalah:
Penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus untuk menganalisis kasus-
kasus tindak pidana pornografi yang terdapat dalam Putusan PN Kupang Nomor
16/Bis.Sus/2021/PN Kupang dan Putusan PN Kupang Nomor 162/Pid.Suss/2020/PN
Kupang. Pendekatan studi kasus dilakukan dengan mengkaji kasus-kasus yang terkait
dengan isu yang sedang dihadapi, dan menganalisis putusan pengadilan yang telah
memiliki kekuatan hukum tetap.
Penggunaan Dokumen Elektronik Sebagai Alat Bukti Dalam Putusan Perkara Pornografi (Studi
Putusan Nomor 16/Pid Sus/2021/Pn Kupang Dan Putusan Nomor 162/Pid.Sus/2020/Pn
Kupang)
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 6, Juni 2023 729
Pendekatan Undang-undang yang dimana pendekatan yang dilakukan menelaah
semua peraturan perundang-undangan yang bersangkut-paut dengan isu hukum yang
ingin diteliti.
Hasil dan Pembahasan
1. Penggunaan Dukumen Elektronik Sebagai Alat Bukti Oleh Hakim Dalam
Pertimbangaan Putusan Perkara Pornografi
Pengertian pembuktian dalam kamus bahasa Indonesia merujuk pada proses atau
metode yang digunakan untuk membuktikan kebenaran atau ketidakbenaran argumen
terdakwa dalam sidang pengadilan. Menurut (Nugroho, 2017), Dari perspektif hukum,
pembuktian melibatkan seperangkat aturan yang menggarisbawahi dan memberikan
panduan tentang metode yang sah untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan
kepada terdakwa.
Berdasarkan ketentuan Pasal 183 KUHAP, sistem pembuktian dalam hukum acara
pidana Indonesia mengadopsi pendekatan pembuktian negatif (negatif wettelijk) atau
pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif. Sistem pembuktian ini memiliki
kesamaan dengan sistem pembuktian conviction in raison, di mana hakim dalam
membuat keputusan mengenai kesalahan atau tidaknya seorang terdakwa terikat oleh
alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang dan keyakinan (nurani) pribadi hakim.
Dalam sistem pembuktian negatif, terdapat dua syarat yang harus dipenuhi untuk
membuktikan kesalahan terdakwa, yaitu adanya alat bukti yang sah yang ditentukan
oleh undang-undang (wettelijk) dan keyakinan hakim (negatif).
Menurut (Ramadhan, 2017), Sistem pembuktian negatif (negative
wettelijkbewijstheorie) atau sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara
negatif menegaskan bahwa pemidanaan bergantung pada pembuktian ganda (dubbel
engrondslag: Simons), yaitu berdasarkan peraturan undang-undang dan keyakinan
hakim. Keyakinan hakim didasarkan pada peraturan undang-undang. Oleh karena itu,
dalam menjatuhkan pidana kepada terdakwa, hakim harus memiliki minimal 2 alat bukti
dan keyakinannya. Keyakinan hakim harus dibangun dengan memiliki minimal 2 alat
bukti. Tanpa adanya minimal alat bukti tersebut, keyakinan hakim tidak dapat terbentuk.
Mengenai alat-alat bukti yang dapat digunakan hakim untuk menentukan
seseorang bersalah atau tidak telah diatur dalam Pasal 184 KUHAP yang meliputi:
Keterangan saksi, Keterangan ahli, Surat, Petunjuk, dan Keterangan terdakwa (Hanafi &
Pamuji, 2019).
Berdasarkan Pasal 184 KUHAP, bukti elektronik tidak termasuk dalam kategori
alat bukti yang diakui secara sah. Meskipun demikian, Mahkamah Agung dalam
suratnya kepada Menteri Kehakiman pada tanggal 14 Januari 1988
No.39/TU/88/102/Pid menyatakan pandangannya bahwa microfilm atau microfiche
dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah dalam perkara pidana di pengadilan sebagai
pengganti alat bukti surat. Namun, hal ini hanya berlaku jika microfilm atau microfiche
telah dijamin keotentikasian dan dapat dilacak melalui registrasi dan berita acara. Dalam
Karloswan Sersan Sedau, Reny Rebeka Masu, Ishak Alfred Tungga
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 6, Juni 2023 730
pandangan Mahkamah Agung, bukti elektronik berupa microfilm atau microfiche
memiliki status yang setara dengan bukti surat dan berfungsi dengan cara yang serupa.
