DOI : 10.36418/jist.v3i5.422 574
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi
p–ISSN: 2723-6609; e-ISSN: 2745-5254
Vol. 3, No. 4 Mei 2022
KEDUDUKAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM SISTEM HUKUM
KETATANEGARAAN INDONESIA
Felicia
Universitas Tarumanegara
Abstract
In the Indonesian constitutional law system, it is known as the Constitutional Court, which is a high state
institution which is the holder of judicial power together with the Supreme Court. It can be said there are
two actors of judicial power, namely the Constitutional Court and the Supreme Court. The problem in this
article is what is the position and authority of the Constitutional Court in the Indonesian constitutional law
system. The Constitutional Court here has an equal and high position with the Supreme Court, which means
that no one has a position below it. The authority of the Constituional Court is regulated in Article 24C
paragraph (1) of the 1945 Constitution, among others, to decide on the dissolution of political parties, to
give a decision on the opinion of the House of Representatives that the President and Vice President
because they have violated the law in the form of bribery, betrayal of the state, commit corruption, other
serious crimes or disgraceful acts, examine laws against the 1945 Constitution, decide disputes regarding
election results, and decide on disputes over the authority of state institutions whose authority is granted
by the 1945 Constitution.
Keywords: Constitutional Court, Judicial Power, State Institution
Abstrak
Dalam sistem hukum tata negara Indonesia dikenal dengan nama Mahkamah Konstitusi yang merupakan
lembaga tinggi negara yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah
Agung. Dapat dikatakan ada dua pelaku kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah
Agung. Permasalahan dalam artikel ini adalah bagaimana kedudukan dan kewenangan Mahkamah
Konstitusi dalam sistem hukum tata negara Indonesia. Mahkamah Konstitusi di sini mempunyai kedudukan
yang sama dan tinggi dengan Mahkamah Agung, artinya tidak ada seorangpun yang mempunyai kedudukan
di bawahnya. Kewenangan Mahkamah Konstitusi diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 antara lain
memutus pembubaran partai politik, memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan
Wakil Presiden karena telah melakukan pelanggaran hukum berupa penyuapan, pengkhianatan negara,
korupsi, kejahatan berat atau perbuatan tercela lainnya, memeriksa undang-undang terhadap UUD 1945,
memutus perselisihan hasil pemilu, dan memutus perselisihan kewenangan lembaga negara. yang
kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.
Kata Kunci : Mahkamah Konstitusi, Kekuasaan Kehakiman, Lembaga Negara
Pendahuluan
Mahkamah Konstitusi adalah lembaga kekuasaan kehakiman selain Mahkamah
Agung yang khusus menangani peradilan ketatanegaraan atau peradilan politik
berdasarkan ketentuan UUD Negara Republik Indonesia 1945 (Subiyanto, 2016). Secara
teoretis untuk menguji apakah suatu produk hukum bertentangan atau tidak dengan
konstitusi diperlukan sebuah peradilan khusus yang terpisah dari lembaga legislatif yang
mempunyai wewenang untuk membuat undang-undang yang diberi wewenang untuk
Kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Hukum Ketatanegaraan Indonesia
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 5, Mei 2022 575
tidak memberlakukan produk hukum yang dinyatakan tidak konstitusional. Lembaga
yang dimaksud adalah Mahkamah Konstitusi (Qamar, 2012).
Selain itu, sejalan dengan adanya ide untuk memisahkan pemerintahan menjadi 3
bagian atau diterapkannya trias politica di berbagai negara, kekuasaan negara dibagi
menjadi kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif, dan masing-
masing kekuasaan tersebut dijalankan oleh lembaga negara yang berbeda. Dengan
berkembangnya kelembagaan negara yang semakin kompleks maka berpotensi
munculnya konflik atau sengketa antarlembaga negara. Untuk mengatasi hal ini
diperlukan sebuah lembaga untuk menyelesaikannya. Dalam hal tersebut diperlukan
adanya Mahkamah Konstitusi (Suherman, 2019).
Mahkamah Konstitusi dibentuk untuk menjamin agar konstitusi sebagai hukum
tertinggi dapat ditegakkan sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi
bisa disebut sebagai the guardian of the constitution, keberadaan MK dimaksud sebagai
penjaga kemurnian konstitusi (Sirait, Naibaho, Simamora, & Simatupang, 2020).
Maksudnya adalah gagasan pembentukan Mahkamah Konstitusi untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Mengadili tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final dalam hal menguji Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar 1945, dan kewenangan lain yang dimilikinya (Imelda &
Wijaya, 2021).
