pISSN: 2723 - 6609 e-ISSN : 2745-5254
Vol. 4, No. 3 Maret 2023 http://jist.publikasiindonesia.id/
Doi : 10.59141/jist.v4i3.593 305
KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM KONSEP NEGARA MODERN
PERSPEKTIF MAQASID AL-SYARIAH: STUDI KOMPARATIF PEMIKIRAN
YUSUF AL-QARDHAWI DAN SAID RAMADHAN AL-BUTHI
Hilal Ardiansyah Putra
1*
, Moh. Mufid
2
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarata, Indonesia
Email: hirakiagency@gmail.com, moephidyes@gmail.com
*Correspondence: hi[email protected]m
INFO ARTIKEL
ABSTRAK
Diajukan
:05-03-2023
Diterima
:17-03-2023
Diterbitkan
:20-03-2023
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pemikiran Yusuf al-
Qardhawi dan Said Ramadhan al-Buthi tentang hukum
kepemimpinan publik seorang perempuan dalam konsep negara
modern. Penelitian ini merupakan penelitian pustaka dengan
pendekatan deskriptif-kualitatif. Adapun pisau analisis yang
digunakan untuk menguji pendapat kedua tokoh tersebut adalah
pendekatan Maqasid Shariah. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa Yusuf al-Qardhawi memiliki pendapat yang berbeda dengan
Ramadhan al-Buthi. Al-Qardhawi dengan pertimbangan-
pertimbangan maslahat membolehkan kepemimpinan perempuan
namun al-Buthi masih terlihat hati-hati untuk mengatakan boleh.
Bahkan al-Buthi memilih untuk tidak membedakan antara konsep
negara modern dan negara khilafa.
ABSTRACT
This study aims to examine the thoughts of Yusuf al-Qardhawi and
Said Ramadhan al-Buthi regarding the law of public leadership of a
woman in the concept of a modern state. This research is a library
research with a descriptive-qualitative approach. The analytical
knife used to examine the opinions of the two figures is the Maqasid
Shariah approach. The results of this study indicate that Yusuf al-
Qardhawi has a different opinion from Ramadhan al-Buthi. Al-
Qardhawi, with considerations of the benefits, allowed women to
lead, but al-Buthi still seemed careful to say that he was allowed to.
Even al-Buthi chose not to distinguish between the concepts of a
modern state and a khilafa state.
Kata kunci: kepemimpinan
perempuan; negara modern;
Maqasid Shariah
Keywords: women's leadership;
modern state; Maqasid Shariah
Attribution-ShareAlike 4.0 International
Pendahuluan
Isu kepemimpinan perempuan pada sebuah institusi negara modern menjadi
salah satu perbincangan yang hangat antara pihak yang membolehkan dan
melarangnya (Trisnani, Windiarti, & Sa’adah, 2021). Nahasnya, kedua belah pihak
yang bertikai seringkali tidak secara seksama dan jeli dalam memandang masalah
tersebut. Hal tersebut terlihat dari dominasi unsur politis ketimbang unsur hukum
agama. Bagi yang melarang kepemimpinan perempuan, dorongan pelarangan
tersebut lebih karena lawan politiknya adalah perempuan. Sedangkan kalangan yang
membolehkan hanya secara membabi buta mengangkat isu kesetaraan gender (Fasa,
2016).
Hilal Ardiansyah Putra, Moh. Mufid
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 3, Maret 2023 306
Isu ini menjadi penting karena didapati para ulama mutaqaddimin memasukkan
jenis kelamin laki-laki sebagai syarat seseroang dapat ditahbiskan menjadi
pemimpin negara. Al-Mawardi misalnya, ia menyebutkan tujuh syarat mu’tabarah
yang harus ada pada diri seseorang sehingga ia layak diangkat menjadi pemimpin.
Ketujuh syarat tersebut adalah: 1) al-‘ada>lah, yaitu orang yang istiqomah dalam
kebaikan serta menjauhi hal-hal yang menjurus pada kefasikan; 2) ilmu mumpuni
agar bisa berijtihad atas perkara-perkara yang belum ada hukumnya; 3) sehat indera
pendengaran, penglihatan dan lisan agar memudahkannya mengetahui perkara-
perkara; 4) sehat secara jasmani agar terhindar dari kekurangan-kekurangan saat
melaksanakan kebijakan atau menyelesaikan sebuah permasalahan; 5) kecerdasan
yang digunakan untuk mengatur rakyat dan memanajemen kemaslahatan; 6)
Keberanian yang dapat melindungi dan mengayomi rakyatnya, dan 7) seorang
pemimpin harus bernasab Quraisy (Halimah, 2018).
Sedangkan Abu Ya’la al-Farra’(w. 458 H) dari kalangan hanabilah berpendapat
ada empat syarat seorang layak menjadi pemimpin: 1) bernasab Quraisy; 2)
memenuhi persyaratan menjadi hakim ; 3) memiliki ketegasan dalam perintah
perang, politik, penegakan hukum, tidak lembek saat berperang serta pro terhadap
kepentingan rakyat; 4) pemimpin harus yang terbaik dari segi ilmu dan agama.
Dua pendapat sarjana muslim generasi awal ini setidaknya menjadi pendapat
yang representatif pada masa-masa ketika umat Islam di berbagai penjuru hanya
memiliki satu pemimpin tertinggi (Huda, 2016). Hanya saja, ketika kepemimpinan
beralih kepada orang-orang Turki, syarat kepemimpinan dari Quraisy harus
tereliminasi sebab orang Turki tidak memiliki hubungan darah dengan Quraisy. Oleh
karena alur sejarah ini, para sarjana belakangan lantas mengajukan pertanyaan,
apakah pemimpin itu harus dari Quraisy? Ibnu Khaldun (w. 808 H) sebagai seorang
pemikir muslim abad pertengahan, sebagaimana yang dinukil oleh Muhammad Abu
Laits berpandangan bahwa sabda Nabi tentang kepemimpinan adalah hak Quraisy
terikat dengan faktor kekuatan dan fanatisme. Dalam bahasa yang lain, pada saat
Nabi berbicara demikian Suku Quraisy sedang dalam keadaannya yang kuat (Willya
& Prasetyo Rumondor, 2018).
Penelitian terkait isu ini sebenarnya telah banyak. Di antaranya adalah Halimah
B dalam papernya Kepemimpinan Politik Perempuan dalam Pemikiran Mufassir.
Dalam penelitiannya tersebut Halimah B, berdasarkan pembacaannya atas beberapa
pendapat para mufassir menarik sebuah kesimpulan bahwa ayat 34 surat al-Nisa
yang sering kali digunakan sebagai dalil kalangan yang kontra atas kepemimpinan
perempuan tidaklah memiliki makna tunggal. Artinya, kata qowwamah dalam ayat
tersebut tidaklah berlaku umum pada semua kepemimpinan. Namun hanya terbatas
pada konteks rumah tangga. Di samping itu, berdasarkan surat al-Taubah ayat 71,
didapatkan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kewajiban yang sama dalam
menegakkan kebaikan dan mencegah kemungkaran. Ayat ini menguatkan bahwa
kepemimpinan bukanlah monopoli kaum laki-laki saja (Soraya, 2008).