Dalam perkembangannya, pengaturan mengenai penggunaan bukti elektronik juga
tercantum dalam beberapa undang-undang khusus, seperti Undang-Undang RI Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah mengalami
perubahan dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001, Undang-Undang RI
Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang,
Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
yang telah mengalami perubahan dengan Undang-Undang RI Nomor 19 Tahun 2016,
Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Undang-Undang RI
Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang, serta Undang-Undang RI Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Dalam Undang-Undang pidana khusus, alat bukti elektronik dirumuskan secara
tegas dan mempunyai kekuatan sebagai alat bukti yang sah (Kartika, 2019). Namun,
terdapat perbedaan kebijakan dalam perundang-undangan pidana mengenai status alat
bukti elektronik. Beberapa peraturan menganggap alat bukti elektronik sebagai
perluasan dari alat bukti surat dan petunjuk, sementara peraturan lain mengakui alat
bukti elektronik sebagai entitas yang berdiri sendiri. Perkembangan terbaru dalam hal
alat bukti dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 yang mengubah
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE. Undang-Undang ini merupakan
respons terhadap perkembangan kejahatan berbasis teknologi informasi (cybercrime)
dan memberikan pengakuan terhadap alat bukti elektronik yang sangat penting dalam
penanganan kejahatan tersebut, seperti informasi elektronik dan dokumen elektronik
(Wijayanti & Pujiyono, 2012).
Menurut Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 yang mengubah
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang informasi elektronik dan dokumen
elektronik, informasi elektronik dan dokumen elektronik memiliki kekuatan sebagai alat
bukti yang sah. Pasal tersebut juga menjelaskan bahwa informasi elektronik dan
dokumen elektronik merupakan perluasan dari alat bukti yang diakui secara hukum
dalam proses hukum di Indonesia. Penegasan mengenai penggunaan informasi
elektronik dan dokumen elektronik sebagai alat bukti juga tercantum dalam Pasal 44
UU No. 11 Tahun 2008, yang menyebutkan bahwa alat bukti dalam penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan mencakup alat bukti yang diatur dalam
perundang-undangan, serta informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagai
alat bukti tambahan.
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 dan angka 4, serta Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008, dapat disimpulkan bahwa bukti elektronik
memiliki status sebagai alat bukti yang mandiri dan merupakan perluasan dari alat bukti
yang sah dalam hukum acara pidana Indonesia. Oleh karena itu, bukti elektronik dapat
digunakan sebagai alat bukti dalam persidangan. Selain itu, status bukti elektronik
sebagai alat bukti yang berdiri sendiri juga berlaku dalam konteks tindak pidana
Penggunaan Dokumen Elektronik Sebagai Alat Bukti Dalam Putusan Perkara Pornografi (Studi
Putusan Nomor 16/Pid Sus/2021/Pn Kupang Dan Putusan Nomor 162/Pid.Sus/2020/Pn
Kupang)
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 6, Juni 2023 731
terorisme (Pasal 38 UU No. 9 Tahun 2013), tindak pidana pencucian uang (Pasal 73 UU
No. 8 Tahun 2010), tindak pidana narkotika (Pasal 86 UU No. 35 Tahun 2009), dan
tindak pidana perdagangan orang (Pasal 20 UU No. 21 Tahun 2007).
Pasal 26A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menyatakan bahwa dalam
kasus tindak pidana korupsi, bukti elektronik dapat dianggap sebagai perluasan dari alat
bukti yang sah. Pasal tersebut menjelaskan bahwa bukti yang diucapkan, dikirim,
diterima, atau disimpan secara elektronik melalui alat optic atau teknologi serupa, serta
dokumen yang dapat dilihat, dibaca, atau didengar baik dalam bentuk fisik maupun
elektronik, seperti tulisan, suara, gambar, dan lainnya, dapat digunakan sebagai bukti
yang memiliki makna dalam pengadilan.
Pasal 188 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa petunjuk merupakan suatu
peristiwa atau tindakan yang menunjukkan adanya tindak pidana dan identitas
pelakunya, baik melalui korelasi dengan elemen-elemen lainnya dalam kasus tersebut.
Pada ayat (2) pasal tersebut dijelaskan bahwa petunjuk hanya dapat diperoleh dari
keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. M. Yahya Harahap menyatakan
bahwa Pasal 182 ayat (2) KUHAP memberikan batasan terhadap kewenangan hakim
dalam memperoleh petunjuk sebagai alat bukti. Sumber-sumber yang dapat digunakan
untuk membangun petunjuk terbatas pada alat-alat bukti yang secara spesifik diatur
dalam Pasal 188 ayat (2). Ketentuan ini secara tegas menegaskan bahwa petunjuk
"hanya" dapat diperoleh melalui: keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa.
Dari perkataan “hanya”, tampaknya sudah secara “limitatif” ditentukan, yang
berarti dilarang mencari dan memperoleh petunjuk dari bukti keterangan ahli. Apabila
ketentuan Pasal 188 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP dikaitkan dengan Pasal 26A UU No.
20 Tahun 2001, maka saat ini alat bukti petunjuk berasal dari keterangan saksi, surat,
keterangan terdakwa, dan bukti elektronik berupa informasi dan dokumen.
Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan bahwa bukti elektronik berupa
informasi dan/atau dokumen elektronik memiliki keabsahan sebagai alat bukti dalam
proses hukum pidana. Bukti elektronik memiliki tiga status, yaitu sebagai pengganti
surat, alat bukti yang mandiri, dan perluasan dari bukti petunjuk. Meskipun tidak diatur
secara eksplisit dalam KUHAP, pengaturan mengenai status bukti elektronik dapat
ditemukan dalam undang-undang khusus dan instrumen hukum yang dikeluarkan oleh
Mahkamah Agung. Status-status tersebut dapat disederhanakan menjadi dua, yakni alat
bukti yang berdiri sendiri dan alat bukti yang bukan berdiri sendiri (sebagai pengganti
surat dan perluasan bukti petunjuk).
