pISSN: 2723 - 6609 e-ISSN : 2745-5254
Vol. 4, No. 5, Mei 2023 http://jist.publikasiindonesia.id/
Doi : 10.59141/jist.v4i5.622 579
KAJIAN YURIDIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKSANAAN
KONTRAK KERJA KONSTRUKSI JALAN YANG BERIMPLIKASI PADA
TINDAK PIDANA KORUPSI
Franky Simamora
1*
, Aksi Sinurat
2
, Orpa G. Manuain
3
Universitas Nusa Cendana Kupang, Indonesia
*Correspondence
INFO ARTIKEL
ABSTRAK
Diterima
: 21-05-2023
Direvisi
: 26-05-2023
Disetujui
: 28-05-2023
Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dalam
menganalisa suatu putusan pengadilan Sulawesi Tenggara Nomor
3/PID.SUS-TPK/2020/PT KDI) yang menjatuhkan vonis tindak pidana
korupsi pada permasalahan kekurangan volume pekerjaan konstruksi.
Pekerjaan konstruksi merupakan suatu jenis pekerjaan dalam jasa
konstruksi yang telah diatur dalam undang-undang jasa konstruksi.
Pada undang-undang tersebut ditekankan bahwa penyelesaian
permasalahan dalam jasa konstruksi dapat diselesaikan secara
keperdataan dalam kontrak telah dibuat untuk melaksanakan kegiatan
jasa konstruksi tersebut. Apabila dikemudian hari terdapat
penrmasalahan pelaksanaan yang berpendapat bahwa telah terjadi
kerugian negara maka sebenarnya kerugian negara yang terjadi dapat
diperbaiki dengan penggantian agar tidak menjadi kerugian keuangan
negara sehingga selama unsur-unsur dalam tindak pidana korupsi
seperti perbuatan curang, suap-menyuap, gratifikasi dan lain-lain maka
tidak dapat dibuktikan secara nyata maka permasalahan dalam
pekerjaan jasa konstruksi tersebut tidak dapat ditarik kedalam tindak
pidana korupsi atau dapat dikatakan bahwa hukuman pidana pada jasa
konstruksi harus benar-benar menerapkan asas hukum pidana
merupakan pilihan terakhir (ultimum premedium).
ABSTRACT
The research is normative juridical that analyzes the Decision of the
Southeast Sulawesi High Court Number 3/PID.SUS-TPK/2020/PT
KDI). In the court's decision, the defendant was sentenced based on the
criminal act of corruption due to the problem of insufficient volume of
work in an audit. Based on the consideration that construction work is
a type of work in construction services that has been regulated in a
construction services regulatioan. The settlement of problems in
construction services is emphasized on civil settlement according to the
contract that is used normally to carry out the construction service
activities. Furthermore, if there is a problem in the construction work
which argues that there has been a loss in state funds, then in fact the
state loss that occurs can be corrected by reimbursement so that it does
not become a loss to state finances so long as the elements in the
criminal act of corruption such as fraud, bribery, gratuity etc., it
cannot be proven in real terms, so the problems in the construction
work cannot be drawn into criminal acts of corruption or it can be said
that criminal penalties for construction services must really apply the
principle of criminal law which is the final solution (ultimum
premedium).
Kata kunci: Tindak Pidana
Korupsi; Jasa Konstruksi;
Pekerjaan Konstruksi.
Keywords: Corruption Crime;
Construction Services;
Construction Work.
Attribution-ShareAlike 4.0 International
Franky Simamora, Aksi Sinurat, Orpa G. Manuain
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 5, Mei 2023 580
Pendahuluan
Proyek pembangunan jalan perlu mendapat perhatian dalam hal kualitas
penggunaan material agar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat secara optimal dalam
jangka panjang dan menghindari serta mencegah terjadinya pemborosan dan kebocoran
keuangan negara, mengingat sumber dana yang digunakan untuk setiap proyek
pembangunan jalan bersumber dari keuangan negara. Oleh sebab itu, dalam setiap
kontrak kerja yang dibuat harus secara jelas diterangkan dalam isi kontrak kerja tersebut
agar mendapatkan kualitas jalan sesuai dengan projek yang dibuat. Kontrak adalah suatu
persetujuan antara dua orang atau lebih tidak hanya memberikan kepercayaan, tetapi
secara bersama saling pengertian untuk melakukan sesuatu pada masa mendatang oleh
seorang atau kedua dari mereka (Fanani & Astuti, 2022).
Pelaksanaan pekerjaan pembangunan jalan penyedia jasa dan Pejabat Pembuat
Komitmen terikat di dalam suatu kontrak kerja konstruksi. Undang-undang No. 2 Tahun
2017 tentang Jasa Konstruksi menyebutkan bahwa Kontrak Kerja Konstruksi mengatur
hubungan hukum antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam penyelenggaraan jasa
konstruksi. Perpres 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah telah
mengatur cara Pejabat Pembuat Komitmen dan penyedia jasa dapat terikat didalam
suatu kontrak termasuk isi dan syarat berakhirnya kontrak (M Musa, 2019). Karena
hubungan Pejabat Pembuat Komitmen dan penyedia jasa merupakan perikatan yang
didasarkan pada kontrak untuk menyelesaikan suatu pekerjaan dengan kualitas dan
kuantitas yang telah ditentukan, maka sewajarnya bahwa permasalahan ketidaksesuaian
pekerjaan baik secara kualitas maupun kuantitas adalah permasalahan wanprestasi
(Musa, 2017).
