������������������������������������������ Jurnal
Indonesia Sosial Teknologi: p�ISSN:
2723 - 6609
e-ISSN : 2548-1398
PEMENUHAN HAK PELAYANAN KESEHATAN DAN MAKANAN YANG LAYAK BAGI WARGA BINAAN DAN TAHANAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1995 TENTANG PEMASYARAKATAN
Roby Christian Hutasoit
Politeknik Ilmu Pemasyarakatan
Email : [email protected]
Abstract
The study
"Evaluating Health Services for Prisoners, Detainees, and Correctional
Students" aims to obtain an overview of the Implementation of Health
Services in State Detention Centers, Corrections Institutions, and Special
Guidance Institutions for Children and to find out coordination with related
agencies in the implementation of health services in Detention Centers State,
Correctional Institution, and Special Child Development Institution. This study
was carried out in 2018 with locus in DKI Jakarta, North Sumatra, West Java,
South Kalimantan and North Sulawesi Provinces. The method used in this study is
a mixed method. Data collection techniques were carried out using survey
questionnaires, literature studies and in-depth
interviews. The results of the study showed that the implementation of health
services both promotive health services; preventive health services; and
curative health services; as well as rehabilitative health services that have
been done well as evidenced by the satisfaction of the recipient's health
service prisoners, inmates and correctional students.
�
Keywords: Health Services, Correctional Assistance Citizens, Correctional Technical Implementation Unit
Abstrak
Pengkajian �Evaluasi
Layanan Kesehatan bagi Narapidana, Tahanan, dan Anak Didik Pemasyarakatan� tujuan
penelitian ini untuk mendapatkan gambaran mengenai Pelaksanaan Layanan
Kesehatan pada Rumah Tahanan Negara, Lembaga Pemasyarakatan, dan Lembaga
Pembinaan Khusus Anak serta untuk mengetahui koordinasi dengan instansi terkait
dalam pelaksanaan layanan kesehatan pada Rumah Tahanan Negara, Lembaga
Pemasyarakatan, dan Lembaga Pembinaan Khusus Anak. Kajian ini dilaksanakan pada
tahun 2018 dengan lokus di Provinsi DKI Jakarta, Sumatera Utara, Jawa Barat,
Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Utara. Metode yang digunakan dalam kajian ini
adalah metode mixed method. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan
menggunakan kuesioner survei, studi pustaka dan wawancara mendalam (in-depth
interview). Hasil pengkajian menunjukkan bahwa pelaksanaan pelayanan kesehatan
baik pelayanan kesehatan promotif; pelayanan kesehatan preventif; dan pelayanan
kesehatan kuratif; maupun pelayanan kesehatan rehabilitatif sudah dilakukan
dengan baik terbukti dengan kepuasan penerima pelayanan kesehatan tahanan,
narapidana, dan anak didik pemasyarakatan.
Kata
kunci: Pelayanan Kesehatan, Warga Binaan Pemasyarakatan, Unit
Pelaksana Teknis Pemasyarakatan
Pendahuluan
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NKRI 1945) Pasal 1 ayat (1)
menentukan secara tegas menyebutkan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum.
Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip terpenting Negara
Hukum adalah adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (Equality Before The
Law). Oleh karena itu setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum (Prabowo, 2018).
Pemidanaan
atau penjatuhan pidana terhadap seseorang yang terbukti melakukan tindak pidana
bukanlah semata-mata bertujuan untuk pembalasan terhadap perbuatan yang
dilakukannya (Susanti, 2019). Pidana penjara merupakan salah satu jenis sanksi
pidana yang paling sering digunakan dalam menanggulangi masalah kejahatan (Wibawa, 2018).
Penegakan
hukum terhadap kejahatan di Indonesia, khususnya dalam hal pemidanaan,
seharusnya merujuk pada pendekatan norma hukum yang bersifat menghukum penjahat
sehingga dapat memberikan efek jera (Laksana, 2016). Hal ini memberikan wacana kepada para hakim dalam
merumuskan vonis penjatuhan sanksi kepada para pelaku kejahatan agar mampu
menangkap aspirasi keadilan masyarakat (Sinaga, Lubis, &
Munthe, 2019). Kenyataan empiris di bidang pemidanaan secara umum masih menganut
pemahaman untuk memperbaiki terpidana di lembaga pemasyarakatan, sehingga
memberikan gambaran bahwa kejahatan tersebut hanya terhenti sesaat dan akan muncul kembali dalam lingkungan kehidupan sosial
masyarakat.
Merujuk
terhadap konsepsi pemidanaan itu cenderung dimulai dari konsepsi yang bersifat
menghukum yang berorientasi kebelakang (Roestamy, 2020). Sistem pemenjaraan yang sangat menekankan pada unsur
balas dendam dan penjeraan yang disertai dengan lembaga "rumah
penjara" secara berangsur-angsur dipandang sebagai suatu sistem dan sarana
yang tidak sejalan dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial, agar
Narapidana menyadari kesalahannya, tidak lagi berkehendak untuk melakukan
tindak pidana dan kembali menjadi warga masyarakat yang bertanggung jawab bagi
diri, keluarga, dan lingkungannya (Situmorang, HAM, &
Kav, 2019).