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa dalam hukum acara pidana, bukti elektronik
memiliki keberlakuan yang sah sebagai alat bukti. Bukti elektronik memiliki dua status,
yaitu sebagai alat bukti yang mandiri dan sebagai pengganti surat serta perluasan dari
bukti petunjuk. Meskipun tidak diatur secara tegas dalam KUHAP, penggunaan bukti
elektronik diakui dalam praktik peradilan pidana dan diatur dalam undang-undang
khusus serta instrumen hukum yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung. Undang-
undang khusus tersebut telah menetapkan penggunaan bukti elektronik dalam
Karloswan Sersan Sedau, Reny Rebeka Masu, Ishak Alfred Tungga
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 6, Juni 2023 732
pembuktian perkara pidana, baik pada tahap penyidikan, penuntutan, maupun
persidangan.
Pasal 5 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2008 menentukan, bahwa informasi elektronik
dan/atau dokumen elektronik dinyatakan sah apa bila menggunakan system elektronik
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini. Kemudian ayat (4) pasal
itu menentukan, bahwa ketentuan mengenai informasi dan/atau dokumen elektronik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk: (a) surat yang menurut
undang undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan (b) surat beserta dokumennya
yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk akta notaris atau akta yang
dibuat oleh pejabat pembuat akta.
Menurut Pasal 6 UU No. 11 Tahun 2008 tentang pornografi, jika tidak ada
ketentuan lain yang mensyaratkan bentuk tertulis atau asli, bukti elektronik berupa
informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dianggap sah jika dapat diakses,
ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan. Dalam prinsip
kesetaraan fungsional, informasi dan/atau dokumen elektronik dianggap setara dengan
bukti tulisan atau surat. Dalam Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) Jo. Pasal 6 UU No. 11
Tahun 2008, dijelaskan bahwa bukti elektronik dianggap sah jika menggunakan sistem
elektronik yang telah ditentukan dan memenuhi persyaratan akses, tampilan, keutuhan,
dan pertanggungjawaban. Pendapat Debra di atas juga menyatakan bahwa bukti
elektronik yang dapat dipercaya, relevan, dan memiliki kekuatan materi harus diterima
sebagai alat bukti yang sah dalam hukum acara pidana di pengadilan. Dengan demikian,
informasi dan/atau dokumen elektronik diakui sebagai alat bukti yang sah untuk
mengatasi pelanggaran dalam sistem elektronik dan transaksi elektronik, terutama
dalam pembuktian tindak pidana yang melibatkan penggunaan sistem elektronik.
2. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap
perkara pornografi dalam putusan nomor 16/Pid.Sus/2021/PN Kupang dan
nomor 162/Pid.Sus/2021/PN Kupang
Dalam menerapkan hukum positif, penting untuk mempertimbangkan prinsip
keadilan yang berlaku dalam masyarakat agar putusan hakim diterima dengan baik oleh
semua pihak. Oleh karena itu, hakim memiliki tanggung jawab untuk menjamin
kebenaran, kepastian hukum, dan keadilan bagi setiap individu. Putusan hakim selama
proses peradilan bertujuan untuk mencapai keadilan, kepastian hukum, dan memberikan
manfaat dari hukum, baik untuk masyarakat maupun pelaku tindak pidana. Dalam
memberikan putusan, hakim perlu mempertimbangkan faktor-faktor yang dapat
memberatkan atau meringankan pidana, seperti usia terdakwa yang sudah lanjut atau
riwayat kejahatan sebelumnya. Dalam menentukan sanksi pidana, hakim harus
mempertimbangkan aspek-aspek yuridis dan non-yuridis. Pertimbangan hakim ini
didasarkan pada fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan, yang juga disebut
sebagai pertimbangan yuridis. Pertimbangan hakim yang bersifat yuridis ini dapat
diklasifikasikan berdasarkan:
1. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum Dakwaan ini merupakan acuan hukum acara
pidana yang berisi identitas terdakwa serta tindak kriminal apa yang dilakukan oleh
Penggunaan Dokumen Elektronik Sebagai Alat Bukti Dalam Putusan Perkara Pornografi (Studi
Putusan Nomor 16/Pid Sus/2021/Pn Kupang Dan Putusan Nomor 162/Pid.Sus/2020/Pn
Kupang)
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 6, Juni 2023 733
terdakwa beserta uraiannya. Dakwaan ini juga digunakan oleh hakim sebagai
pertimbangan dalam menjatuhkan sanksi pidana.
