pISSN: 2723 - 6609 e-ISSN : 2745-5254
Vol. 3, No. 7 Juli 2022 http://jist.publikasiindonesia.id
Doi : 10.36418/jist.v3i7.448 785
PERAN PEMBENTUKAN KOMITE SOSIAL KESETARAAN GENDER
PEREMPUAN DALAM ISU STEREOTIP
Dinda Ayu Wardhani
Universitas Teuku Umar
INFO ARTIKEL
ABSTRAK
Diajukan : 28-06-2022
Diterima : 14-07-2022
Diterbitkan : 25-07-2022
Isu ketimpangan gender dalam lingkungan kerja seperti stereotip
gender kerap terjadi, salah satunya di PT. Perkebunan Nusantara IV
Unit Usaha Teh Bah Butong, dimana tindakan tersebut sama sekali
tidak disadari oleh para pekerja. Ketimpangan gender ini muncul
karena perusahaan yang beroperasi di industri atau pabrik yang tenaga
kerjanya dominan adalah laki-laki, sehingga menyebabkan
ketimpangan gender harus dihindari. Karyawati harus dapat
menyeimbangkan kedudukan dan kekuasaan layaknya karyawan laki-
laki di setiap bagian pekerjaan. Dalam penelitian ini peneliti
menggunakan pendekatan kualitatif dimana Sugiyono (2016: 9)
mengemukakan pendapat bahwa metode penelitian kualitatif
digunakan untuk mengkaji objek yang proporsional dan peran peneliti
sebagai instrumen utama dalam penelitian yang dilakukan.
Ketimpangan gender di dunia kerja tidak melihat posisi di instansi
tersebut. Ketimpangan gender tidak dapat diatasi hanya dengan
mengandalkan jabatan, kompetensi kerja, atau kekuatan fisik. Komite
sosial kesetaraan gender perempuan dibentuk dalam rangka
memberikan dorongan untuk perubahan dan mengatasi isu-isu
tersebut. Perusahaan memberikan kesempatan yang luas serta keadilan
bagi perempuan untuk mengembangkan karir mereka. Melalui forum
komite sosial kesetaraan gender perempuan, upaya kesetaraan gender
di lingkungan kerja terus memaksimalkan dan memberi dukungan
penuh terhadap karir karyawati.
ABSTRACT
The issue of gender inequality in the work environment such as gender
stereotypes often occurs, one of which is at PT. Perkebunan Nusantara
IV Bah Butong Tea Business Unit, where the workers were completely
unaware of this action. This gender inequality arises because
companies operating in industries or factories where the dominant
workforce is male, thus causing gender inequality to be avoided.
Employees must be able to balance position and power like male
employees in every part of the job. In this study, the researcher uses a
qualitative approach where Sugiyono (2016: 9) argues that qualitative
research methods are used to examine proportional objects and the
role of researchers as the main instrument in the research conducted.
Gender inequality in the world of work does not see the position in the
agency. Gender inequality cannot be overcome only by relying on
position, work competence, or physical strength. The women's gender
equality social committee was formed in order to provide impetus for
change and address these issues. The company provides broad
opportunities and fairness for women to develop their careers.
Through the women's gender equality social committee forum, efforts
for gender equality in the work environment continue to maximize and
provide full support for the careers of female employees.
Kata kunci: karyawati;
stereotip; gender
Keywords: employee;
stereotype; gender
Peran Pembentukan Komite Sosial Kesetaraan Gender Perempuan dalam Isu Stereotip
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 7, Juli 2022 786
CC BY SA 2022
Pendahuluan
Perusahaan tentunya mempekerjakan karyawan laki-laki maupun perempuan di
dalam bidangnya masing-masing. Tetapi seringkali terjadi ketimpangan antara
kedudukan laki-laki dan perempuan disetiap perusahaan tersebut atau biasa disebut
sebagai isu kesetaraan gender. Isu gender merupakan isu yang sudah lama terjadi di
tengah masyarakat. Isu gender yang umum terjadi yaitu terlihat jelas dalam kehidupan
sosial manusia yang dibentuk oleh ste-reotip terhadap gender tertentu hingga kepada
masalah diskriminasi terhadap perempuan (Yuliantini, 2021). Salah satu pemicu
munculnya ketidakadilan gender pada perempuan adalah melekatnya karakter maskulin
pada lingkungan kerja sesuai dengan melekatnya peran produktif pada laki-laki
(Sulistiyo, Hubeis, & Matindas, 2016). Ketimpangan yang terjadi menyebabkan adanya
stereotip yang tanpa disadari oleh pekerja.
Ketimpangan gender terkhusus isu stereotip masih gencar dan kerap terjadi
terutama di dunia industri (Muhamad, Tirta, & Nabilah, 2021). Meskipun tercatat di BPS
(Badan Pusat Statistik), pekerja perempuan mengalami peningkatan di tahun 2020
sebesar 2,63% atau 50,70 juta orang dibanding tahun sebelumnya yang hanya 49,40 juta
orang. Dengan adanya peningkatan tersebut dapat diartikan bahwa perempuan juga
mampu berkontribusi dalam dunia kerja. Namun hal tersebut juga masih belum dapat
menghilangkan isu stereotip terhadap perempuan.
Seperti halnya yang terjadi di PT. Perkebunan Nusantara IV Unit Usaha Teh Bah
Butong, banyak sekali terjadi ketimpangan gender terutama stereotip yang sama sekali
tidak disadari oleh pekerja. Ketimpangan gender ini muncul dikarenakan perusahaan
yang bergerak di industri atau pabrik dominan pekerjanya ialah laki-laki yang
mengakibatkan tidak terhindarnya ketimpangan gender. Karyawati harus mampu
menyeimbangkan posisi dan tenaga seperti karyawan laki-laki di setiap bagian yang di isi
(Kesumaningsari & Simarmata, 2014). Hal tersebut menimbulkan ketidaknyamanan
karyawati sehingga mereka beranggapan bahwa keberadaan dan kinerja mereka terlalu
disepelekan.