Pekerjaan yang dilaksanakan oleh penyedia jasa sering bermasalah terkait dengan
kualitas bahan serta volume jalan yang harus dikerjakan. Undang-undang No. 2 Tahun
2017 jelas-jelas tidak menyebutkan sama sekali adanya sanksi pidana, segala bentuk
kesalahan yang dilakukan oleh penyedia jasa diberikan sanksi mulai dari yang paling
ringan akan diberikan sanksi berupa peringatan tertulis dan pada kasus terjadinya
kegagalan bangunan akan dikenakan sanksi ganti rugi (Lingga, Hartono, & Adnyani,
2022). Namun hal yang sering terjadi adalah permasalah yang terjadi pada pekejaan
proyek adalah penyimpangan pelaksanaan dalam hal mutu atau volume bahan bangunan
yang mengakibatkan kerugian negara (Pradina, 2021).
Pekerjaan konstruksi yang pelaksanaannya tidak sesuai dengan standar yang
ditetapkan akan dapat memperbesar potensi terjadi kegagalan bangunan. Permasalah
penyimpangan dalam konstruksi selama ini sering kali ditarik ke dalam tindak pidana
korupsi tanpa memperhatikan aspek keperdataan penyelesaian pekerjaan melalui
kontrak (Pinandito, 2021). Pelanggaran terhadap asas efisien pada proses pengadaan
barang/ jasa secara umum dianggap sebagai kerugian terhadap keuangan negara dan
berimpilikasi pada tindak pidana korupsi. Bertitik tolak dari pengertian tersebut terdapat
pandangan bahwa kontrak konstruksi yang dalam pelaksanaannya terdapat unsur-unsur
merugikan negara sebagaimana dinyatakan oleh instansi yang berwenang
menyatakannya dapat langsung dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.
Kajian Yuridis Pertanggungjawaban Pidana Pelaksanaan Kontrak Kerja Konstruksi Jalan Yang
Berimplikasi Pada Tindak Pidana Korupsi
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 5, Mei 2023 581
Korupsi berasal dari bahasa Latin “corruptio”, “corruptus”, corruptio” yang
secara harfiah berarti kebusukan keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap,
tidak bermoral dan penyimpangan dari kesucian (Kurniawan et al., 2022). Perbuatan
melawan hukum materil pada tindak pidana korupsi pada dasarnya adalah ranah bidang
hukum perdata, namun dalam praktek bisnis dan ekonomi, apabila terdapat elemen-
elemen telah terjadinya kecurangan (deceit) maka perbuatan tersebut telah dapat
dikualifikasi ebagai perbuatan pidana (fraud) atau kejahatan bisnis.
Penyelesaian perkaranya di pengadilan terhadap kasus penyimpangan pelaksanaan
kontruksi dilakukan dengan banyak perberbedaan dalam pertimbangan hukumnya,
sehingga putusan hakim pun berbeda. Contoh kasus terjadi pada Putusan Pengadilan
Tinggi Sulawesi Tenggara Nomor 3/PID.SUS-TPK/2020/PT KDI) yang menangani
perkara proyek pekerjaan peningkatan jalan Toari-Bambamolincu-Matausu Tahun
Anggaran 2017, dengan total kegiatan Anggaran sebesar Rp.1.655.000.000,- yang
sumber dananya berasal dari APBD Kabupaten Bombana Tahun Anggaran 2017 yang
dikerjakan oleh CV. Rezky Dharmawan Konstruksi sebagai pemenang lelang. Proyek
peningkatan jalan tersebut dituangkan dalam dokumen kontrak Nomor: 605/005/FS-
JLN/PPKPUPR/III/2017 tanggal 08 Maret 2017 dengan jangka waktu kontrak selama
120 hari kalender yaitu sejak tanggal 10 Maret 2017 sampai dengan 08 Juli 2017
sebesar Rp. Rp.1.655.000.000,- dengan jarak jalan yang dikerjakan sepanjang 3.450
meter. Dalam pekerjaan proyek tersebut, CV. Rezky Dharmawan Konstruksi
menguasakan kepada Muh. Fahrul Suriawan Sirang, SE sebagai pelaksana pekerjaan di
lapangan.