2. Keterangan terdakwa merupakan apa saja perkataan terdakwa dalam persidangan
berisikan perihal perbuatannya. Keterangan ini diatur dalam KUHAP Pasal 184
3. Keterangan Saksi, yaitu penjelasan perihal apa saja yang di dengar maupun dilihat
saksi secara langsung dan disampaikan dalam persidangan dengan disumpah
terlebih dahulu. Keterangan saksi ini dapat mengungkap perbuatan pidana apa yang
terjadi.
4. Barang Bukti juga dapat menjadi pertimbangan dan menambah keyakinan hakim
untuk menentukan suatu perbuatan pidana benar-benar terjadi. Sedangkan
pertimbangan yang bersifat non yuridis sendiri yaitu dibagi berdasarkan: (a) Tujuan
pelaku melakukan tindak pidana Saat pelaku melakukan suatu tindak pidana pasti
ada tujuan atau maksud tertentu yang ingin dicapai oleh terdakwa atau ada alasan
tertentu yang menyebabkan terdakwa melakukan tindak pidana tersebut. (b) Sikap
pelaku saat dan setelah melakukan tindak pidana Hal ini dapat di identifikasikan
pada saat pelaku dimintai keterangan tentang perbuatannya, jika ia menjelaskan
dengan jelas dan tidak terbelit-belit, pelaku membenarkan tindakannya dan berjanji
tidak mengulangi kembali, maka hakim menilai bahwa pelaku bertanggungjawab
atas perbuatan yang dilakukannya. Hakim juga akan mempertimbangkan apakah
pelaku memberi ganti rugi atau uang santunan dan melakukan permintaan maaf
kepada keluarga korban. (b) Latar belakang kehidupan pelaku Kehidupan pelaku
pada saat sebelum melakukan tindak pidana juga menjadi dasar hakim
mempertimbangkan hukuman pidana untuknya. Misalnya, jika pelaku belum
bertindak kriminal sebelumnya atau kondisi ekonomi pelaku yang tergolong
kedalam kondisi masyarakat kurang mampu, maka akan menjadi pertimbangan
hakim untuk mengurangi sanksi yang akan diberikan.
Dalam proses pengadilan, terkadang terjadi ketidaksesuaian dalam pemberian
hukuman pidana yang disebut disparitas pidana. Disparitas pidana terjadi ketika dua
pelaku kejahatan yang melakukan tindak pidana yang sama dan dijerat dengan pasal
yang sama, tetapi menerima hukuman yang berbeda. Disparitas juga bisa terjadi antara
dua pelaku tindak pidana yang berkomplot. Peran hakim sangat berpengaruh dalam
terjadinya disparitas pidana karena kurangnya pedoman yang jelas dalam menentukan
hukuman pidana dan kebebasan hakim dalam memutuskan hukuman. Faktor ini
mengindikasikan perlunya adanya panduan bagi hakim dalam menjatuhkan putusan
pidana yang sesuai dengan aturan yang berlaku. Disparitas pidana bisa dibenarkan
dalam beberapa kasus tindak pidana yang serius, tetapi perlu adanya asumsi dan latar
belakang yang jelas dan dapat diterima.
Berikut beberapa perkara terjadinya disparitas dalam tindak pidana pornografi
terjadi Di Pengadilan Negeri Kupang yang tertuang dalam putusan 16/Pid.Sus/2021/PN
Kupang dan tahun 2020 dengan putusan 162/Pid.Sus/2020/PN Kupang. Kedua putusan
tersebut sama-sama melanggar Pasal 29 jo pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 44
Karloswan Sersan Sedau, Reny Rebeka Masu, Ishak Alfred Tungga
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 6, Juni 2023 734
Tahun 2008 tentang pornografi yakni membuat, memperbanyak, menggandakan,
menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjual-
belikan, menyewakan atau menyediakan pronografi yang secara eksplisit memuat
persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang, kekerasan seksual,
masturbasi atau onani, ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan,
alat kelamin. Berikut ini adalah analisa kasus dan pertimbangan-pertimbangan hakim
dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pornografi:
1. Kasus Posisi I putusan No.: 16/Pid.Sus/2021/PN Kupang
Dalam perkara tindak pidana pornografi dengan nomor perkara
16/Pid.Sus/2021/PN Kupang, terdakwa yang dikenal dengan nama Aprolus Afner Nalle
alias Ap, seorang pria yang tinggal di Jln. Nikolas Penun Limau RT. 001 RW. 001 Kel.