Berbagai upaya dilakukan untuk menciptakan keadilan gender, mengakhiri isu
stereotip yang dianggap sebagai hal yang lumrah (Suhada, 2021). Upaya ini tercermin
dari adanya pembentukan komite sosial divisi kesetaraan gender perempuan di PT.
Perkebunan Nusantara IV Unit Usaha Teh Bah Butong. Komite sosial divisi kesetaraan
gender perempuan ini dianggap sangat berperan penting untuk mengantisipasi munculnya
ketimpangan gender terhadap karyawati, terutama keberlangsungannya tindakan stereotip
yang kerap terjadi di lingkungan kerja, baik itu di kantor, pabrik maupun lapangan.
Dibentuknya komite sosial ini juga diharapkan mampu membantu para karyawati
mendapatkan pengakuan serta apresiasi yang luar biasa dikarenakan mampu menjalankan
peran ganda (Murtopo, 2018).
Dinda Ayu Wardhani
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 7, Juli 2022 787
Salah satu penelitian yang dilakukan oleh Nukhbah Sany dan Edy Rahardja dalam
judul “Membedah Stereotip Gender: Persepsi Karyawan Terhadap Seorang General
Manager Perempuan” yang menggunakan metode penelitian kualitatif pada tahun 2016
mengungkapkan bahwasanya seorang perempuan yang dapat menduduki posisi sebagai
general manager menganggap hal tersebut suatu tantangan dikarenakan mampu
menyeimbangkan peran dan posisi seperti laki-laki sehingga merasa ada keistimewaan
tersendiri bagi perempuan (Lolowang, 2022). Akan tetapi perasaan istimewa tersebut
sama sekali tidak dirasakan karena stereotip yang sudah melekat menyatakan bahwasanya
perempuan yang hebat dan sukses hanya dalam urusan rumah tangga saja dan tidak dalam
pencapaian karirnya.
Mengacu pada penelitian tersebut, dalam penelitian yang akan dilaksanakan oleh
peneliti memiliki persamaan yaitu pada objek yang akan diteliti mengenai isu stereotip
yang dialami pekerja perempuan dan jenis serta metode penelitian yang digunakan yaitu
metode kualitatif (Karim, 2014).
Sedangkan perbedaan penelitian sebelumnya dengan penelitian ini yaitu objek
dalam penelitian sebelumnya hanya membahas posisi general manager perempuan,
sedangkan dalam penelitian ini membahas tiga bagian besar yang di isi oleh perempuan
yaitu pabrik, kantor dan lapangan. Dan lokasi penelitian sebelumnya dilakukan di Dafam
Holding Company, sedangkan pada penelitian ini dilakukan di PT. Perkebunan Nusantara
IV Unit Usaha Teh Bah Butong.
Berdasarkan Standpoint Theory, masalah maskulinitas dan feminitas merupakan
tindakan yang refleks terjadi dalam komunikasi, baik secara verbal maupun non verbal.
Standpoint theory memberikan dominasi kepada setiap orang untuk memiliki gagasannya
sendiri (Utami, 2015).
Standpoint theory memiliki tiga konsep penting yaitu, yang pertama Sikap. Konsep
ini diartikan sebagai wadah bersama oleh orang-orang yang dapat mengemukakan sudut
pandangnya sesuai dari wawasan yang dikuasai dan dapat diperoleh melalui pengalaman,
gagasan, interaksi dan sosial (Nugroho, Suseno, & Prabaningrum, 2021). Yang kedua
Situated Knowledge dan Situated Imagination, pada konsep ini diartikan sebagai suatu
pengetahuan yang dimiliki dan dikuasai oleh setiap individu yang didapatkan dari
berbagai pengalaman yang pernah ia lakukan atau bukan bersifat alamiah. Dan yang
ketiga Pembagian Pekerjaan Berdasarkan Jenis Kelamin, pada konsep ini dapat diartikan
bahwasanya penempatan suatu pekerjaan harus didasari sesuai dengan jenis kelamin dan
tidak ada kesetaraam gender didalamnya sehingga berpotensi menimbulkan eksploitasi
pekerja perempuan.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Metode penelitian kualitatif
digunakan untuk meneliti suatu objek yang proporsional dan peran peneliti sebagai
instrumen utama dalam penelitian yang dilakukan (Gumilang, 2016). Data yang
dikumpulkan dalam penelitian ini melalui metode wawancara yang diolah menjadi
kalimat sehingga dapat dijadikan data yang memenuhi kebutuhan penelitian. Oleh karena
Peran Pembentukan Komite Sosial Kesetaraan Gender Perempuan dalam Isu Stereotip
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 7, Juli 2022 788
itu data dari wawancara yang sudah dikumpulkan dengan menggunakan pendekatan
kualitatif menjabarkan seberapa besar peran komite sosial yang dibentuk dalam
mengatasi isu stereotip yang dialami oleh karyawati.
Penelitian ini dilaksanakan di PT. Perkebunan Nusantara IV Unit Usaha Teh Bah
Butong, Kecamatan Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara.
Dengan dilakukannya penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif maka teknik
pengumpulan data dilakukan dengan melakukan kegiatan yang meliputi, wawancara
dimana dalam proses ini terdapat peneliti dengan informan atau narasumber dari pihak
yang berkaitan guna mendapat data yang akurat, serta observasi yang bertujuan agar
peneliti dapat mengamati objek secara langsung guna melengkapi data penelitian (Diana,
Suwena, & Wijaya, 2017). Informan atau narasumber pada penelitian ini sebanyak 5
karyawati yang bekerja di bagian pabrik, kantor dan lapangan.