Pembuktian pada hukum pidana dan hukum acara pidana merupakan suatu
penentu apakah seseorang dinyatakan bersalah atau tidak bersalah dan dapat dijatuhkan
hukuman pidana (Flora, 2018). Soedarjo menyatakan membuktikan sama dengan
memberi (memperlihatkan) bukti, melakukan sesuatu sebagai kebenaran, melaksanakan,
menandakan, menyaksikan dan menyakinkan (Aji, 2020). Dalam perspektif yuridis
pembuktia juga merupakan ketentuan yang mengatur mengenai alat-alat bukti yang
boleh digunakan hakim guna membuktikan kesalahan terdakwa (Yahya, 2018: 252)
Hakim pada kedua dalam menjatuhkan vonis mempunyai pertimbangan yuridis
yang berbeda-beda sehingga menghasilkan keputusan yang berbeda. akim pada tingkat
Banding menjatuhkan vonisnya dengan dakwaan primer sama halnya dengan dakwaan
yang diajukan Penuntut Umum pada Pengadilan Negeri, sedangkan Hakim pada tingkat
pertama memvonis dengan dakwaan subsidair dengan hukuman yang lebih rendah
(Sumendap, 2018).
Vonis pada Pengadilan Negeri maupun Pengadilan tinggi dapat dilihat bahwa
permasalahan penyimpangan pelaksanaan proyek yang harusnya masuk ke dalam rana
perdata diselesaikan oleh aparat penegak hukum dengan menerapkan Pasal 2 Ayat 1
dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 dengan alasan adanya kerugian negara.
Permasalahan penyimpangan pelaksanaan lapangan yaitu kekurangan volume pekerjaan
pada kasus diatas pada dasarnya adalah suatu wanprestasi yang dapat diselesaikan
secara perdata (Lubis, 2018). Kontrak jasa konstruksi yang telah ditandatangani oleh
PPK dan penyedia jasa telah mengatur penyelesaian permasalahan wanprestasi tersebut.
Franky Simamora, Aksi Sinurat, Orpa G. Manuain
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 5, Mei 2023 582
Undang-undang No. 2 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi juga tidak mengatur adanya
sanksi pidana terhadap pelanggaran dalam pelaskanaan kontrak konstruksi (AJI, 2021).
Penelitian ini akan menganalisis bagaimana bentuk pertanggungjawaban hukum CV
Rezky Dharmawan Konstruksi terhadap pengerjaan proyek peningkatan jalan yang
tidak sesuai dengan kontrak, pertimbangan hukum dalam putusan hakim pada Tingkat
Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tingkat Tinggi serta bagaimanakah penyimpangan
pelaksanaan proyek yang seharusnya rana perdata menjadi tindak pidana korupsi pada
Putusan ditinjau dari Undang-undang No. 2 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi
(Manurung, 2022).
Tujuan dari penelitian ini lah untuk menjawab kajian yuridis terhadap putusan
vonis pengadilan kepada terdakwa terkait hal-hal yang menjadi pertimbangan hakim
atas penjatuhan vonis kepada terdakwa serta penjatuhan vonis tindak pidana pada
permasalahan jasah konstruksi dilihat dari pandangan undang-undang jasa konstruksi.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat guna menambah wawasan ilmu
pengetahuan di bidang ilmu hukum, khususnya pengetahuan dalam bidang penanganan
perkara kontrak kerja kontruksi jalan yang berimplikasi terhadap tindak pidana korupsi
yang merugikan keuangan negara.
Metode Penelitian
Tipe penelitian yang dilakukan adalah penelitian yuridis normatif dengan melihat
dengan mengedepankan analisa terhadap bahan hukum yang tertulis untuk dapat
diuraikan kedalam suatu bentuk narasi yang terstruktur untuk dapat menjawab hal-hal
yang menjadi rumusan masalah penelitian. Aspek-aspek yang diteliti adalah aspek yang
erat hubungannya dengan putusan pengadilan pada terdakwa Muh. Fahrul Suriawan
Sirang dilihat dari permasalahan yang menyebabkan adanya tuntutan kepada yang
bersangkutan di pengadilan tindak pidana korupsi hingga pada penjatuhan vonis baik di
tingkat pengadilan negeri maupun pengadilan tinggi.
Penelitian dilakukan dengan mengumpulkan bahan hukum baik dari kepustakaaan
maupun dari peraturan perundang-undangan sehubungan dengan rumusan masalah yang
disampaikan. Bahan hukum yang digunakan dapat berupa bahan hukum primer seperti
peraturan perundang-undangan. Bahan hukum sekunder yaitu berupa karya ilmiah yang
telah menggunakan kepustakaan dengan literatur dan undang-undang, peraturan dan
norma yang berhubungan dengan topik yang diteliti.
Penelitian dilakukan dengan pendekatan peraturan perundang-undangan yang
berhubungan dengan topik yang diteliti. Situasi yang ditemukan didalam rumusan
masalah dijadikan dasar pengumpulan bahan-bahan hukum yang bersesuaian. Hipotesa
dan teori diuji dengan pendekatan yuridis normatif dengan peraturan-peraturan.
Kerangka studi dibatasi melalui rumusan masalah yang menggambarkan situasi yang
disampaikan pada latar belakang masalah.