Naioni, Kec. Alak, Kota Kupang, diduga melakukan tindakan yang melibatkan
pengiriman pesan dan konten pornografi melalui akun Facebooknya kepada korban
bernama Glory Estevan Hendrik, yang juga memiliki akun Facebook dengan nama
Glory van Louis. Dalam pesan tersebut, terdakwa menawarkan jasa dengan kalimat
yang merujuk pada kegiatan seksual dan melampirkan foto alat kelamin pria (milik
terdakwa) serta video porno dengan durasi tertentu. Terdakwa juga mengarahkan
korban untuk bertemu di depan Gereja Koinonia, meminta korban untuk memotret
dirinya dalam pose telanjang, dan memberikan alamat terdakwa di jalur 40. Setelah
korban mencari tahu identitas pemilik akun Facebook bernama Bojan (yang digunakan
terdakwa), korban melakukan percakapan dengan terdakwa yang mengakui identitasnya
sebagai Ap dan memberikan nomor WhatsApp terdakwa. Pada tanggal 13 November
2020, korban datang ke tempat terdakwa dengan didampingi oleh tiga anggota
kepolisian dan terdakwa kemudian diamankan. Perbuatan terdakwa dianggap
mengganggu dan membuat korban merasa malu, karena terdakwa adalah sepupu korban
dan memperlakukan korban seolah-olah korban adalah seorang pelacur. Tindakan
terdakwa tersebut melanggar Pasal 29 Jo Pasal 4 Ayat (1) huruf e Undang-undang RI
Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
Dalam mempertimbangkan sanksi pidana terhadap terdakwa dalam perkara
Nomor 16/Pid.Sus/2021/PN Kupang, hakim memiliki beberapa pertimbangan, di
antaranya:
a) Terpenuhinya unsur "setiap orang" sebagaimana yang diatur dalam Undang-
Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Unsur ini mencakup individu atau
perusahaan yang identitasnya telah diuraikan dalam surat dakwaan yang diajukan
oleh jaksa penuntut umum. Dalam kasus ini, Aprolus Afner Nalle alias Ap
memenuhi unsur "setiap orang" sesuai dengan identitas yang tercantum dalam surat
dakwaan jaksa penuntut umum.
b) Terpenuhinya unsur melakukan, membuat, memperbanyak, menggandakan,
menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan,
memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan materi pornografi yang secara
eksplisit mengandung adegan persenggamaan, termasuk persenggamaan yang
menyimpang, kekerasan seksual, masturbasi atau onani, ketelanjangan, atau
Penggunaan Dokumen Elektronik Sebagai Alat Bukti Dalam Putusan Perkara Pornografi (Studi
Putusan Nomor 16/Pid Sus/2021/Pn Kupang Dan Putusan Nomor 162/Pid.Sus/2020/Pn
Kupang)
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 6, Juni 2023 735
tampilan yang mengesankan ketelanjangan dan alat kelamin. Terdakwa melakukan
tindakan tersebut dengan mengirimkan pesan melalui aplikasi Facebook Messenger
dengan kalimat "Bisa Bako’i ko? 1 jam 150, mau ko?" yang dilengkapi dengan foto
alat kelamin terdakwa dan video porno berdurasi 1 menit 27 detik kepada korban.
Hakim mempertimbangkan berbagai faktor yang menyebabkan sanksi yang
diberikan kepada terdakwa menjadi lebih berat dalam kasus tindak pidana pornografi
ini. Tindakan terdakwa, seperti mengirim pesan melalui Facebook Messenger kepada
akun Facebook milik Glory Estevan Hendrik dengan kalimat "Bisa Bako'i ko? 1 jam
150, mau ko?", serta melampirkan foto alat kelamin terdakwa dan video porno berdurasi
1 menit 17 detik, telah menimbulkan rasa malu dan ketidaknyamanan pada korban.
Sebagai faktor yang meringankan, terdakwa mengakui perbuatannya. Oleh karena itu,
hakim memutuskan untuk memberikan pidana penjara selama 1 (satu) tahun kepada
terdakwa Aprolus Afner Nallealias Ap, serta menyita barang bukti yang terdiri dari satu
unit handphone merk Samsung Galaxy A6 dengan nomor IMEI 1: 357931093627003,
nomor IMEI 2: 357932093627001, satu buah SIM card Telkomsel dengan nomor
082235504804 yang terdapat di dalam handphone, 18 lembar print out percakapan
messenger dari akun Facebook dengan nama Bojan, dan satu buah flashdisk merk HP
berwarna putih biru yang berisi video porno hasil unduhan dari pesan akun messenger
Facebook dengan nama Bojan, berdurasi 1 menit 27 detik.
Penulis memberikan analisis terhadap Putusan Nomor 16/Pid.Sus/2021/PN
Kupang yang menyatakan bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana pornografi
dengan memanfaatkan orang lain sebagai objek yang mengandung konten pornografi.
Tindakan ini melanggar Pasal 29 Jo Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 44 Tahun
2008 tentang pornografi. Dalam memutuskan pidana, hakim mempertimbangkan aspek
yuridis dan non-yuridis. Dari segi yuridis, terdakwa terbukti memenuhi unsur dakwaan
yang diajukan oleh Penuntut Umum. Terdakwa juga mengakui perbuatannya
berdasarkan barang bukti dan keterangan saksi yang menyatakan bahwa terdakwa
bersalah melakukan tindak pidana pornografi. Dari segi non-yuridis, hakim
mempertimbangkan bahwa terdakwa tidak pernah menjalani masa hukuman
sebelumnya, serta sikap terdakwa yang baik dan pengakuannya selama persidangan.