Hasil dan Pembahasan
Stereotip sering kali negatif dan bisa dikemas dalam prasangka dan diskriminasi
(Rosyidah & Nurwati, 2019). Dari hasil observasi dan wawancara, banyak pernyataan
yang menyatakan bahwa perempuan tidak bisa menjadi karyawan pimpinan yang
kompeten dan hanya bisa dilakukan oleh laki-laki sehingga perempuan hanya kompeten
pada tingkatan karyawan pelaksana. Sedangkan isu stereotip gender sebelumnya terdapat
beberapa perbedaan dalam kemampuan fisik (laki-laki lebih agresif fisiknya
dibandingkan perempuan) dan waktu kerja (peran ganda perempuan sebagai ibu rumah
tangga dan perempuan karir).
Hasil penelitian yang dilakukan, ketimpangan gender dalam dunia kerja tidak
memandang jabatan dalam instansi tersebut. Ketimpangan gender tidak bisa diatasi hanya
dengan mengandalkan jabatan, kompetensi kerja, maupun kekuatan fisik. Namun
diperlukan peran pekerja dan kesadaran diri pekerja untuk berpartisipasi mencegah
terjadinya ketimpangan gender, terutama stereotip. Maka dari itu, dibentuklah komite
sosial kesetaraan gender perempuan agar dapat memberikan dorongan perubahan serta
mengatasi isu-isu tersebut.
Ketimpangan gender seperti isu stereotip cukup menyita perhatian perusahaan
sehingga diputuskan membentuk komite sosial. Isu stereotip ini sudah seperti hal yang
lumrah di lingkungan kerja. Penyebab isu stereotip terjadi dikarenakan adanya
perbandingan tingkatan antara laki-laki dan perempuan, seperti tenaga, pikiran serta
waktu. Isu stereotip menghambat kenyamanan kerja perempuan dan juga mengurangi
rasa percaya diri terhadap kinerjanya, sehingga beranggapan bahwa mereka tidak
kompeten dan tidak bisa meningkatkan karirnya. Kesempatan perempuan untuk menaiki
puncak karir kecil kemungkinannya dikarenakan dianggap tidak sebanding dengan laki-
laki.
Hasil observasi yang dilakukan, terdapat dua keadaan yang menyebabkan hal
tersebut terjadi, keadaan objektif dan subjektif. Keadaan objektif dapat lebih dirasakan
oleh pekerja perempuan di bagian lapangan dan pabrik, dimana tidak terdapat keringanan
dikarenakan tenaga yang tidak sebanding dengan pekerja laki-laki namun upah
Dinda Ayu Wardhani
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 7, Juli 2022 789
disetarakan dan hasilnya upah pekerja laki-laki lebih tinggi dibandingkan upah pekerja
perempuan. Sedangkan kondisi subjektif seperti stereotip yang kerap digaungkan
terhadap feminisme pekerja perempuan seperti perempuan fidiknya lebih lemah
dibandingkan laki-laki dan perempuan lemah lembut sehingga tidak cocok jika meniti
karir di perusahaan. Kedua indikator tersebut menjadi permasalahan di internal dan
eksternal perusahaan, maka dari itu diperlukan adanya dukungan dan kesempatan kerja
yang setara sehingga tidak ada isu stereotip gender dilingkungan kerja tersebut.
Pembentukan komite sosial kesetaraan gender perempuan juga melibatkan
karyawan perempuan di internal perusahaan (Larasati, Sunarto, & Rahmiaji, 2022).
Sebagai anggota panitia yang bertanggungjawab terhadap permasalahan ketimpangan
gender di lingkungan kerja, maka hal itu membuat salah satu anggota selalu berkoordinasi
dan berusaha memaksimalkan penyelesaian masalah yang timbul. Ibu TN yang
diwawancarai pada tanggal 10 Mei 2022 mengungkapkan bahwa :
“Sebelum terbentuk komite ini, ketimpangan gender sering terjadi sehingga untuk
karyawan perempuan dan sedikit kurang diperhatikan. Tindakan stereotip juga
kerap terjadi dan berdampak terhadap kenyamanan kerja karyawati, namun tidak
ada forum pengaduan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, hanya sebatas
melapor dengan atasan masing-masing tanpa alur penyelesaian masalah yang
pasti. Dari permasalahan tersebut, dibentuklah komite sosial ini dengan tujuan
agar menciptakan lingkungan kerja yang aman, nyaman serta berimbang antara
satu dengan yang lainnya. Komite ini juga memaksimalkan penyelesaian
permasalahan dan selalu berkoordinasi dengan setiap asisten maupun mandor
setiap bagian kerja. Sehingga dengan hal tersebut, permasalahan yang muncul
dapat diselesaikan dengan baik.”
Berdasarkan hasil wawancara di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa adanya
forum yaitu komite sosial kesetaraan gender dapat menyelesaikan ketimpangan gender
yang di alami oleh karyawati yang bekerja di PT. Perkebunan Nusantara IV Unit Usaha
Teh Bah Butong, sehingga karyawati merasakan kenyaman pada saat bekerja.
Pembentukan komite ini mengacu pada standpoint theory dimana perempuan tidak hanya
diberikan kekuasaan untuk meyuarakan pendapatnya sendiri, namun perempuan jauh
lebih membutuhkan suatu pengakuan bahwasanya tidak ada perbedaan antar gender di
dalam konteks apapun terutama di dunia kerja.
