pISSN: 2723 - 6609 e-ISSN : 2745-5254
Vol. 4, No. 2 Februari 2023 http://jist.publikasiindonesia.id/
Doi : 10.36418/jist.xxxx.xxx
211
PERKEMBANGAN PENGATURAN HUKUM LIMBAH BAHAN BERBAHAYA
DAN BERACUN (LIMBAH B3) DI INDONESIA
Farida Nur Hidayah
Institut Teknologi Kalimantan
*Correspondence: [email protected]
INFO ARTIKEL
ABSTRAK
Diajukan
:01-02-2023
Diterima
:01-02-2023
Diterbitkan
:28-02-2023
Salah satu persoalan lingkungan yang ditimbulkan berkaitan
dengan limbah, baik dalam bentuk padat, cair, maupun gas,
baik yang bersifat bahan beracun berbahaya (B3) maupun
yang bukan B3. Banyak negara yang tidak menghendaki
keberadaan limbah B3 ini, sehingga mendorong mereka
untuk mengekspor atau memperdagangkan limbah untuk
tujuan daur ulang dan/atau pembuangan limbah. Tujuan dari
penulisan penelitian ini adalah mendeskripsikan pengaturan
hukum mengenai pengelolaan limbah bahan berbahaya dan
beracun pada saat ini. Dan mendeskripsikan perkembangan
pengaturan limbah bahan berbahaya dan beracun di
Indonesia. Metode penelitian yang digunakan penulis dalam
penelitian ini menggunakan yuridis normative. Hasil
penelitian ini adalah Terkait dengan penggunaan bahan
kimia organik berbahaya, maka Indonesia telah merativikasi
konvensi Stockholm melalui Undang- undang No. 19 tahun
2009 tentang Pengesahan Konvensi Stockholm tentang
Bahan Pencemar Organik yang Persisten atau Stockholm
Convention on Persistent Organic Pollutants (POPs).
Konvensi ini bertujuan untuk melindungi kesehatan manusia
dan lingkungan hidup dari bahan POPs dengan cara
melarang, mengurangi, membatasi produksi dan
penggunaan, serta mengelola timbunan bahan POPs yang
berwawasan lingkungan. Undang-Undang No. 32 tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 23/1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (menggantikan UU
No. 4/1982), menempatkan masalah bahan dan limbah
berbahaya sebagai salah satu perhatian utama, akibat
dampaknya terhadap manusia dan lingkungan bila tidak
Kata kunci: Hukum;
Limbah; Berbahaya;
Beracun
Keywords: Law; Waste;
Hazardous; Toxic
Farida Nur Hidayah
212 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 2, Februari 2023
dikelola secara baik, dengan definisi sebagai bahan berbaya
dan beracun.
ABSTRACT
One of the environmental problems raised relates to waste,
both in the form of solids, liquids, and gases, both hazardous
toxic materials (B3) and non-B3. Many countries do not
want the existence of B3 waste, thus encouraging them to
export or trade waste for the purposes of recycling and/or
disposal of waste. The purpose of writing this study is to
describe the legal arrangements regarding the management
of hazardous and toxic waste at this time. And describe the
development of hazardous and toxic waste regulation in
Indonesia. The research method used by the authors in this
study uses normative juridical. The results of this study are
Related to the use of harmful organic chemicals, Indonesia
has activated the Stockholm Convention through Undang -
Undang No. 19 of 2009 on ratification of the Stockholm
Convention on Persistent Organic Pollutants (POPs). This
Convention aims to protect human health and the
environment from POPs by prohibiting, reducing, limiting
production and use, and managing environmentally sound
stockpiles of POPs. Undang - Undang No. 32 of 2009 on
Environmental Protection and Management in lieu of
Undang - Undang No. 23/1997 on Environmental
Management (replacing Undang - Undang No. 4/1982),
places the issue of hazardous materials and waste as one of
the main concerns, due to its impact on people and the
environment when not managed properly, with the definition
as middle-aged and toxic materials.
Attribution-ShareAlike 4.0 International
Pendahuluan
Perkembangan dunia bisnis di berbagai sektor telah memberikan kontribusi bagi
perekonomian negara dan kesejahteraan masyarakat (Manalu, 2013) , namun
perkembangan dunia bisnis tersebut tanpa disadari telah menimbulkan persoalan
lingkungan. Salah satu persoalan lingkungan yang ditimbulkan berkaitan dengan limbah,
baik dalam bentuk padat, cair, maupun gas, baik yang bersifat bahan beracun berbahaya
(B3) maupun yang bukan B3. Pembuangan limbah yang bebas dan tidak terkontrol dapat
mengancam lingkungan hidup, menganggu kesehatan, dan kelangsungan hidup manusia.
Perkembangan Pengaturan Hukum Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun (Limbah B3) Di
Indonesia
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 2, Februari 2023
213
Dengan bertambahnya kegiatan yang menghasilkan limbah dengan kategori B3 (Norini
& Afrizal, 2017) , maka resiko terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
hidup semakin tinggi. Dampak negatif limbah B3 terhadap lingkungan hidup dan
manusia perlu ditekan dengan mengupayakan agar setiap kegiatan usaha menghasilkan
limbah B3 seminimal mungkin.