Sistem
pemasyarakatan merupakan satu rangkaian kesatuan penegakan hukum pidana, oleh
karena itu pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan dari pengembangan konsepsi
umum mengenai pemidanaan. Sistem Pemasyarakatan disamping bertujuan untuk
mengembalikan warga binaan pemasyarakatan sebagai warga yang baik, juga
bertujuan untuk melindungi masyarakat terhadap kemungkinan diulanginya tindak
pidana oleh warga binaan pemasyarakatan, serta merupakan penerapan dan bagian
yang tak terpisahkan dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila (Saraswaty & Dewi,
2020).
Meskipun
demikian penerapan sanksi pemidanaan haruslah mengutamakan Hak-hak narapidana
sebagai warga negara Indonesia yang hilang kemerdekaannya karena melakukan
tindak pidana, haruslah dilakukan sesuai dengan hak asasi manusia.
Sering ditemui dalam Lembaga Pemasyarakatan bahwa hak-hak
narapidana belum diberikan sesuai dengan hak mereka sebagai warga negara (Larashati, 2017). Hal ini di sebabkan
oleh beberapa faktor, diantaranya kurang dipahaminya peraturan mengenai hak-hak
narapidana yang tertuang dalam Undang-Undang oleh petugas Lembaga
Pemasyarakatan atau bahkan oleh narapidana sendiri. Sebagai negara hukum
hak-hak narapidana harus dilindungi oleh hukum dan penegak hukum khususnya para
staf di Lembaga Pemasyarakatan, sehingga merupakan sesuatu yang perlu bagi
negara hukum untuk menghargai hak-hak asasi narapidana sebagai warga masyarakat
yang harus diayomi walaupun telah melanggar hukum.Disamping itu narapidana
perlu diayomi dari perlakuan tidak adil, misalnya penyiksaan, tidak mendapatkan
fasilitas yang wajar dan tidak adanya kesempatan untuk mendapatkan remisi. Pidana
penjara dalam sejarahnya dikenal sebagai reaksi masyarakat sebagai adanya
tindak pidana yang dilakukan oleh seorang (Wardana, 2019).
Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun
1995 tentang Permasyarakatan menyebutkan bahwa salah satu hak-hak dari
narapidana adalah mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang
layak.pelayanan kesehatan dan Makanan yang memenuhi syarat kesehatan atau
makanan sehat adalah makanan higienis, bergizi dan berkecukupan. Makanan yang
higienis adalah makanan yang tidak mengandung kuman penyakit atau zat
yang dapat membahayakan kesehatan.Makanan yang bergizi adalah makanan yang
cukup mengandung karbohidrat, lemak, protein, mineral, vitamin, dalam jumlah
yang seimbang sesuai dengan kebutuhan. Makanan yang berkecukupan adalah makanan
yang dapat memenuhi kebutuhan tubuh pada usia dan
kondisi tertentu. Selain memenuhi persyaratan pokok tersebut, perlu
diperhatikan juga cara memasak makanan, suhu makanan
pada saat disajikan, dan bahan.
Sedangkan
untuk Pemenuhan pelayanan kesehatan ini tidak hanya menyangkut penciptaan
lingkungan yang baik, perlakukan yang sama, tapi termasuk pula pembenaan
pelayanan kesehatan secara manusiawi yang diarahkan pada tingkatan harkat dan
martabat, sehingga diharapkan dapat mengembangkan suatu masyarakat yang
berkepribadian, yang saling menghormati dan menjunjung tinggi (Fachrezi & Wibowo,
2020).
Di
dalam Lembaga Pemasyarakatan tidak semuanya narapidana dalam kondisi sehat,
bagi narapidana yang sakit harus mendapatkan pelayanaan kesehatan yang optimal
maka dari itu menurut Undang-Undang No.23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan,
kesehatan adalah tercapainya kesadaran, kemampuan dan kemauan hidup sehat
setiap penduduk agar dapat mewujudkan hidup sehat yang optimal, berarti setiap
orang tanpa memandang ras, agama, politik yang dianut, dan ekonomi, diberikan
hak pelayanaan kesehatan demikian pula bagi narapidana yang sedang menjalani
masa pidananya di Lapas.
Pelayanan
kesehatan yang di berikan di lembaga pemasyarakatan merupakan salah satu
pemberian Hak Asasi Manusia dari negara kepada warganya. Pelayanan kesehatan
merupakan upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitative dibidang
kesehatan bagi narapidana di Lembaga Pemasyarakatan, untuk terwujudnya
Pelayanan kesehatan yang baik bagi narapidana tidak terlepas dari tersediannya
sarana dan prasarana kesehatan.
Berdasarkan
dari rumusan masalah diatas tujuan penelitian dibuat untuk Mengetahui bagaimana
tinjaun umum tentang jaminan hak warga negara dilihat dari konvenan hak sipil
dan hak politik. Mengetahui apa saja hak narapidana
menurut undang-undang no.12 tahun 1995. Mengetahui
bagaimana standar minimum rules sebagai konvensi jaminan hak narapidana di
dunia. Mengetahui pemenuhan hak sipil dan hak politik bagi narapidana di
seluruh dunia.
Metode Penelitian
Jenis
penelitian adalah penelitian hukum. Hal ini
berdasarkan pendapat Peter Mahmud Marzuki bahwa tidak perlu istilah penelitian
hukum normatif, karena legal research atau bahasa Belanda rechtsonderzoek
selalu normatif. Sama halnya dengan istilah yuridis normatif yang sebenarnya
tidak dikenal dalam penelitian hukum (Peter, 2014: 55-56). Penelitian yang
dikaji penulis dalam penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat
preskriptif, yang dimaksudkan untuk memberikan argumentasi atas hasil
penelitian yang telah dilakukan. Pendekatan yang digunakan peneliti dalam
penulisan hukum ini adalah pendekatan undang-undang (statute approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Bahan hukum primer. Bahan hukum primer
merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas.
Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi
atau risalah dalam pembuatan perundangundangan dan putusan-putusan hakim.
Adapun yang menjadi bahan hokum primer dalam penelitian ini adalah:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Universal Declaration of Human Rights (DUHAM), Convention on The
Elimination of All Forms of Dicrimination Againts Women.
(CEDAW), Kovenan
Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, Undang-undang nomor 12 Tahun 1995
tentang Pemasyarakatan,� Undang-undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), Undang-undang Nomor 36
tahun 2009 tentang Kesehatan, Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1999 tentang
syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan. Bahan hukum
sekunder, bahan hukum sekunder yang utama adalah buku teks karena buku teks
berisi mengenai prinsip-prinsip dasar ilmu hukum dan pandangan-pandangan klasik
para sarjana yang mempunyai kualifikasi tinggi. Dalam penelitian ini bahan
hukum sekunder yang digunakan meliputi: buku-buku ilmiah dibidang hukum, makalah-makalah,
jurnal ilmiah, artikel ilmiah.
Hasil dan Pembahasan
A. Pelayanan
Kesehatan Dan Gizi Warga Binaan Pemasyarakatan
Upaya peningkatan
status kesehatan dan gizi masyarakat dalam rangka mewujudkan sumber daya
manusia Indonesia yang mandiri untuk hidup sehat �diarahkan untuk mencapai suatu kondisi dimana masyarakat Indonesia
termasuk yang berada di institusi lembaga pemasyarakatan (Lapas) dan rumah
tahanan negara (Rutan) menyadari, mau dan mampu untuk mengenali, mencegah dan
mengatasi permasalahan kesehatan yang dihadapi, sehingga dapat bebas dari
gangguan kesehatan, baik yang disebabkan karena penyakit termasuk gangguan
kesehatan akibat bencana maupun lingkungan dan perilaku yang tidak mendukung
untuk hidup sehat. Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan dijelaskan bahwa petugas harus menyediakan makan dan minum.
Penyediaan ini harus memperhatikan kandungan makanan, kebersihan, dan
kesehatannya. Setiap narapidana dan tahanan harus disediakan makanan yang
memiliki kandungan nutrisi yang sesuai dengan kesehatan oleh pihak
administrasi, berkualitas, disiapkan dan disajikan secara benar pada jam-jam
makan yang biasa. Selain itu air minum harus tersedia kapan pun narapidana
membutuhkan. Status gizi warga binaan pemasyarakatan sangat dipengaruhi oleh
kualitas dan jumlah zat gizi yang dikonsumsi serta ada tidaknya penyakit.
Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi warga binaan pemasyarakatan
tersebut sangat terkait dengan tingkat ketersediaan pangan. Perlindungan
terhadap setiap warga negara termasuk yang berada di lembaga pemasyarakatan
atau Warga Binaan Pemasyarakatan merupakan Hak Asasi Manusia (HAM). Oleh karena
itu, dengan meningkatkan kualitas dan jumlah zat gizi yang dikonsumsi sangat
berperan dalam meningkatkan status gizi masyarakat, termasuk Warga Binaan
Pemasyarakatan di lembaga pemasyarakatan. Narapidana perlu dilindungi dari
makanan dan minuman yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan agar tidak
membahayakan kesehatannya. Makanan dan minuman untuk warga binaan pemasyarakatan
harus memenuhi standar kesehatan untuk itu perlu diadakan pengawasan yang baik
untuk penyediaan makan bagi warga binaan pemasyarakatan. Makanan merupakan
kebutuhan pokok manusia yang dibutuhkan setiap saat dan di manapun ia berada serta memerlukan pengelolaan yang baik dan benar
agar bermanfaat bagi tubuh. Tanpa andanya makanan dan minuman manusia tidak
dapat melangsungkan hidupnya. Bahan makanan yang baik terkadang sulit untuk
kita temui, karena jaringan pelayanan makanan yang begitu panjang dan melalui
jaringan perdagangan yang begitu luas. Salah satu upaya mendapatkan makanan
yang baik adalah menghindari penggunaan bahan makanan yang berasal dari sumber
yang tidak jelas karena tidak dapat dipertanggungjawabkan secara kualitasnya.
Untuk itu bahan makanan yang masuk di lembaga pemasyarakatan harus benar-benar
diperiksa dengan baik jangan sampai ada bahan makanan yang rusak sebab
kandungan gizinya sudah berkurang serta tidak baik untuk kesehatan warga
binaan. Di lembaga pemasyarakatan dilakukan lelang setiap setahun sekali untuk
menentukan pemborong yang akan mendistribusikan
makanan setiap harinya di lembaga pemasyarakatan. Pelayanan makanan merupakan
salah satu hak narapidana/tahanan yang harus dipenuhi oleh pihak lembaga
pemasyarakatan. Hal ini ditujukan untuk mendukung pelaksanaan tugas pokok dan
fungsi di bidang pembinaan, pelayanan, dan keamanan sebagaimana tercantum dalam
pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Berdasarkan
peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia No.