Mahkamah Konstitusi ini diatur dalam pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945
pasal III aturan peralihan UndangUndang Dasar 1945 memerintahkan dibentuknya
Mahkamah Konstitusi. Setelah melalui pembahasan yang mendalam, Dewan perwakilan
rakyat dan pemerintah menyetujui secara bersama pembentukan Undang-Undang No. 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada tanggal 13 Agustus 2003. Seluruh
kewenangan yang ada pada Mahkamah Konstitusi pada prinsipnya untuk menegakan
keadilan dan hukum konstitusional, yang dijamin dan dilindungi oleh Undang-Undang
Dasar 1945. Mahkamah Konstitusi berada di garda terdepan atas potensi pelanggaran
hak-hak yang paling mendasar dari setiap warga masyarakat. Organ ini juga bertindak
sebagai peradilan hasil pemilihan umum (election court) dan forum alternative bagi
minoritas pencari keadilan (ACHMAD, 2018).
Pada Perubahan Ketiga UUD 1945 yang dilakukan pada 2001 bunyi ketentuan
Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang semula berbunyi “Kedaulatan berada di tangan rakyat,
dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat” diubah menjadi
“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.
Dengan demikian sejak saat itu Indonesia tidak lagi menganut prinsip supremasi
parlemen melainkan menganut prinsip supremasi konstitusi (Siringoringo, 2019).
Selain itu dengan dianutnya prinsip supremasi konstitusi maka semua tindakan
yang dilakukan oleh para penyelenggara negara dan semua warga negara harus berdasar
dan tidak boleh bertentangan dengan konstitusi. Untuk menjaga kesesuaian suatu produk
hukum dengan produk hukum di atasnya dan UUD NRI Tahun 1945, serta untuk
menyelesaikan konflik di antara lembaga negara pada tahun 2013 dibentuk Mahkamah
Kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Hukum Ketatanegaraan Indonesia
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 5, Mei 2022 576
Konstitusi yang keberadaannya sangat diperlukan dalam rangka mewujudkan sistem
pemisahan kekuasaan (Darmadi, 2020).
Metode Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis
normatif, karena masalah yang akan dikaji berkaitan dengan histori terbentuknya serta
dasar filosofis, hukum, sosiologis status dan kewenangan MK di dalam sistem hukum tata
negara Indonesia. Norma penelitian ini adalah analisis deskriptif, karena diharapkan dapat
memberikan deskripsi secara detail, sistematis, dan komprehensif tentang objek yang
diteliti, yaitu korelasinya dengan kedudukan dan kewenangan Mahkamah Konstitusi
(Rahmat, 2018). Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu
data yang diperoleh dari bahan pustaka. Data yang diperoleh dalam penelitian ini
selanjutnya akan dilakukan analisis kualitatif, yaitu pengumpulan sistematis dari data
yang didapatkan, dan kemudian dilanjutkan dengan analisis kualitatif terhadap 9 Leonard
W. Levy, 2005, Judicial Review, Birth History, Authority, and Its Function in a Negara
Demokratik, Nuansa, Bandung, hlm. 98. 674 Jurnal Hukum Vol.XXVI, No.2 Agustus
2011 memperjelas kedudukan dan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam sistem
hukum tata negara Indonesia (Nadhita, 2020).
Hasil dan Pembahasan
A. Pembentukan Mahkamah Konstitusi
Gagasan tentang perlunya sebuah lembaga yang diberi wewenang untuk melakukan
judicial review telah muncul dalam sidang-sidang BPUPKI yang bertugas menyiapkan
konstitusi bagi Indonesia yang akan diproklamasikan kemerdekaannya. Pada saat itu
Moh. Yamin yang merupakan salah satu anggota BPUPKI dua kali mengusulkan
perlunya Balai Agung diberi kewenangan untuk membanding undang-undang (yaitu
dalam pidato dalam Rapat Besar atau Sidang Pleno BPUPKI tanggal 11 Juli 1945, dan
dalam Rapat Besar atau Sidang Pleno BPUPKI tanggal 15 Juli 1945). Namun gagasan
tersebut ditolak oleh anggota BPUPKI yang lain, yaitu Soepomo yang berpendapat bahwa
konstitusi yang sedang disusun itu tidak dapat menganut paham trias politika, kondisi
pada saat itu belum banyak sarjana hukum, dan belum memiliki pengalaman judicial
review (Aziz, 2016).
Pada masa berlakunya Konstitusi RIS 1949, undang-undang yang diterbitkan oleh
pemerintah federal tidak dapat diganggu gugat. Hal itu dapat diketahui dari ketentuan
Pasal 130 ayat (2) Konstitusi RIS 1949 yang menyatakan, “Undang-undang federal tidak
dapat diganggu gugat” (ROWIYAN, 2018).
