������������������������������������������ Jurnal
Indonesia Sosial Teknologi: p�ISSN:
2723 - 6609
e-ISSN: 2548-1398
MODEL OPTIMALISASI
PELAKSANAAN PROGRAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN DESA/KELURAHAN (P2DK) DI KABUPATEN
SAROLANGUN
Rahmat Suharto
Politeknik
STIA LAN Bandung, Jawa Barat, Indonesia
Email
: [email protected]
Abstract
Through Regional Regulation No. 5 of 2014, the Government
of Sarolangun District Government issued a policy on the Program for the
Acceleration of Rural/ Urban Development Program (P2DK), this program is
expected to improve welfare and reduce poverty with the assistance of funds
worth two hundred million rupiah for each village and village with various
economic empowerment menus which is offered. However, based on the phenomenon
of the issue problem, it shows that the poverty level of Sarolangun Regency is
still in the fifth position poorest districts in Jambi Province. The purpose of
this study was to analyze the implementation of the P2DK Program policy at the
Sarolangun District Community and Village Empowerment Service (PMD). The method
used is a qualitative method with a case study approach with a focus on
problems to find out and analyze any obstacles experienced in implementation by
using the Edward III policy implementation model that puts forward four
factors, namely: Communication, Resources, Attitudes / Dispositions, and
Bureaucratic Structure. The results of this study indicate that the
implementation of the P2DK Program in the Sarolangun District Village and
Community Empowerment Office was still encountered by several obstacles
including the lack of information received by the community, lack of resources
to assist the community during carrying out activities, the implementation of
the P2DK Program was still carried out by a single actor, not involving the
agency technically related. Suggestions from this research are to design an
institutional development model to collaborate with technical agencies to
improve communication with the community, and reward and punishment system
approaches.
Keywords:
Policy
Implementation, Program Optimization Model, Local Government Policy
Abstrak
Melalui Peraturan Daerah Nomor 5
Tahun 2014 Pemerintah Kabupaten Sarolangun menerbitkan kebijakan Program
Percepatan Pembangunan Desa/Kelurahan (P2DK), Program ini diharapkan dapat
meningkatkan kesejahteraan dan mengurangi angka kemiskinan dengan bantuan dana
senilai dua ratus juta rupiah untuk setiap desa dan kelurahan dengan berbagai
menu pemberdayaan ekonomi yang ditawarkan. Namun berdasarkan fenomena masalah
menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan Kabupaten Sarolangun masih berada pada
urutan lima besar kabupaten termiskin dalam Provinsi Jambi. Tujuan dari
penelitian ini adalah menganalisis implementasi kebijakan Program P2DK pada
Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD) Kabupaten Sarolangun. Metode yang digunakan yaitu metode kualitatif
dengan pendekatan studi kasus dengan fokus masalah untuk mengetahui dan
menganalisis hambatan apa saja yang dialami dalam pelaksanaan dengan
menggunakan model implementasi kebijakan Edward III yang mengedepankan empat
faktor, yaitu: Komunikasi, Sumber Daya, Sikap/Disposisi, dan Struktur
Birokrasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa implementasi Program P2DK di
Dinas PMD Kabupaten Sarolangun masih ditemui beberapa kendala diantaranya yaitu
masih kurangnya informasi yang diterima oleh masyarakat, kurangnya sumber daya
untuk mendampingi masyarakat selama melaksanakan kegiatan, pelaksanaan Program
P2DK masih di lakukan oleh single actor
saja, belum melibatkan dinas teknis terkait. Saran dari penelitian ini yakni
merancang model pengembangan kelembagaan untuk bekerjasama dengan dinas teknis
untuk meningkatkan komunikasi dengan masyarakat, dan pendekatan sistem reward dan punishment.
Kata kunci: Implementasi Kebijakan, Model Optimalisasi Program, Kebijakan
Pemerintah Daerah
Pendahuluan
Dalam upaya mendukung tercapainya lima visi
Indonesia Maju 2019-2024 periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo,
dimana kelima visi ini diharapkan mendorong Indonesia lebih produktif, berdaya
saing, dan fleksibilitas dalam menghadapi tantangan global yang dinamis dan
penuh resiko, diantaranya yaitu Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN)
dipastikan harus memiliki manfaat ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan
rakyat, sebagai lanjutan dari sembilan agenda strategis (NAWACITA) yang menjadi
program prioritas Presiden Republik Indonesia pada tahun 2014-2019 di dalam
poin ketiga disebutkan yaitu membangun Indonesia dari pinggiran dengan
memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.