Selain mengatasi isu ketimpangan gender, secara perlahan pembentukan komite ini
menghilangkan karakteristik terhadap gender melalui sosialisasi yang telah dilakukan dan
mengubah stereotip terhadap perempuan. Dapat dibuktikan bahwasanya perempuan juga
bisa menentukan dan megambil kebijakan secara objektif tanpa memandang gender.
Observasi secara langsung dilapangan juga menunjukkan bahwa isu stereotip memang
menurun dari tahun-tahun sebelumnya. Hal tersebut dapat dilihat banyaknya pelatihan-
pelatihan yang melibatkan karyawati dan mulai terbukanya kesempatan bagi karyawati
untuk menjadi bagian dari struktur pimpinan.
Indikator objektif dirasakan salah satu karyawati pabrik, seperti tidak mampu
memaksimalkan tenaga ketika adanya target produksi yang ditetapkan perusahaan yang
Peran Pembentukan Komite Sosial Kesetaraan Gender Perempuan dalam Isu Stereotip
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 7, Juli 2022 790
disebabkan perbedaan fisik, sehingga upah yang didapatkan lebih rendah dibandingkan
karyawan laki-laki. Sedangkan indikator subjektif yaitu karyawan laki-laki menganggap
hal tersebut wajar dikarenakan sesuai dengan fisik dan tenaga yang dimiliki. Bekerja di
pabrik salah satunya bagian sortasi tentunya cukup berat bagi karyawati yang memiliki
perbedaan tenaga, sehingga tidak dapat dipungkiri celah terjadinya stereotip antar pekerja
cukup besar. Peneliti melakukan wawancara terhadap salah satu karyawati tersebut. Ibu
S yang diwawancarai pada tanggal 11 Mei 2022 mengungkapkan bahwa :
“Untuk tindakan stereotip tentunya pernah ibu rasakan selama bekerja disini ya,
apalagi di sortasi inikan cukup berat dan fisik, tenaga harus kuat seperti laki-laki,
sesekali minta bantuan sama laki-laki untuk bantu yang berat jadi ada
kemungkinan pastinya karyawan lain yang beranggapan bahwa kami ini lemah dan
ga terlalu kuat terutama ketika ada target produksi yang harus dikejar. Dan
untungnya atasan perhatian dengan kita, kalau merasa terganggu kita bisa lapor
keatasan (mandor) lalu mandor langsung konsultasi ke asisten. Alhamdulilah
teratasi masalah yang seperti ini”
Dari hasil wawancara tersebut peneliti dapat menyimpulkan bahwa tindakan
stereotip masih kerap terjadi di lingkungan kerja bagian pabrik yang di dominasi oleh
tenaga laki-laki.
Karyawati yang bekerja di bagian pabrik masih mendapatkan sikap bahwasanya
perempuan itu tidak mampu atau bersifat feminim dikarenakan pekerjaan yang
dilakukannya sebatas fisik perempuan yang tidak bisa menyeimbangkan fisiknya dengan
laki-laki. Ketergantungan karyawati yang kerap meminta bantuan karyawan laki-laki juga
semakin memperjelas stereotip mereka bahwasanya perempuan itu lemah dan tidak
semestinya berada di lingkungan tersebut. Dalam konteks ini, karyawati dituntut untuk
mampu menjalankan peran ganda tersebut yang berdampak terhadap beban moril mereka.
Peran komite sosial kesetaraan gender perempuan sangat penting untuk
menyelesaikan konflik internal antar pekerja dalam ruang lingkup pabrik. Observasi dan
wawancara menghasilkan bahwa dalam mengatasi permasalahan tersebut pihak komite
sosial kesetaraan gender perempuan mengambil kebijakan bersama dengan pimpinan
terkait untuk menghilangkan karakteristik gender dalam bidang kerja tersebut (Marwanti
& Astuti, 2012). Dapat dilihat seperti pengurangan karyawati di bidang tersebut, adanya
pembagian shift kerja serta sosialisasi yang dilakukan oleh komite sosial kesetaraan
gender perempuan dengan tujuan memberikan pencerahan terhadap gender kepada para
pekerja dengan harapan hilangnya karakteristik gender di sudut pandang masing-masing.
Seiring tergerusnya zaman yang secara tanpa disadari mulai mengubah pola
pemikiran masyarakat terhadap perempuan. Di era saat ini, perempuan memiliki
kesempatan penuh untuk menempuh pendidikan yang tinggi bahkan bisa menjadi
pemimpin. Hal tersebut terdapat di PT. Perusahaan Nusantara IV Unit Usaha Teh yang
menjadikan salah satu karyawati menjadi karyawan pimpinan di bagian asisten tata usaha.
Namun, dibalik momentum tersebut stereotip juga masih terjadi. Seperti penilaian
karyawan terhadap perbedaan sikap antara karyawan pimpinan laki-laki dengan
perempuan, dimana karyawan memiliki sudut pandang bahwasanya karyawan pimpinan
Dinda Ayu Wardhani
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 7, Juli 2022 791
laki-laki lebih agresif dan tegas, sedangkan karyawan pimpinan perempuan lebih lemah
lembut dan memiliki rasa simpatik. Hal tersebut mendorong penelitian ini dengan tujuan
memahami suatu keadaan dimana perempuan menjadi salah satu bagian struktur
pimpinan di dalam perusahaan. Ibu SG yang diwawancarai pada tanggal 17 Mei 2022
mengungkapkan bahwa :
Untuk tindakan stereotip saat ini sudah berkurang dan pihak perusahaan juga
banyak mengupayakan kesetaraan gender. Dulunya kan ga ada manajer
perempuan atau asisten perempuan, nah sekarang kan sudah ada. Sebagai salah
satu asisten perempuan mendapat keringanan beban kerja, jadi lebih disesuaikan
kembali dan untuk apresiasi kerja juga tidak ada perbedaan. Tapi karena asisten
perempuan satu-satunya lebih merasakan potensi kerja harus seideal asisten laki-
laki. Dan untuk prioritas promosi karir ga ada perbedaan yang signifikan, semua
itu tergantung kepribadian (kompetensi) masing-masing. Jika terjadi tindakan
tersebut hanya sebatas dengan KTU (Kepala Tata Usaha) dan manajer saja, tidak
sampai ke kantor pusat dan masih bisa diatasi di lingkungan internal.”