Jenis limbah yang paling berbahaya bagi lingkungan maupun kesehatan adalah
limbah yang dikategorikan sebagai limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3)
(Purwanti, 2018) . Pencemaran limbah B3 dapat melalui tanah, air, maupun udara.
Pencemaran tersebut menyebabkan penurunan kualitas lingkungan. Salah satu limbah B3
yang harus menjadi perhatian adalah limbah yang mengandung logam berat yaitu timbal,
merkuri dan Arsen. Limbah logam berat ini bersifat racun dan persisten, sehingga dapat
membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan hidup. Salah satu dampak yang
signifikan bagi kesehatan manusia adalah penurunan IQ terutama bagi anak - anak dan
balita, merusak produksi haemoglobin darah, menyebabkan ketidaksuburan bagi wanita
dan pria, keguguran, dan bayi meninggal dalam kandungan.
Belakangan ini makin banyak limbah-limbah dari pabrik, rumah tangga,
perusahaan, kantor-kantor, sekolah dan sebagainya yang berupa cair, padat bahkan
berupa, gas dan semuanya itu berbahaya bagi kehidupan kita. Memang, limbah
merupakan hal yang wajar dalam kehidupan manusia. Tetapi diluar kewajaran itu ada
limbah yang lebih berbahaya lagi yang disebut dengan limbah B3 (bahan berbahaya dan
beracun). Limbah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi baik
industri maupun domestik (rumah tangga, yang lebih dikenal sebagai sampah), yang
kehadirannya pada suatu saat dan tempat tertentu tidak dikehendaki lingkungan karena
tidak memiliki nilai ekonomis. Bila ditinjau secara kimiawi, limbah ini terdiri dari bahan
kimia organik dan anorganik. Dengan konsentrasi dan kuantitas tertentu, kehadiran
limbah dapat berdampak negatif terhadap lingkungan terutama bagi kesehatan manusia,
sehingga perlu dilakukan penanganan terhadap limbah. Tingkat bahaya keracunan yang
ditimbulkan oleh limbah tergantung pada jenis dan karakteristik limbah.
Banyak negara yang tidak menghendaki keberadaan limbah B3 ini, sehingga
mendorong mereka untuk mengekspor atau memperdagangkan limbah untuk tujuan daur
ulang dan/atau pembuangan limbah. Dalam kenyataannya, perdagangan limbah antar
negara merupakan suatu industri yang bernilai sangat tinggi, Contohnya ekspor dan impor
limbah logam berharga di Amerika saja bernilai jutaan dolar per tahunnya. Amerika
Serikat dan Canada mengekspor kurang lebih 200.000 ton limbah. Menurut statistik yang
dibuat Pemerintah Amerika pada tahun 1990, Amerika Serikat mengekspor 139.000 ton
limbah berbahaya, sebanyak 96 % tetap disimpan di Amerika Utara. Sedangkan UNEP
memperkirakan bahwa saat ini negara-negara di Eropa saling mengekspor kurang
lebih 700.000 ton limbah berbahaya dan mengekspor kurang lebih 120.000 ton limbah
berbahaya ke negara-negara berkembang .
Seiring dengan berjalannya waktu, limbah semakin hari semakin meningkat
jumlahnya. Limbah sangatlah berbahaya bagi kehidupan manusia atau makhluk hidup
lainnya (Sumantri & Cordova, 2011) . Banyak orang membuang, menimbun, bahkan
Farida Nur Hidayah
214 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 2, Februari 2023
menyimpan limbah dengan jumlah yang banyak serta tidak dikelola dengan baik.
Ternyata limbah-limbah tersebut termasuk limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun)
(Riyanto, 2014) . Oleh karena itu, aturan yang jelas terkait limbah B3 ini sangat
diperlukan. Karena dari aturan tersebutlah kita bisa meminimalisir dampak dari limbah
B3.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis-normatif (Muchtar, 2015).
dengan menggunakan pendekatan penelitian berupa analytical approach, pendekatan
dengan menganalisa bahan hukum untuk mengetahui makna yang dikandung oleh istilah-
istilah yang digunakan dalam peraturan perundang-undangan secara konsepsional dalam
hal ini perkembangan penganturan hukum limbah berbahaya dan beracun (limbah B3) di
Indonesia dari masa ke masa (Pratama & Maryanto, 2021) . Sumber data yang digunakan
dalam penelitian ini adaah Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidu, Peraturan Pemerintah No 101 tahun 2014
Tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun dan Konvensi Stockholm.
Selanjutnya penulis juga menggunakan bahan hukum sekunder dan tersier dalam
penelitian ini. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
menggunakan teknik studi pustaka dengan pengumpulan bahan hukum dengan mengkaji,
menelaah dan mempelajari jurnal, skripsi, tesis, disertasi hukum, hasil penelitian hukum
dan menelaah berbagai dokumen resmi institusional yang berupa peraturan perundang-
undangan. Teknik analisis data yang digunakan adalah metode penelitian bersifat
deskriptif analitis (Soendari, 2012) , dimana bentuk analitis data yang dipergunakan
adalah pendekatan kualitatif terhadap data primer dan data sekunder (Martono, 2010) .