Penelitian lain dilakukan oleh M. Zainuddin dan Ismail Maisaroh dalam
papernya Posisi Wanita dalam Sistem Politik Islam: Telaah Terhadap Pemikiran
Kepemimpinan Perempuan Dalam Konsep Negara Modern Perspektif Maqasid Al-
Syariah: Studi Komparatif Pemikiran Yusuf Al-Qardhawi Dan Said Ramadhan Al-Buthi
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 3, Maret 2023 307
Politik Yusuf al-Qardhawi. Dalam penelitiannya tersebut Zainuddin dan Maisaroh
sampai pada kesimpulan bahwa Yusuf al-Qardawi menjadi salah satu pioner
pembaharu dalam kaitannya atas kepemimpinan politik perempuan. Al-Qardhawi
berpendapat bahwa teori politik klasik yang ada dalam buku-buku politik Islam
perlu dibaca ulang berdasarkan kontes sosial yang lebih modern. Di samping itu, al-
Qardhawi juga melakukan tela’ah ulang atas ayat 34 surat an-Nisa dan hadist yang
diriwayatkan oleh Bukhari dari Abu Bakrah. Menurut pembacaan Zainuddin dan
Maisaroh, al-Qardhawi telah mencoba untuk melihat konteks ayat dan hadist
tersebut muncul. Terkait ayat, sama seperti hasil penelitian Halimah B, al-Qardhawi
membatasi qawwamah hanya dalam rumah tangga. Adapun terkait hadist Abu
Bakrah, al-Qardhawi memandangnya sebagai kejadian lokal yang terjadi pada
kekaisaran Persia. Sehingga kedua dalil tersebut tidaklah qath’i melarang perempuan
menduduki jabatan pemimpin. Di samping al-Qardawi juga melihat bahwa konteks
pemerintahan kini dan dahulu telah berbeda (Yuliana, Tarmizi, & Panorama, 2017).
Nasiruddin Al Ahsani dalam papernya Kepemimpinan Perempuan pada
Masyarakat dalam Perspektif Said Ramadhan Al-Buti: Telaah Hadsi Misoginis juga
membahas isu yang sama hanya saja ia mengrucutkan pada pemikiran al-Buthi.
Dalam penelitiannya tersebut, Al Ahsani berkesimpulan bahwa al-Buti berpendapat
bahwa banyak jabatan publik yang dapat diperankan oleh perempuan seperti hakim,
anggota dewan, baiat, dan semisalnya. Bahkan dalam penelitian tersebut Al-Ahsani
menyatakan bahwa al-Buthi membolehkan seorang perempuan menjadi pemimpin
negara. Kesimpulannya yang terakhir ini perlu dikaji lebih dalam (AIK, Harun, &
Putra, 2019). Sebab dalam buku Al-Mar’ah Baina Tuhgyani Nizam Al-Gharby Wa
Lataif Al-Tashri Al-Rabbani, yang sebenarnya juga dijadikan refrensi utama oleh Al
Ahsani, dalam buku tersebut al-Buthi secara tegas tidak sepakat dengan pendapat
yang membolehkan perempuan menjadi pemimpin negara karena dianggapnya tidak
dapat melaksanakan beberapa fungsi utama kepemimpinan dalam politik Islam.
Dua tokoh terakhir yaitu Yusuf al-Qardhawi dan Said al-Buthi, kedua-duanya
merupakan tokoh kontemporer dan sama-sama jebolan Universitas al-Azhar. Namun
dalam isu kepemimpinan perempuan mereka berbeda pendapat. Tema
kepemimpinan perempuan menurut al-Qardhawi dan al-Buthi inilah yang akan
menjadi fokus utama kajian ini. Di samping itu penulis akan mencoba untuk
menganalisa perbedaan pendapat keduanya berserta argumen masing-masing
pendapat menggunakan pendekatan teori sistem Jasser Audah.
Metode Penelitian
Penelitian ini bersifat kajian kepustakaan. Pertama-tama penulis mengumpulkan
refrensi primer pemikiran al-Qardhawi dan al-Buti terkait kepemimpinan wanita.
Setelah melakukan penelusuran kepustakaan, penulis mendapatkan dua sumber
primer dalam kajian ini yaitu buku Min Fiqh al-Daulah karya Yusuf al-Qardhawi
dan buku al-Mar’ah Baina Tughyan al-Gharb Wa Lataif Al-Tashri Al-Rabbani karya
Said Ramadhan al-Buthi. Di samping dua buku tersebut, penulis menambahkan
Hilal Ardiansyah Putra, Moh. Mufid
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 3, Maret 2023 308
beberapa data sekunder dari karya lain keduanya berserta tulisan-tulisan keduanya di
media masa.
Hasil Dan Pembahasan
Setelah memetakan refrensi, penulis mengumpulkan pendapat keduanya
terkait kepemimpinan wanita dalam konteks negara beserta argumen masing-masing
pendapat yang berlawanan. Setelah itu penulis menguraikan data-data tersebut
menggunakan pendekatan Maqashid al-Syariah teori Sistem Jasser Audah (Islam,
2007).
Dengan melihat tujuan-tujuan syariat, produk hukum tidak akan jumud. Ibarat
produk hukum adalah jasad, ia tidak akan hidup tanpa ruh. Dan ruh dari hukum itu
sendiri adalah tujuan-tujuan syariat. Sebab itu Ibnu al-Qayyim dalam ‘Ila>m al-
Muwaqqi'in mensifati maqashid dengan fiqih yang hidup, yang masuk ke dalam jiwa
tanpa izin. Di samping itu, orang yang tidak mengetahui tujuan dan hikmah dari
penetapan sebuah hukum akan sulit untuk menghasilkan qiyas yang shahih. Lebih
lanjut Ibnul Qoyyim memberikan permisalan terhadap orang yang tidak memahami
hikmah syariat dengan orang yang dikatakan kepadanya, Jangan ucapkan salam
kepada pelaku bid’ah, lantas orang itu mencium tangan dan kakinya namun tidak
mengucapkan salam kepadanya.” Mengesampingkan maqashid al-syari'ah dalam
istimbat hukum sama saja dengan membangun pondasi tanpa semen. Hukum
menjadi bengis dan manusia tidak mendapatkan maslahat-nya. Melihat pentingnya
peran maqashid, Ibnu Asyur mengatakan, Meremehkan maqasid merupakan sebab
kejumudan kebanyakan fuqaha> dan faktor penting cacatnya hukum dari
kemanfaatan...” Bukan hanya jumud tapi produk hukum yang tercerabut dari akar
mas}lahat akan mengakibatkan cacat dan membuat bangunan maslahat dalam
syariat roboh.
Oleh sebab itu kepekaan seorang mujtahid tentang maqasid al-syari'ah akan
membantu dirinya dalam memahami nash syariah dan menjadi alat penting dalam
menafsirkan sebuah teks sehingga tidak kaku dan menyulitkan mukallaf. Dengan
menggunakan pendekatan maqasid dalam istimbat hukum, hasil dari ijtihad tersebut
akan lebih bisa diaplikasikan dalam kehidupan yang nyata dan akan dapat dirasakan
kebermanfaatannya. Term maqashid al-syari'ah meski sudah digunakan oleh para
sarjana muslim generasi awal namun belum mendapatkan definisinya bahkan hingga
masa asy-Syatibi. Hal ini dikarenakan para sarjana tersebut sudah memahami betul
apa yang dimaksud dengan term maqashid al-syari'ah. Hanya saja, pada masa-masa
akhir ini, beberapa sarjana kontemporer mencoba untuk memberikan definisi atas
term tersebut.
