Dinda Ayu Wardhani
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 7, Juli 2022 793
“Perempuan yang kerja sebagai pemetik teh berat sekali ya. Karena beban kerja
apalagi sistem hitungannya kan perkilo setiap blok. Pastikan beda toh kita yang
perempuan sama yang laki-laki. Tenaga kan jelas beda dan hasil petiknya juga
beda, tapi hitungan gajinya tetap sama perempuan dan laki-laki. Tuntutan tenaga
ini yang sering kita ga terlalu sanggup, tenaga harus kuat kayak yang laki-laki biar
gaji bisa banyak. Tapikan kita ga bisa paksakan itu.”
Berdasarkan hasil wawancara di atas peneliti menyimpulkan bahwasanya stereotip
gender masih berlaku di pekerja lapangan yang dilakukan oleh atasan masing-masing,
yang menuntut perempuan harus bisa menjalankan peran maskulin ketika bekerja.
Dimana stereotip yang dilakukan bahwasanya perempuan ketika sudah berada di lokasi
kerja, mereka harus melepas perannya sebagai feminim karena di dalam lingkungan kerja
ini semua dituntut untuk menjadi maskulin. Adanya target produksi dari hasil pemetikan
teh tersebut membuat perbandingan upah yang cukup jauh.
Menghadapi isu tersebut, komite sosial kesetaraan gender perempuan menyatakan
sikap bahwasanya untuk diberlakukan kenaikan upah kepada setiap karyawati yang sudah
bekerja selama satu tahun, kebijakan tersebut harus dilakukan karena ketidaksesuaian
tenaga dibandingkan upah yang diterima dan pemetik teh sudah banyak yang bekerja
diatas satu tahun. Hal tersebut juga memiliki tujuan untuk mendukung kesejahteraan
karyawati yang bekerja di lapangan.
Stereotip sering kali negatif dan bisa dikemas dalam prasangka dan diskriminasi
(Rosyidah & Nurwati, 2019). Dari hasil observasi dan wawancara, banyak pernyataan
yang menyatakan bahwa perempuan tidak bisa menjadi karyawan pimpinan yang
kompeten dan hanya bisa dilakukan oleh laki-laki sehingga perempuan hanya kompeten
pada tingkatan karyawan pelaksana. Sedangkan isu stereotip gender sebelumnya terdapat
beberapa perbedaan dalam kemampuan fisik (laki-laki lebih agresif fisiknya
dibandingkan perempuan) dan waktu kerja (peran ganda perempuan sebagai ibu rumah
tangga dan perempuan karir).
Hasil penelitian yang dilakukan, ketimpangan gender dalam dunia kerja tidak
memandang jabatan dalam instansi tersebut. Ketimpangan gender tidak bisa diatasi hanya
dengan mengandalkan jabatan, kompetensi kerja, maupun kekuatan fisik. Namun
diperlukan peran pekerja dan kesadaran diri pekerja untuk berpartisipasi mencegah
terjadinya ketimpangan gender, terutama stereotip. Maka dari itu, dibentuklah komite
sosial kesetaraan gender perempuan agar dapat memberikan dorongan perubahan serta
mengatasi isu-isu tersebut.
Permasalahan setiap karyawati jika dilihat dari Standpoint Theory yang mempunyai
tiga konsep yaitu sikap, situated knowledge, serta pembagian pekerjaan berdasarkan jenis
kelamin, maka dari itu dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Sikap/Sudut Pandang
Pada konsep standpoint theory, sikap atau sudut pandang yang terbentuk dari
seseorang tergantung bagaimana lingkungan sosialnya (Cahyani & Sari, 2021).
Berbeda dengan perspektif yang dibentuk atas posisi seseorang dalam sebuah struktur
sosial, sudut pandang bukan sesuatu yang diberikan. Hal ini berarti bahwa, untuk