M.HH-01.PK.07.02 Tahun 2009 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Makanan Bagi Warga
Binaan Pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara yang
selanjutnya disebut Rutan mengatur bahwa penyelenggaraan makanan di LAPAS dan Rutan
dilaksanakan mulai dari proses perencanaan anggaran, perencanaan menu,
perhitungan kebutuhan bahan makanan, pendistribusian makanan, pencatatan dan
pelaporan, monitoring dan evaluasi.
Hak-hak seorang narapidana sebagaimana dalam
Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan,
dalam ayat (1) disebutkan bahwa Narapidana berhak:
A. Amelakukan
ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya;
B. mendapat
perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani;
C. mendapatkan
pendidikan dan pengajaran;
D. mendapatkan
pelayanan kesehatan dan makanan yang layak;
E. menyampaikan
keluhan;
F. mendapatkan
bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang;
G. mendapatkan
upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan;
H. menerima
kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya;
I.
mendapatkan pengurangan masa pidana
(remisi);
J. mendapatkan
kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga;
K. mendapatkan
pembebasan bersyarat;
L. mendapatkan
cuti menjelang bebas; dan
M. mendapatkan hak-hak lain sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Diantaranya
terkait dengan kajian ini, adalah hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan
makanan yang layak, sebagaimana di ayat (1) huruf d di atas. Sementara untuk
pelaksanaannya diatur dengan peraturan pemerintah, sebagaimana ayat (2)
menyebutkan ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan hak-hak
narapidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan
Pemasyarakatan Bagian Keempat Pelayanan Kesehatan dan Makanan Pasal 14 (1)
Setiap Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan berhak memperoleh pelayanan
kesehatan yang layak. (2) Pada setiap LAPAS disediakan poliklinik beserta
fasilitasnya dan disediakan sekurang-kurangnya seorang dokter dan seorang
tenaga kesehatan lainnya. Pasal 15 (1) Pelayanan kesehatan dilakukan oleh
dokter LAPAS. (2) Dalam hal dokter sebagaimana ayat (1) berhalangan, maka
pelayanan kesehatan tertentu dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan lainnya.
Pasal 16 (1) Pemeriksaan kesehatan dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam
1 (satu) bulan dan dicatat dalam kartu kesehatan. (2) Dalam hal Narapidana atau
Anak Didik Pemasyarakatan ada keluhan mengenai kesehatannya, maka dokter atau
tenaga kesehatan lainnya di LAPAS wajib melakukan pemeriksaan. (3) Apabila dari
hasil pemeriksaan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
ditemukan adanya penyakit menular atau membahayakan, maka penderita tersebut
dirawat secara khusus. (4) Ketentuan mengenai perawatan secara khusus
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Keputusan
Menteri. Pasal 17 (1) Dalam hal penderita sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
ayat (3) memerlukan perawatan lebih lanjut, maka dokter LAPAS memberikan
rekomendasi kepada Kepala LAPAS agar pelayanan kesehatan dilakukan di rumah
sakit umum Pemerintah di luar LAPAS. (2) Pelayanan kesehatan bagi penderita di
rumah sakit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus mendapat izin tertulis
dari Kepala LAPAS. (3) Penderita sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) yang
dibawa dan dirawat di rumah sakit wajib dikawal oleh Petugas LAPAS dan bila
diperlukan dapat meminta bantuan petugas kepolisian. (4) Biaya perawatan
kesehatan di rumah sakit bagi penderita dibebankan kepada negara. (5) Dalam hal
ada Narapidana atau Anak Didik Pemasyarakatan yang sakit, maka Kepala LAPAS
harus segera memberitahukan kepada keluarganya. Pasal 18 (1) Apabila Narapidana
atau Anak Didik Pemasyarakatan meninggal dunia karena sakit atau sebab lain,
maka Kepala LAPAS segera memberitahukan kepada keluarganya. (2) Apabila
Narapidana atau Anak Didik Pemasyarakatan diduga meninggal secara tidak wajar,
maka Kepala LAPAS segera melapor kepada Kepolisian. (3) Jenazah Narapidana atau
Anak Didik Pemasyarakatan yang tidak diambil keluarganya dalam jangka waktu 2 x
24 (dua kali dua puluh empat) jam sejak meninggal dunia dan telah diberitahukan
secara layak kepada keluarga atau ahli warisnya, penguburannya dilaksanakan
oleh LAPAS, sesuai dengan tata cara agama atau kepercayaannya. (4) Barang atau
uang milik Narapidana atau Anak Didik Pemasyarakatan yang meninggal dunia,
harus diserahkan kepada keluarga atau ahli warisnya. (5) Penyerahan barang atau
uang sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dilakukan dengan Berita Acara. (6)
Apabila barang atau uang milik Narapidana atau Anak Didik Pemasyarakatan yang
meninggal dunia tersebut tidak diambil oleh keluarga atau ahli warisnya dalam
waktu 6 (enam) bulan setelah diberitahukan, maka barang atau uang tersebut
menjadi milik negara. (7) Dalam hal barang milik Narapidana atau Anak Didik
Pemasyarakatan yang meninggal dunia mengandung bibit penyakit yang berbahaya,
maka barang tersebut segera dimusnahkan dan dibuatkan Berita Acara. Pasal 19
(1) Setiap Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan berhak mendapatkan makanan
dan minuman sesuai dengan jumlah kalori yang memenuhi syarat kesehatan. (2)
Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan yang berkewarganegaraan asing bukan
penduduk Indonesia, atas petunjuk dokter dapat diberikan makanan jenis lain
sesuai dengan kebiasaan di negaranya. (3) Harga makanan jenis lain sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) tidak melampaui 1 1/2 (satu satu per dua) kali dari
harga makanan yang telah ditentukan bagi Narapidana dan Anak didik
Pemasyarakatan. Pasal 20 (1) Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan yang sakit,
hamil atau menyusui, berhak mendapatkan makanan tambahan sesuai dengan petunjuk
dokter. (2) Makanan tambahan juga diberikan kepada Narapidana yang melakukan
jenis pekerjaan tertentu. (3) Anak dari Narapidana wanita yang dibawa ke dalam
LAPAS ataupun yang lahir di LAPAS dapat diberi makanan tambahan atas petunjuk
dokter, paling lama sampai anak berumur 2 (dua) tahun. (4) Dalam hal anak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) telah mencapai umur 2 (dua) tahun, harus
diserahkan kepada bapaknya atau sanak keluarga, atau pihak lain atas
persetujuan ibunya dan dibuat dalam satu Berita Acara. (5) Untuk kepentingan
kesehatan anak, Kepala LAPAS dapat menentukan makanan tambahan selain
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) berdasarkan pertimbangan dokter.