Jasser Audah mendefinisikan maqashid al-syari'ah dengan al-ma’a>ni> allati
qashada as-sya>ri’ ila tahqi>qiha> min wara>i tasyri>’a>tihi wa ahka>mihi wallati>
yastaqriuha> al-‘ulama> al-mujtahidu>n min an-nushu>s as-syar’iyah. Dalam
definisi ini Jaser Audah menjelaskan bahwa maqas}id al-syari>’ah bukan hanya
tujuan syariat berupa maslahat bagi hambah dan manusia. Namun perlu penekanan
bahwa makna dan hikmah-hikmah tersebut tidak datang dari akal dan hawa nafsu
Kepemimpinan Perempuan Dalam Konsep Negara Modern Perspektif Maqasid Al-
Syariah: Studi Komparatif Pemikiran Yusuf Al-Qardhawi Dan Said Ramadhan Al-Buthi
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 3, Maret 2023 309
melainkan dari nash-nash al-Qur'an al-Karim. Jaser Audah sebagai pemikir
kontemporer datang dengan jangkauan maqasid yang lebih luas. Jangkauan maqasid
tersebut melingkupi aspek umum, khusus dan parsial. Maqasid Ammah diartikan
sebagai tujuan hukum Islam secara umum (Fad, 2019). Adapun maqasid khusus
diartikan sebagai tujuan tertentu dari bab-bab hukum Islam. Sedangkan tujuan
parsial adalah tujuan rinci dari masing-masing hukum Islam. Disamping perluasan
jangkauan, Jaser Audah juga menghadirkan satu pendekatan baru untuk hukum
Islam yang ia adopsi dari teori sistem hukum Lawrence M Friedman. Teori sistem
yang ditawarkan Jaser Audah tersebut adalah cognitive nature, wholeness, openness,
interrelated, openness, interrelated hierarchy, multi dimensionality dan
purposefulness.
Pertama, Cognitive nature diartikan sebagai pemisahan antara konteks Al-
Qur’an dan Sunnah dengan pemahaman orang terhadap sebuah teks. Hal ini perlu
dilakukan karena seorang ahli hukum dalam mengambil hukum dari teks utama
tidak akan terlepas dari mental cognition dan pemahamannya yang manusiawi.
Kedua, wholeness atau keseluruhan dimana hubungan sebab akibat tidak dilihat
secara terpisah namun dilihat secara integral dan dinamis. Ketiga, bersifat terbuka
(openness) artinya hukum membuka diri dengan lingkungan sekitar untuk menerima
perubahan jika memang dibutuhkan. Keempat, adanya hubungan interelasi
(interrelated) yang bersifat struktur hirarkis. Kelima, memiliki bagian-bagian yang
saling terkait (multi dimensionality). Ketujuh, memiliki tujuan yang dihasilkan dari
jaringan sistem (purposefulness).
Perluasan wilayah maqasid menjadi ammah, khassah dan juz’iyah akan sangat
membantu untuk memetakan tujuan-tujuan dari adanya syariat secara umum dan
selanjutnya syariat kepemimpinan sebagai turunan. Sedangkan kategori-kategori
dalam teori sistem yang ditawarkan oleh al-Audah akan sangat berfungsi untuk
menganalisis sejauh mana ketepatan alasan atau tahlil yang dilakukan baik oleh al-
Qardhawi yang membolehkan seorang perempuan untuk menjadi pemimpin negara
maupun al-Buthi yang tidak membolehkan.
Terkait ruang lingkup maqashid maka terdapat tiga poin. Pertama, syariat
secara umum dalam semua kasus hukum dan peraturannya tersimpul dalam dua hal
yaitu mendatangkan mafaat dan menolak madharat. Inilah yang dimanakan dengan
al-Maqashid al-Ammah dalam pembagian Jasser Audah. Kedua, sebagaimana yang
telah dibahas sebelumnya bahwa para ulama telah bersepakat bahwa kepemimpinan
harus diadakan. Sebab dengan adanya pemimpin aturan dapat ditegakkan dan
pelanggaran-pelanggaran dapat diminimalisir. Inilah ruh syariah yang dibawa oleh
Nabi Muhammad. Artinya, secara tujuan khusus (al-Maqasid al-Khassah) adanya
pemimpin adalah sebuah keharusan karena dengannya maslahat bisa didapat dan
madharat bisa ditolak. Ketiga, terkait siapa yang menjadi pemimpin, apakah ia dari
Suku Quraisy atau bukan, apakah ia laki-laki atau perempuan, apa saja tugas seorang
pemimpin dalam sebuah negara, apakah tugas-tugas tersebut harus mensyaratkannya
seorang laki-laki atau bukan, jika iya apakah tugas itu bisa diwakilkan atau tidak.
Hilal Ardiansyah Putra, Moh. Mufid
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 3, Maret 2023 310
Hal-hal tersebut dapat diketagorikan kedalam tujuan syariat yang parsial (al-
Maqashid al-Juz’iyah).
Kepemimpinan Dalam Maqashid Al-Shariah
Al-Mawardi menyebut dalam al-Ahkam al-Sultahniyah bahwa tujuan
kepemimpinan adalah siyasat al-dunya wa ad-din, yaitu mengatur segala urusan
demi tercapainya maslahah di dunia dan di akhirat. Maka untuk menguji permasalah
ini perlu pertama-tama diketengahkan bahwa tujuan umum (al-maqa>s}id al-
‘ammah) dari kepemimpinan adalah maslahat dunia dan akhirat. Maslahat dunia
mencakup hak-hak asasi kemanusiaan seperti hak untuk beragama, hak untuk hidup,
hak untuk mendapat pendidikan, hak bekerja dan hak berkeluarga serta
berketurunan. Adapun maslahat akhirat adalah menerima pahala dari Allah,
mendapatkan pengampunan, dibebaskan dari neraka dan diberikan balasan surga.
Maslahat-maslahat utama inilah yang lantas menjadi concern seorang pemimpin
untuk menjaga dan melestarikannya. Dalam menjaga maslahat umum tersebut,
seorang pemimpin harus memperhatikan maslahat umum dalam ruang yang lebih
khusus (al-mas}lahah al-khassah). Oleh sebab itu dalam urusan hak beragama
seorang pemimpin harus bisa melakukan penjagaan agar semua orang mendapatkan
ketenangannya dalam beragama termasuk memiliki kebebasan dalam menjalankan
syariatnya masing-masing, memastikan penjagaan atas objek-objek suci setiap
agama dan tidak adanya pelecehan dan penghinaan atas agama. Dalam urusan hak
untuk hidup pemimpin harus dapat memelihara keamanan warga negara dari
pembunuhan, menciptakan iklim yang ramah agar tidak ada yang bunuh diri dan
juga memastikan lingkungan agar tidak terjadi korban jiwa akibat kecerobohan.