Hasil dan Pembahasan
Perbuatan pidana sejatinya hanya dapat dilakukan oleh manusia karena manusia
dianggap sebagai satu-satunya subjek yang mampu melakukan tindak pidana. Korporasi
Kajian Yuridis Pertanggungjawaban Pidana Pelaksanaan Kontrak Kerja Konstruksi Jalan Yang
Berimplikasi Pada Tindak Pidana Korupsi
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 5, Mei 2023 583
sebagai subjek tindak pidana merupakan hal yang beru yang penegakan hukumnya
masih sedikit namu dalam perkembangan tingkat kejahatan pidana terutama dalam
tindak pidana korupsi maka dikenal badan hukum sebagai subjek tindak pidana dalam
UU Nomor 7 Drt Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Korupsi. Kaitannya dengan
perbuatan melawan hukum terdakwa dalam kasus ini apakah dilakukan sebagai pribadi
atau koorporasi perlu dilihat dari beberapa peristiwa yang mengawali perbuatan
melawan hukum. Peminjaman bendera untuk memenangakan pelelangan adalah
perbuatan terlarang dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah, hal ini disebabkan
sebenarnya peminjam tidak memenuhi syarat tentang serta lelang terkait pengadaan
barang dan jasa pemerintah wajib memenuhi persyaratan antara lain memiliki keahlian,
pengalaman, kemampuan teknis dan managerial untuk pengadaan barang dan jasa
pemerintah. Terdakwa yang tidak memenuhi syarat namun mengikuti kegiatan
pengadanaan barang dan jasa telah melakukan perbuatan yang berlawanan dengan yang
diatur pada Perpres Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa
Pemerintah dan kaitannya dengan kerugian negara sebesar Rp. 592.503.440,86 akibat
kekurangan volume adalah perbuatan melawan hukum.
Perbuatan melawan hukum selanjutnya haruslah dapat dimintakan
pertanggungjawaban pidana, sehingga tidak terlepas dari adanya unsur pidana yang
harus dipertanggungjawabkan oleh pelaku. Berbicara mengenai tindak pidana yang
dilakukan oleh koorporasi tidak terlepas dari pertanyaan apakah unsur kesalahan tetap
dapat dipertahankan seperti halnya manusia (Muladi, 2010: 14).
Berdasarkan ajaran sifat melawan hukum atas perbuatan melawan hukum
terdakwa dilihat dari empat makna perbuatan hukum yakni: Pertama, perbuatan
melawan merupakan suatu syarat perbuatan dapat dikenakan pidana sesuai dengan
definisi perbuatan pidana yakni perbuatan manusia yang dirumuskan dalam rumusan
delik yang dicela sehingga bersifat melawan hukum. Kedua, melawan hukum harus
disebutkan di dalam rumusan delik sehingga suatu perbuatan melawan hukum karena
telah terdapatnya syarat tertulis yang mengaturnya. Ketiga, sifat melawan hukum formal
mengandung arti semua unsur dari rumusan delik telah dipenuhi. Pengenaan Pasal 2
Ayat 1 dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 merupakan bukti bahwa sifat melawan
hukum formal telah tepenuhi. Keempat, sifat melawan hukum materil dapat diartikan
dilanggarnya kepentingan masyarakat yang dilindungi sebagaimana maksud dibuatnya
undang-undang tersebut dan dapat juga memiliki makna perbuatan tersebut telah
melawan asas kepatuhan, keadilan dan hukum masyarakat.
Salah satu pertimbangan hakim adalah perbuatan terdakwa secara melawan
hukum merugikan keuangan dan perekonomian negara dapat digolongkan sebagai
tindak pidana korupsi dalam hal melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau suatu. Dilihat dari dakwaan primair yang telah dapat ditentukan deliknya
yaitu melanggar Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
dapat disimpulkan bahwa perbuatan melawan hukum telah terdapat dalam rumusan
delik.
Seorang terdakwa yang telah dinyatakan bersalah dan melakukan tindak pidana
atas apa yang telah dilakukannya tidak serta merta dapat dimintakan
Franky Simamora, Aksi Sinurat, Orpa G. Manuain
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 5, Mei 2023 584
pertanggungjawaban namun harus dilihat dari pertanggungjawaban pidanana.
Pertanggungjawaban pidana menentukan apakah seorang yang bersalah dapat dipidana
atau malahan harus dibebaskan meskipun telah melakukan tindak pidana.
Seorang pelaku tindak pidana mampu bertanggungjawab apabila: Pertama,
mampu mengetahui/ menyadari bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum.
Kedua, mampu menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran tadi (Teguh, 2010:
85). pertanggungjawaban pidana adalah suatu keadaan normal psikis dan kemahiran
yang membawa tiga macam kemampuan, yaitu pertama, mampu untuk dapat mengerti
makna serta akibat sungguh-sungguh dari perbuatan-perbuatan sendiri. Kedua, mampu
untuk menginsyafi bahwa perbuatan-perbuatan itu bertentangan dengan ketertiban
masyarakat. Ketiga, mampu untuk menentukan kehendak berbuat (Eddy, 2014; 121).
Berkaitan dengan kemampuan bertanggung jawab bagi pelaku Pengadilan Negeri
Kendari tidak mempertimbangkan unsur melawan hukum berdasarkan fakta
persidangan yang sesungguhnya sesuai hukum pembuktian, dimana unsur obyektif
berupa perbuatan, akibat dan keadaan yang dilakukan oleh terdakwa harus dibuktikan
dengan dimana unsur obyektif berupa perbuatan, akibat dan keadaan yang dilakukan
oleh terdakwa harus dibuktikan dengan fakta hukum, bukan berdasarkan unsur
subyektif yang melekat pada subyek yang dapat dari pembuktian adalah menemukan
kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan dihubungkan dengan fakta hukum di
persidangan sesuai ketentuan Pasal 197 (1) huruf d KUHAP.