Hasil dan Pembahasan
A.Pengaturan Hukum Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun Pada Saat Ini Di
Indonesia
Pada dasarnya pengelolaan bahan berbahaya dan beracun (B3) di Indonesia
mengacu pada prinsip-prinsip dan pedoman pembangunan berkelanjutan yang telah
dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 sebagai pengganti Undang
Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup. Pasal 1 Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 mendefinisikan bahan berbahaya
dan beracun (disingkat B3) adalah zat, energi, dan/atau komponen lain yang karena sifat,
konsentrasi dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat
mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau membahayakan lingkungan
hidup, kesehatan serta kelangsungan hidup manusia dan mahluk hidup lain.
Selanjutnya Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 menggariskan dalam pasal
58 (1) bahwa setiap orang yang memasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia, menghasilkan, mengangkut, mengedarkan, menyimpan,
memanfaatkan, membuang, mengolah, dan/atau menimbun B3 wajib melakukan
Perkembangan Pengaturan Hukum Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun (Limbah B3) Di
Indonesia
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 2, Februari 2023
215
pengelolaan B3. Secara spesifik pengelolaan B3 ini telah diatur dalam Peraturan
Pemerintah No 101 tahun 2014 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun.
Terkait dengan penggunaan bahan kimia organik berbahaya, maka Indonesia telah
merativikasi konvensi Stockholm melalui Undang- undang No. 19 tahun 2009 tentang
Pengesahan Konvensi Stockholm tentang Bahan Pencemar Organik yang Persisten atau
Stockholm Convention on Persistent Organic Pollutants (POPs). Konvensi ini bertujuan
untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan hidup dari bahan POPs dengan cara
melarang, mengurangi, membatasi produksi dan penggunaan, serta mengelola timbunan
bahan POPs yang berwawasan lingkungan.
Beberapa peraturan yang secara langsung akan mempengaruhi kualitas dan
kuantitas limbah B3 yang dihasilkan adalah peraturan-peraturan yang mengatur masalah
bahan berbahaya, yaitu :
a. Peraturan Pemerintah No.7/1973 tentang pengawasan atas peredaran, penyimpanan
dan penggunaan pestisida
b. Peraturan Menteri Kesehatan No.453/Menkes/Per/XI/1983 tentang bahan berbahaya
c. Keputusan Menteri Perindustrian RI No.148/M/SK/4/1985 tentang pengamanan bahan
beracun dan berbahaya di lingkungan industri
d. Keputusan Menteri Pertanian No.724/Kpts/TP.270/9/1984 tentang larangan
penggunaan pestisida EDB
e. Keputusan Menteri Pertanian No.536/Kpts/TP.270/7/1985 tentang pengawasan
pestisida
Limbah radioaktif di Indonesia dikelola oleh Badan Tenaga Atom Nasional
(BATAN) yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No.33 Tahun 1985 tentang Dewan
Tenaga Atom dan Badan Tenaga Atom Nasional dan Keputusan Presiden No. 82 Tahun
1985 tentang Badan Tenaga Atom Nasional. Semua yang berkaitan dengan ketenaga
atoman pada dasarnya diatur oleh Undang-undang No. 31 Tahun 1964 tentang Ketentuan
-ketentuan pokok tenaga atom. Selanjutnya beberapa peraturan lain di bawahnya antara
lain :
a. Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 1975 tentang keselamatan kerja terhadap radiasi
b. Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 1975 tentang izin pemakaian zat radioaktif dan
atau sumber radiasi
c. Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 1975 tentang pengangkutan zat radioaktif
Dalam hal masalah lintas batas limbah ini, Indonesia telah meratifikasi Konvensi
Basel, yang berupaya mengatur ekspor dan impor serta pembuangan limbah B3 secara
tidak syah. Sebagai negara kepulauan dengan perairannya yang terbuka, Indonesia sangat
potensial sebagai tempat pembuangan limbah berbahaya, baik antar pula di Indonesia,
maupun limbah yang datang dari luar negeri. Peraturan-peraturan yang langsung
menangani lintas batas limbah adalah :
a. Keputusan Presiden RI No.61/1993 tentang Pengesahan Convension on The Control
of Transboundary Movements of Hazardous Wastes and Their Disposal.
Farida Nur Hidayah
216 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 2, Februari 2023
b. Keputusan Menteri Perdagangan RI No. 349/Kp/XI/92 tentang pelarangan impor
limbah B3 dan plastik.
c. Keputusan Menteri Perdagangan RI No.155/Kp/VII/95 tentang barang yang diatur tata
niaga impornya.
d. Keputusan Menteri Perdagangan RI No.156/Kp/VII/95 tentang prosedur impor limbah.
Disamping itu, PP 18/1999 jo PP 85/1995 melarang impor limbah B3 kecuali dibutuhkan
untuk penambahan kekurangan bahan baku sebagai bagian pelaksanaan daur -ulang
limbah. Dengan SK Menteri Perdagangan No. 156/KP/VII/95, limbah B3 yang dapat
diimpor adalah skrap timah hitam (aki bekas), sampai jangka waktu terbatas .
Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan limbah bahan
berbahaya dan beracun menetapkan limbah bahan berbahaya dan beracun sebagai berikut
:
Pasal 3
(1) Setiap Orang yang menghasilkan Limbah B3 wajib melakukan Pengelolaan Limbah
B3 yang dihasilkannya.