Mahkamah Agung disini diberi kewenangan untuk melakukan judicial review atau
menguji materi undang-undang terhadap konstitusi hanya untuk undang-undang yang
diterbitkan oleh negara bagian. Hal tersebut ditentukan dalam Pasal 156 Pasal 158
Konstitusi RIS 1949 (Wicaksono, 2019).
Ketentuan Pasal 156 ayat (1) Konstitusi RIS 1949 menyatakan Jika Mahkamah
Agung atau pengadilan-pengadilan lain yang mengadili dalam perkara perdata atau dalam
Kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Hukum Ketatanegaraan Indonesia
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 5, Mei 2022 577
perkara hukuman perdata, beranggapan bahwa suatu ketentuan dalam peraturan
ketatanegaraan atau undang-undang suatu daerah bagian berlawanan dengan Konstitusi
ini, maka dalam keputusan kehakiman itu juga, ketentuan itu dinyatakan dengan tegas tak
menurut Konstitusi.”
Ketika Indonesia kembali menjadi negara kesatuan, judicial review tidak diatur
dalam UUDS 1950 karena undang-undang dipandang sebagai pelaksaan kedaulatan
rakyat yang dijalankan oleh pemerintah bersama dengan DPR. Hal itu dapat diketahui
dari ketentuan Pasal 95 ayat (2) UUDS 1950 yang menyatakan, “Undang-undang tidak
dapat diganggu gugat.”
Pada masa pemerintah orde Lama, gagasan untuk menghidupkan kembali judicial
review menguat (Ilyasa, Raashad, & Simatupang, 2020). Ketika Orde Baru mulai
berkuasa, pada tahun 1966-1967 Panitia Ad Hoc II MPRS merekomendasikan
diberikannya hak menguji materiil undang-undang kepada MA. Rekomendasi tersebut
ditolak oleh pemerintah yang berpendapat bahwa hanya MPR yang dapat bertindak
sebagai pengawal konstitusi (Saddang, 2018).
Hal tersebut dibuktikan dengan Ketetapan MPRS No. XIX/MPRS/1966 tentang
Peninjauan Kembali Produk-produk Legislatif Negara di Luar Produk MPRS yang Tidak
Sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 jo. Ketetapan MPRS No.
XXXIX/MPRS/1968 tentang Pelaksanaan Ketetapan MPRS No. XIX/MPRS/1966, yang
memberi MPRS kewenangan untuk melakukan peninjauan kembali atas produk legislatif
terutama yang berbentuk Penetapan Presiden (Penpres) dan Peraturan Presiden (Perpres).
Kemudian terbit Undang-Undang No. 25 Tahun 1968 tentang Pernyataan Tidak
Berlakunya Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden, dan Undang-Undang
No. 5 Tahun 1969 tentang Penetapan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan
Presiden Menjadi Undang-Undang.
Pada saat pembahasan RUU Kekuasaan Kehakiman yang kemudian menjadi
Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman, Ikatan Hakim
Indonesia mengusulkan agar kepada MA diberi kewenangan untuk menguji undang-
undang terhadap undang-undang dasar. Usul tersebut tidak disetujui oleh DPR karena
tidak diatur dalam undang-undang dasar. Dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang No.
14 Tahun 1970 yang menyatakan bahwa “MA berwenang untuk menyatakan tidak sah
semua peraturan perundang-undangan dari tingkat yang lebih rendah dari undang-undang
atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,” dapat
diketahui bahwa kepada MA diberi kewenangan judicial review secara terbatas, yaitu
kewenangan untuk melakukan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang terhadap undang-undang. Namun dari ketentuan ayat (2) dapat kita
ketahui bahwa kewenangan MA untuk melakukan judicial review hanya dapat
dilaksanakan dalam pemeriksaan perkara di tingkat kasasi.
Selanjutnya kewenangan MA untuk melakukan judicial review atas peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang tersebut juga
diatur dalam:
Kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Hukum Ketatanegaraan Indonesia
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 5, Mei 2022 578
1. Pasal 11 ayat (4) Ketetapan MPR No. VI/MPR/1973 tentang kedudukan dan
Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau Antar Lembaga-
Lembaga Tinggi Negara;
2. Pasal 11 ayat (4) Ketetapan MPR No. III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan
Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau Antar Lembaga-
Lembaga Tinggi Negara;
3. Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung;
4. Pasal 5 ayat (2) Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata
Urutan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia;
5. Pasal 24A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945;
6. Pasal 11 ayat (2) huruf b Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman;
7. Pasal 20 ayat (2) huruf b Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman dan;
8. Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.15 Tahun
2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Pada pertengahan tahun 1992, Ali Said yang saat itu menjabat sebagai Ketua MA
berpendapat bahwa “Pemberian hak uji kepada MA adalah hal yang proporsional karena
MA merupakan salah satu pilar demokrasi. Dengan demikian apabila dua pilar demokrasi
yang lain yaitu Presiden dan DPR bertugas membuat dan menetapkan undang-undang
maka MA bertugas mengujinya.