Dalam hak mendapatkan pendidikan pemerintah perlu menyediakan sekolah-sekolah
yang masyarakat kurang mampu dengan kualitas standar, mendirikan rumah-rumah
singgah untuk anak terlantar, memberikan pendampingan peningkatan skill dan lain
sebagainya. Tentang hak warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan memiliki
harta, pemerintah perlu mengatur dan menertibkan sertifikat kepemilikan tanah dan
bangunan, melakukan pengawasan terhadap kesejahteraan buruh, mengawasi
persaingan usaha dan semisalnya. Terakhir dalam hak warga negara untuk dapat
berkeluarga dan memiliki keturunan, pemerintah perlu melakukan pengawasan
terhadap psikologis calon pengantin, merapikan catatan nikah, melakukan tindakan
tegas atas pelaku rudapaksa, memberikan layanan persalinan yang murah namun
berkualitas, serta menyediakan asupan gizi dan vitamin untuk balita dari keluarga
kurang mampu. Adapun maslahat akhirat, maka seorang pemimpin harus dapat
mengajak warga negaranya untuk beriman kepada Allah, mendirikan tempat-tempat
ibadah, menyeru kepada kebaikan dan mencegah kepada kemungkaran, mengajak
untuk senantiasa melakukan introspeksi, mawas diri dan semisalnya yang dapat
mendatangkan rahmat dan ampunan Allah. Maslahat-maslahat tersebutlah yang
hendak dicapai dari diadakannya kepemimpinan.
Dengan melihat tujuan-tujuan kepemimpinan tersebut, maka dapat
diketengahkan pertanyaan, apakah kepemimpinan oleh seorang laki-laki adalah
Kepemimpinan Perempuan Dalam Konsep Negara Modern Perspektif Maqasid Al-
Syariah: Studi Komparatif Pemikiran Yusuf Al-Qardhawi Dan Said Ramadhan Al-Buthi
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 3, Maret 2023 311
masuk dalam tujuan kepemimpinan atau hanya sekedar wasilah. Jika hanya sekadar
wasilah maka secara ruh syariat kepemimpinan wanita tidaklah menjadi masalah.
Landasan Normatif Hukum Kepemimpinan Perempuan
Para ulama berbeda pendapat dalam hal boleh tidaknya seorang perempuan
menduduki jabatan presiden atau perdana menteri menjadi dua madzhab. Mazhab
pertama adalah mereka yang melarang. Larangan seorang perempuan menduduki
jabatan kepala negara diambil dari penalaran bayani teks Al-Quran dan Sunnah.
Adapun dalil-dalil dari al-Qur’an di antaranya:
Pertama, Firman Allah dalam surat al-Nisa,

















Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita),
dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.”
Q.S. al-Nisa [4]: 34.
Di dalam ayat ini tegas disebutkan bahwa laki-laki adalah qawwamah atas
perempuan. Para ahli tafsir semisal Muhammad ibn Jarir al-Thabari, al-Qurthubi,
Ibnu Katsir, al-Syaukani dan lain-lainnya menjelaskan bahwa makna qawwamah
adalah orang yang mengurus urusan, baik urusan umum politik maupun urusan
umum keluarga. Maka laki-laki adalah pihak yang berdiri untuk menegakkan aturan
dan menanggung kafalah kaum perempuan, memerintahkan mereka untuk berbuat
baik dan mencegah mereka berbuat buruk.
Kedua, Firman ALlah dalam surat al-Baqarah,

















Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut
cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan
daripada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Q.S. Al-
Baqarah [2]: 228.
Ayat ini merupakan jawaban bagi sebagian besar masyarakat jahiliyah yang
memandang rendah kaum perempuan. Secara tegas bahwa kaum perempuan juga
memiliki hak untuk dibersamai dengan baik. Diperlakukan sama baiknya dengan
kaum laki-laki. Meski demikian, Allah tetap memberikan penjelasan bahwa Allah
memberikan beberapa tugas tambahan untuk laki-laki sehingga mereka tidak bisa
disamakan dengan wanita. Al-Razi dalam tafsirnya menjelaskan tentang derajat laki-
laki atas perempuan dengan mengatakan bahwa laki-laki memiliki keutamaan atas
Hilal Ardiansyah Putra, Moh. Mufid
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 3, Maret 2023 312
perempuan dari beberapa perkara. Diantaranya kecerdasan akal, bab diyat, bab
warisan, dan kelayakan untuk menjadi pemimpin, memutuskan perkara dan menjadi
saksi.
ketiga, firman Allah dalam surat al-Baqarah,










Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas
dan tubuh yang perkasa.” Q.S. Al-Baqarah [2]: 247.
Dalam ayat ini Allah memberikan bantahan kepada Bani Israil yang menolak
kepemimpinan Thalut dengan alasan ia tidak memiliki kekayaan dan bukan dari
keluarga raja. Ayat ini menjelaskan bahwa yang memiliki kapabilitas pemimpin
adalah orang yang memiliki ilmu yang luas dan fisik yang kuat. Dua hal ini lebih
didominasi oleh laki-laki sehingga yang pantas untuk menjadi pemimpin adalah
sosok laki-laki.
Keempat, firman Allah dalam surat al-Ahzab,









Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan
bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu.” Q.S. Al-Ahzab [33]:
33.
Dalam ayat ini, sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Qurthubi bahwa Allah
memerintahkan wanita untuk tetap diam di rumah. Ayat ini, kata al-Qurthubi,
meskipun ditujukan kepada istri-istri Nabi Muhammad, namun juga mencakup
wanita-wanita lainnya. Sebab jika istri Nabi yang mulia saja dilarang untuk keluar
rumah dan mengumbar kemewahan lantas bagaimana dengan wanita-wanita biasa
lainnya.
Empat dalil al-Quran tersebut didukung beberapa dalil dari Sunnah. Di
antaranya adalah riwayat Abu Bakrah yang menceritakan bahwa ia hampir saja ikut
berperang bersama rombongan Aisyah ra. Ia lantas teringat sabda yang didengarnya
dari Rasulullah ketika beliau menerima kabar bahwa rakyat Persia mengangkat putri
Kisra untuk menjadi pemimpin mereka. Nabi Muhammad bersabda: “Tidak akan
beruntung suatu kaum yang menjadikan perempuan sebagai pemimpin.” Dalam
riwayat Jabir bin Samurah, Rasulullah bersabda: “Tidak akan beruntung kaum yang
pendapatnya dikuasai oleh seorang wanita.” Begitu juga dalam riwayat al-Hakim
dari Abu Bakrah ketika Rasulullah menerima kabar bahwa musuh-musuh Islam
menjadikan seorang perempuan sebagai pemimpin beliau bersabda: “Binasalah
kaum laki-laki ketika menaati para perempuan.” Beberapa riwayat ini secara tegas
menyebut akan adanya mudharat ketiga perempuan menjadi pemimpin. Oleh karena
Kepemimpinan Perempuan Dalam Konsep Negara Modern Perspektif Maqasid Al-
Syariah: Studi Komparatif Pemikiran Yusuf Al-Qardhawi Dan Said Ramadhan Al-Buthi
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 3, Maret 2023 313
menolak mudharat adalah wajib, maka hukum menjadikan perempuan sebagai
pemimpin adalah dilarang. Disamping itu, hadist-hadist tersebut juga dimaknai
sebagai kabar yang mengandung makna larangan. Larangan ini berlaku kapan saja
dan dimana saja karena lafadz yang digunakan adalah lafadz umum dalam bentuk
larangan (nakirah fi siyaq an-nafyi) yang oleh Ushuliyun berfaedah umum.