Sebagaimana
diamanatkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa Pasal 78 ayat (1)
Pembangunan Desa bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa dan
kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui pemenuhan
kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana desa, pengembangan potensi
ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara
berkelanjutan. Pasal 81 ayat (5) Pelaksanaan program sektoral yang masuk ke
desa di informasikan kepada Pemerintah Desa untuk diintegrasikan dengan
pembangunan desa. Pasal 83 ayat (2) Pembangunan Kawasan Perdesaan dilaksanakan
dalam upaya mempercepat dan meningkatkan kualitas pelayanan, pembangunan, dan
pemberdayaan masyarakat Desa di Kawasan Perdesaan melalui pendekatan
pembangunan partisipatif.
Sejalan dengan diberlakukannya otonomi daerah sebagaimana tertuang dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang memberikan
kewenangan bagi pemerintah daerah untuk menyusun kebijakan, maka peran pejabat
publik di daerah dalam melakukan inovasi kebijakan publik akan semakin
meningkat dan memberikan dampak yang positif bagi kualitas kebijakan atau
peraturan yang akan disusun dan telah dihasilkan. Konsep otonomi yang
dimaksudkan disini adalah kewenangan daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
setempat sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Hakekat keberadaan
pemerintahan dan birokrasi itu adalah dalam rangka menjalankan tugas memberikan
pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat. Pentingnya pemberdayaan dan peran
serta masyarakat dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dituangkan dalam
dasar pertimbangan huruf b Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, yang berbunyi� Bahwa
penyelenggaraan pemerintahan daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya
kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran
serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan
prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, dan kekhasan suatu daerah dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia (Agustino, 2014).
Melalui Bidang Usaha Ekonomi Masyarakat dan Teknologi
Tepat Guna (UEM & TTG) pada Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa
(PMD), Kabupaten Sarolangun terus
mengembangkan suatu strategi inovasi kebijakan percepatan proses dan pemerataan pembangunan desa dan kelurahan sebagai ujung tombak pemerintahan. Hal tersebut
merupakan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat sekaligus peningkatan
kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Ini menjadi perhatian penting bagi
pemerintah sehingga diprioritaskan sebagai arah kebijakan pembangunan. Karena
pertumbuhan ekonomi hingga saat ini masih diyakini sebagai indikator penting
dalam menilai keberhasilan pembangunan di suatu
wilayah/daerah. Deskripsi nilai-nilai produksi dan nilai tambah sektoral
berguna pula dalam menentukan arah kebijakan
pembangunan dimasa mendatang. Peranan atau kontribusi dari masing-masing sektor dalam PDRB
dapat menentukan skala prioritas pembangunan. Tingkat pertumbuhan riil PDRB
mencerminkan keberhasilan pembangunan yang sudah dilaksanakan, sedangkan
pendapatan per kapita per tahun merupakan indikator tingkat kesejahteraan
ekonomi penduduk di suatu daerah (Sarolangun,
2018) .
Struktur perekonomian
masyarakat Kabupaten Sarolangun masih didominasi oleh kategori Pertanian,
Kehutanan, dan Perikanan. Kategori yang memberikan kontribusi terbesar
berikutnya adalah kategori Pertambangan dan Penggalian, dan kategori
Konstruksi. Sementara peranan kategori lainnya masih di bawah 10 persen. Hampir
90% masyarakat Kabupaten Sarolangun hidup dari sektor pertanian dan perkebunan
yang terdiri dari 10 Kecamatan dengan 149 Desa dan 9 Kelurahan. Artinya peran
sektor pertanian secara umum masih sangat berpengaruh besar dalam perekonomian
Kabupaten Sarolangun, dan masih perlu upaya untuk mengembangkan sektor
pertanian sebagai yang diunggulkan. potensi berikutnya diikuti sektor
pertambangan dan penggalian. Kemudian sektor perdagangan, hotel dan restoran (BPS Provinsi Jambi, 2018).