Sebelum terbentuknya Mahkamah Konstitusi (MK), lembaga yang mempunyai
wewenang untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar adalah MPR.
Hal ini diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber
Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesa yang
menyatakan, “Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.”
Selain itu, sesuai dengan ketentuan ayat (2) yang menyatakan, “Mahkamah Agung
berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang,” MA
diberi kewenangan untuk melakukan judicial review atas peraturan perundang-undangan
di bawah undang-undang terhadap undang-undang.
Setelah melalui perdebatan yang panjang akhirnya peradilan konstitusi diadopsi
dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dengan pembentukan MK saat disahkannya Pasal
24 ayat (2) dan Pasla 24C ayat (1)-(6) UUD NRI Tahun 1945, yang menjadi bagian dari
Perubahan Ketiga UUD 1945 pada Sidang Tahunan MPR 2001 tanggal 9 November
2001. Selain kedua pasal tersebut, ketentuan mengenai MK yang merupakan bagian dari
Perubahan Ketiga UUD 1945 tersebut juga terdapat dalam Pasal7B ayat (1)-(5). Pada
Perubahan Keempat UUD 1945 ditambahkan Pasal III Aturan Peralihan yang
memerintahkan, “Mahkamah Konstitusi dibentuk selambat-lambatnya pada 17 Agustus
Kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Hukum Ketatanegaraan Indonesia
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 5, Mei 2022 579
2003 dan sebelum dibentuk segala kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung”
(Jabir, 2016).
Pada tanggal 13 Agustus 2003 disahkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi (LN RI Tahun 2003 Nomor 98 dan TLN RI Nomor 4316).
Kesembilan hakim konstitusi ditetapkan pada tanggal 15 Agustus 2003 dengan Keppres
Nomor 147/M Tahun 2003, dan pada hari Sabtu, 16 Agustus 2003 mengucapkan sumpah
jabatan di Istana Negara di hadapan Presiden Megawati. Pada Senin, 18 Agustus 2003
kesembilan hakim konstitusi mulai bekerja. Selanjutnya saat pengesahan Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 yaitu tanggal 13 Agustus ditetapkan sebagai hari lahir
MK. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tersebut kemudian diubah dengan Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi atau disebut UU MK.
Hakim konstitusi berjumlah sembilan orang dan ditetapkan oleh presiden dengan
keputusan presiden. Kesembilan hakim tersebut diajukan oleh DPR, presiden, dan MA
masing-masing tiga orang, Ketua dan Wakil Ketua MK dipilih dari dan oleh hakim
konstitusi, untuk masa jabatan dua setengah tahun. Hakim Konstitusi adalah pejabat
negara, dengan masa jabatan lima tahun.
Pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan penegasan prinsip negara hukum
dan jaminan terhadap Hak Asasi Manusia sebagaimana ditagaskan dalam UUD 1945.
Pembentukan Mahkamah Konstitusi juga merupakan perwujudan dari konsep checks and
balances dalam sistem ketetenegaraan Indonesia. Selain itu, pembentukan Mahkamah
Konstitusi dimaksud sebagai sarana penyelenggaraan beberapa masalah ketatanegaraan
yang sebelumnya tidak diatur sehingga menimbulkan ketidakpastian.
B. Kedudukan dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Hukum
Ketatanegaraan Indonesia
Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa : “Kekuasaan kehakiman
dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada
dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi” (Busthami, 2017). Dengan demikian kedudukan Mahkamah Konstitusi
adalah sebagai pelaku kekusaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Agung.
Mahkamah Konstitusi memiliki kedudukan yang sangat strategis karena Mahkamah
Konstitusi memiliki kewenangan yang berkaitan langsung dengan para pihak baik
pemegang kekuasaan maupun pihak yang berusaha mendapatkan kekusaan tersebut.
Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaksana kekuasaaan kehakiman yang
merdeka dan mandiri untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan
keadilan, maka Mahkamah Konstitusi terikat pula pada prinsip-prinsip umum
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bebas dari pengaruh
kekuasaan lembaga lainnya dalam menegakan hukum dan keadilan. Dalam melaksanakan
wewenangnya, Mahkamah Konstitusi menganut prinsip “checks and balances” yang
menempatkan semua lembaga negara dalam kedudukan setara sehingga terdapat
Kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Hukum Ketatanegaraan Indonesia
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 5, Mei 2022 580
keseimbangan dalam penyelenggaraan negara dan memberi kesempatan untuk dapat
saling mengoreksi kinerja antar lembaga negara (Wahyudiono & Husna, 2020).