Dalil ketiga yang menjadi pegangan kalangan pertama adalah ijmapara ulama.
Imam al-Haramain sebagaimana yang dinukil oleh Hafid Anwar berkata: “... dan
para ulama telah berijma bahwa seorang perempuan dilarang untuk menjadi
pemimpin.” Ibnu Hazm berkata: “...Semua kelompok ahli kiblat tidak ada satupun
yang membolehkan kepemimpinan perempuan.”
Dalil madzhab kedua yang berpendapat bahwa boleh seorang wanita
menduduki kursi kepemimpinan baik presiden maupun perdana menteri adalah
sebagai berikut. Pertama, keumuman firman Allah dalam surat al-Nu>r, al-Hajj dan
al-Taubah,


















“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan
mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan
menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan
orang-orang sebelum mereka berkuasa.Q.S. al-Nur [24]: 55.






















Orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya
mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf
dan mencegah dari perbuatan yang mungkar.” Q.S. al-Hajj [21]: 41.





























Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka
(adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh
(mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat,
menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Q.S. al-Taubah
[9]: 71.
Pada ketiga ayat tersebut, Allah tidak mengkhususkan kepemimpinan pada jenis
laki-laki saja. Tapi Allah memberikan sifat kepada orang-orang yang akan
dimenangkan dengan kalangan yang akan menyeru kepada kebaikan, mencegah dari
keburukan, mendirikan shalat dan menunaikan zakat. Perkara-perkara tersebut
tidaklah menjadi kekhususan jenis laki-laki saja. Bahkan dalam banyak ayat Allah
menjelaskan bahwa tugas kebaikan dipikul bersama-sama dengan kaum perempuan.
Hilal Ardiansyah Putra, Moh. Mufid
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 3, Maret 2023 314
Kedua, kisah Ratu Saba’ yang disebutkan di dalam al-Qur’an. Dalam kisah
tersebut Negeri Saba’ yang memiliki kekuasaan kuat dan makmur dipimpin oleh
seorang ratu sebagaimana yang dilaporkan oleh Hud-Hud: “Sungguh aku telah
dapati seorang wanita yang berkuasa atas mereka dan ia diberi segala sesuatu serta
singgasana yang mega.” Q.S. al-Naml: 23. Dua dalil inilah yang menjadi landasan
normatif kalangan ulama kontemporer semisal al-Qardhawi yang berpendapat
bolehnya seorang wanita menduduki posisi presiden atau perdana menteri.
Dalil yang digunakan madzhab pertama jika dilihat secara konteks ayat itu ada
maka tidak dijumpai keterkaitan secara langsung terhadap kepemimpinan secara
umum. Berbeda dengan madzhab kedua yang memandang dalil-dalil tersebut hanya
dikhususkan pada kasus yang sempit. Yaitu kasus rumah tangga. Dengan pandangan
Cognitive Nature memungkinkan pembacaan ulang terhadap ayat-ayat tersebut
dengan melepaskannya dari pemahaman mufassir sehingga didapatkan makna
original atas teks tersebut. Begitupula dengan pemahaman atas hadist Abu Bakrah
yang menyebut bahwa suatu kaum tidak akan beruntung selagi mereka
memasrahkan urusannya kepada wanita. Teks hadist tersebut perlu diletakkan pada
konteksnya. Yaitu terkait persetruan kaum muslimin dengan bangsa Persia setelah
utusan muslimin dibunuh oleh Persia.
Istidlal madzhab petama dengan ayat yang menceritakan kelebihan Thalut dalam
segi ilmu dan kekuatan jika ditinjau dari sebab akibat tidaklah terbatas pada laki-laki
saja. Sebab jika ada wanita yang memiliki ilmu dan juga memiliki kekuatan yang
lebih, apakah juga harus kalah dengan laki-laki pada saat laki-laki tersebut kurang
memenuhi kriteria ilmu dan kekuatan? Dengan melihat masalah kepemimpinan
secara keseluruhan yang membentuk sebuah sistem hukum dengan tujuan yang
pasti, maka kepemimpinan laki-laki bukanlah tujuan melainkan wasilah. Sebab
tujuan kepemimpinan berdasarkan ayat 247 Surat al-Baqarah tersebut ialah lahirnya
keamanan karena kekuatan dan kesejahteraan karena kepintaran seorang pemimpin.
Meninjau konteks hadist Abu Bakrah yang memiliki sebab khusus serta suasana
sosiologis yang kental, maka dapat dipahami bahwa ancaman ketidak beruntungan
atas suatu kaum yang dipimpin perempuan sangat tergantung dengan budaya dan
pandangan sosiologis yang berkembang. Dalam kehidupan modern, kontes hadist
tersebut jarang ditemukan. Di samping bentuk dan sistem kepemimpinan juga telah
berubah. Dengan demikian, secara tinjauan teori sistem, pendapat kedua lebih kuat
dari pendapat pertama.
Pemikiran Yusuf Al-Qardhawi Dan Al Buthi Tentang Kepemimpinan
Perempuan Dan Analisa Maqashidi
Sebagaimana pada pembahasan sebelumnya bahwa antara Yusuf al-Qardhawi
dan Said Ramadhan al-Buthi memiliki kesamaan terhadap partisipasi perempuan
dalam ruang publik baik legislatif maupun yudikatif. Begitu pula dalam eksekutif.
Keduanya sama-sama mengikuti pendapat bahwa tidak boleh seorang perempuan
menjadi pemimpin tertinggi dalam model pemerintahan khilafah di mana seorang
pemimpin menjadi imam semua kaum muslimin. Yang menjadi pembeda antara
Kepemimpinan Perempuan Dalam Konsep Negara Modern Perspektif Maqasid Al-
Syariah: Studi Komparatif Pemikiran Yusuf Al-Qardhawi Dan Said Ramadhan Al-Buthi
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 3, Maret 2023 315
kedua tokoh kontemporer ini adalah terkait kepemimpinan perempuan dalam
konteks negara modern dimana seorang kepala negara tidak berdiri sendiri dalam
memimpin negara.
Yusuf al-Qardhawi berpendapat bolehnya seorang perempuan untuk
menduduki posisi presiden atau perdana menteri. Alasan atau dalil yang
digunakannya antara lain:
Pertama, al-Qardhawi berkeyakinan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki
beban taklif yang sama. Adapun terhadap taklif yang berbeda maka ada nash yang
secara tegas memberikan penjelasan laiknya warisan, persaksian, dan semisalnya.