Berdasarkan tanggung jawab pribadi perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa
seperti yang didakwakan kepada terdakwa, kepada terdakwa dijatuhkan pidana selama 4
(empat) tahun penjawa dan dengan Rp. 200.000.000 dan uang pengganti
Rp.74.064.187,86 dengan kewajiban membayar denda dan uang pengganti dan apabila
tidak dilakukan pembayaran maka dilanjutkan dengan hukuman pengganti untuk denda
dan penyitaan harta benda yang dimiliki oleh terdakwa untuk uang pengganti yang tidak
terbayarkan.
Perbuatan yang dilakukan terdakwa dalam kaitannya dengan kegiatan
pemborongan sehingga dapat juga digunakan Pasal 7 ayat 1 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi merupakan suatu kegiatan pemborongan. Kaitannya dengan
kegiatan pemborongan pelanggaran terhadap standar pelaksanaan konstruksi dapat
dikategorikan sebagai perbuatan curang dalam pemborongan sebagaimana yang terdapat
dalam Pasal 7 Ayat 1 UUPTPK sehingga pelanggaran tersebut merupakan suatu
perbuatan yang melawan hukum.
Pertimbangan hakim pada tingkat pengadilan negeri memiliki perbedaan dengan
pertimbangan hakim pada pengadilan tinggi mengenai pengenaan pemidanaan
terdakwa. Pertimbangannya adalah 6) penyalahgunaan wewenang oleh terdakwa
bukan selaku pribadi melainkan terdakwa bertindak dalam kedudukan selaku penerima
kuasa dari direktur CV Rezky Dharmawan Konstruksi sebagai pelaksana pekerjaan
oleh karena itu lebih tepat perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa dikualifisir sebagai
perbuatan menyalahgunakan kewenangan dalam kedudukannya selaku kuasa direktur
CV Rezky Dharmawan Konstruksi sebagai pemenang lelang pekerjaan tersebut, bukan
Kajian Yuridis Pertanggungjawaban Pidana Pelaksanaan Kontrak Kerja Konstruksi Jalan Yang
Berimplikasi Pada Tindak Pidana Korupsi
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 5, Mei 2023 585
perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud unsur sehingga unsur melawan
hukum terpenuhi.
Perbedaan pertimbangan hakim dalam penanganan perkaranya antara Pengadilan
Negeri dan Pengadilan Tinggi menyebabkan perbedaan dalam memberikan putusannya.
Pada tingkat Pengadilan Negeri, Jaksa Penuntut Umum menyampaikan dakwaan primer
Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UUPTPK dengan pidana penjara selama 4,6 tahun.
Dakwaan subsidair, terdakwa melanggar Pasal 3 Jo Pasal 18 UUPTPK dengan pidana
penjara 4,6 tahun dengan denda sebesar 200 juta. Pada tingkat Pengadilan Negeri ini,
Hakim menjatuhkan vonis kepada terdakwa dengan dakwaan subsidair Penuntut Umum
dengan penjara selama 1,2 tahun dan denda 50 juta. Namun, pada tingkat banding,
Hakim banding menjatuhkan vonis kepada terdakwa dengan dakwaan primair dengan
hukuman penjara selama 4 tahun dengan denda sebesar 200 juta, dan uang pengganti
sebesar Rp.74.064.187,-.
Melawan hukum dalam arti materiil pada tindak pidana korupsi dapat dilihat dari
perbuatan yang bertentangan dengan norma yang berlaku di masyarakat dan yang
melawan rasa keadilan masyarakat. Pengenaan pembuktian melawan hukum materiil ini
digunakan agar perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu badan dapat
dihukum. Penjelasan dari Pasal 2 Ayat 1 Undang-undang No.31 Tahun 1999
menyatakan bahwa “secara melawan hukum” adalah dalam arti formal dan dalam arti
materiil yakni suatu perbuatan apabila dirasakan berlawanan dengan rasa keadilan yang
berada di masyarakat dan melanggaar norma kehidupan sosial dalam masyarakat dapat
dianggap sebagai perbuatan yang melawan hukum meskipun perbuatan tersebuttidak
diatur dalam peraturan perundang-undangan. Sifat melawan hukumnya perbuatan yang
nyata-nyata masuk dalam rumusan delik itu dapat hapus berdasarkan ketentuan undang-
undang dan juga berdasarkan aturan-aturan yang tidak tertulis (iibergesetzlicht)
(Sudarto, 1983; 78.