(2) Limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan kategori bahayanya
terdiri atas:
a. Limbah B3 kategori 1; dan
b. Limbah B3 kategori 2.
(3) Limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdasarkan sumbernya terdiri atas:
a. Limbah B3 dari sumber tidak spesifik;
b. Limbah B3 dari B3 kedaluwarsa, B3 yang tumpah, B3 yang tidak memenuhi
spesifikasi produk yang akan dibuang, dan bekas kemasan B3; dan
c. Limbah B3 dari sumber spesifik.
(4) Limbah B3 dari sumber spesifik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c
meliputi:
a. Limbah B3 dari sumber spesifik umum; dan
b. Limbah B3 dari sumber spesifik khusus.
Sedangkan di Pasal 5 dijelaskan pula mengenai limbah di luar daftar limbah B3,
yaitu :
(1) Dalam hal terdapat Limbah di luar daftar Limbah B3 sebagaimana tercantum dalam
Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini yang
terindikasi memiliki karakteristik Limbah B3, Menteri wajib melakukan uji karakteristik
untuk mengidentifikasi Limbah sebagai:
a. Limbah B3 kategori 1;
b. Limbah B3 kategori 2; atau
c. Limbah nonB3.
(2) Karakteristik Limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. mudah meledak;
b. mudah menyala;
c. reaktif;
d. infeksius;
Perkembangan Pengaturan Hukum Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun (Limbah B3) Di
Indonesia
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 2, Februari 2023
217
e. korosif; dan/atau
f. beracun.
(3) Uji karakteristik untuk mengidentifikasi Limbah sebagai Limbah B3 kategori 1
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi uji:
a. karakteristik mudah meledak, mudah menyala, reaktif, infeksius, dan/atau korosif
sesuai dengan parameter uji sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini;
b. karakteristik beracun melalui TCLP untuk menentukan Limbah yang diuji
memiliki konsentrasi zat pencemar lebih besar dari konsentrasi zat pencemar pada kolom
TCLP-A sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini; dan
c. karakteristik beracun melalui Uji Toksikologi LD50 untuk menentukan Limbah
yang diuji memiliki nilai Uji Toksikologi LD50 lebih kecil dari atau sama dengan 50
mg/kg (lima puluh miligram per kilogram) berat badan hewan uji.
(4) Uji karakteristik untuk mengidentifikasi Limbah sebagai Limbah B3 kategori 2
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi uji:
a. karakteristik beracun melalui TCLP untuk menentukan Limbah yang diuji
memiliki konsentrasi zat pencemar lebih kecil dari atau sama dengan konsentrasi zat
pencemar pada kolom TCLP-A dan memiliki konsentrasi zat pencemar lebih besar dari
konsentrasi zat pencemar pada kolom TCLP-B sebagaimana tercantum dalam Lampiran
III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini;
b. karakteristik beracun melalui Uji Toksikologi LD50 untuk menentukan Limbah
yang diuji memiliki nilai Uji Toksikologi LD50 lebih besar dari 50 mg/kg (lima puluh
miligram per kilogram) berat badan hewan uji dan lebih kecil dari atau sama dengan 5000
mg/kg (lima ribu miligram per kilogram) berat badan hewan uji; dan
c. karakteristik beracun melalui uji toksikologi sub-kronis sesuai dengan parameter
uji sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Pemerintah
B.Perkembangan Pengaturan Hukum Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Dan
Beracun Di Indonesia.
Penggunaan kimia dalam kebudayaan manusia sudah dimulai sejak zaman dahulu.
Kimia merupakan salah satu ilmu pengetahuan alam, yang berkaitan dengan komposisi
materi, termasuk juga perubahan yang terjadi di dalamnya, baik secara alamiah maupun
sintetis. Senyawa-senyawa kimia sintetis inilah yang banyak dihasilkan oleh peradaban
modern, namun materi ini pulalah yang dapat menimbulkan pencemaran lingkungan yang
berbahaya. Dengan mengetahui komposisi dan memahami bagaimana perubahan terjadi,
manusia dapat mengontrol dan memanfaatkannya untuk kesejahteraan manusia.
Pelepasan bahan berbahaya pada tahun 1990-an di Indonesia, Filipina, dan Thailand
diprakirakan telah meningkat menjadi sekitar empat, delapan, dan sepuluh kali lipat.
Intensitas atau perbandingan antara limbah bahan berbahaya yang ditimbulkan dengan
unit hasil industri secara mencolok juga meningkat, terutama di daerah industrialisasi
yang berkembang dengan cepat seperti di negara-negara ASEAN dan China. Pada
Farida Nur Hidayah
218 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 2, Februari 2023
permulaan tahun 1970-an, lebih dari 85% hasil industri Indonesia berasal dari kegiatan
industri yang berlokasi di Pulau Jawa. Sekitar 55% dari pusat-pusat industri di Pulau Jawa
berlokasi di daerah perkotaan, yang kemudian naik menjadi 60% pada tahun 1990. Di
empat kota saja (Jakarta, Surabaya, Bandung dan Semarang) terdapat sekitar 36% dari
total industri di Pulau Jawa, yang setara dengan sekitar 27% dari seluruh hasil industri
Indonesia. Perkembangan industri disamping berdampak positif pada perkembangan
ekonomi, juga menimbulkan dampak negatif tidak hanya pada pusat-pusat industri dan
daerah sekitarnya tetapi juga pada tingkat nasional, regional dan lingkungan secara
global.