Keberadaan Mahkamah Konstitusi merupakan fenomena baru dalam dunia
ketatanegaraan. Sebagian besar negara demokrasi yang sudah mapan tidak mengenal
lembaga Mahkamah Konstitusi yang berdiri sendiri (Faqih, 2016). Sampai sekarang baru
ada 78 negara, termasuk Indonesia yang membentuk Mahkamah Konstitusi secara
tersendiri. Berdasarkan uraian tersebut, dapat digarisbawahi bahwa setelah perubahan
ketiga UUD 1945 disahkan, kekuasaan kehakiman yang sebelumnya dijalankan oleh
Mahkamah Agung ditambah dengan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi ini
setingkat atau sederajat dengan Mahkamah Agung dalam ketatanegaraan Indonesia.
Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga peradilan tata negara yang
kewenangannya diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, dan Pasal 10 UU
MK. Mahkamah Konstitusi mempunyai empat kewenangan konstitusional yaitu menguji
undang-undang terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, memutus pembubaran
partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Mahkamah
Konstitusi juga mempunyai satu kewajiban konstitusional yaitu memberikan putusan atas
pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan/ atau wakil presiden
sebagaimana diatur dalam Pasal 7B UUD NRI Tahun 1945.
Selain itu, sebelum badan peradilan khusus yang berwenang memeriksa dann
memutus perkara perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah dibentuk, MK
mempunyai kewenangan untuk memeriksa dan memutus perkara perselisihan hasil
pemilihan umum kepala daerah. Hal tersebut diatur dalam Pasal 157 ayat (1) Undang-
Undang No.1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota
Menjadi Undang-Undang, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 8
Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 1 Tahun 2015 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Dalam
perjalanannya terjadi perkembangan lagi mengenai kewenangan MK, yaitu MK diberi
kewenangan untuk melakukan pengujian atas peraturan pemerintah pengganti undang-
undang (perppu) terhadap undang-undang dasar. Kewenangan ini dinyatakan dalam
Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009.
Dalam menguji undang-undang, rancangan undang-undang yang telah disetujui
oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk menjadi undang-undang, tidak lagi
bersifat final tetapi dapat diuji material (judicial riview) dan uji formil (prosedural) oleh
Mahkamah Konstitusi atas permintaan pihak tertentu. Yang terdapat dalam pasal 24C
ayat (1) UUD 1945 perubahan ketiga (Sitompul, 2018). Kewenangan menguji undang-
undang dikenal ada dua macam, yaitu Pengujian Formal (Formele Toetsingsrecht) dan
Pengujian Materil (Materiele Toetsingsrecht). Pengujian formal adalah wewenang untuk
menilai apakah suatu produk legislatif dibuat sesuai dengan prosedur atau tidak, serta
apakah suatu kekuasaan berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Sedangkan
Kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Hukum Ketatanegaraan Indonesia
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 5, Mei 2022 581
pengujian materil adalah wewenang untuk menyelidiki dan menilai apakah suatu
peraturan perundang- undangan bertentangan atau tidak dengan peraturan yang lebih
tinggi.
Pengujian undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi sesuai amanat UUD 1945
memberikan prospek yang baik pada penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di
Indonesia. Artinya, pengujian UU sebagai upaya mengidentifikasi, menyelidiki lebih
komprehensif dan kemudian menilai secara objektif, akan menghindarkan atau mencegah
UU menyalahi atau menyimpang dari UUD.
Dengan ketentuan-ketentuan baru yang mengatur kekuasaan membentuk undang-
undang diatas, maka yang perlu digaris bawahi disini adalah suatu kenyataan bahwa
pengesahan rancangan undang-undang menjadi undang-undang bukan merupakan
sesuatu yang telah final. Undang-undang tersebut masih dapat dipersoalkan oleh
masyarakat yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan jika undang-undang itu jadi
dilaksanakan, atau oleh segolongan masyarakat dinilai bahwa UU itu bertentangan
dengan norma hukum yang ada diatasnya, misalnya melanggar pasal-pasal UUD 1945.
Permohonan uji materil UU terhadap UUD 1945 yang dimohonkan oleh beberapa pihak
kepada Mahkamah Konstitusi tersebut menguatkan asumsi bahwa masyarakat makin
keritis dan menyadari materi muatan berbagai UU dalam kehidupan bernegara yang
bertolak belakang dengan UUD 1945.