Istilah “memperkaya” merujuk pada perubahan kekayaan sesorang dilihat dari
tolak ukur pendapatan sesorang. Istilah “memperkaya” dapat dihubungkan dengan Pasal
18 UU Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
menekankan adanya keharusan bagi terdakwa untuk dapat memberikan bukti bahwa
harta kekayaan yang dimilikinya bukan berasal dari hasil tindak pidana korupsi. Asal
muasal penambahan kekayaannya harus dapat dijelaskan berasal dari penghasilannya
untuk menghindarkan terdakwa dari tuntutan terdakwa telah melakukan tindak pidana
korupsi yang disangkakan kepadanya.
Perbuatan “memperkaya” perlu dilakukan pembuktian berdasarkan alat bukti
lainnya yang bersesuaian. Perbuatan memperkaya diri dalam Pasal 2 Ayat 1 dan Pasal 3
UUPTK harus ditafsir secara terpisah dalam dakwaan tindak pidana korupsi. Dalam hal
lain apabila terjadi kegagalan dalam membuktikan asal muasal kekayaan yang ada pada
terdakwa yang menjadi permintaan hakim dalam persidangan maka dapat disimpulkan
bahwa unsur-unsur “memperkaya diri” tidak dapat dibuktikan secara otomatis. Dalam
dakwaan terhadap terdakwa, bahwa perbuatan terdakwa melaksanakan pekeraan dengan
volume yang kirang telah menimbulkan kerugian keuangan negara sebesar Rp.
Franky Simamora, Aksi Sinurat, Orpa G. Manuain
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 5, Mei 2023 586
592.503.440,86. Besaran kerugian negara tersebut dianggap merupakan besaran unsur
memperkaya dir, orang lain atau terdakwa secara melawan hukum.
Kerugian negara merupakan sesuatu yang tak terhindarkan dalam menjalankan
kegiatan yang berhubungan dengan perbendahaaran negara. Kerugian negara
merupakan suatu risiko yang dapat dihindari. Salah satunya adalah kewajiban
mengganti kerugian dalam batas waktu tertentu setelah diketahui adanya kerugian
negara. Kerugian negara yang disertai dengan penggantian keuangan negara hanya
dianggap sebagai kerugian negara saja dan tidak sampai pada kerugian keuangan
negara.
Kerugian keuangan negara pada perkembangannya dapat dianggap sebagai
perbuatan melawan hukum akibat adanya kelalaiaan dalam pengelolaan keuangan
negara. Konsep kesalahan ini harus dapat dibuktikan unsur kesengajaannya agar dapat
dianggap suatu kejahatan. Konsep ultimum remedium dalam pengelolaan keuangan
negara dengan pengembalian kerugiana keuangan negara dapat menghindarkan dari
sanksi pidana.
Perbedaan pertimbangan hakim dapat dicermati dalam penerapan Pasal 3 dan
penerapan Pasal 2 Ayat 1 dalam dakwaan primair dan subsidair yang didakwakan
kepada terdakwa. Perbedaan terletak pada kenyataan bahwa Pasal 3 tidak disebutkan
unsur perbuatan melawan hukum dengan tegas namun unsur melawan hukumnya sudah
termasuk di dalam seluruh perumusannya melalui unsur menyalahgunakan kewenangan
yang melekat pada pelaku.
Terdapat kenyataan bahwa Undang-undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa
Konstruksi dirasakan masih kurang dalam menjawab kepastian hukum dan memenuhi
tuntutan kebutuhan akan perkembangan penyelenggaraan jasa konstruksi. Undang-
undang Jasa Konstruksi tersebut menerapkan adanya ancaman hukuman pidana bagi
perencana pelaksana, dan pengawasan pelaksanaan konstruksi yang berakibat terjadinya
kegagalan bangunan yang mana berbeda dengan UU Nomor 2 Tahun 2017 yang tidak
menerapkan sanksi pidana.
Kontrak konstuksi pada dasarnya merupakan perikatan keperdataan yang
mengatur hubungan para pihak yang terikat dalam kontrak. Kontrak mengatur hubungan
antara kedua belah pihak yang berkontrak yaitu hubungan yang sama dan seimbang.
Hubungan yang sama dan seimbang membuat permasalahan yang timbul dalam kontrak
seharusnya merupakan ranah perdataan yang dapat diselesaikan secara musyawarah.
Undang-undang jasa konstruksi juga mensyaratkan adanya pasal-pasal dalam kontrak
yang mengatur penyelesaian permasalahan dalam pelaksanaan kontrak.
Merujuk bahwa penyelesaian permasalahan kontrak yang diselesaikan secara
perdata dalam kontrak, pertanyaan selanjutnya yang dapat digunakan dalam menjawab
rumusan masalah adalah apakah dengan tidak adanya sanksi pidana pada undang-
undang jasa konstruksi yang berlaku maka tidak dapat dikenakan unsur pidana pada
kegiatan jasa konstruksi? Jawaban untuk pertanyaan ini adalah dapat dilakukan namun
terbatas selama perbuatan-perbuatan melawan hukum dalam tindak pidana korupsi
dapat dibuktikan secara jelas.