Adapun hak dan tanggungjawab yang tidak ada nash tegas yang membedakan antara
keduanya maka keduanya berserikat atas hal tersebut. Hal ini didukung hadits,
Innama al-Nisa>’u syaqa>’iq al-rija>l”, sesungguhnya wanita adalah “saudara
kandung” laki-laki.
Kedua, al-Qardhawi menjadikan kisah Ratu Saba yang disebutkan di dalam al-
Qur’an sebagai dalil bolehnya seorang perempuan menjadi penguasa. Dalam kisah
Ratu Saba tersebut bahkan al-Quran memberikan sifat kekuasaan dan penguasaan
yang cukup adil dan bijaksana. Kekuasaan yang besar digambarkan dalam berita
yang dibawakan oleh Hud-Hud, Sesungguhnya aku dapati seorang wanita yang
menguasai mereka dan ia diberi segala sesuatu serta singgasana yang agung.”
Adapun kebijaksanaan Ratu Bilqis terlihat dari keterbukaannya untuk melakukan
diskusi dengan para pejabatnya dalam memutuskan sesuatu perkara yang penting
dan pada tahap selanjutnya menyelamatkan kerajaannya dari serangan Raja
Sulaiman. Bilqis berkata, Wahai para pejabatku, berilah masukan pada perkaraku
ini, aku tidak akan memutuskan sesuatu sebelum kalian memberi masukan
kepadaku.” Dalam al-Quran pula dijelaskan kecerdasan Bilqis yang pada akhirnya
membuatnya paham akan keyakinannya terdahulu yang menyembah matahari adalah
sebuah kebodohan. Ia mengatakan, “Dan aku berislam bersama Sulaiman kepada
Allah tuhan semesta.”
Sebagian besar kalangan tidak menganggap penuturan dalam surat al-Naml
tersebut sebagai dalil karena dua hal. Pertama, kekuasaan Bilqis ada pada zaman
sebelum Nabi Muhammad dan dalam Ushul Fiqh jumhur tidak menerima syariat
terdahulu. Kedua, kekuasaan Bilqis adalah kekuasan kekufuran sehingga tidak
mungkin orang beriman menjadikan orang kafir dan atau perbuatan orang kafir
sebagai hujjah atau dalil. Menanggapi sanggahan ini al-Qardhawi menjelaskan
bahwa jika ayat tersebut tidak dapat dijadikan sebagai hujjah maka untuk apa Allah
menyebutkannya dalam Al-Quran dan perbuatan Allah tidak ada yang sia-sia.
Disamping itu, dalam ayat tersebut bagi al-Qardhawi memuat prinsip-prinsip
kekuasaan, yaitu tidak otoriter, menciptakan budaya diskusi, berpikir matang
sebelum bertindak, dan mencari maslahat untuk rakyat meskipun harus takluk pada
Sulaiman. Maka sebagai kesimpulan, jika maslahat bisa diambil oleh seorang
perempuan lantas apa yang menghalangi mereka untuk menjadi penguasa jika
memang salah satu dari mereka dapat menjalankan tugas kepemimpinan dengan
Hilal Ardiansyah Putra, Moh. Mufid
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 3, Maret 2023 316
baik? Selanjutnya untuk memperkuat pendapatnya terkait kebolehan seorang wanita
menjadi presiden atau perdana menteri, al-Qardhawi memberikan beberapa argumen
dan jawaban atas dalil-dalil yang digunakan oleh kalangan yang melarang. Pertama,
terkait surat al-Nisa> [4]: 34. Ayat tentang kepemimpinan laki-laki atas perempuan
ini tidaklah berbicara terkait kepemimpinan laki-laki dalam kekuasaan politik
negara. Melainkan kekuasaan mutlak laki-laki dalam urusan keluarga. Hal ini
dikarenakan siyaq ayat yang berada dalam pembahasan hukum keluarga yang
didalamnya termasuk penempatan hubungan antara suami dan istri. Oleh sebab itu
yang dimaksud dengan qowwamat al-rija>l ‘ala> al-nisa> adalah kepemimpinan
keluarga dan otoritas tanggungjawab oleh suami atas semua anggota keluarga
termasuk istri. Kedua, terkait hadits Abu Bakrah. Menurut al-Qardhawi hadits ini
tidak bisa dilepaskan dari konteks hadits tersebut diucapkan. Dalam konteks atau
asbab al-wurud hadist disebutkan bahwa ada kabar yang sampai kepada Rasulullah
bahwa Bangsa Persia mengangkat anak Kisra sebagai penguasa Persia. Setelah
mendengar kabar tersebut barulah Rasulullah bersabda bahwa tidak akan beruntung
kalangan yang mengangkat wanita sebagai pemimpin. Maka dalam kasus ini perlu
diteliti bagaimana keadaan Persia saat itu. Al-Qardhawi menjelaskan bahwa Bangsa
Persia karena mengikuti hukum pewarisan kekuasaan kepada keturunan maka
hukum yang telah berlaku tersebut mengharuskan putri Kisra yang menjadi
pemimpin sedangkan di waktu yang sama terdapat orang-orang yang lebih cakap
dan lebih kompeten dalam memimpin. Oleh sebab itu mereka tidak akan beruntung
sebab gejolak akan tumbuh dari kalangan yang lebih pantas dan lebih berhak secara
penguasaan kepemimpinan. Selanjutnya, al-Qardhawi menanggapi kalangan yang
berpegang pada kaidah al-‘ibrah bi umu>m al-lafd la bi khusu>s al-sabab yang
mengharuskan pemberlakukan teks hadist tersebut secara umum. Menurutnya kaidah
ini tidaklah mujma’ ‘alaih. Hal ini dikarenakan Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan
semisalnya yang berpandangan wajib merujuk sebab munculnya teks.
Mengesampingkan sebab munculnya teks akan melahirkan kegaduhan dalam
pemahaman sebagaimana yang dilakukan oleh kalangan Khawarij yang mengambil
teks secara lafadz saja tanpa melihat kontes lafad tersebut hadir. Al-Qardhawi juga
memandang adanya kontradiktif jika teks Abu Bakrah tersebut diberlakukan secara
umum. Kontradiktif tersebut terjadi antara teks Abu Bakrah dengan zhahir al-Qur’an
yang menceritakan kekuasaan Ratu Bilqis. Menurutnya, jika ada seorang perempuan
yang adil, bijaksana, kuat secara supremasi, apakah akan diserahkan kepada laki-laki
hanya karena perempuan sedangkan laki-laki yang ada tidak memiliki kapasitas
memimpin dan mengatur pemerintahan? Jika ini yang terjadi maka sama saja
dengan menjerumuskan orang banyak kepada kebinasaan. Ketiga, al-Qardhawi juga
membedakan antara model kepemimpinan era klasik dengan era yang lebih
berkembang. Era kekuasaan klasik adalah era dimana seorang penguasa menjadi
penguasa penuh. Sedangkan dalam era modern, pemimpin negara tidaklah berdiri
sendiri sebab ada DPR/MPR yang memiliki kedudukan yang sama dalam
kelembagaan negara. Oleh sebab itu jika ada seorang perempuan menjadi presiden
atau perdana menteri, maka kekuasaan mereka tidaklah mutlak.