����������� Sementara bagi tahanan diatur dalam Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 1999 tentang Syarat-Syarat Dan Tata Cara
Pelaksanaan Wewenang, Tugas Dan Tanggung Jawab Perawatan Tahanan, sebagaimana
Pasal 21 ayat (1) Setiap tahanan berhak memperoleh pelayanan kesehatan yang
layak. Serta dalam ayat (2) Pada setiap RUTAN/Cabang RUTAN atau LAPAS/Cabang
LAPAS disediakan poliklinik beserta fasilitasnya dan ditempatkan sekurang-
kurangnya seorang dokter dan tenaga kesehatan lainnya. Sementara ayat (3) Dalam
hal RUTAN/Cabang RUTAN atau LAPAS/Cabang LAPAS belum ada tenaga dokter atau
tenaga kesehatan lainnya, maka pelayanan kesehatan dapat minta bantuan kepada
rumah sakit atau Puskesmas terdekat.
����������� Selanjutnya Pasal 22 ayat (1) Pelayanan kesehatan
dilakukan oleh dokter RUTAN/Cabang RUTAN atau LAPAS/cabang LAPAS. (2) Dalam hal
dokter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berhalangan, maka pelayanan
kesehatan tertentu dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan lainnya.
����������� Kemudian Pasal 23 ayat (1) Pemeriksaan kesehatan
dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan dan dicatat dalam
kartu kesehatan. Ayat (2) menyatakan Dalam hal ada keluhan mengenai kesehatan,
maka dokter atau tenaga kesehatan RUTAN/Cabang RUTAN atau LAPAS/Cabang LAPAS
wajib melakukan pemeriksaan terhadap tahanan. Ayat (3) Dalam hal hasil
pemeriksaan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
ditemukan adanya penyakit menular atau yang membahayakan, maka tahanan tersebut
wajib dirawat secara khusus. Ayat (4) Perawatan secara khusus sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
����������� Pasal 24 ayat (1) Dalam hal tahanan yang sakit memerlukan
perawatan lebih lanjut, maka dokter atau tenaga kesehatan RUTAN/Cabang RUTAN
atau LAPAS/Cabang LAPAS memberikan rekomendasi kepada Kepala RUTAN/Cabang RUTAN
atau LAPAS/Cabang LAPAS agar pelayanan kesehatan dilakukan di rumah sakit di
luar RUTAN/Cabang RUTAN atau LAPAS/Cabang LAPAS. (2) Pelayanan kesehatan di
rumah sakit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus mendapat izin dari
instansi yang menahan dan kepala RUTAN/Cabang RUTAN atau LAPAS/Cabang LAPAS.
(3) Dalam hal keadaan darurat, Kepala RUTAN/Cabang RUTAN atau LAPAS/Cabang
LAPAS dapat mengirim tahanan yang sakit ke rumah sakit tanpa izin instansi yang
menahan terlebih dahulu. (4) Dalam jangka waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh
empat) jam, petugas pemasyarakatan memberitahukan pengiriman tahanan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) kepada instansi yang menahan. (5) Tahanan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) yang dibawa dan dirawat di rumah sakit
harus dikawal oleh petugas kepolisian. (6) Biaya perawatan kesehatan di rumah
sakit dibebankan kepada Negara.
����������� Pasal 25 (1) Dalam hal ada tahanan yang meninggal dunia
karena sakit, maka Kepala RUTAN/Cabang RUTAN atau LAPAS/Cabang LAPAS segera
memberitahukan kepada pejabat instansi yang menahan dan keluarga tahanan yang
meninggal, kemudian dimintakan surat keterangan kematian dari dokter serta
dibuatkan berita acara. (2) Apabila penyebab meninggalnya tidak wajar, maka
Kepala RUTAN/Cabang RUTAN atau LAPAS/Cabang LAPAS segera melapor kepada
kepolisian setempat guna penyelidikan dan penyelesaian visum et repertum dari
dokter yang berwenang dan memberitahukan kepada pejabat instansi yang menahan
serta keluarga dari tahanan yang meninggal.
