404
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi:p–ISSN: 2723 - 6609
e-ISSN :2745-5254
Vol. 3, No., 3 Maret 2022
SIGNIFIKANSI DAN IMPLEMENTASI BERPIKIR KRITIS DALAM
PROYEKSI DUNIA PENDIDIKAN ABAD 21 PADA TINGKAT SEKOLAH
DASAR
Amar Halim
MIN 19 Biruen Nangroe Aceh Darussalam, Indonesia
Abstrak
Berpikir kritis adalah salah satu dari empat keterampilan lain yang paling dibutuhkan dalam
pendidikan abad ke-21. Berpikir kritis adalah keterampilan yang sulit untuk dikuasai, sehingga
dibutuhkan banyak usaha untuk memahami teori dan latihan tambahan untuk menguasai
tekniknya. Berpikir kritis dapat menjadi akar dari sebagian besar kompetensi yang paling
dibutuhkan untuk menyongsong perkembangan dan perubahan di abad 21. Melatih generasi untuk
mampu berpikir kritis sejak jenjang pendidikan yang lebih rendah akan memberikan mereka
kesempatan untuk mengadopsi kebiasaan ini menjadi satu pondasi yang kuat di masa depan.
Kemampuan berpikir kritis akan membawa satu individu menjadi lebih peka terhadap perubahan
serta lebih adaptif dan lebih mampu untuk melahirkan gagasan-gagasan yang brilian dalam
pusaran laju ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui kendala apa saja yang di hadapi oleh siswa usia sekolah dasar atau madrasah
ibtidaiyah dalam memahami konsep berfikir kritis dalam memecahkan suatu permasalahan ketika
mereka sedang belajar atau berada di lingkungan bermasyarakat. Metode penelitian yang
digunakan yaitu kualitatif, metode ini di gunakan untuk menyelidiki, menjelaskan,
menggambarkan menemukan kualitas atau suatu keistimewaan dari pengaruh sosial yang tidak
dapat diukur dengan angka. Metode ini untuk meneliti objek yang alamiah bukan melalui
percobaan atau eksperimen. Memahami urgensinya, membiasakan pelaksanaannya dan
mengarahkan orientasinya, akan menjadikan praktik berpikir kritis di Sekolah Dasar sebagai
modal besar bagi generasi Indonesia. Peran signifikan berpikir kritis dalam mempersiapkan satu
generasi modern yang mampu menjadi penentu arah perubahan dan laju ilmu pengetahuan juga
teknologi, adalah sesuatu yang harus direspon oleh dunia pendidikan sejak dari jenjang yang
paling rendah, yaitu Sekolah Dasar.
Kata kunci: Berpikir Kritis; Dunia Pendidikan; Abad 21; Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Abstract
Critical thinking is one of the four other skills most needed in 21st century education. Critical
thinking is a difficult skill to master, so it takes a lot of effort to understand the theory and
additional practice to master the technique. Critical thinking can be at the root of most of the
competencies that are most needed to support development and change in the 21st century.
Training generations to be able to think critically from a lower level of education will provide the
opportunity to adopt this into a strong foundation in the future. The ability to think critically will
bring an individual to be more sensitive to change and more adaptive and better able to give birth
to brilliant ideas in the vortex of the increasingly rapid pace of science and technology. This study
aims to find out what obstacles are faced by elementary school age students or madrasah
ibtidaiyah in understanding the concept of critical thinking in solving a problem when they are
studying or in a social environment. The research method used is qualitative, this method is used
Signifikansi dan Implementasi Berpikir Kritis dalam Proyeksi Dunia Pendidikan Abad
21 Pada Tingkat Sekolah Dasar
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 3, Maret 2022 405
to describe, describe the quality, or a feature of social influence that cannot be measured by
numbers. This method is to examine objects that are not through experiments or experiments.
Understanding the urgency, starting its implementation and directing it, will make the practice of
critical thinking in elementary schools a big capital for the Indonesian generation. The significant
role of critical thinking in preparing a modern generation that is able to determine the direction
of change and the pace of science and technology is something that the world of education must
respond to from the lowest level, namely elementary school.
Keywords: Critical Thinking; World of Education, 21st Century; Science and Technology
Pendahuluan
Dunia pendidikan modern, konsep dan pola pendidikan dengan cara konvensional
dinilai sudah tidak lagi cukup. Tantangan zaman dengan laju aktivitas teknologi saat ini,
sudah tidak dapat lagi diimbangi dengan cara belajar dan konsep pendidikan yang kaku
dan linier. Pendidikan abad modern dengan segala hal ihwal yang menyangkut di
dalamnya membutuhkan satu sistem pendidikan yang lebih inovatif, kreatif dan mampu
berjalan selaras dengan perkembangan zaman. Kemudian tujuan inilah, para praktisi
pendidikan baik dari tingkat yang paling rendah sampai tingkat yang paling tinggi harus
mampu beradaptasi dengan perubahan (Winaryati, 2018).
Perubahan yang paling signifikan untuk disikapi dalam dunia pendidikan adalah
mengenai penetrasi laju ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri. Dunia modern
dimana manusia hidup saat ini, telah mengalami perubahan orientasi yang besar dan
mendasar. Pada prinsipnya, pendidikan abad 21 menuntut cara pandang baru yang
mendefinisikan perubahan sebagai sebuah kekayaan dengan Sumber Daya Manusia
(SDM) sebagai modal pembangunan sekaligus juga sebagai produsen dan pelakunya
(Ennis, 1962).
Paradigma dunia pendidikan semacam ini tentu saja bertolak belakang dengan cara
pandang pendidikan konvensional sebelumnya. Fokus pendidikan konvensional
menitikberatkan pada kesiapan Sumber Daya Manusia untuk mengolah kekayaan alam
yang didefinisikan sebagai modal dan manusia sebagai beban dan pasar semata. Manusia
dalam cara pandang konsep pembangunan dan pendidikan konvensional sebelumnya,
bahkan lebih jauh dipandang sebagai beban. Alih-alih sebagai sumber daya (Toenlioe,
2014).
Abad 21 dengan semua perubahan yang sudah sangat jauh, tidak memberi tempat
lagi bagi pemikiran yang hanya menitikberatkan sumber daya alam sebagai titik pusat
modal (Puspitawati, 2012). Dengan masifnya perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, modal utama tidak lagi pada benda-benda mineral dan kekayaan alam. Akan
tetapi, titik pusat perubahan dimana semua spektrum pembangunan itu akan beralih
adalah kepada manusianya sendiri. Manusia sendirilah yang akan menjadi poros
perubahan dan pembangunan di masa depan.