Kajian Yuridis Pertanggungjawaban Pidana Pelaksanaan Kontrak Kerja Konstruksi Jalan Yang
Berimplikasi Pada Tindak Pidana Korupsi
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 5, Mei 2023 587
Sifat melawan hukum dalam adanya ketidaksesuain prestasi dalam pelaksanaan
atau terjadi suatau wanprestasi dalam kontrak kerja konstruksi meskipun mengakibatkan
kerugian negara berdasarkan tidak serta merta merupakan digolongkan sebagai tindak
pidana korupsi. Masih terdapat penyelesaian secara perdata melalui ganti rugi atau
perbaikan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 63 Undang-undang No.2 Tahun 2017
Tahun 2001.
Penempatan ganti rugi dan kewajiban perbaikan terhadap kegagalan bangunan
pada Undang-Undang No. 2 Tahun 2017 tentang jasa konstruksi dinilai sebagai suatu
kesadaran bahwa pelaksanaan jasa konstruksi adalah suatu hal yang cukup kompleks
yang melibatkan banyak pihak didalamnya sehingga hal ini membutuhkan suatu
obyektifias dalam pemberian sanksi atas terjadinya kegagalan bangunan. Penyedia jasa
sendiri dapat melibatkan banyak pihak dalam berbagai tahapan dimulai dari konsultan
perencana, pelaksana konstruksi (kontraktor) hingga konsultan pengawas (supervisi).
Dibutuhkan penilaian dari tim ahli untuk menentukan penyebab kegagalan bangunan
dan pihak yang harus bertanggung jawab atas peristiwa itu.
Perbedaan ada tidaknya sanksi pidana pada permasalahan kontrak konstruksi
menyebabkan timbul kesan bahwa tidak adanya harmonisasi antar peraturan. Secara
hierarkis suatu undang-undang terhadap undang-undang lain perlu dipertahankan
keharmonisannya sehingga tidak menghilangkan kehierarkian nya sendiri. Harmonisasi
perlu dilakukan antara kedua peraturan perundang-undangan tersebut sehingga tercapai
suatu kepastian hukum untuk mencegah adanya peraturan yang tidak digunakan karena
kehilangan fungsinya.
Penanganan permasalahan pada kontrak konstruksi yang berimplikasi pidana
sering dituntut dalam waktu yang lama setelah perbuatan pidana tersebut dilakukan.
Apabila mengacu pada asas transitoir yang diatur didalam Pasal 1 Ayat 2 KUHP. Asas
ini memperbolehkan hukum pidana untuk diterapkan secara retroaktif atau surut apabila
undang-undang yang baru dibuat lebih menguntungkan bagi terdakwa apabila
diterapkan dibandingkan penerapan undang-undang sebelumnya. Asas ini akan
membolehkan aturan pelaku tindak pidana dapat memilih ketentuan mana yang akan
dikenakan kepada dirinya dalam hal ini dapat memilih antara Undang-undang Nomor 2
tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi atau Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001
Tentang Perubahan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
Putusan Nomor 3/PID.SUS-TPK/2020/PT KDI melihat penyimpangan pada
pelaksanaan jasa konstruksi lebih menakankan pada tindak pidana, dimana tersangka
dalam perkara tersebut dikenakan pidana kurungan selama 4 tahun, hal tersebut tentu
tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 tahun 2017 tentang jasa konstruksi,
dalam undang-undang tersebut menghapus ketentuan pidana disamping pengenaan pada
sanksi yang telah ditetapkan dalam kontrak konstruksi yang terbatas pada sanksi
administratif dan aspek keperdataan dalam hal terjadi sengketa antar para pihak.
Penentuan sanksi perdata tersebut dikarenakan terdapat kerugian material dalam
penyelewengan pelaksanaan konstruksi, sehingga pemberian ganti rugi adalah solusi
yang tepat untuk menyelesaikan permasalah tersebut.
Franky Simamora, Aksi Sinurat, Orpa G. Manuain
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 5, Mei 2023 588
Unsur kerugian negara sebenarnya dapat dihindari melalui penggantian kerugian
negara sehingga kerugian negara tidak dapat langsung ditarik kedalam unsur-unsur yang
menyebabkan adanya perbuatan hukum dalam tindak pidana korupsi selama unsur-
unsur yang kuat dalam tindak pidana korupsi seperti suap menyuap, penggelapan,
perbuatan curang, pemerasan dan gratifikasi dapat dibuktikan. Apabila unsur-unsur
tersebut tidak secara kuat dapat dibuktikan maka permasalahan dalam pelaksanaan
konstruksi sebaiknya dikembalikan untuk diselesaikan secara perdata dalam
sebagaimana kontrak yang mengikat dan undang-undang jasa konstruksi yang berlaku.