Berdasarkan hasil wawancara di atas peneliti dapat menyimpulkan bahwasanya
tindakam stereotip tidak memandang suatu jabatan dan kekuasaan tertentu. Seperti halnya
seorang karyawati pimpinan yang memiliki jabatan sebagai asisten tata usaha perempuan
satu-satunya dalam perusahaan tersebut yang masih mengalami tindakan stereotip gender.
Isu stereotip yang sering dirasakan oleh seorang karyawati pimpinan yaitu peran jabatan
yang ia duduki. Stereotip gender yang sudah menjadi acuan penilaian terhadap karyawati
pimpinan perempuan khususnya, menuntut sikap perempuan harus lebih seagresif laki-
laki jika menduduki posisi pemimpin. Walaupun berperilaku secara agresif dan mampu
mencapai kesuksesan, perannya akan tetap dipertanyakan dan di evaluasi kompetensi dan
kinerjanya.
Dalam keadaan tuntutan dan penilaian sekitar lingkungan kerja karyawan
pimpinan, peran komite sosial juga sangat diperlukan dan langsung berkoordinasi dengan
KTU dan manajer meskipun mengatasi permasalahan pimpinannya dan harus bersikap
netral tanpa ada tekanan apapun. Dalam kondisi seperti ini, kebijakan yang diputuskan
oleh panitia komite sosial kesetaraan gender perempuan yaitu membuat kebijakan yang
inklusif terutama di bagian struktural pimpinan. Kebijakan inklusif yang dimaksud yaitu
memberikan keleluasaan dan menghargai perbedaan sikap maupun wawasan yang
dituangkan oleh karyawati sehingga dapat menghasilkan nilai positif bagi perusahaan.
Jika hal tersebut mampu diterapkan oleh pimpinan, maka tujuan kebijakan inklusif
tersebut yaitu memberikan contoh nyata kepada karyawan lain mengenai kesetaraan
gender.
Isu stereotip pada posisi yang diduduki oleh karyawati perempuan di bagian SDM
mendapatkan penilaian bahwasanya perempuan lebih cocok duduk di kantor dikarenakan
lebih teliti untuk mengurus dokumen perusahaan. Hal tersebut dikarenakan, uletnya
perempuan ketika berperan sebagai ibu rumah tangga sehingga menjadi tuntutan di
lingkungan kerja. Dari hasil observasi dan wawancara yang dilakukan, posisi SDM ini
yang sebelumnya diduduki oleh karyawan laki-laki dan kemudian dimasuki oleh seorang
Peran Pembentukan Komite Sosial Kesetaraan Gender Perempuan dalam Isu Stereotip
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 7, Juli 2022 792
karyawati perempuan menjadikan tuntutan pekerjaan yang harus seideal laki-laki.
Penilaian yang biasa terjadi justru menjadi berbalik ketika sudah terciptanya budaya kerja
dengan gender yang berbeda. Cekatan, agresif, teliti bahkan harus mengesampingkan
peran sebagai ibu rumah tangga dan harus benar-benar berperan sebagai laki-laki yang
mampu mengesampingkan hal tersebut serta mampu bekerja dibawah tekanan. Hal
tersebut tentunya mengganggu kenyamanan di lingkungan kerja dan membutuhkan
penyelesaian masalah yang fleksibel. Ibu ES yang diwawancarai pada tanggal 10 Mei
2022 mengungkapkan bahwa :
“Bekerja di bagian SDM ini sebenarnya dituntut untuk lebih perfek dan profesional
dalam melaksanakan berbagai tugas. Apalagi untuk unit ini hanya satu karyawati
saja, jadi terkadang atasan atau teman kerja kita sering menuntut bahwasanya kita
yang perempuan harus bisa seperti mereka yang laki-laki. Harus cekatan dan
mampu lah bekerja dibawah tekanan tanpa mengenal waktu. Bahkan saya harus
mengesampingkan posisi saya sebagai istri dan ibu. Kalau laki-laki kan mudah
begitu, kalau perempuan pasti pikirannya campur aduklah, sedikit susah.”
Berdasarkan hasil wawancara diatas peneliti dapat menyimpulkan bahwasanya
perempuan sering mendapatkan tuntutan pekerjaan yang tanpa mereka sadari tengah
mengalami ketimpangan gender atau stereotip dalam lingkungan kerja. Perempuan lebih
sering dituntut untuk menjalankan peran semaskulin mungkin agar mendapatkan
pengakuan bahwasanya mereka bekerja secara profesional. Dimana bagian kerja SDM
memang diketahui menangani pekerja lain dengan sifat yang beraneka ragam, sehingga
dibutuhkan effort yang lebih untuk mengatasi hal tersebut. Dalam menangani
permasalahan tersebut, komite sosial kesetaraan gender perempuan mengajukan untuk
mengikutsertakan karyawati dalam berbagai pelatihan dan pengembangan dengan tujuan
untuk meningkatkan kapasitas sebagai dukungan untuk melaksanakan tugasnya sebagai
karyawan SDM.
Tekanan ekonomi membuat perempuan menjalankan peran ganda (Akbar, 2017).