Tantangan terbesar dalam dunia pendidikan abad 21 adalah kemampuan sistem
pendidikan untuk menyiapkan generasi yang dibekali kecakapan menghadapi perubahan
yang berlangsung cepat, masif dan kontinu (Dewantara, 2021). Akan ada banyak profesi
Amar Halim
406 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 3, Maret 2022
yang sama sekali baru, lahir setiap tahunnya. Sebaliknya pula, akan sangat banyak profesi
yang sebelumnya sangat familiar untuk dilakukan oleh masyarakat, kemudian menjadi
hilang karena proses perubahan. Ambil contoh sederhana bagaimana profesi tukang pos
hilang karena kehadiran email, atau pada contoh yang lebih aktual bagaimana sebuah
drone menggusur tiga profesi sekaligus dalam peliputan berita dari udara; pilot, reporter
dan juru kamera. Bagaimana pun juga cara memandangnya, ini adalah bentuk realistis
dari bagaimana perubahan zaman begitu jauh mempengaruhi kehidupan di dalamnya.
Unsur yang paling penting dari tatanan pendidikan adalah mempersiapkan satu generasi
yang siap dengan semua perubahan ini, termasuk dalam mempersiapkan kompetensi yang
mereka miliki (Henry, 2013).
Tuntutan kompetensi pendidikan abad 21 meliputi berbagai bidang seperti
kemampuan untuk berpikir kritis, kemampuan untuk problem solving, kemampuan untuk
berinovasi dan berkreativitas, kemampuan untuk membangun komunikasi, kemampuan
untuk membangun kerja sama serta kemampuan untuk memahami, mengoperasikan dan
mendayagunakan teknologi secara sempurna (Marlina & Jayanti, 2019). Guna mencapai
semua kompetensi ini, tentu saja dunia pendidikan memikul tugas yang tidak mudah.
Mempersiapkan sebuah generasi yang siap menghadapi perubahan adalah sebuah proses
panjang yang tidak dapat dibebankan hanya pada satu strata pendidikan semata, ini adalah
sebuah rangkaian proses yang harus dimulai sejak Sekolah Dasar hingga Perguruan
Tinggi (Herlambang, 2021).
Menariknya dalam pendidikan di Indonesia, ada banyak gap atau kesenjangan
yang justru membangun jarak antara sasaran kompetensi yang diinginkan dengan hasil
yang diperoleh. Pola pendidikan konvensional yang masih menitikberatkan pada
keseragaman, kesamaan ciri fisik dan keharusan untuk melakukan sesuatu tanpa analisis
yang komprehensif, telah ikut andil membentuk generasi yang pasif dan tidak kreatif.
Ketiadaan dorongan dari pola pendidikan untuk menstimulasi peserta didik supaya
berpikir kritis telah melahirkan sebuah generasi ‘pengikut’ yang hanya lebih banyak
berdiri dalam garis antrian, alih-alih tampil di depan kemudian menjadi inventor untuk
memecahkan kebuntuan atau menghentikan alur unproductivity yang ada di
sekelilingnya.
Kompetensi-kompetensi dalam dunia pendidikan abad 21 yang harus
diprioritaskan pencapaiannya oleh dunia pendidikan saat ini, dapat dikatakan bersumber
pada satu kompetensi utama yang paling dominan yaitu berpikiri kritis atau critical
thinking. Berpikir kritis adalah kompetensi utama dan dapat dianalogikan sebagai induk
dari kompetensi-kompetensi lainnya. Dengan berpikir kritis seorang siswa dapat
menemukan celah kelemahan satu obyek lalu berusaha untuk memperbaikinya, yang
artinya pada konsep ini ia telah mengadopsi kompetensi kreativitas, problem solving dan
inovasi sekaligus. Dengan berpikir kritis dalam analisa logika yang tepat, seorang siswa
juga dapat membangun komunikasi yang terarah dan terukur, mampu menciptakan
partnership baik dalam tim mau pun antar kelompok, serta juga mampu mengikuti
kemajuan dan perubahan teknologi yang semakin jauh mengubah arah dan prioritas
manusia. Sekali lagi dapat disimpulkan sementara bahwa critical thinking adalah sebuah
Signifikansi dan Implementasi Berpikir Kritis dalam Proyeksi Dunia Pendidikan Abad
21 Pada Tingkat Sekolah Dasar
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 3, Maret 2022 405
mother of competence dari semua kompetensi yang menjadi tujuan utama dalam
pendidikan abad 21. Setelah menyepakati bahwa berpikir kritis dan aspek-aspek
kompetensi ini adalah hal yang sangat penting untuk menjadi orientasi pendidikan abad
21, hal yang tidak kalah pentingnya adalah menyepakati pula bahwa proses untuk
mempersiapkan pendidikan yang mampu mencapai kompetensi ini tidak dapat dilakukan
hanya dalam satu jenjang saja, melainkan semuanya. Melatih kompetensi berpikir kritis
tidak dapat hanya dilakukan pada jenjang pendidikan perguruan tinggi saja, tetapi juga
pada jenjang-jenjang pendidikan dibawahnya yakni dari SMA hingga SD. Bibit-bibit
stimulasi untuk berpikir kritis sudah harus disemai sejak usia Sekolah Dasar atau
Madrasah Ibtida’iyah, bahkan kesuksesan untuk meletakkan pondasi berpikir kritis pada
jenjang ini adalah modal besar bagi pendidik untuk mengembangkannya menjadi sebuah
inovasi, kreasi dan problem solving pada jenjang yang lebih tinggi di atasnya. (Putri,
2019)
Pendidikan Sekolah Dasar bagaimana pun juga harus dipersiapkan dengan sangat
seksama untuk menyambut tantangan-tantangan abad 21 ini. Satu sistem pendidikan yang
baik harus mampu mengakomodasi tuntutan perubahan yang kemudian dapat
diselaraskan dengan kondisi peserta didik dan potensi yang mereka miliki. Mutu
pendidikan yang semakin meningkat dan relevan dengan perkembangan zaman
dibutuhkan untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang cerdas, kompetitif, damai,
terbuka dan demokratis (Maksum, 2016)
.
Menariknya, langkah awal dari semua tujuan
besar ini dapat dimulai dari satu bagian yang sederhana saja yaitu dengan
mengimplementasikan konsep berpikir kritis bahkan sejak usia jenjang pendidikan
Sekolah Dasar (Bahari, 2018).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kendala apa saja yang di hadapi oleh
siswa usia sekolah dasar atau madrasah ibtidaiyah dalam memahami konsep berfikir kritis
dalam memecahkan suatu permasalahan ketika mereka sedang belajar atau berada di
lingkungan bermasyarakat. Manfaat penelitian yaitu dapat diketahui kendala dan solusi
dari permasalahan dalam belajar dan bersosialisasi di lingkungan. Menurut American
Philosophical Association, pemikir kritis yang ideal adalah orang yang ingin tahu tentang
alam, berpikiran terbuka, fleksibel, tidak memihak, ingin mendapat informasi, memahami
sudut pandang yang berbeda, dan tidak mudah dinilai dan dihakimi. Pertimbangkan
pendapat orang lain (Zubaidah, 2010).