Inovasi kebijakan publik sebagai sebuah
keniscayaan secara prinsip dan substantif akan memberikan penguatan dalam
merespon dan menyelesaikan problematika di tengah masyarakat. Strategi inovasi
kebijakan Pemerintah Kabupaten Sarolangun dalam menekan angka kemiskinan sudah
ada sejak Tahun
2012, yaitu dengan menggulirkan Program Seratus Juta Satu Desa (SERJUSADE)
dengan anggaran Rp.100.000.000 (seratur juta rupiah) yang diatur dalam
Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2013 tentang Program Bantuan Seratus Juta Satu
Desa, dengan alokasi dana 70% pembangunan infrastruktur fisik dan 30% untuk
ekonomi kerakyatan.(Wahab, 2012)
����������������������������������������������������������������������
Grafik 1
������� Trend Kemiskinan di Kabupaten
Sarolangun Tahun 2010-2017
Sumber : BPS Provinsi Jambi 2018
Grafik 1 menunjukkan bahwa
inovasi kebijakan program
pengentasan kemiskinan yaitu Program SERJUSADE (Seratus Juta Satu Desa) yang
dilaksanakan pada tahun 2013 sampai dengan 2014
dengan harapan dapat menekan angka kemiskinan sampai pada tingkat yang
serendah-rendahnya dengan memaksimalkan keterlibatan
masyarakat secara langsung, namun dalam implementasinya
cenderung belum optimal dalam menurunkan angka kemiskinan secara statistik.
����������� Tahun 2014 Program Kebijakan pengentasan
kemiskinan di Kabupaten Sarolangun ditingkatkan menjadi Rp.200.000.000 (dua ratus juta rupiah) Satu
Desa/Kelurahan, dan berganti nama menjadi Program Percepatan Pembangunan Desa
dan Kelurahan (P2DK), yang diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2014
tentang Program Bantuan Percepatan Pembangunan Desa/Kelurahan, dengan alokasi
dana 60% untuk pembangunan infrastruktur fisik dan 40% untuk ekonomi
kerakyatan. Selanjutnya pada Tahun 2018 Bupati Sarolangun kembali mengevaluasi
dan mempertimbangkan Program P2DK, dengan menerbitkan Peraturan Bupati (PERBUP)
Nomor 39 Tahun 2018 tentang alokasi dana yang diperuntukkan adalah 100% pada
Bidang Ekonomi Kerakyatan.
����������� Seiring dengan
perubahan kebijakan Program SERJUSADE menjadi Program P2DK, angka Kemiskinan di Kabupaten Sarolangun terjadi penurunan pada
tahun 2016-2017. Meskipun demikian posisi Kabupaten Sarolangun di Provinsi Jambi berada pada
urutan ke 5 (lima) terbanyak atau hanya berada di atas 4 (empat) kabupaten yang
lainnya yaitu Kabupaten Batang Hari, Tanjung Jabung Barat, dan Tanjung Jabung
Timur dan Merangin. Meskipun
trend kemiskinan Kabupaten Sarolangun
terjadi penurunan angka kemiskinan, namun secara keseluruhan pada tingkat
provinsi masih berada di posisi ke 5 (lima). Untuk itu dibutuhkan upaya untuk
mengoptimalisasikan kebijakan dan
peran fasilitator, dinamisator, motivator melalui
Program P2DK untuk terus menekan angka kemiskinan.
����������� Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pelaksanaan kebijakan Program P2DK pada
Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD)
Kabupaten Sarolangun. Menganalisis
hambatan-hambatan dan upaya-upaya dalam pelaksanaan Program P2DK yang sudah
dilakukan untuk mengatasi kendala tersebut pada Dinas Pemberdayaan Masyarakat
dan Desa Kabupaten Sarolangun, serta menemukan model optimalisasi dalam
pelaksanaan kebijakan pengentasan kemiskinan dalam rangka mengoptimalisasikan
tujuan dan fungsi Program P2DK pada Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa
Kebupaten Sarolangun (PMD).