Kepemimpinan Perempuan Dalam Konsep Negara Modern Perspektif Maqasid Al-
Syariah: Studi Komparatif Pemikiran Yusuf Al-Qardhawi Dan Said Ramadhan Al-Buthi
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 3, Maret 2023 317
Adapun Said Ramadhan al-Buthi, untuk mendukung pendapatnya bahwa
perempuan tidak bisa menjadi pemimpin meskipun dalam konteks negara modern
sebagaimana yang disebutkannya dalam Perempuan antara Kezaliman Sistem Barat
dan Keadilan Islam adalah hadist yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, al-Tirmizi,
Ahmad, dan al-Nasa>’i dari Abu Bakrah bahwa Nabi Muhammad bersabda, “lan
yufliha qaumun wallau> amrahum imra’atan”, tidak akan beruntung kaum yang
menyerahkan urusannya kepada perempuan. Setelah menyebutkan hadist ini al-
Buthi menyebutkan beberapa hikmah atau dalil aqli atas larangan seorang
perempuan menduduki jabatan presiden atau perdana menteri. Pertama, seorang
pemimpin berkewajiban untuk mengumpulkan manusia untuk menunaikan shalat
jumat berjamaah dan memberikan khutbah, sedangkan perempuan tidak diwajibkan
untuk menunaikan shalat Jum’at dan tidak boleh juga seorang perempuan naik
mimbar memberikan khutbah Jum’at; kedua, seorang pemimpin berkewajiban
mengurus urusan perang dan damai, kapan negara mengangkat senjata dan kapan
negara mengambil keputusan berdamai. Tugas jihad ini hanya dibebankan untuk
lelaki bukan perempuan kecuali jika dalam keadaan darurat. ketiga, kepala negara
memiliki tugas untuk pergi bersama warga negara dalam rangka menunaikan shalat
Id dan shalat istisqa’, sedangkan perempuan tidak diwajibkan untuk hal tersebut, lalu
bagaimana tugas ini bisa terlaksana. keempat, sejarah Islam dan juga pra-Islam
menjadi bukti bahwa tabiat kepemimpinan ada pada lelaki, bukan perempuan.
Bahkan dalam sejarah politik kekuasaan umat Islam sejak Nabi Muhammad sampai
runtuhnya Daulah Turki Utsmani semua khalifahnya adalah perempuan.
Yusuf al-Qardhawi memandang jika ada seorang perempuan yang ternyata
lebih mumpuni untuk menjadi pemimpin dan bisa melaksanakan dengan baik
penjagaan dan pemeliharaan maslahat dunia dan akhirat, maka apa yang
menghalangi perempuan yang kompeten tersebut untuk menjadi pemimpin kecuali
kejumudahan. Dari sini al-Qardhawi mengajak untuk berpikir secara cognitif nature
dan menghindari mental congnition, yaitu memisahkan teks dari pemahaman
pembaca. Terkait surat al-Nisa [4]: 34 yang berbicara tentang qowwamah al-rijal
‘ala al-nisa> al-Qardhawi memisahkan pemahaman umum dengan teks itu sendiri.
Ia melihat ayat tersebut melalui kacamata korelasi antara ayat-ayat sebelum dan
sesudahnya. Kesimpulannya bagi al-Qardhawi ayat tersebut berbicara tentang
kepemimpinan lelaki secara khusus dalam ruang rumah tangga atau suami istri.
Adapun hadits Abu Bakrah yang dipandang umum oleh sebagian besar kaum
muslimin, maka al-Qardhawi memandangnya dengan sudut pandang teks dan
konteks. Artinya, teks tersebut memang umum. Namun konteks dari lafad itu
muncul juga tidak dapat ditinggalkan hingga akhirnya al-Qardhawi menyimpulkan
bahwa lafad tersebut adalah kasuistik pada pemerintahan yang pemimpinnya
memegang penuh kendali negara atau kekuasaannya.
Pandangan al-Qardhawi ini juga dihasilkan dari sikap berpikir yang integral
namun tetap dinamis (wholness), interelasi yang bersifat struktur hirarkis
(interrelated) serta pandangan keterkaitan dengan banyak hal (multi dimentionality) .
Hilal Ardiansyah Putra, Moh. Mufid
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 3, Maret 2023 318
Ia melihat masalah kepemimpinan perempuan sebagai sebab-akibat yang tidak bisa
dipisahkan dari masalah yang lain. Artinya, putri Kisra yang diangkat menggantikan
ayahnya dalam posisinya yang lemah dan kelembagaan negara yang tidak
mendukung akan mengakibatkan keruntuhan negara. Maka berbeda keadaannya jika
ternyata seorang perempuan mendapatkan dukungan yang kuat dari banyak pihak
serta para pejabat yang lain bersikap loyal untuk sekuat tenaga membantu dan
menyokong kepemimpinan pemimpin perempuannya sebagaimana yang dilakukan
oleh pembesar-pembesar Negeri Saba’ kepada Ratu Bilqis. Maka disini keruntuhan
negara tidak dilihat karena pemimpinnya perempuan, namun ada faktor lain yang
juga sangat mempengaruhi (multi dimentionality).
Keterbukaan pandangan (openness) juga terlihat dalam pendapat al-Qardhawi
yang memandang kepemimpinan era ini berbeda dengan era sebelumnya. Era lama
ditandai dengan kekuasaan mutlak seorang pemimpin sedangkan era modern
ditandai dengan saling sinergis antara lembaga-lembaga kekuasaan terutama
eksekutif, legislatif dan yudikatif. Dengan melakukan pembacaan terhadap struktur
negara modern, maka sebenarnya kalangan yang kokoh melarang kepemimpinan
perempuan atas negara sudah tidak lagi memiliki alasan. Hal ini sesuai dengan
kaidah al-hukm yadu>ru ma’a illatihi wuju>dan wa ‘adaman, ada dan tidak adanya
hukum beredar bersama illathnya. Analisis terakhir, al-Qardhawi melihat tujuan
akhir kepemimpinan (purposefulness) sebagai penjagaan dan pemeliharaan
maslahat. Artinya jika perempuan dapat melakukan penjagaan dan pemeliharaan
atas maslahat warga negara, maka alasan apalagi yang digunakan untuk
melarangnya. Terkait alasan-alasan yang dikemukakan al-Buthi untuk mendukung
pemaknaan zhahir atas surat al-Nisa> [4]: 34 dan hadits Abu Bakrah berupa: 1)
kewajiban mengumpulkan manusia untuk shalat jum’at, 2) mengurus perang, damai,
dan gencatan senjata, 3) memimpin shalat id dan istisqa>, 4) dan fakta sejarah
bahwa mayoritas pemimpin adalah laki-laki. Empat alasan yang disampaikan oleh
al-Buthi tersebut jika dianalisis melalui teori sistem maka akan dihasilkan beberapa
kesimpulan. Pertama, al-Buthi tidak menggunakan paradigma cognitive nature. Ia
tampak masih terperangkap atas pemaknaan para mufassir generasi pertama terkait
qawwamat al-rijal disamping ia juga cenderung melihat makna hadits dari komentar
Abu Bakrah yang menganggap dirinya terselamatkan saat peristiwa Perang Jamal.