Penulis berpendapat bahwa vonis hukuman penjara selama 1 (satu) tahun dan denda
sebesar Rp. 500.000.000,- yang dijatuhkan oleh hakim sesuai dengan ketentuan yang
berlaku dalam Undang-Undang No 44 Tahun 2008 tentang pornografi. (Mahkamah
Agung RI 2021)
2. Kasus Posisi II nomor perkara 162/Pid.Sus/2020/PN Kupang
Dalam putusan dengan nomor perkara 162/Pid.Sus/2020/PN Kupang, terdapat
kasus kedua tindak pidana pornografi yang melibatkan Stevanus Lere Ri'a sebagai
terdakwa. Kejadian tersebut terjadi pada tanggal 20 Mei 2020 di kios milik terdakwa
yang berlokasi di jalan Adisucipto, Kelurahan Oesapa, Kecamatan Kelapa Lima.
Awalnya, terdakwa melakukan tindakan dengan membuka celana dan mengambil
beberapa foto kelaminnya yang sedang tegang menggunakan handphone Samsung
Karloswan Sersan Sedau, Reny Rebeka Masu, Ishak Alfred Tungga
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 6, Juni 2023 736
warna hitam model SM-J11 miliknya, lalu menyimpan foto-foto tersebut di dalam galeri
handphone. Selanjutnya, terdakwa membuka akun Facebook dengan nama Stefanus
Lere Ri'a menggunakan handphone pribadinya. Melalui Facebook Messenger, terdakwa
mengirim beberapa foto kelaminnya yang telah disimpan di galeri handphone, serta
menambahkan pesan teks pada foto-foto tersebut, kepada akun Facebook saksi bernama
Yunita Kalelena. Terdakwa meminta saksi untuk datang ke kios miliknya dengan tujuan
untuk melakukan hubungan intim. Perbuatan terdakwa ini merupakan pelanggaran yang
diatur dan diancam pidana sesuai dengan Pasal 29 Jo Pasal 4 Ayat (1) Undang-undang
Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi.
Pertimbangan hakim dalam menentukan hukuman pidana dalam perkara Nomor
162/Pid.Sus/2020/PN Kupang didasarkan pada beberapa hal berikut:
1. Terpenuhinya unsur setiap orang: Dalam kasus ini, terdakwa, yang bernama
Stevanus Lere Ri'a, memenuhi kriteria sebagai individu yang didakwa oleh jaksa
penuntut umum karena melakukan tindak pidana
2. Terpenuhinya unsur membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan,
menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan,
menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat
persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang, kekerasan seksual,
masturbasi atau onani, ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan
ketelanjangan, alat kelamin. Pada saat itu, terdakwa dengan sengaja mengirim
pesan melalui aplikasi messenger kepada korban yang merupakan seorang
wanita.Menurut penulis, hakim dalam menjatuhkan vonis hukuman penjara kepada
terdakwa selama 9 (sembilan) bulan menimbulkan disparitas, terlebih dalam kasus
yang pertama terdakwa dihukum 1 (satu) tahun penjara. Seperti sudah dijelaskan
dalam kasus posisi sebelumnya, dalam Pasal 29 Jo Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang
No 44 Tahun 2008 perihal pornografi, hukuman penjara kepada terdakwa yang
melakukan tindak pidana pornografi yang membuat, memperbanyak,
menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor,
menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan atau menyediakan pronografi yang
secara eksplisit memuat persenggamaan, termasuk persenggamaan yang
menyimpang, kekerasan seksual, masturbasi atau onani, ketelanjangan atau
tampilan yang mengesankan ketelanjangan, alat kelamin pornografi dipidana
dengan pidana penjara selama 1 (tahun) dan pidana denda Rp.500.000.000,- (lima
ratus juta rupiah). Hukuman yang dijatuhkan oleh hakim dalam kasus ini berarti
lebih rendah dari hukuman minimal yang sudah ditentukan dalam Pasal 29 Jo Pasal
4 ayat (1) Undang-Undang Nomor. 44 Tahun 2008 tentang pornografi.
Hasil wawancara dengan Hakim Sarlota Marselina Suek, SH di Pengadilan Negeri
Kupang mengungkapkan penggunaan dokumen elektronik sebagai bukti dalam kasus
pornografi, seperti yang terdapat dalam putusan nomor 16/Pid.Sus/2021/PN Kupang
dan putusan nomor 162/Pid.Sus/2020/PN Kupang. Hakim Ketua menjelaskan bahwa
dakwaan jaksa penuntut umum dalam kedua putusan tersebut mencakup pelanggaran
pasal-pasal terkait pornografi dan informasi dan transaksi elektronik. Berdasarkan
Penggunaan Dokumen Elektronik Sebagai Alat Bukti Dalam Putusan Perkara Pornografi (Studi
Putusan Nomor 16/Pid Sus/2021/Pn Kupang Dan Putusan Nomor 162/Pid.Sus/2020/Pn
Kupang)
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 6, Juni 2023 737
dakwaan tersebut, majelis hakim menyimpulkan bahwa terdakwa terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah dalam tindak pidana pembuatan, penyediaan, dan
penyebarluasan pornografi. Dalam persidangan, alat bukti yang digunakan adalah
dokumen elektronik, yang termasuk dalam definisi dokumen elektronik sebagaimana
diatur dalam undang-undang nomor 19 tahun 2016 tentang informasi dan transaksi
elektronik. Alat bukti tersebut meliputi 18 lembar cetakan percakapan messenger dari
akun Facebook dengan nama Bojan dan satu flashdisk yang berisi video porno yang
diunduh dari pesan akun messenger Facebook dengan nama Bojan, berdurasi 1 menit 27
detik.