�����������
Metode Penelitian�����
Penelitian ini dilakukan pada bulan
Mei 2019 di Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa serta Desa Kertopati dan
Desa Mandiangin di Kecamatan Mandiangin kemudian Kelurahan Sungai Benteng di
Kecamatan Singkut Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi.
Berdasarkan
karakteristik permasalahan atau fenomena yang telah diuraikan dalam penelitian
ini, serta mempertimbangkan data yang ada untuk memecahkan masalah sehingga
menjadi alasan penulis memilih metode penelitian kualitatif deskriptif dengan
pendekatan studi kasus, guna berusaha mencari pemahaman makna berdasarkan
fakta� yang terjadi di Kabupaten
Sarolangun berkaitan dengan pelaksanaan Program Percepatan Pembangunan (Yusria et al., 2019).
Metode penentuan
sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah pusposive sampling dengan menentukan informan yang dapat memberikan
data dan informasi yang diperlukan dan apabila data tersebut dianggap masih
kurang maka peneliti dapat menetapkan informan lainnya dengan pertimbangan
informan tersebut akan memberikan data yang lebih lengkap. Teknik dan instrumen
pengumpulan data dengan cara wawancara mendalam (in-depth interview), Focus Group Dicussion (FGD) dan kajian
dokumentasi terhadap kondisi alamiah dari kondisi lokus dan fokus penelitian (Arifiyanto & Kurrohman,
2014). Dalam penelitian ini, dokumen yang dikaji adalah dokumen-dokumen yang
berkaitan dengan permasalahan pelaksanaan kebijakan Program Percepatan
Pembangunan Desa/Kelurahan di Kabupaten Sarolangun.
Hasil
dan Pembahasan
Kebijakan Program
Percepatan Pembangunan Desa/Kelurahan (P2DK) sebenarnya merupakan pemberian
bantuan keuangan yang diberikan oleh Pemerintah Kabupaten Sarolangun melalui
Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD) kepada jajaran pemerintah desa
atau kelurahan dengan merujuk kepada Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2014
tentang Pogram P2DK dan� Peraturan Bupati
Nomor 39 Tahun 2018 tentang petunjuk pelaksanaannya. Dana bantuan keuangan
berasal dari dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Sarolangun
yang dialokasikan kepada seluruh pemerintah desa dan kelurahan yang ada
dilingkungan Kabupaten Sarolangun.
������������ Tabel 1
Anggaran Program Pengentasan Kemiskinan dari Tahun
2013 s.d 2019
No |
Nama Program |
Tahun |
Per Desa/Kelurahan |
Total Anggaran |
1. |
SERJUSADE |
2013 |
100.000.000 |
15.800.000.000 |
2. |
SERJUSADE |
2014 |
100.000.000 |
15.800.000.000 |
3. |
P2DK |
2015 |
200.000.000 |
31.600.000.000 |
4. |
P2DK |
2016 |
200.000.000 |
31.600.000.000 |
5. |
P2DK |
2017 |
200.000.000 |
31.600.000.000 |
6. |
P2DK |
2018 |
200.000.000 |
31.600.000.000 |
7. |
P2DK |
2019 |
200.000.000 |
31.600.000.000 |
����������� Dari tabel 1 diatas diketahui bahwa sejak tahun 2013
pemerintah Kabupaten Sarolangun sudah memberikan bantuan keuangan untuk setiap
desa dan kelurahan. Alokasi dana Program P2DK untuk setiap desa/kelurahan
adalah sebesar Rp. 200.000.000 (Dua Ratus Juta Rupiah)�5% atau Rp. 10.000.000
(kebutuhan operasional) = Rp.190.000.000 untuk melaksanakan kegiatan.
����������� Jenis kegiatan program di desa lebih
diprioritaskan pada kegiatan pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan dan
kegiatan ekonomi lain yang bermanfaat/ usaha mikro kecil dan menengah,
sedangkan jenis-jenis kegiatan untuk di kelurahan lebih diprioritaskan untuk
pemberdayaan ekonomi masyarakat seperti pemberian bantuan gerobak dan tenda
dagangan dan lainnya.