Salah satunya dalam penelitian ini, perempuan memilih bekerja di lapangan sebagai
pemetik teh. Mereka harus menjalankan peran ganda, sebagai ibu rumah tangga serta
sebagai tulang punggung keluarga. Konsep pembagian kerja antara laki-laki dan
perempuan berdasarkan jenis kelamin terbagi dalam dua hal yaitu : area publik
(didominasi laki-laki) dan area domestik (didominasi wanita) (Triana & Krisnani, 2018).
Pekerjaan sebagai pemetik teh tidak membutuhkan tingkatan pendidikan maupun
keterampilan. Dan selama ini pandangan masyarakat mengenai bidang pekerjaan ini yaitu
sebagai ’pekerjaan perempuan’, dibuktikan dengan banyaknya perempuan yang menjadi
pemetik teh dibandingkan laki-laki. Banyaknya pekerja perempuan menjadikan alasan
bahwasanya perempuan lebih teliti, lembut dan penurut. Namun disamping hal itu. Upah
kerja yang diterima oleh karyawati biasanya lebih rendah daripada upah yang diterima
karyawan laki-laki (Suartana & Dewi, 2020). Perbedaan fisik dan tenaga yang cukup
signifikan membuat hal tersenut terjadi. Hal ini berkaitan erat dengan adanya
ketidakadilan yang menyangkut stereotipe yang bersifat gender. Ibu M yang
diwawancarai pada tanggal 13 Mei 2022 mengungkapkan bahwa :
Dinda Ayu Wardhani
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 7, Juli 2022 793
“Perempuan yang kerja sebagai pemetik teh berat sekali ya. Karena beban kerja
apalagi sistem hitungannya kan perkilo setiap blok. Pastikan beda toh kita yang
perempuan sama yang laki-laki. Tenaga kan jelas beda dan hasil petiknya juga
beda, tapi hitungan gajinya tetap sama perempuan dan laki-laki. Tuntutan tenaga
ini yang sering kita ga terlalu sanggup, tenaga harus kuat kayak yang laki-laki biar
gaji bisa banyak. Tapikan kita ga bisa paksakan itu.”
Berdasarkan hasil wawancara di atas peneliti menyimpulkan bahwasanya stereotip
gender masih berlaku di pekerja lapangan yang dilakukan oleh atasan masing-masing,
yang menuntut perempuan harus bisa menjalankan peran maskulin ketika bekerja.
Dimana stereotip yang dilakukan bahwasanya perempuan ketika sudah berada di lokasi
kerja, mereka harus melepas perannya sebagai feminim karena di dalam lingkungan kerja
ini semua dituntut untuk menjadi maskulin. Adanya target produksi dari hasil pemetikan
teh tersebut membuat perbandingan upah yang cukup jauh.
Menghadapi isu tersebut, komite sosial kesetaraan gender perempuan menyatakan
sikap bahwasanya untuk diberlakukan kenaikan upah kepada setiap karyawati yang sudah
bekerja selama satu tahun, kebijakan tersebut harus dilakukan karena ketidaksesuaian
tenaga dibandingkan upah yang diterima dan pemetik teh sudah banyak yang bekerja
diatas satu tahun. Hal tersebut juga memiliki tujuan untuk mendukung kesejahteraan
karyawati yang bekerja di lapangan.
Stereotip sering kali negatif dan bisa dikemas dalam prasangka dan diskriminasi
(Rosyidah & Nurwati, 2019). Dari hasil observasi dan wawancara, banyak pernyataan
yang menyatakan bahwa perempuan tidak bisa menjadi karyawan pimpinan yang
kompeten dan hanya bisa dilakukan oleh laki-laki sehingga perempuan hanya kompeten
pada tingkatan karyawan pelaksana. Sedangkan isu stereotip gender sebelumnya terdapat
beberapa perbedaan dalam kemampuan fisik (laki-laki lebih agresif fisiknya
dibandingkan perempuan) dan waktu kerja (peran ganda perempuan sebagai ibu rumah
tangga dan perempuan karir).
Hasil penelitian yang dilakukan, ketimpangan gender dalam dunia kerja tidak
memandang jabatan dalam instansi tersebut. Ketimpangan gender tidak bisa diatasi hanya
dengan mengandalkan jabatan, kompetensi kerja, maupun kekuatan fisik. Namun
diperlukan peran pekerja dan kesadaran diri pekerja untuk berpartisipasi mencegah
terjadinya ketimpangan gender, terutama stereotip. Maka dari itu, dibentuklah komite
sosial kesetaraan gender perempuan agar dapat memberikan dorongan perubahan serta
mengatasi isu-isu tersebut.
Permasalahan setiap karyawati jika dilihat dari Standpoint Theory yang mempunyai
tiga konsep yaitu sikap, situated knowledge, serta pembagian pekerjaan berdasarkan jenis
kelamin, maka dari itu dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Sikap/Sudut Pandang
Pada konsep standpoint theory, sikap atau sudut pandang yang terbentuk dari
seseorang tergantung bagaimana lingkungan sosialnya (Cahyani & Sari, 2021).
Berbeda dengan perspektif yang dibentuk atas posisi seseorang dalam sebuah struktur
sosial, sudut pandang bukan sesuatu yang diberikan. Hal ini berarti bahwa, untuk
Peran Pembentukan Komite Sosial Kesetaraan Gender Perempuan dalam Isu Stereotip
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 7, Juli 2022 794
mencapai suatu sudut pandang tertentu, seseorang perlu untuk mengalami,
memikirkan, merefleksikan realitas, melakukan interaksi serta melakukan perjuangan
tertentu. Sudut pandang harus dicari secara aktif, bahkan seseorang yang mengalami
penindasan pun belum tentu memilikinya. Dalam dunia kerja perempuan masih
terpengaruh oleh stereotip yang timbul di lingkungan kerja. Dalam konsep ini
perempuan yang bekerja di bagian pabrik, kantor maupun lapangan masih
mendapatkan sikap bahwasanya perempuan itu tidak mampu memposisikan diri
sebagai maskulinitas, namun dituntut tetap memiliki kewajiban dan tanggungjawab
terhadap profesi dan bersifat maskulin. Perempuan dituntut untuk mampu
menjalankan dan meyeimbangkan kedua peran tersebut. Perempuan harus melepas
jiwa feminimnya ketika bekerja agar mendapatkan pengakuan bahwasanya mereka
profesional dan kompeten.