Metode Penelitian
Penelitian yang digunakan yaitu kualitatif, metode ini di gunakan untuk
menyelidiki, menjelaskan, menggambarkan menemukan kualitas atau suatu
keistimewaan dari pengaruh sosial yang tidak dapat diukur dengan angka. Metode ini
untuk meneliti objek yang alamiah bukan memalui percobaan atau eksperimen. Lokasi
penelitian ini di lakukan di MIN 19 Bireuen, waktu penelitian yang di butuhkan selama
dua bulan yaitu dari bulan januari tahun 2022 sampai dengan bulan Febuari tahun 2022.
Tahapan penelitian yaitu melakukan pengumpulan data dari berbagai sumber
literasi yang berhubungan dengan konsep berfikir kritis abad 21 dalam dunia pendidikan,
melakukan identifikasi masalah, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di madrasah
407
Amar Halim
408 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 3, Maret 2022
MIN 19 masih banyak siswa belum terbiasa atau memiliki sifat berfikir kritis dalam
menyikapi sebuah persoalan dalam pembelajaran yang dulakukan oleh pendidik,
melakukan hipotesis, mengemukakan pertanyaan atau membuat narasi tentang apa yang
menyebabkan para siswa di MIN 19 Bireuen belum memiliki sikap kritis dalam
pembelajaran yang diikuti dan pengumpulan data, untuk mengumpulkan data dalam
penelitian ini dilakukan pedekatan dengan pengajar atau guru di madrasah.
Hasil dan Pembahasan
Pengertian Berpikir Kritis
Berpikir kritis berdasarkan pengertian sederhana adalah sebuah cara mengelola
informasi dengan tidak menerima atau menolaknya secara langsung namun dengan
menginterogasinya terlebih dahulu melalui serangkaian pertimbangan, kalkukasi,
pengujian, dan verifikasi (Ofianto & Ningsih, 2021). Berpikir kritis dalam konteks yang
lebih luas, adalah cara yang efektif untuk merangsang imajinasi, inovasi dan kreativitas
manusia untuk dapat melampaui apa yang telah ada baik dalam konsep pemahaman,
maupun dalam konsep implementasinya sendiri.
Menurut (Wheary & Ennis, 1995) berpikir kritis adalah berpikir secara beralasan
dan reflektif dengan menekankan pada pembuatan tentang apa yang harus dipercayai atau
dilakukan
4
. Robert Eniss melanjutkan bahwa berpikir kritis digunakan pada proses
berpikir untuk menganalisis pendapat serta memberikan ide dari masing-masing arti dan
interpretasi, yang dimaksudkan sebagai pengembangan penalaran logis guna memahami
letak asumsi dan bias dalam setiap posisi
5
. Pengertian yang cukup menarik dari aktivitas
berpikir kritis juga dapat dilihat dari definisi yang disampaikan oleh Rasiman dan
Kartinah (Irdayanti, 2018) bahwa berpikir kritis dapat dipandang sebagai kemampuan
berpikir siswa untuk membandingkan dua atau lebih informasi, misalkan antara informasi
yang diterima dengan informasi yang dimiliki (Masmuji, 2021).
Pengertian apa pun yang digunakan untuk memaknai proses atau aktivitas berpikir
kritis akan selalu menghadapkan pelakunya untuk mendayagunakan akal pikirannya
untuk melakukan analisis mendalam dengan cara membandingkan, memperhitungkan
manfaat dan mudharat, menguji relevansinya dengan kenyataan dan berbagai tindakan
praktis lainnya. Berpikir kritis dalam pengertian ini akan membawa orang yang
mengaplikasikannya untuk bertindak secara lebih hati-hati dan lebih terencana ketika
mendapatkan satu informasi yang menuntut respon dari dirinya (OKTAVIANI, 2021).
Berdasarkan konteks yang sempurna, berpikir kritis bukan hanya domain yang
dimonopoli oleh orang dewasa. Dengan tingkat implementasi yang berbeda, usia dewasa
dan anak-anak pun dapat menerapkan pola berpikir mendalam semacam ini. Hanya saja
dalam praktiknya, dunia berpikir anak-anak, remaja dan orang dewasa akan memiliki
perbedaan yang signifikan baik dalam segi interpretasinya mau pun penalarannya. Akan
tetapi dasar dari semua ini adalah sama yakni; mengalokasikan pikiran mereka untuk
memgambil lebih banyak waktu guna menganalisa satu informasi dengan lebih teliti,
lebih detail dan lebih menyeluruh.
Proyeksi Pendidikan Abad 21
Tantangan besar dunia pendidikan abad 21 adalah menyiapkan generasi yang
mampu menyambut tantangan modern kemudian berkarya didalamnya dengan penuh
energi dan inovasi (Herlambang, 2021). Kemampuan untuk berkarya dan berinovasi
dalam periode masa dimana segala sesuatu sudah demikian kompleks tentu saja
Signifikansi dan Implementasi Berpikir Kritis dalam Proyeksi Dunia Pendidikan Abad
21 Pada Tingkat Sekolah Dasar
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 3, Maret 2022 409
membutuhkan persiapan yang matang, persiapan inilah yang kemudian menjadi domain
yang dapat dimainkan oleh dunia pendidikan untuk menjelaskan perannya.
Menurut Anies Baswedan (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia 2014
2016) dunia pendidikan di abad 21 akan berpijak pada tiga pondasi utama yakni karakter,
kompetensi dan literasi. Masing-masing dari tiga pondasi utama ini kemudian memiliki
beberapa turunan yang menjadi pilar-pilar pendidikan yang harus dibangun secara serius.
Secara struktural, pilar-pilar proyeksi pendidikan abad 21 yang dimaksud dapat
dijelaskan sebagai berikut
1. Karakter
Karakter dapat diartikan sebagai sebuah sebuah bawaan, hati, jiwa,
kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen dan juga
watak. Lebih lanjut karakter juga dapat diartikan sebagai seperangkat atribut
kepribadian yang bisa diterima oleh masyarakat atau pun yang tidak dapat diterima
oleh masyarakat. Dengan cara yang lebih sederhana untuk dipahami, karakter dapat
juga diterjemahkan sebagai satu pembawaan sifat individu yang meliputi akumulasi
berbagai responnya terhadap berbagai rangsangan yang terjadi pada dirinya baik
secara langsung mau pun tidak langsung.
Orang yang berkarakter dalam istilah yang umum adalah orang yang memiliki
serangkaian sifat-sifat yang dikagumi dalam masyarakat. Sementara sebaliknya,
orang yang tidak berkarakter adalah istilah yang umum disematkan untuk satu
individu dengan sifat-sifat melekat pada dirinya yang tidak dikagumi atau disukai
mayoritas masyarakat.