Dengan adanya pembatasan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
UUD 1945, maka lembaga negara yang dapat untuk berperkara di Mahkamah Konstitusi
mengenai kewenangannya adalah lemabag negara yang secara jelas disebutkan dalam
UUD 1945. Lembaga negara yang dimaksud antara lain MPR, Presiden, DPR, DPD,
BPK, Komisi Yudisial, serta Pemerintahan Daerah Provinsi dan Kabupaten (Upik, 2021).
Dalam perkara sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara merupakan
perkara yang pemohonnya adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
UUD 1945 yang mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang
dipersengketakan. Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya
tentang kepentingan langsung pemohon dan menguraikan kewenangannya yang
dipersengketakan serta menyebutkan dengan jelas lembaga negara yang menjadi
termohon.
Terhadap permohonannya itu, hakim Mahkamah Konstitusi dapat mengeluarkan
penetapan sela sebelum permohonan diperiksa berupa penetapan yang memerintahkan
pemohon dan/atau termohon untuk mengentikan sementara pelaksanaan wewenang yang
dipersengketakan sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi. Jika putusan hakim
konstitusi menyatakan bahwa lembaga negara tersebut tidak mempunyai wewenang
untuk melaksanakan kewenangan yang dipersengketakan, lembaga negara tersebut wajib
melaksanakan putusan tersebut dalam jangka waktu tujuh hari kerja sejak putusan
diterima. Jika putusan itu tidak dilaksanakan, maka pelaksanaan wewenang yang
dilakukan oleh lembaga negara itu dinyatakan batal demi hukum karena sudah dibatalkan
oleh hakim konstitusi.
Kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Hukum Ketatanegaraan Indonesia
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 5, Mei 2022 582
Berdasarkan pasal 3 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 12 tahun 2008
tentang Prosedur Beracara Dalam Pembubaran Partai Politik, dinyatakan bahwa pemohon
adalah pemerintah yang dapat diwakili oleh jaksa agung dan/atau menteri yang ditugasi
oleh presiden. Pengajuan untuk pembubaran partai politik apabila partai politik tersebut
dalam menjalankan kegiatannya sudah bertentangan dengan UUD 1945 dan kebijakan-
kebijakan yang diambil oleh partai politik berlawanan dengan apa yang diatur oleh
konstitusi ataupun partai politik tersebut melakukan kegiatan-kegiatan terlarang.
Pengajuan untuk pembubaran partai politik apabila partai politik tersebut dalam
menjalankan kegiatannya sudah bertentangan dengan UUD 1945 dan kebijakan-
kebijakan yang diambil oleh partai politik berlawanan dengan apa yang diatur oleh
konstitusi ataupun partai politik tersebut melakukan kegiatan-kegiatan terlarang.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam bidang pemilu ini diatur lebih lanjut
dalam Undang-Undang No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam Pasal
74 Undang-Undang No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, ada tiga subjek
hukum yang dapat mengajukan permohonan terhadap hasil pemilu, yaitu perorangan
warga negara Indonesia calon anggota DPD peserta pemilu, pasangan calon Presiden dan
Wakil Presiden peserta pemilu, dan partai politik peserta pemilu.
Objek permohonan adalah penetapan hasil pemilu yang dilakukan secara nasional
oleh KPU atas terpilihnya calon anggota DPD, penentuan pasangan calon yang masuk
pada putaran kedua pemilihan presiden dan wakil presiden, dan terpilihnya calon presiden
dan wakil presiden, serta perolehan kursi partai politik di suatu daerah pemilihan.
Permohonan itu diajukan paling lambat 3 kali 24 jam sejak KPU menetapkan hasil pemilu
secara nasional. Permohonan yang diterima oleh hakim mahkamah konstitusi wajib
diputus paling lambat 14 hari kerja sejak permohonan dicatat dalam buku registrasi
perkara. Jika tidak beralasan, hakim konstitusi menyatakan menolak permohonan itu. Jika
permohonan dikabulkan, putusan hakim konstitusi harus menetapkan sendiri hasil
perhitungan suara yang benar. Artinya, hakim konstitusi menentukan komposisi
penghitungan suara hasil pemilu dengan memperhatikan fakta dan alat bukti serta
keyakinan hakim yang di dasarkan pada alat bukti.
Selain memiliki tugas-tugas pokok yang sudah dijelaskan sebelumnya. Mahkamah
konstitusi juga memiliki satu kewajiban, yaitu disebutkan dalam Pasal 24C ayat (2) UUD
1945 menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat
DPR mengenai dugaan pelanggaran hukum oleh presiden dan/atau wakil presiden
menurut UUD. Ketentuan Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 tersebut terkait dengan ketentuan
tentang pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden sebagaimana diatur dalam Pasal
7A dan Pasal 7B UUD 1945.