2. Situated Knowledge
Pada konsep ini diartikan sebagai suatu pengetahuan yang dimiliki dan dikuasai
oleh setiap individu yang didapatkan dari berbagai pengalaman yang pernah dilakukan
(Julianto, 2018). Adanya penempatan golongan pengetahuan dan nilai-nilai ideal
dalam hal menjadi laki-laki dan perempuan. Perempuan sejak lahir sudah memiliki
pengetahuan dan sudah dibentuk mengenai bagaimana menjadi manusia yang
feminim. Sebagaimana perempuan yang sudah mendapatkan identitas sebagai istri,
maka pencapaian menjadi perempuan yang ideal telah terpenuhi. Namun di dalam
lingkungankerja, hal tersebut justru berdampak negatif bagi perempuan. Melekatnya
feminisme terhadap perempuan, dapat mempengarui perkembangan karir. Sehingga
ketika sudah berada di lingkungan kerja tetap dilekatkan bahwa perempuan itu sebagai
sosok feminim, walaupun masih mendapatkan tekanan untuk menjadi maskulin.
3. Pembagian Pekerjaan Berdasarkan Jenis Kelamin
Sebagai perusahaan yang bergerak di bidang agro industri tidak dapat dipungkiri
bahwasanya terdapat karyawati yang bekerja di pabrik, lapangan juga kantor. Pada
konsep ini, penempatan perempuan di setiap bagian kerja punya alasan tersendiri.
Alasan utama yaitu dikarekanakan perempuan memiliki ketekunan, ketelitian dan
kesabaran. Pembagian pekerjaan berdasaran jenis kelamin ini didasari oleh
pemahaman yang sudah mengakar bahwasanya kondisi fisik perempuan tetap
dianggap lemah dibandingkan laki-laki yang lebih gagah perkasa. Namun diluar
pemahaman tersebut, pada saat ini juga muncul pemahaman bahwa perempuan
dianggap harus mampu maskulin seperti laki-laki.
Perusahaan yang peka terhadap isu ketimpangan gender ini berupaya untuk
mengatasi isu tersebut. Perusahaan memberikan kesempatan luas dan juga keadilan
kepada perempuan untuk mengembangkan karir mereka (James & Purba, 2017).
Melalui forum komite sosial kesetaraan gender perempuan upaya untuk menyetarakan
gender di lingkungan kerja yang juga masih belum sempurna. Namun hasil dari
pembentukan komite tersebut dapat dilihat dari berkurangnya isu stereotip pada
karyawati, adanya pemerataan tenaga kerja disetiap bidang dan juga bertambahnya
kesadaran pekerja mengenai gender.
Dinda Ayu Wardhani
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 7, Juli 2022 795
Kesimpulan
Permasalahan setiap karyawati jika dilihat dari Standpoint Theory yang mempunyai
tiga konsep yaitu sikap, Situated Knowledge, serta pembagian pekerjaan berdasarkan
jenis kelamin, seperti Konsep Sikap, dimana dalam dunia kerja perempuan masih
terpengaruh oleh stereotip yang timbul di lingkungan kerja. Kemudian Konsep Situated
Knowledge, dimana pada konsep ini diartikan sebagai suatu pengetahuan yang dimiliki
dan dikuasai oleh setiap individu yang didapatkan dari berbagai pengalaman yang pernah
dilakukan. Pembagian Pekerjaan Berdasarkan Jenis Kelamin, yaitu sebagai perusahaan
yang bergerak di bidang agro industri tidak dapat dipungkiri bahwasanya terdapat
karyawati yang bekerja di pabrik, lapangan juga kantor. Pembagian pekerjaan berdasaran
jenis kelamin ini didasari oleh pemahaman yang sudah mengakar bahwasanya kondisi
fisik perempuan tetap dianggap lemah dibandingkan laki-laki yang lebih gagah perkasa.
Namun diluar pemahaman tersebut, pada saat ini juga muncul pemahaman bahwa
perempuan dianggap harus mampu maskulin seperti laki-laki. Perusahaan yang peka
terhadap isu ketimpangan gender ini berupaya untuk mengatasi isu tersebut. Perusahaan
memberikan kesempatan luas dan juga keadilan kepada perempuan untuk
mengembangkan karir mereka. Melalui forum komite sosial kesetaraan gender
perempuan upaya untuk menyetarakan gender di lingkungan kerja yang juga masih belum
sempurna. Namun hasil dari pembentukan komite tersebut dapat dilihat dari
berkurangnya isu stereotip pada karyawati, adanya pemerataan tenaga kerja disetiap
bidang dan juga bertambahnya kesadaran pekerja mengenai gender.
Peran Pembentukan Komite Sosial Kesetaraan Gender Perempuan dalam Isu Stereotip
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 7, Juli 2022 796
Bibliografi
Akbar, Dinnul Alfian. (2017). Konflik peran ganda karyawan wanita dan stres kerja. An
Nisa’a, 12(1), 3348.
Cahyani, Desia Adilia Nur, & Sari, Maya Mustika Kartika. (2021). Pandangan Anggota
Korps Hmi-Wati Surabaya Tentang Perempuan Berdaya. Kajian Moral Dan
Kewarganegaraan, 9(1), 6175.