Menurut World Bank ada 3 pola pertumbuhan industri yang perlu diperhatikan, yaitu :
a. Kecepatan pertumbuhan sektor industri
b. Distribusi spasial yang belum merata
c. Pergeseran jenis industri
Revolusi industri dan penggunaan bahan kimia organik yang terus meningkat
setelah perang dunia ke 2, bukan saja mengakibatkan kenaikan timbulan limbah secara
dramatis, namun pula menimbulkan masalah toksisitas dari limbah tersebut. Penemuan
minyak (petroleum) pada pertengahan tahun 1880 menyebabkan meningkatnya produk
kimia organik disertai limbahnya. Masyarakat industri menghasilkan produk mulai dari
gasoline, naphta ke kerosene. Manusia membutuhkan lebih banyak jenis produk baru
yang akhirnya menghasilkan limbah yang spesifik. Setelah berakhirnya Perang Dunia II,
industri memfokuskan dirinya pada produksi plastik dan pestisida. Di Amerika Serikat
misalnya, timbulan limbah berbahaya pada tahun 1984 diprakirakan sekitar 300 juta ton.
Dampak negatif akibat limbah tersebut adalah kontaminasi sumber- sumber air,
terganggunya kesehataan masyarakat serta penurunan kualitas ekologi lingkungan.
Masalah penanganan limbah berbahaya ini juga merupakan obyek dagang yang tidak
terpuji, misalnya pembuangan limbah berbahaya negara maju ke negara yang sedang
berkembang, sehingga biaya pengolahannya dapat ditekan .
Sebelum krisis ekonomi 1997, negara-negara di wilayah Asia and Pasifik secara
keseluruhan memperlihatkan pertumbuhan industri yang kuat bila dibandingkan dengan
tempat-tempat lain di dunia, bahkan pertumbuhan industri negara-negara sedang
berkembang di wilayah ini lebih menonjol. Industrialisasi yang cepat telah menciptakan
sebuah peluang baru untuk mendistribusikan hasil -hasil pembangunan dengan lebih
efektif di negara-negara tersebut, sehingga dapat mengurangi kemiskinan. Walaupun
demikian, industrialisasi juga menimbulkan dampak secara langsung, tidak hanya pada
pusat- pusat industri dan daerah sekitarnya, tetapi juga pada tingkat nasional, regional dan
lingkungan secara global. Tingginya jumlah limbah industri yang dihasilkan per unit hasil
industri merupakan salah satu dari masalah-masalah utama yang ada. Beberapa negara di
wilayah ini malah menghasilkan limbah dalam jumlah yang tinggi .
Pada daerah perkotaan di Indonesia seperti di Jakarta, Surabaya, Bandung dan
Semarang, dari tahun 1970 sampai 1990 limbah penduduk dan industri telah menurunkan
kualitas air sungai di bagian hilir seperti Cisadane, Ciliwung, Kali Surabaya, Kali
Berantas dan Citarum. Di pulau Jawa khususnya, 70 % industri berlokasi di kawasan-
Perkembangan Pengaturan Hukum Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun (Limbah B3) Di
Indonesia
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 2, Februari 2023
219
kawasan perkotaan dan sekitarnya. Kegiatan industri juga sangat berpotensi
menghasilkan limbah berbahaya, yang diprakirakan akan meningkat kurang dari
200.000ton pada tahun 1990 menjadi sekitar 1 juta ton pada tahun 2010.
Secara keseluruhan, sektor industri telah mengakibatkan beban pencemaran :
Melalui peningkatan kuantitas cemaran dalam jangka waktu pendek dan menengah;
dalam jangka waktu panjang kuantitas cemaran mungkin menurun jika terjadi perubahan
yang drastis dengan adanya industri yang lebih bersih lingkungan, atau jika kontribusi
sektor industri itu sendiri menurun;
Melalui perubahan intensitas pencemaran terhadap hasil industri, yaitu berubahnya
jumlah pencemaran yang ditimbulkan per unit hasil industri.
Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 23/1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup (menggantikan UU No. 4/1982), menempatkan masalah
bahan dan limbah berbahaya sebagai salah satu perhatian utama, akibat dampaknya
terhadap manusia dan lingkungan bila tidak dikelola secara baik, dengan definisi sebagai
bahan berbaya dan beracun. Pasal 58 sampai Pasal 61 UU -32/2009 mengatur larangan
membuang dan mengatur pengelolaan limbah dan B3. Selanjutnya Peraturan Pemerintah
(PP) No. 101 Tahun 2014 mengatur lebih lanjut tentang pengelolaan bahan berbahaya
dan beracun (B3), dan PP 18/99 juncto 85/99 mengatur lebih lanjut tentang pengelolaan
limbah B3.
Masalah limbah menjadi perhatian serius dari masyarakat dan pemerintah
Indonesia, khusunya sejak dekade terakhir ini, terutama akibat perkembangan industri
yang merupakan tulang punggung peningkatan perekonomian Indonesia. Peraturan-
peraturan tentang masalah ini telah banyak dikeluarkan oleh Pemerintah, tetapi di
lapangan banyak mengalami hambatan. Penanganan limbah merupakan suatu keharusan
guna terjaganya kesehatan manusia serta lingkujngan pada umumnya. Namun pengadaan
dan pengoperasian sarana pengolah limbah ternyata masih dianggap memberatkan bagi
sebagian industri.