Adanya ketentuan tentang pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam
masa jabatannya dalam UUD 1945 pasca perubahan tersebut memunculkan istilah baru
dalam bidang hukum tata negara, yaitu Impeachment dan pemakzulan. Pemakzulan
merupakan proses pemberhentian seorang penjabat publik dalam masa jabatannya, atau
sebelum masa jabatan tersebut berakhir atau disebut dengan istilah removal from office.
Dalam proses pemakzulan tersebut terdapat mekanisme Impeachment, yaitu pendakwaan
Kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Hukum Ketatanegaraan Indonesia
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 5, Mei 2022 583
atas suatu perbuatan tertentu yang dapat menjadi alasan pemberhentian. Impeachment
adalah prosedur dimana seorang penjabat publik yang dipilih, didakwa melakukan
pelanggaran hukum.
Maka untuk memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden, Majelis
Permusyawaratan Rakyat tidak bisa lagi bertindak sendiri seperti yang pernah terjadi
dalam kasus pemberhentian Presiden Soekarno tahun 1967 dan Presiden Adurrahman
Wahid tahun 2001, tetapi harus melibatkan lembaga baru yang bernama Mahkamah
Konstitusi. Mahkamah Konstitusi inilah yang akan menentukan apakah presiden dan/atau
wakil presiden benar-benar telah melanggar hukum atau tidak. Mahkamah konstitusi
mempunyai Sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh presiden,
yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan
Perwakilan Rakyat dan tiga orang oleh Presiden.
Berdasarkan Pasal 7A dan 7B UUD 1945 dapat diketahui bahwa proses
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden melalui tiga tahapan, yaitu tahapan di
DPR, tahapan di MK, dan tahapan di MPR. Tahapan pertama adalah tahapan pengusulan
yang dilakukan oleh DPR sebagai salah satu pelaksanaan fungsi pengawasan DPR.
Apabila DPR dalam pelaksanaan fungsi pengawasan yang dimiliki berpendapat bahwa
presiden dan/atau wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum dan tidak lagi
memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden maka DPR dapat mengajukan
usul pemberhentian.pendapat tentang pelanggaran hukum atau kondisi presiden dan/atau
wakil presiden tidak lagi memenuhi syarat tersebut harus diputus dalam sidang paripurna
yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 anggota DPR dan disetujui 2/3 dari anggota
DPR yang hadir.
Tahap kedua adalah tahap di MK. Apabila pendapat DPR tentang pelanggaran
hukum atau kondisi tidak memenuhi syarat presiden dan/atau wakil presiden telah
disetujui sesuai dengan persyaratan diatas, DPR selanjutnya mengajukan pendapat
tersebut kepada MK yang akan memeriksa, mengadili dan memutus dengan seadil-
adilnya dalam waktu 90 (Sembilan puluh) hari. MK dalam hal ini dapat memutuskan
pendapat DPR terbukti atau tidak.
Apabila MK memutuskan bahwa pendapat DPR terbukti, DPR menyelenggarakan
sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden
kepada MPR. Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk
memutuskan usul DPR tersebut paling lambat 30 hari sejak MPR menerima usul tersebut.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan kedudukan Mahkamah
Konstitusi kini sejajar dengan Mahkamah Agung. Ada empat kewenangan dan satu
kewajiban konstitusional bagi Mahkamah Konstitusi. Yang telah diatur dalam UUD 1945
amandemen ketiga, yaitu terdapat pada pasal 24C ayat (1) mengatur mengenai
kewenangan MK yaitu menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-
undang dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang
Kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Hukum Ketatanegaraan Indonesia
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 5, Mei 2022 584
hasil pemilihan umum dan pada pasal 24C ayat (2) mengatur mengenai kewajiban MK
yaitu memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh
presiden dan/ atau wakil presiden. Pengadilan yang dilakukan oleh mahkamah konstitusi
merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final.
Artinya, tidak ada upaya hukum lain atas putusan MK, seperti yang terjadi pada
pengadilan lain. Wewenang MK juga dipertegas didalam pasal 1 ayat (3) UU No. 24
tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Saran yang dapat diberikan adalah sebagai penjaga konstitusi dan demokrasi
sebagaimana diamanatkan konstitusi, Mahkamah Konstitusi harus mengutamakan
kepentingan bangsa dan negara, harus objek, dan tidak memihak atau bersikap adil.
Bibliografi
ACHMAD, RAFLI FADILAH. (2018). Urgensi Batas Waktu Penyelesaian Pengujian Undang-
Undang Terhadap Undang-Undang Dasar 1945 Di Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia.