Karakter dalam proyeksi pendidikan abad 21 akan bergantung pada dua hal
utama yaitu karakter moral dan karakter kinerja. Karakter moral yang dimaksud
adalah seperangkat karakteristik individu yang sesuai dengan norma, kemuliaan,
dan hal-hal yang dikagumi terkait kepribadian dalam masyarakat. Beberapa contoh
karakter moral yang menjadi sasaran pendidikan abad 21 misalnya adalah
ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, keimanan, kejujuran, kesabaran,
kepedulian kepada sesama, kasih sayang dan lain sebagainya.
Sejalan dengan karakter moral, karakter kinerja mengetengahkan satu
integritas kepribadian yang kokoh pada diri seseorang. Karakter kinerja dalam dunia
pendidikan abad 21 akan berfokus pada pelaksanaan fungsi-fungsi unggul yang
dituntut dari seseorang untuk memberikan persembahan (performance) yang
terbaik. Karakter kinerja yang dimaksud contohnya adalah pekerja keras, tangguh,
ulet, tidak mudah menyerah ketika menghadapi kesulitan dan lain sebagainya.
Orientasinya adalah, karakter kinerja diharapkan mampu memberikan peluang
paling besar bagi seseorang untuk menampilkan prestasi atau pencapaian dalam
bidang apa pun yang ditekuninya.
Dua karakter ini; karakter moralitas dan karakter kinerja, adalah dua pondasi
utama yang harus dibangun sebagai pilar dalam pendidikan generasi di abad 21.
Tujuan pendidikan sejatinya adalah membangun kepribadian-kepribadian generasi
yang memiliki karakter yang unggul baik dari sisi moral mau pun dari sisi
kinerjanya.
2. Kompetensi
Pilar kedua dalam dunia pendidikan abad 21 yang harus ada ialah kompetensi
atau kemampuan dan efektivitas dalam menyelesaikan tugas yang diemban.
Kompetensi memegang peranan yang penting dan tidak kalah signifikannya dengan
pilar karakter sebagai pondasi pendidikan yang sempurna dan mampu menjawab
Amar Halim
410 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 3, Maret 2022
tantangan zaman. Kompetensi dalam ranah pendidikan akan memiliki spektrum yang
luas meliputi berbagai hal yang harus dipenuhi. Namun, secara khusus empat bagian
penting dari kompetensi yang harus dipersiapkan oleh dunia pendidikan abad 21
adalah sebagai berikut
a. Berpikir Kritis
Kompetensi pertama yang harus dimiliki oleh generasi di abad 21 adalah
kemampuan berpikir kritis atau critical thinking. Tuntutan untuk berpikir kritis ini
mendorong mereka untuk tidak menerima atau menolak suatu ide, gagasan,
pemikiran atau apa saja secara sembarangan tanpa ada koreksi dan evaluasi
terlebih dahulu.
Berpikir kritis tidak hanya dimaksudkan untuk memverifikasi sesuatu
sebagai benar salah atau baik dan tidak baik semata. Namun dalam penerapan
yang lebih luas dan menyeluruh, kemampuan berpikir kritis juga menuntut
seseorang untuk melihat latar belakang, manfaat, pertimbangan, perbandingan,
subtitusi, implementasi bahkan inovasi-inovasi yang dapat dikolaborasikan untuk
memberikan nilai yang lebih besar terhadap satu ide. Segala komponen dalam
berpikir kritis ini pada akhirnya akan membawa satu individu atau siswa didik
dalam lingkup pendidikan untuk mampu menghasilkan satu keputusan yang logis,
berorientasi pada kemanfaatan dan memiliki dampak pada masyarakat luas.
Besarnya dampak berpikir kritis sebagai salah satu pilar yang dominan
untuk menghadapi tantangan dunia abad 21, menuntut pula bagi setiap praktisi
pendidikan untuk mulai mempraktikkannya dalam bidang mereka masing-
masing. Kemampuan berpikir kritis adalah satu kemampuan yang harus dibangun,
dimulai, dibiasakan dan dikembangkan sebagai pondasi pendidikan yang lebih
komprehensif dan siap menghadapi tantangan zaman yang semakin kompleks.
b. Kreatif
Poin kedua dalam ranah kompetensi adalah kreatif. Kreatif sendiri memiliki
makna yang sangat luas dan definisi yang beragam. Akan tetapi makna umum
yang paling umum terkait dengan dunia pendidikan yang dapat disimpulkan
adalah; kreatif merupakan suatu kemampuan seseorang untuk melahirkan sesuatu
yang baru, baik berupa gagasan atau ide mau pun satu karya nyata yang relatifnya
berbeda dengan apa yang sudah ada..
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kreatif diartikan
sebagai kemampuan untuk dapat menciptakan (daya cipta). Sementara kreativitas
sendiri diartikan sebagai sebuah aktivitas otak yang teratur komprehensif dan
imajinatif yang mengarah pada satu hal yang orisinil.
Dari dua pengertian kreatif di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa
kreatif adalah satu kemampuan individu untuk berpikir dan berimajinasi melalui
pola teratur yang komprehensif dengan orientasi menghasilkan sesuatu yang
benar-benar baru (orisinil) baik ia dalam bentuk gagasan mau pun dalam bentuk
karya nyata. Dengan pergertian ini, sederhananya kreatif adalah sesuatu yang
harus dilatih, dipraktikkan, dibiasakan dan dibangun supaya menjadi satu habit
yang produktif. Kreatif menjadi salah satu pilar penting untuk menghadapi
tantangan zaman karena tanpa kreativitas, manusia tidak lagi memiliki naluri
untuk mengawali atau menciptkan suatu gagasan yang selaras dan relevan dengan
perkembangan zaman.
Signifikansi dan Implementasi Berpikir Kritis dalam Proyeksi Dunia Pendidikan Abad
21 Pada Tingkat Sekolah Dasar
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 3, Maret 2022 411
c. Komunikatif
Bagian ketiga terkait kompetensi yang harusdimiliki generasi abad 21
adalah kemampuan berkomunikasi yang efektif dan tepat sasaran yang biasa
diistilahkan sebagai komunikatif. Frank E.X. Dance mendefiniskan komunikatif
sebagai sebuah proses yang dilakukan oleh seseorang sebagai komunikator untuk
menyampaikan rangsangan (stimulus) yang bertujuan untuk mengubah atau
membentuk prilaku orang lain sebagai komunikan. Berdasarkan praktiknya
sendiri, komunikatif dapat mencakup stimulus yang bersifat verbal, sikap, bahasa
tubuh atau simbolik yang orientasinya jelas untuk mendapatkan respon yang tepat
dari komunikan yang dituju.