Keanekaragaman jenis limbah akan tergantung pada aktivitas industri serta
penghasil limbah lainnya. Mulai dari penggunaan bahan baku, pemilihan proses produksi,
pemilihan jenis mesin dan sebagainya, akan mempengaruhi karakter limbah yang tidak
terlepas dari proses industri itu sendiri. Sebagian dari limbah industri tersebut berkatagori
hazardous waste. Tetapi jenis limbah ini berasal pula dari kegiatan lain, seperti dari
aktivitas pertanian (misalnya penggunaan pestisida), kegiatan enersi (seperti limbah
radioaktif PLTN), kegiatan kesehatan (seperti limbah infectious dari rumah sakit) atau
dari kegiatan rumah tangga (misalnya penggunaan batere merkuri). Namun sebagian
besar jenis limbah yang dihasikan, biasanya berasal dari kegiatan industry (Dewa & Idrus,
2017). Limbah berkatagori non-hazardous tidak perlu ditangani seketat limbah
hazardous, walaupun limbah tersebut berasal dari industri.
Berikut adalah perkembangan pengaturan limbah bahan berbahaya adalah sebagai berikut
Farida Nur Hidayah
220 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 2, Februari 2023
No
UU/Peraturan/Keputusan/Instruksi
Tentang
1
Loodwit Ordonnantie
Ordonansi Timbal Karbonat
2
Staatsblad Nomor 377 Tahun 1949
Bahan-Bahan Berbahaya
3
Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1969
Pemakaian Isotop Radioaktif Dan Radiasi
4
Keputusan Menteri Perindustrian
Nomor 148/M/SK/4/1985 Tahun
1985
Pengamanan Bahan Beracun Dan
Berbahaya Di Perusahaan Industri
5
Keputusan Menteri Perindustrian
Nomor 148 Tahun 1985
Pengamanan Bahan Beracun Dan
Berbahaya Di Perusahaan Industri
6
Keputusan Direktur Jenderal
Pengawasan Obat Dan Makanan
Nomor 0004/E/SK/I/1986 Tahun
1986
Tata Cara Pelaporan Zat Warna Tertentu
Yang Dinyatakan Sebagai Bahan
Berbahaya
7
Peraturan Pemerintah Nomor 19
Tahun 1994
Pengelolaan Limbah Berbahaya Dan
Beracun
8
Keputusan Kepala Bapedal Nomor
KEP-68/BAPEDAL/05/1994
Tahun 1994
Tata Cara Memperoleh Izin Penyimpanan,
Pengumpulan, Pengoperasian Alat
Pengolahan, Pengolahan, Dan Penimbunan
Akhir Limbah Bahan Berbahaya Dan
Beracun
9
Keputusan Kepala Badan
Pengendalian Dampak
Lingkungan Nomor KEP-
03/BAPEDAL/09/1995 Tahun
1995
Tata Cara Dan Persyaratan Teknis
Penyimpanan Dan Pengumpulan Limbah
Bahan Berbahaya Dan Beracun
10
Keputusan Kepala Badan
Pengendalian Dampak
Lingkungan Nomor 2 Tahun 1995
Dokumen Limbah Bahan Berbahaya Dan
Beracun
11
Keputusan Kepala Badan
Pengendalian Dampak
Lingkungan Nomor KEP-
05/BAPEDAL/09/1995 Tahun
1995
Simbol Dan Label Limbah Bahan
Berbahaya Dan Beracun
12
Keputusan Kepala Badan
Pengendalian Dampak
Lingkungan Nomor KEP-
Tata Cara Persyaratan Penimbunan Hasil
Pengolahan, Persyaratan Lokasi Bekas
Pengolahan, Dan Lokasi Bekas Penimbunan
Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun
Perkembangan Pengaturan Hukum Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun (Limbah B3) Di
Indonesia
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 2, Februari 2023
221
04/BAPEDAL/09/1995 Tahun
1995
13
Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor
472/MENKES/PER/V/1996
Tahun 1996
Pengamanan Bahan Berbahaya Bagi
Kesehatan
14
Keputusan Kepala Badan
Pengendalian Dampak
Lingkungan Nomor 03 Tahun
1998
Program Kemitraan Dalam Pengelolaan
Bahan Berbahaya Dan Beracun
15
Keputusan Kepala Badan
Pengendalian Dampak
Lingkungan Nomor KEP-
02/BAPEDAL/01/1998 Tahun
1998
Tata Laksana Pengawasan Pengelolaan
Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun Di
Daerah
16
Keputusan Kepala Badan
Pengendalian Dampak
Lingkungan Nomor 4 Tahun 1998
Penetapan Prioritas Propinsi Daerah
Tingkat I Program Kemitraan Dalam
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Dan
Beracun
17
Peraturan Pemerintah Nomor 18
Tahun 1999
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Dan
Beracun
18
Peraturan Pemerintah Nomor 85
Tahun 1999
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah
Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan
Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun
19
Keputusan Menteri Perindustrian
dan Perdagangan Nomor
254/MPP/Kep/7/2000 Tahun 2000
Tata Niaga Impor Dan Peredaran Bahan
Berbahaya Tertentu
20
Peraturan Pemerintah Nomor 74
Tahun 2001
Pengelolaan Bahan Berbahaya Dan Beracun
21
Keputusan Menteri Kesehatan
Nomor
1350/MENKES/SK/XII/2001
Tahun 2001
Pengelolaan Pestisida
22