����������� Tata cara perawatan dan pembinaan tahanan dan narapi
da-na dapat bekerja sama dengan instansi terkait lainnya sebagai-mana Peraturan
Pemerintah Nomor 57 Tahun 1999 tentang Kerja Sama Penyelenggaraan Pembinaan Dan
Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, sebagaimana Pasal 1 dalam Peraturan
Pemerintah ini yang dimaksud dengan: ayat (1). Kerja sama
adalah kegiatan yang diselenggarakan oleh Menteri dengan instansi terkait,
badan-badan kemasyarakatan atau perorangan dalam rangka pembinaan dan atau
pembimbingan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan, yang kegiatannya seiring
dengan penyelenggaraan sistem pemasyarakatan. Selanjutnya ayat (2) Pembinaan
adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha
Esa, intelektual, sikap dan perilaku, profesional, kesehatan jasmani dan rohani
Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan.
����������� Kerjasama dimaksud selain terhadap pelayanan kesehatan
juga terkait rehabilitasi ketergantungan narkotika sebagaimana Peraturan
Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2017
tentang Penyelenggaraan Layanan Rehabilitasi Narkotika Bagi Tahanan Dan Warga
Binaan Pemasyarakatan, Pasal 2 Rehabilitasi Narkotika bagi Tahanan dan Warga
Binaan Pemasyarakatan ditujukan untuk:
a. Pecandu Narkotika;
b. Penyalahguna Narkotika; dan
c. Korban Penyalahgunaan Narkotika.
Sedangkan tujuannya sebagaimana Pasal 3
Rehabilitasi Narkotika bagi Tahanan dan Warga Binaan Pemasyarakatan bertujuan
untuk:
a. memberikan pelayanan dan jaminan perlindungan
terhadap hak� Tahanan dan Warga Binaan
Pemasyarakatan;
b. memulihkan dan mempertahankan kondisi
kesehatan Tahanan dan Warga Binaan Pemasyarakatan yang meliputi aspek biologis,
psikologis dan sosial dari ketergantungan terhadap Narkotika, Psikotropika dan
Zat Adiktif lainnya;
c. meningkatkan produktifitas serta kualitas
hidup Tahanan dan Warga Binaan Pemasyarakatan; dan
d. mempersiapkan Warga Binaan Pemasyarakatan untuk dapat
menjalankan fungsi sosialnya di lingkungan masyarakat.
Sementara Pasal 12, Dalam rangka
penyelenggaraan layanan Rehabilitasi Narkotika, Menteri melalui Direktur
Jenderal dapat mengadakan kerjasama dengan:
a. instansi/ lembaga pemerintah;
b. lembaga internasional; dan/atau
c. pihak
swasta.
Berdasarkan peraturan perundang-undangan dan tata cara
pelayanan kesehatan di atas, maka perlu ada standar pelayanan sebagaimana
Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Dan Reformasi Birokrasi
Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2014 tentang Pedoman Standar Pelayanan. Pasal
1 ayat (1) Setiap Penyelenggara Pelayanan Publik wajib menetapkan dan
menerapkan Standar Pelayanan Publik untuk setiap jenis pelayanan. (2) Standar
Pelayanan Publik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh pimpinan
Penyelenggara Pelayanan Publik.
Demikian berdasarkan Permenpan RB di atas, maka pada tahun 2014 aturan
mengenai standar pelayanan kesehatan pemasyarakatan melalui Keputusan Direktur
Jenderal Pemasyarakatan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor
PAS-14.OT.02.02 Tahun 2014 direvisi melalui Keputusan Direktur Jenderal
Pemasyarakatan Nomor PAS-32.PK.07.01 Tahun 2016 tentang Pelayanan Dasar
Perawatan Kesehatan.
Filosofi dari keputusan di atas, sebagaimana bagian menimbang bahwa a.
akuntabilitas kinerja organisasi diperlukan dalam rangka mewujudkan
pertanggungjawaban yang transparan, akuntabel dan dapat diukur atas
keberhasilan/kegagalan pelaksanaan program dan kegiatan; b. bahwa untuk
menyeragamkan mekanisme pelaksanaan Pelayanan Dasar Perawatan Kesehatan di Lapas,
Rutan, Bapas, LPKA dan LPAS.
Dalam pelayanan dasar perawatan kesehatan terdapat 4 (empat) poin
pelayanan dasar perawatan kesehatan, yakni:
1.
Pelayanan Kesehatan Promotif adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian
kegiatan pelayanan kesehatan yang lebih mengutamakan kegiatan yang bersifat
promosi kesehatan;
2.
Pelayanan Kesehatan Preventif adalah suatu kegiatan pencegahan terhadap
suatu masalah kesehatan/penyakit;
3.
Pelayanan Kesehatan Kuratif adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian
kegiatan pengobatan yang ditujukan untuk penyembuhan penyakit, pengurangan
penderitaan akibat penyakit, pengendalian penyakit, atau pengendalian kecacatan
agar kualitas penderita dapat terjaga seoptimal mungkin; dan
4.
Pelayanan Kesehatan Rehabilitatif adalah suatu kegiatan dan/atau
serangkaian kegiatan untuk mengembalikan bekas penderita ke dalam masyarakat
sehingga dapat berfungsi lagi sebagai anggota masyarakat yang berguna untuk
dirinya dan masyarakat semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuannya.
Keputusan Direktur Jenderal
Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor PAS-32.PK.07.01
Tahun 2016 tentang Pelayanan Dasar Perawatan Kesehatan, tidak lepas dari upaya
memberikan pelayanan kesehatan kepada tahanan, narapidana, dan anak didik
pemasyarakatan yang terbaik dan ideal sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Begitupun aspek teoritis pelayanan kesehatan. Merujuk pada
skema sub sistem dalam pelayanan kesehatan oleh pakar kesehatan masyarakat.