Kemampuan untuk berkomunikasi dengan tujuan dan efektivitas semacam
ini juga membutuhkan pembiasaan dan latihan. Dunia pendidikan modern dimana
kemampuan komunikasi yang efektif menjadi keharusan, sudah harus
memberikan porsi besar pada bagian ini. Generasi yang akan menghadapi
kompleksnya tantangan abad 21 harus mampu untuk mengkomikasikan ide dan
gagasan mereka kepada orang lain supaya ide dan gagasan tersebut dapat
terealisasi dan mencapai sasaran yang diinginkan.
d. Kolaboratif
Bagian terakhir dari kompetensi dalam proyeksi pendidikan abad 21 yang
ideal adalah kolaboratif atau kemampuan bekerjasama dengan orang lain.
Kolaboratif memiliki peran yang penting untuk memastikan suatu gagasan dapat
menjadi destinasi bersama yang menggerakkan dan memotivasi orang lain untuk
mecapainya.
Kolaborasi tidak hanya dimaksudkan sebagai cara untuk membangun
kebersamaan dalam berkarya semata. Akan tetapi dalam tahap lanjut yang lebih
signifikan, kemampuan kolaboratif adalah jawaban utama yang dibutuhkan dalam
merespon tantangan zaman yang tidak mungkin lagi dapat diatasi oleh
kemampuan yang sifatnya individual.
3. Literasi
Pengertian literasi dalam pemaknaan yang sederhana dapat disimpulkan
sebagai sebuah keterbukaan wawasan dalam hal menulis dan membaca. Ada banyak
ahli yang mendefinisikan istilah literasi dengan berbagai paduan kata kolaborasi
kalimat yang berbeda. Namun secara garis besar pemaknaan istilah ini selalu merujuk
pada wawasan dan kemampuan improvisasi dalam bidang menulis dan membaca.
Definisi yang lebih relevan untuk persiapan menghadapi dunia abad 21 terkait
literasi dalam pendidikan mungkin adalah yang disampaikan oleh Alberta bahwa
literasi adalah kemampuan membaca dan menulis, menambah pengetahuan dan
keterampilan, berpikir kritis dalam memecahkan masalah, serta kemampuan
berkomunikasi secara efektif yang dapat mengembangkan potensi dan partisipasi
dalam masyarakat. Pengertian yang komprehensif ini menjadi satu acuan menarik
bagi dunia pendidikan untuk menyiapkan generasi yang aware akan literasi.
Pada praktiknya sendiri, komponen-komponen literasi yang paling penting sebagai
pilar pendidikan abad 21 adalah 5 hal berikut ini.
a. Literasi Baca Tulis
Membaca dan menulis adalah salah satu pondasi paling dasar dari
pengetahuan manusia. Menurut dunia literasi, membaca dan menulis adalah ibu
atau induk literasi-literasi yang lainnya. Membaca dan dan menulis adalah satu
gerbang besar yang menjadi portal satu generasi untuk masuk dalam satu dunia
Amar Halim
412 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 3, Maret 2022
keterbukaan yang signifikan yang kemudian mampu mengantarkan mereka pada
kemampuan daya cipta, berkarya dan berinovasi. Literasi baca tulis yang
dibimbing dan dibangun sejak dini akan memberikan peluang dan kesempatan
lebih besar kepada generasi untuk menjadi bagian penting dalam perubahan dunia.
Terlebih-lebih pada zaman teknologi seperti abad 21 sekarang ini.
b. Literasi Teknologi (Sains)
Pada prinsipnya, literasi juga dapat diterjemahkan sebagai seperangkat
kemampuan dan keterampilan individu dalam menulis, membaca, berbicara,
berhitung dan problem solving pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam
keseharian manusia.
Definisi literasi seperti ini memiliki relevansi yang signifikan dengan ilmu
pengetahuan atau sains. Kemampuan membaca, menulis, mengamati angka, dan
memecahkan masalah adalah implementasi dari teknologi. Teknologi diciptakan
untuk membantu pekerjaan dan tugas manusia. Memahami perkembangan dunia
sains akan memberikan peluang yang lebih besar kepada generasi abad 21 untuk
ikut serta dalam kompetisi teknologi itu sendiri yang tujuannya adalah mencapai
satu kondisi kehidupan yang lebih baik lagi ideal.
c. Literasi Keuangan
Pondasi penting lain dalam ranah literasi yang juga sangat vital perannya
adalah tentang literasi keuangan atau financial literacy. Literasi keuangan adalah
seperangkat kemampuan seseorang dalam mengukur, memahami dan
menjalankan informasi ekonomi yang diperolehnya sehingga memberikan ia
kesempatan lebih baik untuk membuat keputusan yang tepat terkait dengan
permasalahan keuangan.
Berdasarkan perkembangan zaman di abad 21, dunia akan dihadapkan pada
perpaduan yang sudah sangat komplek antara komponen finansial, teknologi dan
digital. Kehadiran mata uang kripto (crypto currency), dunia metaverse,
perbankan virtual dan lain sebagainya, adalah aplikasi nyata dari aspek ini yang
sudah langsung bisa dirasakan pengaruhnya oleh masyarakat. Berdasarkan aspek
seperti ini supaya dapat dipahami, terjun di dalamnya dan eksis menghadapi laju
zaman, kemampuan literasi keuangan atau literasi finansial mutlak diperlukan.
d. Literasi Budaya
Bagian penting dari literasi selanjutnya adalah literasi budaya atau
keterbukaan wawasan generasi terhadap budaya yang dimilikinya. Literasi
budaya selalu berdampingan dengan literasi kewargaan sebagai manifestasi
identitas bangsa Indonesia. Sederhananya, literasi budaya dapat diartikan sebagai
keterbukaan wawasan dan kemampuan individu atau kelompok masyarakat dalam
bersikap terhadap lingkungan sosialnya sebagai bagian dari satu budaya dan
bangsa.
Literasi budaya memegang peran yang signifikan dan sangat penting sebagai
kepribadian generasi di tengah gempuran hegemoni teknologi dan budaya asing.
Tanpa adanya kesadaran generasi abab 21 terhadap pentingnya literasi budaya,
pengkaburan kultur, tradisi, pemikiran dan nilai-nilai luhur sebagai bangsa
Indonesia dapat saja menghilang ditelan masa.
e. Literasi Digital
Proyeksi masa depan menjelaskan kepada manusia bahwa dunia selanjutnya
akan berpindah ke digital dimana istilah-istilah seperti metaverse, virtual reality,
blockchain dan lain sebagainya menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Signifikansi dan Implementasi Berpikir Kritis dalam Proyeksi Dunia Pendidikan Abad
21 Pada Tingkat Sekolah Dasar
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 3, Maret 2022 413
Namun sebelum sampai ke sana, keterbukaan literasi digital pada awalnya akan
membawa manusia utuk lebih bijak, lebih tepat sasaran dan lebih objektif dalam
memaknai serta menggunakan berbagai media digital.