����������� Berdasarkan hasil penelitian dapat
diketahui implementasi Program Percepatan Pembangunan Desa/Kelurahan di
Kabupaten Sarolangun Provinsi Jambi sudah dilakukan berdasarkan prosedur dan petunjuk yang telah
ditentukan oleh pemerintah. Namun dalam proses pelaksanaannya masih belum optimal. Masih terdapat beberapa kendala yang
menjadi penghambat proses implementasi kebijakan. Kendala tersebut merupakan
kendala yang mendasar, diantaranya mengenai SDM, Karakteristik Agen Pelaksana,
dan proses pola
komunikasi yang dilakukan oleh implementor kebijakan (Purwanto, 2012).
����������� Oleh sebab itu kendala-kendala tersebut di analisis
penyebabnya berdasarkan teori model implementasi kebijakan George C. Edwards
III. Model implementasi kebijakan ini memberikan pandangan bahwa implementasi
kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel, yakni komunikasi, sumber daya,
disposisi (sikap), dan struktur birokrasi.
Aspek
Komunikasi
����������� Komunikasi merupakan salah
satu faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan, Penyaluran komunikasi
dilakukan secara langsung dari pelaksana kebijakan (implementor) ke
kelompok sasaran yaitu masyarakat (kelompok tani) yang ada di Kabupaten Sarolangun.
����������� Hasil penelitian tentang Komunikasi
yang terjadi dalam implementasi kebijakan Program P2DK di Kabupaten Sarolangun
sebagian sudah dilaksanakan dengan baik, namun masih ditemukan kekurangan,
dikarenakan penyampaian informasi pada tingkat desa/kelurahan belum dilakukan
secara intens. Penyampaian informasi juga ada yang kurang jelas, dikarenakan
kemampuan implementor dalam menangkap dan memahami informasi yang disampaikan
juga berbeda.
����������� Berdasarkan hasil wawancara dengan
beberapa informan mengenai komunikasi menunjukkan bahwa mekanisme penyampaian
informasi maupun petunjuk pelaksanaan Kebijakan Program P2DK sudah dilaksanakan
secara konsisten serta dilakukan sesuai peraturan yang berlaku oleh Dinas PMD
terhadap Desa dan Kelurahan, serta selalu mengawasi dan mengarahkan agar proses
dalam implementasi sesuai dengan peraturan dan petunjuk pelaksanaan. Namun
berbeda dengan hasil wawancara dengan informan lainnya, yang menyebutkan :
����������� �Penyampaian
informasi tentang P2DK hanya dilakukan pada saat musrembang desa saja yakni
dilaksanakan satu kali dalam satu tahun, jadi kami tidak tahu tentang
perkembangan dan keberhasilan yang sudah dicapai oleh desa dalam melaksanakan
tugasnya� (wawancara pada tanggal 20 April 2019).
Hasil wawancara lainnya menyatakan bahwa:
����������� �Terus terang
saja, kami selaku warga desa, tidak tahu banyak mengenai Program P2DK, karena
tidak pernah mendapat sosialisasi mengenai program, apalagi mendapat
bantuannya�. (wawancara tanggal 15 April 2019).
����������� Dari beberapa kutipan wawancara diatas dapat diketahui
bahwa komunikasi yang dilakukan pada tingkat desa/kelurahan kepada masyarakat
belum dilaksanakan secara intens dan masih ada masyarakat yang belum mengetahui
adanya Program P2DK.
Aspek Sumber Daya
����������� Faktor Sumber Daya manusia
berperan penting dalam implementasi kebijakan publik. Perintah-perintah
implementasi mungkin diteruskan secara cermat, jelas dan konsisten, tetapi jika
para pelaksana kekurangan sumber-sumber yang diperlukan untuk melaksanakan
kebijakan maka implementasi cenderung tidak efektif (Nugroho, 2014).