Dari alat bukti Dokumen Elektronik yang ada hakim mengatakan bahwa alat bukti
ini merupakan alat bukti surat yang terdapat pada pasal 184 KUHAP karena dalam pasal
5 ayat (2) undang-undang ITE mengatakan informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik dan/atau hasil cetakannya sebagaimana di maksud pada ayat (1) merupakan
perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di indonesia.
Serta terdapat beberapa undang-undang khusus yang mengatur mengenai alat bukti
elektronik yakni dalam Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1997
tentang Dokumen Perusahaan Pasal 15 ayat (1) mengakui bahwa bukti elektronik yakni
hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah dilihat dari substansinya berupa dokumen
elektronik memuat unsur-unsur pengertian surat sehingga kedudukannya merupakan
perluasan alat bukti surat. Selanjutnya dalam Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Republik Indonesia
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada Pasal 26A
menyebut dengan tegas bahwa bukti elektronik perluasan dari alat bukti petunjuk yang
diatur dalam Pasal 188 KUHAP. Jadi keabsahan alat bukti yakni informasi elektronik
dan/atau dokumen elektronik sebagaimana dapat disebut sebagai perluasan alat bukti
yang sudah ada yang diatur dalam KUHAP. Perluasan yang dimaksud telah dikaitkan
dengan Pasal 5 ayat (1) UU ITE adalah sebagai berikut: (a).Berfungsi sebagai perluasan
alat-alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia.
(b).Cakupan alat bukti yang telah diatur di dalam hukum acara pidana diperluas oleh
hasil cetak dari informasi yang merupakan alat bukti surat serta alat bukti petunjuk.
Undang-Undang sendiri memberi kebebasan terhadap hakim dalam menjatuhkan
sanksi pidana, tetapi kebebasan seorang hakim yang diperjelas harus relevan terhadap
Pasal 12 KUHP, yaitu: (1) Pidana penjara, memiliki arti sebagai pemenjaraan sepanjang
usia pelaku atau selama waktu yang ditentukan sesuai ketentuan pengadilan, (2) Pidana
penjara dalam kurun waktu tertentu, minimal satu hari, sedangkan maksimal lima belas
tahun berkala, (3)Pidana pemenjaraan selama kurun waktu tertentu dapat dijatuhkan
selama dua puluh tahun secara berkala. Pemenjaraan ini dilakukan pada tindak
kejahatan: pengadilan dapat menentukan pidana/hukuman mati, hukuman seumur hidup,
maupun hukuman penjara dalam kurun waktu tertentu. Begitupun dalam batas lima
belas tahun terlampai akibat ada tambahan hukuman karena bersamaan, pengulangan,
Karloswan Sersan Sedau, Reny Rebeka Masu, Ishak Alfred Tungga
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 6, Juni 2023 738
maupun yang ditetapkan oleh Pasal 52; 1) Pidana penjara selama kurun waktu tertentu
acap kali tidak boleh lebih dari dua puluh tahun. (Mahkamah Agama RI 2020)
Menurut penulis, terdapat perbedaan hukuman yang diberikan dalam dua kasus
yang disebutkan. Kedua putusan tersebut melanggar pasal yang sama dalam UU No 44
Tahun 2008 tentang pornografi. Disparitas hukuman dalam kasus-kasus serupa tidak
dilarang, karena berbedanya penerapan hukuman terhadap tindakan yang sama dapat
dibandingkan. Di Indonesia, hakim tidak diikat oleh asas "The Binding Force of
Precedent", yang berarti mereka tidak diwajibkan untuk mengikuti putusan hakim
sebelumnya dalam kasus yang serupa. Oleh karena itu, perbedaan putusan dalam kasus
yang sama dianggap wajar.
Kesimpulan
Informasi atau dokumen elektronik dianggap sebagai bukti yang sah dalam hukum
acara pidana jika isinya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat
dipertanggungjawabkan. Dalam konteks hukum acara pidana, bukti informasi dan/atau
dokumen elektronik dianggap sebagai alat bukti yang mandiri, sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang informasi dan transaksi elektronik,
sementara ada juga jenis alat bukti lainnya seperti pengganti surat dan perluasan bukti
petunjuk yang diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Terjadi perbedaan hukuman
dalam kasus tindak pidana pornografi antara putusan dengan Nomor
16/Pid.Sus/2021/PN.Kpg yang menjatuhkan hukuman penjara selama 1 (satu) tahun dan
putusan dengan Nomor 162/Pid.Sus/2020/PN.Kpg yang menjatuhkan hukuman penjara
selama 9 (sembilan) bulan. Perbedaan putusan ini mencerminkan adanya disparitas
dalam penerapan pasal yang sama, yaitu Pasal 29 jo Pasal 4 Ayat (1) UU No 44 Tahun
2008 tentang pornografi, namun hukuman yang diberikan berbeda. Keputusan hakim
tersebut didasarkan pada pertimbangan yang berbeda, seperti pertimbangan tentang
keadilan, alasan terdakwa melakukan tindak pidana, serta alasan yang meringankan dan
memperberat, yang dapat dianggap sebagai pertimbangan hukum dan non-hukum.