Devri Suhendri dalam Peran Literasi Digital di Masa Pandemik (2021)
memberikan definisi literasi digital sebagai sebuah pengetahuan atau kecakapan
pengguna dalam memanfaatkan media digital, seperti alat komunikasi, jaringan
internet dan lain sebagainya. Jadi, korelasinya dengan perencanaan dan persiapan
pendidikan generasi abad 21, literasi digital tidak hanya berfungsi sebagai
pengantar mereka untuk mengenal dan menggunakan berbagai perangkat digital,
namun yang lebih penting daripada itu, literasi digital juga membantu generasi
muda untuk memberi standar, pertimbangan dan kebijaksanaan dalam
menggunakan berbagai media digital secara bijak, tepat guna dan berorientasi
pada peningkatan kualitas sosial yang lebih baik.
Berpikir Kritis Dalam Konsep Dunia Pendidikan Abad 21
Memperhatikan tiga pilar utama yang menjadi pondasi penting dalam menyongsong
signifikansi kemajuan teknologi abad 21, dunia pendidikan sebagai perangkat utama
dalam mempersiapkan generasi bangsa yang unggul sudah pasti harus ada di garis depan.
Dunia pendidikan harus mempersiapkan sebuah konsep pembelajaran yang
memperhatikan orientasinya pada pembangunan generasi bangsa dengan tiga pilar utama
tersebut sebagai acuannya.
Mendesain satu sistem pendidikan yang mampu menghasilkan generasi unggul
dengan kualifikasi karakter moral dan kinerja yang ideal, kompetensi yang mencakup
critical thinking, kreatif, komunikatif dan kolaboratif, serta cakap juga dalam hal
keterbukaan wawasan pada bidang digital, sains, budaya, baca tulis, keuangan dan
teknologi, tentu saja bukan pekerjaan yang mudah. Dunia Pendidikan tidak bisa
menanamkan semua kualitas-kualitas ini dalam satu periode pembelajaran yang singkat
lagi terbatas. Mencapai kualitas maksimum dari kiblat pembelajaran seperti ini, praktisi
dan institusi pendidikan harus melakukannya secara kontinu, berjenjang dan konsisten.
Cara lain yang dapat ditempuh pula guna mencapai tujuan adalah dengan menemukan
manakah satu fokus yang dapat diambil sebagai titik utama yang imbasnya dapat
berpengaruh pada tujuan yang lainnya.
Dalam konsep pendidikan abad 21 yang penuh dengan tantangan, titik fokus yang
dapat diambil adalah dengan memprioritaskan pada kemampuan siswa untuk berpikir
kritis. Dengan berbagai pertimbangan, critical thinking ability adalah salah-satu jalan
paling efisien untuk melatih generasi bangsa untuk mencapai pula kualitas-kualitas
unggul yang lainnya. Kemampuan berpikir kritis dalam cara pandang yang unik adalah
akar untuk mencapai beberapa kualitas lain. Baik kualitas dalam bidang kompetensi,
literasi bahkan karakter sekalipun, semuanya dapat diupayakan dengan jalan berpikir
kritis.
Pendidikan modern abad 21 setidaknya menerapkan empat teori yang paling
umum yaitu; Teori Humanisme, Teori Behaviorisme, Teori Kognitivisme dan Teori
Sibernetik. Teori-teori ini pada umumnya mengutamakan kemampuan analisis yang
tajam, kemampuan penalaran yang luas serta kemampuan untuk menerima semua sumber
informasi yang ada dan memfilternya dalam bingkai pertanyaan-pertanyaan interogatif
untuk mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif serta akurat. Dalam semua teori
dan konsep pendidikan modern apapun, nampaknya porsi mendorong siswa berpikir kritis
adalah bagian yang sama sekali tidak dapat ditinggalkan.
Amar Halim
414 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 3, Maret 2022
Dunia pendidikan modern di abad 21 adalah basis dari semua orientasi kemajuan
dan teknologi. Premis yang lebih sederhana, dunia pendidikan adalah dunia yang
melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri. Perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi ini pula yang kemudian menjadi sangat jauh memimpin peradaban manusia
di masa sekarang lebih-lebih di masa mendatang. Akan ada begitu banyak tantangan yang
memaksa manusia untuk berinteraksi, beradaptasi dan berkontribusi dalam paradigma
implementasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya itu membutuhkan
generasi-generasi yang siap dan kompeten melakoninya. Pada muaranya, hal ini akan
kembali lagi kepada kesiapan generasi itu sendiri yang tentunya bergantung kepada
bagaimana sistem pendidikan modern membangun dan mempersiapkannya. Pendidikan
dengan dasar-dasar yang tepat akan memberikan akses terhadap aktualisasi yang tepat
pula bagi generasi untuk ikut andil secara aktif menyonsong segala perubahan di abad 21.
Praktik dan Implementasi Berpikir Kritis Usia Sekolah Dasar
Implementasi pembelajaran untuk berpikir kritis antara anak usia Sekolah Dasar
(SD) dengan anak usia Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau Sekolah Mengengah Atas
(SMA) tentu tidak dapat disamakan meskipun orientasi makronya adalah sesuatu yang
sama. Ada berbagai faktor mendasar yang menjadikan mengapa pada tingkatan usia
tertentu, stimulus pendorong berpikir kritisnya sendiri harus dibedakan untuk
mendapatkan respon yang diinginkan. Pada anak-anak Sekolah Dasar, praktik latihan
berpikir kritis tentu saja harus disesuaikan dengan perkembangan usia mereka.
Implementasi dari hal ini kemudian adalah dengan menemukan berbagai cara yang ideal
dan tepat sasaran sebagai cara membangun budaya critical thinking itu sejak dini.
Berdasarkan kurikulum 13 yang diterapkan, guru hanya ditempatkan sebagai
fasilitator proses pembelajaran yang menuntut siswanya sendiri untuk lebih aktif dalam
belajar. Sayangnya orientasi pembelajaran yang diharapkan dari penerapan kurikulum ini
masih belum dapat mencapi tujuan sejatinya. Ada masih sangat banyak siswa yang justru
tidak aktif dalam proses pembelajaran yang sangat mungkin disebabkan oleh kurangnya
kemampuan berpikir kritis. Sebagai akibatnya, pada tingkatan yang lebih tinggi seperti
Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) atau bahkan pada
tingkat Perguruan Tinggi sekali pun, masih sangat banyak peserta didik yang pasif selama
proses belajar. Ketidakaktifan siswa dalam proses pembelajaran merupakan konklusi
sederhana dari kurangnya kemampuan mereka untuk berpikir kritis yang seharusnya telah
ditanamkan sejak lama sebagai pondasi kemampuan pokok dalam belajar.
Kurang optimalnya pencapaian target pembelajaran pada kurikulum 13 sudah
sepatutnya menjadi perhatian dan catatan bagi setiap praktisi pendidikan. Dengan
menarik kesimpulan awal sebagai cara untuk mengambil langkah perbaikan, fokus
perbaikan ini dapat dimulai dari menanamkan, membiasakan, serta mengarahkan siswa
pada tahap yang dasar (SD) untuk memiliki kemampuan berpikir secara kritis.