����������� Dengan triangulasi teknik
pengumpulan data, peneliti melakukan kroscek data hasil wawancara, telaah
dokumentasi dan pengamatan di lapangan. Dari data yang di peroleh peneliti
dapat menjelaskan bahwa aspek Sumber Daya, dapat diketahui bahwa indikator staf, informasi,
wewenang, dan fasilitas : Pertama,
Staf di Bidang UEM & TTG pada seksi Usaha Ekonmi Masyarakat hanya berjumlah
2 (dua) orang staf, sehingga program dan kegiatan dalam implementasi kebijakan
tidak berjalan efektif. Staf pendamping Program P2DK juga perlu dikaji kembali
apakah harus ada penambahan atau perombakan. Kedua, pimpinan sudah menginformasikan kepada pelaksana berupa
petunjuk dan arahan untuk melaksanakan kebijakan dan bagaimana harus melakukan
Program P2DK. Desa dan Kelurahan menindaklanjuti dan memberikan informasi
kepada masyarakat (target group) agar
memahami petunjuk teknis yang sudah diinformasikan, namun informasi diberikan
tidak diberikan kepada masyarakat luas dan kurangnya asas transparansi dan
akuntabilitas terhadap masyarakat. Ketiga,
Kepala Dinas sudah memberikan mandat kepada pihak ketiga (pendamping Program
P2DK) untuk mengawasi pelaksanaan implementasi Kebijakan di Kabupaten
Sarolangun. Namun pelaksanaannya terkendala beberapa faktor, yaitu luas wilayah
tidak sebanding dengan jumlah pendamping yang ada sehingga pelaksanaan wewenang
tidak berjalan dengan efektif. Keempat,
bahwa fasilitas fisik berupa alat tulis kantor, kendaraan operasioanl dinas
untuk melakukan koordinasi dirasa belum memadai.
Aspek
Disposisi
����������� Menurut (Wahab Ahmad, 2010) mengemukakan
�kecenderungan-kecenderungan atau disposisi merupakan salah-satu faktor yang
mempunyai konsekuensi penting bagi implementasi kebijakan yang efektif�. Jika
para pelaksana mempunyai kecenderungan atau sikap positif atau adanya dukungan
terhadap implementasi kebijakan maka terdapat kemungkinan yang besar
implementasi kebijakan akan terlaksana sesuai dengan keputusan awal. Demikian
sebaliknya, jika para pelaksana bersikap negatif atau menolak terhadap
implementasi kebijakan karena konflik kepentingan maka implementasi kebijakan
akan menghadapi kendala yang serius.
����������� Dengan triangulasi teknik
pengumpulan data, peneliti melakukan kroscek data hasil wawancara, telaah
dokumentasi dan pengamatan di lapangan, untuk itu dapat dijelaskan bahwa aspek
Disposisi, diketahui bahwa: Pertama,
Pengangkatan Birokrat sudah cukup baik dan dedikasi dari pelaksana
kebijakan sudah cukup baik dari segi administratif namun perlu dilakukan
evaluasi agar penyelenggaran Program P2DK menjadi lebih optimal. Kedua, pelaksanaan implementasi
kebijakan Program P2DK sangat direspon dan didukung oleh pelaksana. Namun dalam
implementasi belum ditunjang dengan reward
dan punishment terhadap pelaksana
kebijakan sehingga tidak ada dorongan untuk melakukan inovasi yang berdampak
pada kesuksesan Program P2DK di Kabupaten Sarolangun.
Aspek
Struktur Birokrasi
������ Kemudian aspek selanjutnya yang menjadi tolak ukur
keberhasilan implementasi kebijakan Program P2DK yaitu memerlukan dukungan
Birokrasi yang merupakan salah satu institusi yang secara keseluruhan menjadi
pelaksana kegiatan. organisasi. Kebijakan yang begitu kompleks perlu adanya
kerjasama dengan banyak orang. Ketika struktur birokrasi tidak kondusif maka
akan menghambat implementasi kebijakan.
����������� Berdasarkan hasil wawancara terkait
dengan struktur birokrasi dapat kita ketahui bahwa: Pertama, Standart Operating Procedure (SOP) sudah tersedia di Dinas
PMD Sarolangun, untuk pelaksanaan Kebijakan yang selama ini dilaksanakan juga
mengacu pada Peraturan Daerah Nomor 39 Tahun 2018 tentang petunjuk teknis
pelaksanaan. Kedua, Fragmentasi atau
penyebaran tanggung jawab berupa koordinasi dengan organisasi perangkat daerah
terkait melalui program P2DK juga belum dilaksanakan secara berkelanjutan dan
tersruktur karena fragmentasi belum berjalan dengan baik, sehingga pelaksaan
kebijakan menjadi belum optimal.