Peraturan Pemerintah Nomor 26
Tahun 2002
Keselamatan Pengangkutan Zat Radioaktif
23
Peraturan Pemerintah Nomor 27
Tahun 2002
Pengelolaan Limbah Radioaktif
24
Keputusan Presiden Nomor 21
Tahun 2003
Pengesahan Protocol 9 Dangerous Goods
(Protokol 9 Barang-Barang Berbahaya)
Farida Nur Hidayah
222 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 2, Februari 2023
25
Keputusan Menteri Perindustrian
dan Perdagangan Nomor
520/MPP/KEP/8/2003 Tahun
2003
Larangan Impor Limbah Bahan Berbahaya
Dan Beracun (B3)
26
Keputusan Direktur Jenderal
Perhubungan Darat Nomor
SK.725/AJ.302/DRJD/2004
Tahun 2004
Pengangkutan Bahan Berbahaya Dan
Beracun (B3) Di Jalan
27
Keputusan Direktur Jenderal
Perhubungan Darat Nomor
SK.1280/AJ.302/DRJD/2004
Tahun 2004
Bentuk, Warna Dan Ukuran Surat
Persetujuan Pengangkutan Alat Berat Dan
Pengangkutan Bahan Berbahaya Dan
Beracun (B3)
28
Peraturan Presiden Nomor 47
Tahun 2005
Pengesahan Amendment To The Basel
Convention On The Control Of
Transboundary Movements Of Hazardous
Wastes And Their Disposal (Amendemen
Atas Konvensi Basel Tentang Pengawasan
Perpindahan Lintas Batas Limbah
Berbahaya Dan Pembuangannya)
29
Peraturan Menteri Perdagangan
Nomor 04/M-DAG/PER/2/2006
Tahun 2006
Distribusi Dan Pengawasan Bahan
Berbahaya
30
Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor 3
Tahun 2007
Fasilitas Pengumpulan Dan Penyimpanan
Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun Di
Pelabuhan
31
Peraturan Menteri Perindustrian
Nomor 33/M-IND/PER/4/2007
Tahun 2007
Larangan Memproduksi Bahan Perusak
Lapisan Ozon Serta Memproduksi Barang
Yang Menggunakan Bahan Perusak
Lapisan Ozon
32
Peraturan Pemerintah Nomor 33
Tahun 2007
Keselamatan Radiasi Pengion Dan
Keamanan Sumber Radioaktif
33
Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor 2
Tahun 2008
Pemanfaatan Limbah Bahan Berbahaya
Dan Beracun
34
Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor 03
Tahun 2008
Tata Cara Pemberian Simbol Dan Label
Bahan Berbahaya Dan Beracun
35
Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2008
Penggunaan Bahan Kimia Dan Larangan
Penggunaan Bahan Kimia Sebagai Senjata
Kimia
Perkembangan Pengaturan Hukum Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun (Limbah B3) Di
Indonesia
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 2, Februari 2023
223
36
Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor 18
Tahun 2009
Tata Cara Perizinan Pengelolaan Limbah
Bahan Berbahaya Dan Beracun
37
Peraturan Menteri Perdagangan
Nomor 26/M-DAG/PER/6/2009
Tahun 2009
Perubahan Atas Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 58/M-
Dag/Per/12/2008 Tentang Ketentuan Impor
Limbah Non Bahan Berbahaya Dan
Beracun (Non B3)
38
Peraturan Menteri Perindustrian
Nomor 71/M-IND/PER/7/2009
Tahun 2009
Jenis Industri Yang Mengolah Dan
Menghasilkan Bahan Beracun Dan
Berbahaya (B3) Dan Jenis Industri
Teknologi Tinggi Yang Strategis
39
Peraturan Menteri Pertanian
Nomor
37/PERMENTAN/OT.140/7/2009
Tahun 2009
Penggunaan Pestisida Berbahan Aktif Metil
Bromida Untuk Tindakan Perlakuan
Karantina Tumbuhan Dan Perlakuan Pra
Pengapalan
40
Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor 30
Tahun 2009
Tata Laksana Perizinan Dan Pengawasan
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Dan
Beracun Serta Pengawasan Pemulihan
Akibat Pencemaran Limbah Bahan
Berbahaya Dan Beracun Oleh Pemerintah
Daerah
41
Peraturan Menteri Perdagangan
Nomor 44/M-DAG/PER/9/2009
Tahun 2009
Pengadaan, Distribusi Dan Pengawasan
Bahan Berbahaya
42
Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor 33
Tahun 2009
Tata Cara Pemulihan Lahan Terkontaminasi
Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun
43
Undang-Undang No 32 Tahun
2009
Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup
44
Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor 35
Tahun 2009
Pengelolaan Halon
45
Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor 2
Tahun 2010
Penggunaan Sistem Elektronik Registrasi
Bahan Berbahaya Dan Beracun Dalam
Kerangka Indonesia National Single
Window Di Kementerian Lingkungan
Hidup
46
Peraturan Kepala Kepolisian
Negara Nomor 14 Tahun 2010
Penanganan Ancaman Kimia, Biologi, Dan
Radioaktif
Farida Nur Hidayah
224 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 2, Februari 2023
47
Peraturan Menteri Perdagangan
Nomor 23/M-DAG/PER/9/2011