Mempelajari, mempraktikkan, dan membiasakan berpikir secara kritis pada tingkatan
Sekolah Dasar akan menjadi sebuah awalan yang sempurna untuk menumbuhkan critical
thinking yang lebih konkret, komprehensif dan solutif pada tingkatan-tingkatan
selanjutnya.
Menumbuhkan budaya berpikir kritis sejak pendidikan dasar bukan hanya mampu
menumbuhkan satu generasi yang lebih aktif pada proses pembelajaran di jenjang-jenjang
yang lebih tinggi, namun juga akan mampu memberikan dampak yang luar biasa pada
kemampuan adaptasi generasi itu terhadap tantangan dunia teknologi. Sebagai
konsekuensinya, berbagai manfaat berpikir kritis seperti; mampu menjadi pribadi yang
lebih mandiri, lebih peka terhadap peluang-peluang baru, lebih mudah memahami sudut
Signifikansi dan Implementasi Berpikir Kritis dalam Proyeksi Dunia Pendidikan Abad
21 Pada Tingkat Sekolah Dasar
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 3, Maret 2022 415
pandang orang lain, mampu meminimalisir kesalahan persepsi, dapat menjadi rekan kerja
yang menarik serta tidak mudah pula untuk dimanipulasi akan menjadi seperangkap
kompetensi yang dapat diperoleh pula secara tidak langsung sebagai side effect dan
kebiasaan critical thinking.
Ketika kesepakatan persepsi mengenai signifikansi peran berpikir kritis pada usia
Sekolah Dasar telah diperoleh, pertanyaan setelahnya kemudian adalah dengan cara apa
tujuan tersebut bisa dicapai? Atau dalam bahasa yang lebih sederhana; bagaimana
mengimplementasikan kebiasaan berpikir kritis pada siswa sekolah dasar? Hal ini tentu
saja berkenaan erat dengan pertimbangan usia mereka, keberagaman fisik mereka,
perkembangan otak mereka, dan mungkin juga latar belakang mereka.
Ada beberapa cara yang relevan untuk untuk membangun kebiasaan berpikir kritis
di jenjang pendidikan SD yang salah satunya adalah dengan mempraktikkan kepada siswa
untuk selalu menanyakan empat elemen pertanyaan paling krusial yang mendorong
mereka untuk berpikir lebih kritis, fokus dan inovatif. Empat pertanyaan dasar yang
dimaksud adalah sebagai berikut;
1. Apakah ada cara lain?
2. Bagaimana jika?
3. Manakah yang salah?
4. Apa yang bisa dilakukan?
Implementasi empat pertanyaan dasar (Krulik & Rudnick, 1999) ini nantinya
dapat dikembangkan oleh pihak sekolah dan guru kelas dengan melakukan improvisasi
sendiri-sendiri sesuai dengan kebutuhan. Hal yang paling penting adalah dengan tetap
mempertahankan esensi dari improvisasi dan perkembangan tersebut sebagai jalan untuk
mencapai tujuan yag paling pokok yaitu; membiasakan siswa untuk berpikir lebih kritis,
inovatif dan efektif.
Sebagai gambaran penerapan praktik empat elemen pertanyaan berpikir kritis ini
dapat disampaikan dalam tabel berikut.
Tabel 1. Gambaran Penerapan Praktik Empat Elemen Pertanyaan Berpikir Kritis Ini
Pertanyaan
Tujuan
Contoh
Apakah ada cara lain?
Memberikan stimulan kepada
siswa untuk bertanya kepada
dirinya sendiri guna mencari
cara lain yang lebih cepat,
efektif, mudah, dan
menyenangkan untuk
digunakan ketika dihadapkan
pada objek permasalahan
yang jalan keluarnya sudah
ditentukan.
Sultan memiliki 150 butir
kelereng, seluruh kelereng
dimasukkan dalam 30
kantong, berapa butir
kelereng pada masing-masing
kantong? Apakah ada cara
lain untuk menyelesaikan
soal tersebut?
Bagamaina jika?
Memberikan stimulus dan
peluang kepada siswa untuk
memilkirkan, menganalisis
dan memproyeksikan sesuatu
yang berbeda bahkan
kontradiktif dengan apa yang
menjadi obyek sampel.
Dalam sebuah kantong
diletakkan 20 buah apel hijau
dan 15 buah apel merah. Pada
pengambilan pertama secara
acak didapatkan 3 buah apel
hijau dan 1 buah apel merah
dan tidak dikembalikan lagi
ke dalam keranjang.
Sekarang tentukan berapa
peluang terambilnya apel
Amar Halim
416 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 3, Maret 2022
merah pada pengambilan
selanjutnya? Kemudian
kembangkan bagaimana jika
jumlah apel dibuat sama,
berapa peluang yang ada, dan
seterusnya.
Manakah yang salah?
Memberikan stimulus dan
kesempatan pada siswa untuk
melihat, mengobservasi,
meneliti, menghitung,
mengeliminir dan
menganalisa suatu obyek
yang tidak tepat, tidak sejalan
atau sesuai dengan tujuan
yang diinginkan.
Dalam mata pelajaran apa
pun, seorang guru dapat
menyajikan pertanyaan
sekaligus jawaban yang
memuat kesalahan.
Kemudian siswa diminta
untuk menemukan,
menganalisa,
memperhitungkan,
menjelaskan dan
mengemukakan pendapatnya
mengenai kesalahan tersebut
untuk kemudian
menyampaikan jawaban yang
mereka anggap paling tepat.
Apa yang akan dilakukan?
Memberikan stimulus dan
kesempatan kepada siswa
untuk memikirkan dan
memperhitungkan langkah
apa yang dapat dilakukan
berdasarkan analisa-analisa
yang telah dilakukan pada
tiga elemen pertanyaan
sebelumnya. Pertanyaan
berpikir kritis mengenai apa
yang akan dilakukan juga
dapat menjadi stimulus siswa
untuk mengambil keputusan
berdasarkan akumulasi
pengetahuan dan pengalaman
yang ia miliki.
Amir diminta untuk membeli
garam ukuran 500g ke
warung oleh ibunya. Di
warung, Amir tidak
menemukan garam ukuran
500g melainkan ukuran 100g,
200g dan 1000g. Apa yang
harus Amir lakukan dan
pilihan apa yang paling tepat
untuk diambilnya guna
memenuhi permintaan
ibunya?
Dalam konteks ini siswa
dapat diajak untuk
berimajinasi, menganalisa,
menghitung, dan mengambil
keputusan yang lebih tepat
berdasarkan perhitungan
rasional.
