Analisis Pendapatan Asli Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2016-2020
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 4, April 2022 478 478
Pendahuluan
Secara lebih spesifik, unsur pendapatan (Mochtar, 2019) dan belanja daerah dapat
ditunjukkan dengan menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
(Hasiara, 2013). Kenyataannya, banyak pemerintah daerah yang masih mengandalkan
bantuan keuangan pusat sebagai sumber pendapatan mereka (Agunggunanto et al.,
2016). Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia (Nasional, 2015). Pada
tahun 2018 memiliki 17.504 pulau yang tersebar di 34 Provinsi dan Kabupaten (BPS,
2018). Melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dalam rangka pemerataan
pembangunan (Supusepa, 2020) dan peningkatan perekonomian pemerintah
menetapkan kebijakan otonomi daerah (Suara Merdeka, 2020). Berdasarkan tujuan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum (Enggarani, 2016) dan
daya saing daerah. Kebijakan tersebut juga memberi peluang pemerataan dengan asas
keadilan dan perimbangan (Laurens et al., 2017). Menciptakan kemandirian dalam
pembangunan dan maksimalisasi pendapatan daerah (Mahardika & Artini, 2011).
Persoalan otonomi daerah masih menjadi perdebatan baik itu di kalangan
cendekiawan (akademisi), politisi, birokrasi (Santoso, 2009) dan bahkan di kalangan
awam pun ikut andil membicarakan bahwa otonomi daerah adalah hal yang sulit untuk
direalisasikan. Hal tersebut dikarenakan Indonesia adalah negara yang berbentuk
kesatuan (Azhari & Negoro, 2019), dengan luas wilayah yang sangat luas, serta terbagi
dalam bentuk pulau-pulau sehingga potensial terjadi kesenjangan (Nasruddin et al.,
2013). Lebih dari itu, luasnya pulau di Indonesia menyebabkan pengawasan (Wijayanti
et al., 2021) dan program pembangunan daerah akan sulit untuk dilaksanakan dengan
merata dan adil (Mau, 2015), serta kurang terlibatnya pemerintah daerah dalam
pembangunan (Hardianti, 2017) sehingga menjadikan terjadinya ketimpangan
pembangunan di masing-masing daerah/wilayah (Kadarwati et al., 2015). Aspek lain
seperti perbedaan etnis, budaya yang menjadi hambatan tersendiri.
Persoalan otonomi bukan persoalan hukum dan pemerintah saja, akan tetapi
menyangkut juga aspek sosial, politik, budaya, ekonomi, hankam dan lain sebagainya.
Sehingga membutuhkan kajian secara multi atau interdisipliner. Selain itu otonomi
adalah juga merupakan suatu konsep yang dinamis, senantiasa mengalami
perkembangan sejalan dengan perkembangan pemikiran yang tumbuh dan berkembang
dalam masyarakat yang bersangkutan. Salah satu faktor pendukung yang secara
signifikan menentukan keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah adalah kemampuan
daerah untuk membiayai pelaksanaan kekuasaan atau kewenangan yang dimilikinya, di
samping faktor-faktor lain seperti kemampuan personalia di daerah dan kelembagaan
pemerintah daerah (Riduansyah, 2003).
Persoalan otonomi daerah menimbulkan masalah tersendiri bagi daerah mengenai
kemampuan masing-masing daerah untuk melaksanakan desentralisasi fiskal. Untuk
daerah yang sudah siap melaksanakan desentralisasi fiskal akan berhasil dalam
meningkatkan pendapatan daerahnya, namun bagi daerah yang belum siap mengelola
atau melaksanakannya maka akan semakin tergantung pada pemerintah pusat. Hal
tersebut karena hampir sebagian besar daerah, dana alokasi umum menjadi penyangga
utama pembiayaan APBD yang sebagian besar terserap untuk belanja pegawai sehingga
untuk belanja proyek-proyek pembangunan menjadi kecil (Adrai, 2009). Pendapatan
asli daerah salah satunya berupa pajak daerah, diharapkan menjadi salah satu sumber
pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan mampu melaksanakan otonomi, yaitu
mampu mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (Alwi et al., 2017).