B. Kendala
Yang Di Hadapi Pihak Lembaga Pemasyarakatan Dalam Pemenuhan Hak Mendapatkan
Makanan Yang Layak Bagi Narapidana
Di dalam
melaksanakan suatu tugas atau aktifitas petugas seringkali menghadapi berbagai
hambatan administrasi maupun berbagai hambatan dalam pelaskanaannya dilapangan
atau teknisnya. Di Lembaga Pemasyarakatan Klas 1 Makassar proses pemenuhan hak
mendapatkan makanan yang layak bagi warga binaan pemasyarakatan banyak
menghadapi kendala.
Beberapa kendala yang dihadapi dalam proses pemenuhan hak� mendapatkan makanan yang layak bagi
warga binaan pemasyarakatan adalah anggaran yang rendah serta kurangnya jumlah
pegawai di Lembaga Pemasyarakatan Klas 1 Makassar. Anggaran yang rendah ini
berdampak pada tidak terpenuhinya sarana dan prasarana yang memadai di dapur
Lembaga Pemasyarakatan Klas 1 Makassar. Ada beberapa peralatan dapur yang
menurut pegawai lembaga pemasyaraktan itu sendiri bahwa peralatan tersebut
sudah dipakai berpuluh-puluh tahun dan tidak pernah diganti.
Hal tersebut berdampak pada penyediaan makanan bagi warga binaan
pemasyaraktan secara kualitasnya kurang baik karena peralatan dapur yang
digunakan sudah usang dan seharusnya sudah diganti dengan peralatan yang lebih
baik. Hal ini tentu saja berdampak pula pada tidak terpenuhinya kecukupan gizi
warga binaan pemasyarakatan selama menjalani pidana hilang kemerdekaan untuk
sementara waktu di Lembaga Pemasyarakatan.
Jumlah pegawai Lembaga Pemasyarakatan Klas 1 Makassar yang kurang
khususnya di bagian juru masak dan ahli gizi seharusnya diadakan perekrutan
pegawai. Sehingga makanan yang disajikan secara kualitas bisa lebih baik
dibandingkan dengan warga binaan pemasyarakatan sendiri yang memasak. Karena
banyak warga binaan pemasyarakatan yang lain mengeluhkan bahwa makanan yang
dimasak oleh rekannya sendiri sesama warga binaan pemasyarakatan kurang enak, kebersihan
makanannya pun kurang terjamin serta nilai gizi dari makanan yang disajikan
sangat mereka ragukan. Kemudian tidak tersediannya ahli gizi yang dapat menilai
langsung makanan yang disajikan sudah bergizi atau belum karna tentu saja
setiap makanan harus ditakar jumlah gizinya sebelum disajikan ke warga binaan
pemasyarakatan berdasarkan Surat Edaran Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor
M.HH-01.PK.07.02 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyelenggaraan Makanan Bagi Warga
Binaan Pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara
(Rutan) dengan 2250 kalori.
Over kapasitas menjadi sebuah permasalahan yang dihadapi oleh lembaga
pemasyarakatan dibeberapa Negara di dunia. Kondisi over kapasitas juga dialami
di lembaga pemasyarakatan di Indonesia. Tingkat kepadatan hunian LAPAS/Rutan
sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan tugas dalam hal ini pelayanan kesehatan
maupun makanan bagi warga binaan pemasyarakatan. Selain berpengaruh dalam
pelaksanaan tugas kondisi lapas yang over kapasitas juga berpengaruh terhadap
pengawasan dan keamanan. Hal ini terjadi karena bertambahnya jumlah penghuni
LAPAS/Rutan, menuntut adanya peningkatan kebutuhan dan kualitas pengawasan.
Keadaan Lembaga Pemasyarakatan yang melebihi kapasitas menyebabkan
pemenuhan hak-hak bagi narapidana tidak optimal. Upaya yang dapat ditempuh
untuk mengatasi atau mengurangi masalh over kapasitas ini yaitu dengan
memberikan hukuman pengganti dan pidana bersyarat. Hukuman pengganti dan pidana
bersyarat dimaksudkan untuk mengurangi tingginya angka penjatuhan pidana
terhadap pelaku tindak pidana.
C.
Koordinasi
Instansi Terkait Pelayanan Kesehatan Lembaga Pemasyarakatan
Koordinasi dengan instansi terkait
pelayanan kesehatan di daerah telah dilakukan terbukti dengan adanya tenaga
kesehatan atau dokter Pusat Kesehatan Masyarakat dari Dinas Kesehatan setempat,
mengunjungi klinik pemasyarakatan tiap seminggu sekali dan bantuan obat-obatan.
Berdasarkan sumber informasi dinas
kesehatan bidang pelayanan kesehatan masyarakat, mengatakan bantuan obat-obatan
dapat diberikan dengan cara mengajukan usulan dan inventaris daftar obat yang
dibutuhkan, selain itu agar lebih kuat dasar hukum koordinasi di atas, perlu
dilakukan suatu Memorandum of Understanding (MoU). MoU ini merupakan perjanjian
pendahuluan/kesepahaman sehingga masih perlu dilanjutkan dengan perjanjian yang
memuat hal-hal pokok dari MoU agar mempunyai kekuatan hukum yang mengikat
sebagaimana dalam Pasal 1338 KUH Perdata disebutkan bahwa �Setiap perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pembuatnya�.