Kesimpulan
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi akan sangat pesat di masa-masa
mendatang. Manusia harus menyesuaikan dirinya dengan segala bentuk perkembangan
ini supaya dapat beradaptasi dengan sukses. Bagi dunia pendidikan ini adalah gambaran
yang harus dilihat sebagai sebuah dorongan untuk membangun sebuah sistem dan konsep
yang ideal untuk mempersiapkan generasi yang siap menghadapi segala bentuk
perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan tersebut. Lebih jauh bagi dunia
pendidikan, ini adalah tantangan utama bagaimana mempersiapkan satu generasi yang
tidak hanya mampu beradaptasi dengan laju perkembangan ilmu pengetahuan dan
Signifikansi dan Implementasi Berpikir Kritis dalam Proyeksi Dunia Pendidikan Abad
21 Pada Tingkat Sekolah Dasar
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 3, Maret 2022 417
teknologi, namun juga mempersiapkan satu generasi yang ikut serta menyumbangkan
pemikiran, ide dan gagasan dalam proses menentukan arah perubahan itu sendiri.
Jika ingin membangun generasi yang ideal seperti ini, persiapan-persiapan yang
dibutuhkan telah dipetakan dalam proyeksi dunia pendidikan abad 21 yang terdiri dari;
(1) karakter yang terdiri atas karakter moral dan karakter kinerja, (2) Kompetensi yang
terdiri dari kompetensi berpikir kritis, kompetensi kreatif, kompetensi kooperatif, dan
kompetensi komunikatif, (3) Literasi atau keterbukaan wawasan yang jangkauannya
terbagi dalam literasi baca tulis, literasi sains dan teknologi, literasi keuangan, literasi
digital dan literasi budaya. Tiga komponen (karakter, kompetensi, literasi) adalah modal
yang paling komprehensif untuk mempersiapkan generasi unggul yang siap menghadapi
tantangan yang paling kompleks sekali pun di abad 21.
Dari semua komponen utama yang menjadi bagian paling esensial dalam proyeksi
dunia pendidikan abad 21 di atas, dapat ditarik kesimpulan sederhana bahwa kompetensi
berpikir adalah akar yang ideal untuk memulainya. Kemampuan berpikir kritis akan
membawa seorang individu untuk lebih inovatif, lebih kreatif, lebih kolaboratif, lebih
berwawasan luas (literasi) serta lebih ulet dan tidak mudah menyerah untuk menemukan
solusi atas satu permasalahan (karakter kinerja). Dengan pertimbangan ini,
menitikberatkan kemampuan berpikir kritis untuk mulai diajari, dipraktikkan dan
dibiasakan dalam dunia pendidikan sejak jenjang yang paling rendah (Sekolah Dasar)
adalah langkah yang dinilai ideal.
Melatih siswa pada tingkat Sekolah Dasar untuk terbiasa berpikir kritis dan
komprehensif akan memberikan mereka kesempatan untuk lebih siap terhadap
perubahan. Kemampuan untuk menilai, menganalisa, memperhitungkan, melihat dari
berbagai sudut pandang satu obyek, adalah modal besar bagi siswa Sekolah Dasar untuk
dapat lebih peka guna mencapai satu tujuan yang lebih konkret di jenjang-jenjang
berikutnya. Pada akhirnya, kemampuan berpikir kritis yang telah ditanamkan dan
dibiasakan sejak jenjang Sekolah Dasar akan menjadi pondasi besar bagi generasi
Indonesia untuk menyongsong perubahan di abad 21 dengan penuh semangat, kesiapan
serta ide dan gagasan yang cemerlang
Amar Halim
418 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 3, Maret 2022
Bibliografi
Bahari, Weldi. (2018). Pembelajaran matematika di sekolah dasar berbasis keterampilan
berpikir sebagai alternatif implementasi kbk. School Education Journal Pgsd Fip
Unimed, 8(3), 230–239.
Dewantara, I. Putu Mas. (2021). ICT & Pendekatan Heutagogi Dalam Pembelajaran
Abad Ke-21. Deepublish.
Ennis, Robert H. (1962). A concept of critical thinking. Harvard Educational Review.
Henry, Samuel. (2013). Cerdas Dengan Games. Gramedia Pustaka Utama.
Herlambang, Yusuf Tri. (2021). Pedagogik: Telaah Kritis Ilmu Pendidikan Dalam
Multiperspektif. Bumi Aksara.
Irdayanti, Lieska Sukma. (2018). Tingkat Kemampuan Berpikir Kritis Matematis Siswa
di SMPN 1 Kedungwaru Melalui Pemberian Soal Open-Ended Materi Teorema
Pythagoras Tahun Ajaran 2017/2018.
Maksum, Hafidh. (2016). Peran Pendidikan Kewarganegaraan di Era Globalisasi Dalam
Menumbuhkan Semangat Nasionalisme. PIONIR: Jurnal Pendidikan, 5(2).
Marlina, Winda, & Jayanti, Dhitsaha. (2019). 4C dalam pembelajaran matematika untuk
menghadapi era revolusi industri 4.0. Prosiding Sendika, 5(1).
Masmuji, Masmuji. (2021). Manajemen penguatan pendidikan karakter peserta didik di
asrama Madrasah Aliyah Negeri 1 Murung Raya. IAIN Palangka Raya.
Ofianto, M. Pd, & Ningsih, Zahra. (2021). ASSESMEN KETERAMPILAN BERPIKIR
HISTORIS (HISTORICAL THINKING) (Vol. 309). Duta Media Publishing.
OKTAVIANI, LESTARI. (2021). PENGARUH MODEL PROJECT BASED LEARNING
TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS HASIL BELAJAR BIOLOGI
KELAS X IPA YP UNILA BANDAR LAMPUNG. UIN RADEN INTAN LAMPUNG.
Puspitawati, Herien. (2012). Gender dan Keluarga: Konsep dan Realita Indonesia. Pt
Penerbit Ipb Press.
Putri, Suci Utami. (2019). Pembelajaran sains untuk anak usia dini. UPI Sumedang
Press.
Toenlioe, Anselmus J. E. (2014). Teori dan Filsafat pendidikan. PENERBIT GUNUNG
SAMUDERA [GRUP PENERBIT PT BOOK MART INDONESIA].
Wheary, Jennifer, & Ennis, Robert H. (1995). Gender bias in critical thinking: Continuing
the dialogue. Educational Theory, 45(2), 213–224.
Winaryati, Eny. (2018). Penilaian kompetensi siswa abad 21. Prosiding Seminar
Nasional & Internasional, 1(1).
Zubaidah, Siti. (2010). Berpikir Kritis: kemampuan berpikir tingkat tinggi yang dapat
dikembangkan melalui pembelajaran sains. Makalah Seminar Nasional Sains
Dengan Tema Optimalisasi Sains Untuk Memberdayakan Manusia. Pascasarjana
Unesa, 16(1), 1–14.