Dalam hadist Bukhari Abu Bakrah berkata: “...dan sungguh aku telah mendapatkan
faedah atas kalimat yang aku dengar dari Rasulullah pada hari Perang Jamal setelah
sebelumnya aku akan bergabung dengan pasukan Jamal dan berperang bersama
mereka.”
Kedua, pandangan sebab-akibat tidak terlalu dipandang dalam satu sistem
yang integral dan saling korelatif (wholeness dan interrelated). Pandangan yang
tidak menyeluruh ini dapat dilihat dari larangan seorang perempuan menjadi
pemimpin karena perempuan tidak dapat memimpin shalat jum’at, shalat ied dan
ritual keagamaan semisalnya. Karena sebab ketidakwajiban melakukan hal-hal
tersebut kemudian mengakibatkan perempuan tidak bisa menjadi pemimpin.
Pandangan ini lahir dari persepsi bahwa pemimpin negara juga diwajibkan untuk
Kepemimpinan Perempuan Dalam Konsep Negara Modern Perspektif Maqasid Al-
Syariah: Studi Komparatif Pemikiran Yusuf Al-Qardhawi Dan Said Ramadhan Al-Buthi
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 3, Maret 2023 319
memimpin ritual keagamaan. Maka menjadi pertanyaan, apakah ritual-ritual tersebut
harus dipimpin oleh seorang kepala negara? Tentu tidak. Sebab dalam bab fiqih,
baik fiqih shalat jum’at, shalat ied, shalat istisqa dan lain-lain ibadah yang
mengharuskan perkumpulan kaum muslimin, tidak ada persyaratan yang memimpin
adalah pemimpin negara. Di samping itu, sejak zaman kekuasaan Bani Umayyah,
para khalifah telah terbiasa untuk mengangkat seorang imam di masjid-masjid resmi
negara. Ketiga, pandangan al-Buthi yang tidak membedakan antara konsep
kekuasaan era lama dengan era modern berakibat bahwa kekuasaan presiden atau
perdana menteri sama dengan kekuasaan khilafah. Padahal kedua hal tersebut jelas-
jelas berbeda. Pandangan ini bersumber dari sikap ketidak terbukaan al-Buthi untuk
menerima fakta bahwa kedua konsep kekuasaan tersebut memang nyata berbeda.
Keempat, al-Buthi tidak melihat adanya bagian-bagian yang saling terkait atau multi
dimensionality konsep kekuasaan. Hal ini terlihat dalam argumennya yang
menyatakan bahwa salah satu tugas penguasa adalah mengurus kapan damai, perang
dan gencatan senjata yang tugas ini hanya wajib bagi seorang laki-laki. al-Buthi
terkesan hanya melihat dari segi wajib dan tidak wajibnya. Tapi tidak melihat dari
segi kemampuan. Dalam surat al-Baqarah [2]: 247 dijelaskan bahwa sosok seorang
penguasa yang akan memimpin Bani Israil memimpin perang terhadap Jalut adalah
orang yang memiliki kepandaian atau ilmu dan kekuatan jasmani (bast}at}an fi al-
‘ilm wa al-jism). Di samping al-Buthi juga tidak mempertimbangkan bahwa tidak
ada larangan bagi seorang wanita untuk pergi berjihad. Kelima, al-Buthi juga tidak
melihat pada tujuan yang dihasilkan dari sebuah sistem hukum pemerintahan berupa
penjagaan dan pemeliharaan maslahat yang bisa saja seorang perempuan memiliki
kapasitas di atas laki-laki sebagaimana yang terjadi di Negeri Saba’.
Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa pandangan al-Qardhawi yang membolehkan seorang
perempuan menduduki kursi presiden atau perdana menteri dalam konsep negara
modern tidaklah melanggar syariat Islam dan tidak mengancam maslahat. Oleh
sebab itu dalam pandangan ini, seorang perempuan jika memiliki kelayakan untuk
memimpin negara maka ia memiliki hak untuk dipilih dan memilih. Hanya saja jika
ada dua calon yang terdiri dari laki-laki dan perempuan dengan kualitas sama, maka
calon laki-laki lebih diunggulkan daripada calon perempuan. Adapun pendapat Said
Ramadhan al-Buthi terlihat masih sangat berhati-hati untuk mengatakan boleh.
Bahkan al-Buthi juga masih sangat hati-hati untuk membedakan antara sistem
pemerintahan modern yang tersusun atas lembaga-lembaga kekuasaan dengan
sistem pemerintahan konvensional dimana seorang pemimpin atau penguasa
memiliki andil yang sangat bebas dan mutlak atas seluruh anasir-anasir yang ada di
bawah kekuasaannya. [Wallahu ‘a'lam...]
Hilal Ardiansyah Putra, Moh. Mufid
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 3, Maret 2023 320
Bibliografi
AIK, CYRIL METHODIUS, Harun, Hermanto, & Putra, D. I. (2019). Hukum Bertaqlid
Dalam Satu Mazhab (Kajian Perbandingan Antara Syaikh Said Ramadhan Al-
Buthi Dan Syaikh Abdul Aziz Bin Baz). UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
Fad, Mohammad Farid. (2019). Kontekstualisasi Maqashid Shari’ah Dalam Sustainable
Development Goals. Iqtisad: Reconstruction of Justice and Welfare for Indonesia,
6(2).
Fasa, Muhammad Iqbal. (2016). Reformasi pemahaman teori Maqasid Syariah (analisis
pendekatan sistem Jasser Audah). HUNAFA: Jurnal Studia Islamika, 13(2), 218
246. https://doi.org/10.24239/jsi.v13i2.438.218-246
Halimah, B. (2018). Kepemimpinan Politik Perempuan Dalam pemikiran Mufassir.
Jurnal Al Daulah Fakultas Syariah Dan Hukum Uin Alauddin Makassar, 7(1).
Huda, Khoirul. (2016). Problematika madrasah dalam meningkatkan mutu pendidikan
islam. Dinamika Penelitian: Media Komunikasi Penelitian Sosial Keagamaan,
16(2), 309336.
Islam, Tim Dosen Agama. (2007). Wawasan Al-Islam. Bandung: UPT Bidang Studi
Unpad.
Soraya, NYAYU. (2008). Analisis Faktor Kemenangan Pasukan Muslim dalam Perang
Badar dan Kekalahannya dalam Perang Uhud. UIN RADEN FATAH
PALEMBANG.
Trisnani, Asif, Windiarti, Wenning, & Sa’adah, Hidayatus. (2021). Peran Perempuan
dalam Politik menurut Yusuf Al-Qardhawi. Kalimah: Jurnal Studi Agama Dan
Pemikiran Islam, 19(2), 209228. https://doi.org/10.21111/klm.v19i2.6412
Willya, Ed Evra, & Prasetyo Rumondor, Busran. (2018). Senarai Penelitian: Islam
Kontemporer Tinjauan Multikultural. Deepublish.
Yuliana, Sa’adah, Tarmizi, Nurlina, & Panorama, Maya. (2017). Transaksi Ekonomi
dan Bisnis dalam Tinjauan Fiqh Muamalah. Idea Press.