Tahun 2011
Perubahan Atas Peraturan Menteri
Perdagangan Nomor 44/M-Dag/Per/9/2009
Tentang Pengadaan, Distribusi, Dan
Pengawasan Bahan Berbahaya
48
Instruksi Menteri Lingkungan
Hidup Nomor 1 Tahun 2012
Persyaratan Dan Kewajiban Dalam Izin
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Dan
Beracun
49
Peraturan Menteri Lingkungan
Hidup Nomor 14 Tahun 2013
Simbol Dan Label Limbah Bahan
Berbahaya Dan Beracun
50
Peraturan Pemerintah Nomor 101
Tahun 2014
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Dan
Beracun
Kesimpulan
Definisi limbah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 Tentang
Pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun, ada1ah adalah sisa suatu usaha
dan/atau kegiatan. Sedangkan pengertian Bahan Berbahaya dan Beracun yang selanjutnya
disingkat B3 adalah zat, energi, dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi,
dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan
dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau membahayakan lingkungan hidup,
kesehatan, serta kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lain. Dan Limbah
Bahan Berbahaya dan Beracun yang selanjutnya disebut Limbah B3 adalah sisa suatu
usaha dan/atau kegiatan yang mengandung B3. Berbeda halnya dengan pengaturan dalam
Undang Undang No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup yaitu limbah bahan berbahaya dan beracun, yang selanjutnya disebut
Limbah B3, adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung B3.
Pada permulaan tahun 1970-an, lebih dari 85% hasil industri Indonesia berasal dari
kegiatan industri yang berlokasi di Pulau Jawa. Sekitar 55% dari pusat-pusat industri di
Pulau Jawa berlokasi di daerah perkotaan, yang kemudian naik menjadi 60% pada tahun
1990. Di empat kota saja (Jakarta, Surabaya, Bandung dan Semarang) terdapat sekitar
36% dari total industri di Pulau Jawa, yang setara dengan sekitar 27% dari seluruh hasil
industri Indonesia.
Pengaturan tentang limbah bahan berbahaya dan beracun yang pertama adalah
Loodwit Ordonnantie Tentang Ordonasi Timbal Karbonat kemudian berkembang hingga
sekarang, dimana peraturan terkahir yang mengatur tentang limbah bahan berbahaya dan
beracun adalah Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.
Bibliografi
Dewa, Riardi P., & Idrus, Syarifuddin. (2017). Identifikasi cemaran air limbah industri
tahu di kota Ambon. Majalah BIAM Kemenperin RI, 13(2), 1115.
Manalu, Herold Moody. (2013). Peranan Teknologi Informasi Dalam Perkembangan
Perkembangan Pengaturan Hukum Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun (Limbah B3) Di
Indonesia
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 4, No. 2, Februari 2023
225
Dunia Bisnis di Indonesia. TeIKa, 5(2), 4555.
Martono, Nanang. (2010). Metode penelitian kuantitatif: Analisis Isi dan Analisis Data
Sekunder (sampel halaman gratis). RajaGrafindo Persada.
Muchtar, Henni. (2015). Analisis Yuridis Normatif Sinkronisasi Peraturan Daerah dengan
Hak Asasi Manusia. Humanus, 14(1), 8091.
https://doi.org/10.24036/jh.v14i1.5405
Norini, Norini, & Afrizal, Afrizal. (2017). Peran Badan Lingkungan Hidup Provinsi
Kepulauan Riau Dalam Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Terhadap
Limbah B3 Di Kota Batam (Studi Kasus: Pt. Enviro Cipta Lestari [Perusahaan
Pengangkut & Pengumpul Limbah B3 Di Kawasan Kpli Batam]). KEMUDI: Jurnal
Ilmu Pemerintahan, 1(2), 153165.
Pratama, Surya, & Maryanto, Maryanto. (2021). Analisis Hukum Internasional Terhadap
Import Sampah B3 (Bahan Berbahaya Dan Beracun) Ke Indonesia. Prosiding
Konstelasi Ilmiah Mahasiswa Unissula (KIMU) Klaster Hukum.
Purwanti, Alvionita Ajeng. (2018). Pengelolaan limbah padat bahan berbahaya dan
beracun (B3) rumah sakit di RSUD dr. Soetomo surabaya. Jurnal Kesehatan
Lingkungan, 10(3), 291298.
Riyanto, Ph D. (2014). Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Limbah B3). Deepublish.
Soendari, Tjutju. (2012). Metode Penelitian Deskriptif. Bandung, UPI. Stuss, Magdalena
& Herdan, Agnieszka, 17.
Sumantri, Arif, & Cordova, Muhammad Reza. (2011). Dampak limbah domestik
perumahan skala kecil terhadap kualitas air ekosistem penerimanya dan dampaknya
terhadap kesehatan masyarakat. Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam Dan
Lingkungan (Journal of Natural Resources and Environmental Management), 1(2),
127.