Aziz, Machmud. (2016). Pengujian peraturan perundang-undangan dalam sistem peraturan
perundang-undangan Indonesia. Jurnal Konstitusi, 7(5), 113150.
Busthami, Dachran. (2017). Kekuasaan Kehakiman dalam Perspektif Negara Hukum di
Indonesia. Masalah-Masalah Hukum, 46(4), 336342.
Darmadi, Nanang Sri. (2020). Kedudukan dan Wewenang Mahkamah Konstitusi dalam Sistem
Hukum Ketatanegaraan Indonesia. Jurnal Hukum, 28(2), 10881108.
Faqih, Mariyadi. (2016). Nilai-nilai Filosofi Putusan Mahkamah Konstitusi yang Final dan
Mengikat. Jurnal Konstitusi, 7(3), 97118.
Ilyasa, Raden Muhammad Arvy, Raashad, Farrel Rivishah, & Simatupang, Jonasmer. (2020).
Urgensi Rekonstruksi Pembentukan Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi. Khatulistiwa Law
Review, 1(2), 148162.
Imelda, Yesi, & Wijaya, Sandy. (2021). Analisis Kewenangan dan Putusan Mahkamah Konstitusi
dalam Amandemen Ketiga Undang-undang Dasar 1945 dalam Perspektif Siyasah. Medina-
Te: Jurnal Studi Islam, 17(1), 5272.
Jabir, Sudirman. (2016). Pelaksanaan Wewenang Mahkamah Konstitusi Dalam Menguji Undang-
Undang Yang Diundangkan Sesesudah Amandemen Uud 1945. AKMEN Jurnal Ilmiah,
13(3).
Nadhita, Siti Muthia. (2020). Peranan Association Of Southeast Asian Nation (Asean) Dalam
Penyelesaian Sengketa Internasional Antara Cambodia Dengan Thailand Dalam Kasus
Sengketa Perbatasan Wilayah Candi Preah Vihear. FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS
PASUNDAN.
Qamar, Nurul. (2012). Kewenangan Judicial Review Mahkamah Konstitusi. Jurnal Konstitusi,
1(1), 115.
Rahmat, Riardo. (2018). Koversi Hak Atas Tanah Ulayat Kaum menjadi Hak Milik Melalui
Program Pendaftaran Tanah Sistimatis Lengkap Di Kota Solok. Universitas Andalas.
ROWIYAN, IBNU HAZAIRIN. (2018). Parlemen Indonesia Dalam Perspektif Historis (Kajian
Terhadap Undang-Undang Dasar 1945, Konstitusi Republik Indonesia Serikat Dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945).
Saddang, Husain. (2018). Tugas dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Menegakkan
Konstitusi. Institut Agama Islam Negeri Palopo.
Sirait, Theresa Yolanda, Naibaho, Bintang M. E., Simamora, Janpatar, & Simatupang, Leonardo
Kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Hukum Ketatanegaraan Indonesia
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 5, Mei 2022 585
David. (2020). Inkonsistensi Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Keberadaan Komisi
Pemberantasan Korupsi Sebagai Lembaga Negara Independen. Nommensen Journal of
Legal Opinion, 1(1), 126.
Siringoringo, Poltak. (2019). Kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat Menurut Undang-
Undang Nomor 2 tahun 2018 Tentang MPR, DPR, DPRD, Dan DPD. To-Ra, 5(1), 1118.
Sitompul, Sofyan. (2018). Hak Uji Materiil (Menurut Amandeman UUD 1945 dan Perbandingan
MA di Amerika Serikat). Jurnal Legislasi Indonesia, 1(3), 714.
Subiyanto, Achmad Edi. (2016). Mendesain Kewenangan kekuasaan kehakiman setelah
Perubahan UUD 1945. Jurnal Konstitusi, 9(4), 661680.
Suherman, Andi. (2019). Implementasi Independensi Hakim dalam Pelaksanaan Kekuasaan
Kehakiman. SIGn Jurnal Hukum, 1(1), 4251.
Upik, Taufikkurrahman. (2021). Status Pekerjaan Sebagai Pegawai Negeri Sipil yang Menjadi
Penyebab Perceraian dalam Perkawinan. Syakhsia: Jurnal Hukum Perdata Islam, 22(1), 25
54.
Wahyudiono, Tri, & Husna, Asmaul. (2020). Mahkamah Konstitusi Sebagai Peradilan Politik Di
Indonesia. Islamic Law: Jurnal Siyasah, 5(2), 4355.
Wicaksono, Heri. (2019). Pra Peradilan Tersangka Yang Ditetapkan Dalam Daftar Pencarian
Orang Berkaitan Dengan Sema Nomor 1 Tahun 2018. Jurnal Hukum Bisnis Bonum
Commune, 2(1), 8796.