Kesimpulan
����������� Berdasarkan pembahasan hasil penelitian penulis
berusaha mempresentasikan mengenai Implementasi Program Percepatan Pembangunan
Desa/Kelurahan di Kabupaten Sarolangun, dengan mengemukakan kesimpulan bahwa
kinerja pelaksanaan Program P2DK masih belum optimal dalam mengurangi angka
kemiskinan yang disebabkan oleh beberapa aspek implementasi kebijakan, diantaranya
yaitu :
����������� Dengan menggunakan 4 faktor analisis menurut teori model implementasi
Edward III diantaranya : (a). Faktor Komunikasi dalam lingkup internal Dinas
PMD sudah berjalan dengan baik. Namun komunikasi eksternal antara Dinas PMD
dengan Stakeholder lain dan kelompok masyarakat intensitasnya
masih rendah. Sehingga diperlukan upaya lain dalam meningkatkan intensitas
sosialisasi. (b). Faktor Sumber Daya pada Dinas PMD masih
sangat terbatas, jumlah staf yang ada di Bidang UEM & TTG dalam melaksanakan
monitoring masih kurang, serta kompetensi berdasarkan kualifikasi pendidikan
pada pelaksana dan pendamping program juga kurang memadai. Sehingga diperlukan
upaya lain dalam mengontrol dan mendampingi masyarakat dalam melaksanakan
kegiatan program. (c). Faktor Disposisi, sikap dari para pelaksana adalah
mendukung pelaksanaan kebijakan program P2DK, hanya saja sejauh ini para
implementor program menganggap bahwa Program P2DK tidak ada bedanya dengan
proyek-proyek pengentasan kemiskinan terdahulu yang sekedar memberikan bantuan
dana saja, sehingga diperlukan upaya untuk meningkatkan insentif pelaksana
dengan adanya sistem reward dan punishment yang diberikan oleh
Dinas PMD bagi para pelaksananya. (d). Selanjutnya Struktur Birokrasi pada
pelaksanaan Program P2DK di Kabupaten Sarolangun masih dilaksanakan oleh single
actor saja hal ini disebabkan rendahnya koordinasi antar organisasi, sehingga
diperlukan upaya untuk menyatukan stakeholder dalam unit khusus
kelembagaan untuk menangani kegiatan teknis dalam pelaksanaan Program P2DK.
����������� Memberikan reward dan punishment untuk
Kepala Desa dan Lurah berupa tambahan dan pengurangan anggaran bagi yang
dinilai berhasil dan tidak berhasil dalam melaksanakan program (d) Memperbaiki
sistem kelembagaan pelaksanaan Program Percepatan Pembangunan Desa dan
kelurahan (P2DK).
Bibliografi
Agustino, L. (2014). Dasar-dasar kebijakan publik (VI). Bandung:
Alfabeta.
Arifiyanto, D. F., & Kurrohman, T. (2014). Akuntabilitas
pengelolaan alokasi dana desa di Kabupaten Jember. Jurnal Riset Akuntansi
Dan Keuangan, 2(3), 473�485.
BPS Provinsi Jambi. (2018). BPS Provinsi Jambi.
Nugroho, R. (2014). Kebijakan publik di negara-negara
berkembang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Purwanto, E. A. (2012). Implementasi Kebijakan Publik
Konsep dan Aplikasinya di Indonesia (Issue 1). 2012.
Sarolangun, R. K. (2018). RPJMD Kabupaten Sarolangun.
Wahab Ahmad. (2010). Politik Hukum Pidana Dalam Perspektif
Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia. UMI.
Wahab, S. A. (2012). Analisis kebijakan: dari formulasi ke penyusunan
model-model implementasi kebijakan publik. Jakarta: Bumi Aksara, 77.
Yusria, K., Komariah, K., & Kadarisman, A. (2019).
TRANSFORMASI IDENTITAS ANGGOTA GERAKAN PEMUDA HIJRAH (Studi Fenomenologi
tentang Perubahan Pola Komunikasi dan Citra Diri Anggota Gerakan Pemuda
Hijrah). JRK (Jurnal Riset Komunikasi), 9(1).