Perjanjian dimaksud dapat berupa Surat Keputusan Bersama,
mengingat pelayanan kesehatan merupakan keputusan (beschikking) pejabat tata
usaha negara, dimana kebijakan ada pada Kementerian Kesehatan dan
pelaksanaannya ada pada Dinas kesehatan di daerah yang bertanggungjawab kepada
Kementerian Dalam Negeri, sementara Bantuan Jaminan Kesehatan yang berada dalam
kewenangan Kementerian Sosial.
Kesimpulan
Berdasarkan gambaran umum data hasil kajian dan analisisnya, maka diambil kesimpulan. Bahwa pelaksanaan pelayanan kesehatan baik pelayanan kesehatan promotif; pelayanan kesehatan preventif; dan pelayanan kesehatan kuratif; maupun pelayanan kesehatan rehabilitatif sudah dilakukan dengan baik terbukti dengan kepuasan penerima pelayanan kesehatan tahanan, narapidana, dan anak didik pemasyarakatan dalam memberikan respon sebagaimana dalam tabel data dan penjelasan yang telah dikemukan dalam bab sebelumnya.
Sarana dan prasarana pada Unit Teknis Pemasyarakatan sangat minim begitu juga dengan obat-obatan belum sesuai dengan standar pelayanan kesehatan. Berdasarkan data yang diperoleh, sejumlah tahanan dan narapidana memiliki riwayat penyakit yang berisiko tinggi, maka penyediaan makanan perlu disesuaikan dengan jenis penyakit yang diderita oleh para tahanan dan narapidana.
Tahanan, Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan banyak yang belum memiliki Kartu Indonesia Sehat (KIS) sehingga menyulitkan ketika tahanan, narapidana dan anak didik pemasyarakatan sakit dan dirujuk ke rumah sakit untuk mendapatkan pengobatan yang lebih intensif.
Klinik Kesehatan Lembaga Pemasyarakatan maupun Rumah Tahanan Negara di daerah belum memiliki sumber daya manusia kesehatan seperti dokter, dokter gigi, apoteker dan izin praktek dokter serta klinik tersebut belum memiliki izin pendirian dan operasional
Pola koordinasi yang dilakukan selama ini adalah hasil kreativitas dari pimpinan di daerah dengan instansi terkait dibidang pelayanan kesehatan terutama untuk mendapatkan obat.
Fachrezi, Faldi Biaggy, & Wibowo, Padmono. (2020). Upaya Pemenuhan Hak
Pelayanan Kesehatan Kepada Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan. Widya
Yuridika: Jurnal Hukum, 3(2), 363�376.
Laksana, Andri
Winjaya. (2016). Tinjauan Hukum Pemidanaan Terhadap Pelaku Penyalahguna
Narkotika Dengan Sistem Rehabilitasi. Jurnal Pembaharuan Hukum, 2(1),
74�85.
Larashati, Mitra
Utami. (2017). Penilaian Prestasi Kerja Pegawai Negeri Sipil (PNS) Pada
Badan Pendapatan Daerah (BAPENDA) Kota Padang. Universitas Andalas.
Prabowo, Fandy.
(2018). Prinsip Perlindungan yang Sama dalam Pemberian Bantuan Hukum Terhadap
Pelaku Tindak Pidana Berat. Al-Qanun: Jurnal Pemikiran Dan Pembaharuan Hukum
Islam, 21(1), 125�144.
Roestamy, Martin.
(2020). ASAS KEADILAN DALAM SUPLAI MAKAN TAHANAN KEPOLISIAN DAN LEMBAGA
PEMASYARAKATAN DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009. JURNAL
ILMIAH LIVING LAW, 12(1), 1�17.
Saraswaty, Rina, &
Dewi, Salamiah Sari. (2020). PEMBERDAYAAN NAPI PEREMPUAN DI LP TANJUNG GUSTA
KECAMATAN MEDAN HELVETIA, MEDAN, SUMATERA UTARA. Randang Tana-Jurnal
Pengabdian Masyarakat, 3(3), 140�148.
Sinaga, Agus Pranata,
Lubis, Anggreini Atmei, & Munthe, Riswan. (2019). Tinjauan Yuridis
Permufakatan Jahat Penyalahgunaan Narkotika Berdasarkan Undang-Undang No: 35
Tahun 2009 Tentang Narkotika (Studi Putusan Nomor: 423/Pid/2018/PN. Mdn). JUNCTO:
Jurnal Ilmiah Hukum, 1(1), 10�18.
Situmorang, Victorio
H., HAM, R., & Kav, JHRS. (2019). Lembaga Pemasyarakatan sebagai Bagian
dari Penegakan Hukum. Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum, 13(1),
85�98.
Susanti, Dewi Elvi.
(2019). Pemidanaan terhadap Anak sebagai Pelaku Tindak Pidana Studi Kasus
Perkara Pidana No. 07/pid-sus-anak/2017/pn. pdg. JCH (Jurnal Cendekia Hukum),
4(2), 187�206.
Wardana, Marta.
(2019). IMPLEMENTASI CUTI BERSYARAT BAGI NARAPIDANA TINDAK PIDANA KORUPSI
(STUDI DI LAPAS KELAS I BANDAR LAMPUNG).
Wibawa, Iskandar.
(2018). Pidana Kerja Sosial dan Restitusi Sebagai Alternatif Pidana Penjara
dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia. Media Hukum, 24(2),
96�104.