Penggunaan Dokumen Elektronik Sebagai Alat Bukti Dalam Putusan Perkara Pornografi (Studi
Putusan Nomor 16/Pid Sus/2021/Pn Kupang Dan Putusan Nomor 162/Pid.Sus/2020/Pn
Kupang)
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 6, Juni 2023 739
Bibliografi
Banjarnahor, Andrew Christian, & Faridah, Hana. (2023). Tinjauan Yuridis Dalam
Proses Pembuktian Cyber Pornography Yang Dilakukan Melalui Media Sosial
Berdasarkan Hukum Positif Indonesia. Jurnal Analisis Hukum, 6(1), 3347.
https://doi.org/10.38043/jah.v6i1.3998
Frananda, Dio. (2021). Strategi Penyidik Mengatasi Kendala Dalam Mengumpulkan
Alat Bukti Tindak Pidana Pornografi Melalui Media Elektronik. UNES Journal of
Swara Justisia, 5(3), 210217.
Hanafi, Hanafi, & Pamuji, Reza Aditya. (2019). Urgensi Keterangan Ahli Sebagai Alat
Bukti Berdasarkan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia. Al-Adl: Jurnal Hukum,
11(1), 8190. https://doi.org/10.31602/al-adl.v11i1.2020
Kartika, Pandoe Pramoe. (2019). Data Elektronik Sebagai Alat Bukti Yang Sah Dalam
Pembuktian Tindak Pidana Pencucian Uang. Indonesian Journal of Criminal Law,
1(1), 3346.
Kurniawan, Daniel Widya. (2020). Kekuatan Pembuktian Cetakan Media Sosial dalam
Menyebarluaskan Konten Pornografi Sebagai Tindak Pidana Di Bidang Informasi
dan Transaksi Elektronik. Verstek, 8(1).
Kurniawan, Heru. (2020). Dokumen Elektronik Sebagai Alat Bukti Dalam Tindak
Pidana Prostitusi Melalui Media Sosial. UMSU.
Marsinah, Rahmah. (2018). Kesadaran Hukum Sebagai Alat Pengendali Pelaksanaan
Hukum Di Indonesia. Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara, 6(2).
https://doi.org/10.35968/jh.v6i2.122
Moho, Hasaziduhu. (2019). Penegakan Hukum di Indonesia Menurut Aspek Kepastian
Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan. Warta Dharmawangsa, 13(1).
https://doi.org/10.46576/wdw.v0i59.349
Nugroho, Bastianto. (2017). Peranan Alat Bukti Dalam Perkara Pidana Dalam Putusan
Hakim Menurut KUHAP. Yuridika, 32(1), 1736.
Pratiwi, Feroca Mevihanna Noor, & Yulianti, Sri Wahyuningsih. (2022). Penilaian
Kekuatan Alat Bukti Elektronik Dalam Pembuktian Tindak Pidana
Penyebarluasan Konten Pornografi Melalui Media Sosial. Verstek, 10(1), 5967.
https://doi.org/10.20961/jv.v10i1.63940
Pribadi, Insan. (2018). Legalitas Alat Bukti Elektronik Dalam Sistem Peradilan Pidana.
Lex Renaissance, 3(1), 4. https://doi.org/10.20885/JLR.vol3.iss1.art4
Rajab, Achmadudin. (2018). URGENSI UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN
2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11
TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
Karloswan Sersan Sedau, Reny Rebeka Masu, Ishak Alfred Tungga
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 6, Juni 2023 740
SEBAGAI SOLUSI GUNA MEMBANGUN ETIKA BAGI PENGGUNA
MEDIA. Jurnal Legislasi Indonesia, 14(4), 463471.
Ramadhan, Rizki. (2017). Pembuktian Pasal 71 Ayat (1) JO Pasal 60 Ayat (4) JO Pasal
62 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika Dalam Perkara
Nomor: 1147/PID. B/2009/PN. JKT. UT. Universitas Islam Riau.
Riadi, Rachmad Yusuf Augus Theo, Rato, Dominikus, & Susanti, Dyah Ochtorina.
(2022). Legalitas Kontrak Elektronik sebagai Alat Bukti dalam Perspektif Hukum
Perdata.
Wijayanti, Alcadini, & Pujiyono, Bambang Dwi Baskoro. (2012). Perkembangan Alat
Bukti Dalam Pembuktian Tindak Pidana Berdasarkan Undang Undang Khusus
Dan Implikasi Yuridis Terhadap KUHAP. Diponegoro Law Journal, 1(4), 111.