Diana, Putri, Suwena, I.Ketut, & Wijaya, Ni Made Sofia. (2017). Peran Dan
Pengembangan Industri Kreatif Dalam Mendukung Pariwisata Di Desa Mas Dan
Desa Peliatan, Ubud. Jurnal Analisis Pariwisata ISSN, 1410, 3729.
Gumilang, Galang Surya. (2016). Metode penelitian kualitatif dalam bidang bimbingan
dan konseling. Jurnal Fokus Konseling, 2(2).
James, Albertus, & Purba, Sylvia Diana. (2017). Efek moderasi dukungan organisasi dan
mediasi work-life balance pada pengaruh pengembangan karir terhadap kepuasan
kerja (Studi kasus karyawan wanita di PT Bank Central Asia, Tbk.). Jurnal
Manajemen, 14(1), 5373. DOI: https://doi.org/10.25170/jm.v14i1.797
Julianto, Pebi. (2018). Pengaruh Pengetahuan dan Keterampilan Terhadap Prestasi Kerja
Pegawai Pada Mtsn Model Sungai Penuh. Jurnal Administrasi Nusantara, 1(1), 71
90. DOI: https://doi.org/10.51279/jan.v1i1.55
Karim, Abdul. (2014). Kerangka Studi Feminisme (Model Penelitian Kualitatif tentang
Perempuan dalam Koridor Sosial Keagamaan). Fikrah, 2(1).
DOI: http://dx.doi.org/10.21043/fikrah.v2i1.550
Kesumaningsari, Ni Putu Adelia, & Simarmata, Nicholas. (2014). Konflik kerja-keluarga
dan work engagement karyawati bali pada bank di bali. Jurnal Psikologi Udayana,
105118.
Larasati, Marisa Arum, Sunarto, Sunarto, & Rahmiaji, Lintang Ratri. (2022). Esensi
Pengalaman Kesetaraan Gender Pekerja Perempuan di PT. PLN (persero) Unit
Induk Distribusi Jawa Tengah dan di Yogyakarta. Interaksi Online, 10(2), 3856.
Lolowang, Irene. (2022). Strategi Pemenangan Calon Anggota Legislatif Perempuan
pada Pemilu 2019 di Kabupaten Minahasa Selatan. Jurnal Politico, 11(1).
Marwanti, Sri, & Astuti, Ismi Dwi. (2012). Model pemberdayaan perempuan miskin
melalui pengembangan kewirausahaan keluarga menuju ekonomi kreatif di
Kabupaten Karanganyar. SEPA: Jurnal Sosial Ekonomi Pertanian Dan Agribisnis,
Dinda Ayu Wardhani
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 7, Juli 2022 797
9(1). DOI: https://doi.org/10.20961/sepa.v9i1.48814
Muhamad, Achmad, Tirta, Adhelia Nirmala, & Nabilah, Agathacia. (2021). Politisi
berprespektif gender, siapapun bisa! Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN
SUnan Ampel Surabaya.
Murtopo, Bahrun Ali. (2018). Peranan Permpuan Dalam Media Sosial. Cakrawala: Jurnal
Kajian Manajemen Pendidikan Islam Dan Studi Sosial, 2(2), 1424. DOI:
https://doi.org/10.33507/cakrawala.v2i2.51
Nugroho, Azis, Suseno, Suseno, & Prabaningrum, Dyah. (2021). The The Feminism
Perspective in the“ Si Parasit Lajang” Novel by Ayu Utami: A Feminist Standpoint
Theory Nancy CM Hartsock Studies. Jurnal Sastra Indonesia, 10(2), 133141.
Rosyidah, Feryna Nur, & Nurwati, Nunung. (2019). Gender dan Stereotipe: Konstruksi
Realitas dalam Media Sosial Instagram. Share: Social Work Journal, 9(1), 1019.
DOI : https://doi.org/10.24198/share.v9i1.19691
Suartana, I.Putu, & Dewi, IGAM. (2020). Pengaruh Stres Kerja, Beban Kerja, dan
Konflik Pekerjaan Keluarga Terhadap Kepuasan Kerja Karyawan Swiss Belinn
Hotel. Jurnal Manajemen, 9(3), 863883.
Suhada, Djilzaran Nurul. (2021). Feminisme dalam Dinamika Perjuangan Gender di
Indonesia. Indonesian Journal of Sociology, Education, and Development, 3(1),
1527. https://orcid.org/0000-0002-4049-6210
Sulistiyo, Putri Asih, Hubeis, Aida Vitayala, & Matindas, Krishnarini. (2016).
Komunikasi Gender Dan Hubungannya Dengan Kepuasan Kerja Karyawan
(Gender Communication Related Employees Job Satisfaction). Jurnal Komunikasi
Pembangunan, 14(2). DOI: https://doi.org/10.46937/14201613767
Triana, Annisya, & Krisnani, Hetty. (2018). Peran Ganda Ibu Rumah Tangga Pekerja K3l
Unpad Dalam Rangka Menunjang Perekonomian Keluarga. Prosiding Penelitian
Dan Pengabdian Kepada Masyarakat, 5(2), 188197.
DOI: https://doi.org/10.24198/jppm.v5i2.18370
Utami, Lusia Savitri Setyo. (2015). Teori-teori adaptasi antar budaya. Jurnal Komunikasi,
7(2), 180197. 10.24912/jk.v7i2.17
Yuliantini, Maghfira Fitra. (2021). Ketimpangan Gender di Layar Perak: Representasi
Perempuan di Film Terlaris Indonesia. Umbara, 6(2), 7893.
Peran Pembentukan Komite Sosial Kesetaraan Gender Perempuan dalam Isu Stereotip
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 7, Juli 2022 798
DOI: https://doi.org/10.24198/umbara.v6i2.33721