
Strategi Manajemen Sekolah di Taman Kanak-Kanak Melalui Kapital Sosial 
 
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 3, Maret 2022               439 
social group, such as interpersonal relationships, shared identity, shared understanding, norms, 
values,  trust,  cooperation  and  a  sense  of  belonging.  These  factors  are  categorized  as  social 
capital that supports management and administration in schools.. 
 
Keywords: Strategy; School Management; Social Capital 
 
Pendahuluan  
Perkembangan Pendidikan Anak Usia Dini di Indonesia tidak terlepas dari sejarah 
awal mulanya  kehadiran PAUD di Indonesia (Syifauzakia, Ariyanto, & Aslina, 2021). 
Sejarah PAUD di Indonesia dimulai sejak zaman penjajahan yang dibagi menjadi dua (2) 
periode  (Kosim,  2007),  yaitu  masa  pendudukan  Belanda  (1908  –  1941)  dan  masa 
pendudukan Jepang (1942 -1945). 
Pada masa pendudukan Belanda, kindergarten atau juga disebut Frobel School yang 
didirikan oleh Friedrich Wilhelm August Frobel merupakan cikal bakal lahirnya lembaga 
PAUD di Indonesia. Awal mulanya lembaga TK di Indonesia hanya diperuntukan bagi 
anak-anak  mereka  (Daulay,  2019)  dan  segelintir  anak  pribumi  keturunan  ningrat  dan 
bergelar bangsawan (Atikurrahman et al., 2021).  
Kurikulum yang digunakan diadopsi dari sistem pendikan prasekolah di Belanda 
(Palahuddin,  2018).  Kurikulum  tersebut  sangat  dipengaruhi  oleh  Frobel  yang 
menekankan  pada  aktivitas  bermain  (Susanto,  2021)  dan  kegiatan-kegiatan  yang 
menyenangkan  lainnya  sebagai  media  belajar  anak  (Adnyana  &  Suyanto,  2013). 
Pendidikan tersebut didirikan dengan tujuan agar anak dapat melakukan adat baru yang 
baik (Taubah, 2015); anak-anak pandai membaca, menulis dan berbahasa Belanda dan 
dengan persiapan tersebut anak dapat masuk ke sekolah belanda (Wardani, 2019). 
Pada masa itu, bangsa Indonesia belum menganggap penting pendidikan usia dini 
(Nadar, 2018). Hal tersebut berubah pada saat kebangkitan Nasional yang di awali dengan 
Pergerakan Pemuda Budi Utomo pada 28 Mei 1908. Lahirnya kesadaran akan pentingnya 
pendidikan anak ini ditandai  dengan  berdirinya Bustanul Athfal pada tahun  1919  oleh 
persatuan wanita Aisyiyah di Yogyakarta (Nasution, Nahar, & Sinaga, 2019). Pada tahun 
1922, Ki Hajar Dewantoro, sepulang dari pengasingannya di Belanda selama dua tahun 
(1913 – 1915)  mendirikan  Taman Lare  atau taman anak Kindertuin yang  berkembang 
dengan Taman Indria (Siswanto, 2012). 
Kemudian pada  zaman  pendudukan Jepang di  Indonesia, Frodel School  berubah 
menjadi Taman Kanak-Kanak. Pada masa ini kegiatan belajar mengajar terus berlanjut 
namun tidak terlalu diperhatikan oleh pihak Jepang (Basri, 2015), oleh sebab itu sebagian 
lembaga  TK  keberadaan  berkurang.  Pemerintah  Jepang  hanya  melengkapi  kegiatan 
belajar mengajar di kelas dengan nyanyian dan permainan khas Jepang.  
Setelah  kemerdekaan  Indonesia  diraih,  perkembangan  lembaga  PAUD  semakin 
berkembang  di  Indonesia  (Ardana,  Edy,  Widana,  &  Wibawa,  2019).  Pendidikan  TK 
dimaksudkan untuk memelihara tumbuhnya kebudayaan bangsa yang merdeka, terutama 
melalui sistem pendidikan dan pengajaran. Seiring dengan perkembangan Taman Indria, 
berkembang  pula  Taman  Kanak-kanak  (TK)  yang  merupakan  adaptasi  dari  konsep 
Kindergarten dan Taman Indria (Saudah, 2015). Perkembangan TK jauh lebih pesat dari 
pada Taman Indria (Masruroh, 2018). Dalam perjalanannya, lahir pula Raudhatul Athfal 
atau  RA  yang  merupakan  penyelenggaraan  program  pendidikan  bagi  anak  usia  dini 
dengan  kekhasan  agama  Islam.  Baik  Taman  Indria,  Taman  Kanak-kanak,  maupun 
Raudhatul Athfal, sasarannya baru mencakup anak di atas usia 4 tahun sampai memasuki 
pendidikan dasar. Dengan demikian anak usia 0-4 tahun belum terlayani program PAUD 
dalam bentuk apapun.