Kesimpulan
CV. Riski Darmawan bertanggung jawab secara pribadi dalam kasus ini, karena
terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang menguntungkan diri sendiri atau pihak
lain dan menyebabkan kerugian negara. Meskipun terdapat perbedaan pendekatan
hukum antara Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, di mana Pengadilan Negeri
menganggap terdakwa menyalahgunakan wewenang dan Pengadilan Tinggi
menganggapnya sebagai pelaku langsung tindak pidana korupsi, perlu dipertimbangkan
bahwa penyalahgunaan wewenang oleh swasta mungkin tidak tepat diterapkan. Lebih
tepatnya, tindakan terdakwa yang menyebabkan kekurangan volume pekerjaan
seharusnya dianggap sebagai tindakan curang dalam pemborongan, yang termasuk
dalam Pasal 7 UUPTPK. Penyelesaian pidana dalam kasus-kasus pelanggaran
pelaksanaan konstruksi seharusnya menjadi pilihan terakhir, dengan persyaratan
pembuktian kuat terkait unsur-unsur tindak pidana korupsi seperti suap, penggelapan,
perbuatan curang, pemerasan, atau gratifikasi. Sebaiknya, penyelesaian permasalahan
tersebut seharusnya dilakukan melalui jalur perdata sesuai dengan Undang-Undang Jasa
Konstruksi yang berlaku.
Kajian Yuridis Pertanggungjawaban Pidana Pelaksanaan Kontrak Kerja Konstruksi Jalan Yang
Berimplikasi Pada Tindak Pidana Korupsi
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 5, Mei 2023 589
Bibliografi
AJI, ATQO DARMAWAN. (2021). Bentuk Tindak Pidana Dan Penjatuhan Sanksi
Pidana Bagi Penyedia Jasa Kontruksi Pasca Adanya UndangUndang Nomor 2
Tahun 2017.
Aji, Rian Setia. (2020). Optimalisasi Peranan Jaksa Penuntut Umum Dalam
Pembuktian Kerugian Keuangan Negara Akibat Tindak Pidana Korupsi.
Universitas Bhayangkara Jakarta Raya.
Fanani, Ahmad, & Astuti, Pudji. (2022). Analisis Yuridis Kesalahan Terdakwa Tindak
Pidana Korupsi Dalam Putusan Kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor 755 K/Pid. Sus/2018. Novum: Jurnal Hukum, 161170.
https://doi.org/10.2674/novum.v0i0.45807
Flora, Henny Saida. (2018). Keadilan Restoratif Sebagai Alternatif Dalam Penyelesaian
Tindak Pidana Dan Pengaruhnya Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia.
University Of Bengkulu Law Journal, 3(2), 142158.
https://doi.org/10.33369/ubelaj.3.2.142-158
Kurniawan, Robby, Nelson, Alden, Frendy, Frendy, Jofia, Nurul, Shirlyn, Shirlyn,
Utami, Velly Fitri, Vallencia, Vallencia, & Sania, Tio. (2022). Membangun Dan
Mendidik Generasi Anti Korupsi Bersama SMP Yos Sudarso. National Conference
for Community Service Project (NaCosPro), 4(1), 269275.
Lingga, Jose Widyatama, Hartono, Made Sugi, & Adnyani, Ni Ketut Sari. (2022).
Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Korupsi Proyek Pengadaaan Tanah
Kampus Undiksha Jinengdalem (Studi Putusan No. 51/Pid. Sus-Tpk/2015/Pn.
Dps). Jurnal Komunitas Yustisia, 5(2), 464481.
Lubis, Khalida Zulfah. (2018). Tinjauan Yuridis Terhadap Klausul Tanggung Jawab
Perdata yang Tidak Ditetapkan dalam Isi Perjanjian (Analisis Kasus Wanprestasi
Perjanjian Pengadaan Barang Antara CV. Alamsyah Jaya Prima dan Madrasah
Aliyah Negeri Pematangsiantar).
M Musa, Musa. (2019). Penalaran Hakim Menentukan Nomenklatur Perbuatan Tururt
Serta Menerima Hadiah atau Janji dalam Tindak Pidana Korupsi Pengesahan
APBD Provinsi RiauTahun 2014.
Manurung, Edison Hatoguan. (2022). Kontrak Konstruksi Infrastruktur Ditinjau Dari
Perspektif Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Jasa Konstruksi. Legal
Studies Journal, 2(2).
Musa, Muhammad. (2017). Penalaran Hakim Menerapkan Ajaran Penyertaan dalam
Putusan Tindak Pidana Korupsi Pada Bank Riau-Kepri. Masalah-Masalah Hukum,
46(4), 349357.
Pinandito, Danutirtho Satrio. (2021). Efektivitas Pencegahan Tindak Pidana Korupsi
Dalam Sistem Kinerja Direktorat Jalan Bebas Hambatan (Satuan Kerja
Franky Simamora, Aksi Sinurat, Orpa G. Manuain
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 5, Mei 2023 590
Pengadaan Tanah Jalan Tol Kementerian PUPR). Universitas Islam Sultan Agung
Semarang.
Pradina, Ria Bettry. (2021). Tinjauan Yuridis Putusan Pengadilan Tinggi Terhadap
Perbuatan Penyertaan Dan Perbuatan Berlanjut Tindak Pidana Korupsi
Pengadaan Alat Kesehatan Di Rsud Arifin Ahmad Pekanbaru (Studi Kasus
Nomor: 8/Pid. SUS-TPK/2019/PT PBR). Universitas Islam Riau.
Sumendap, Marchel G. (2018). Penerapan Sistim Pembalikan Beban Pembuktian Dalam
Gratifikasi Menurut Uu No. 20 Tahun 2001. LEX CRIMEN, 7(3).