342
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi:p–ISSN: 2723 - 6609
e-ISSN :2745-5254
Vol. 3, No., 2 Februari 2022
POLITIK HUKUM KEBEBASAN BERSERIKAT PEKERJA/BURUH DALAM
PRODUK HUKUM KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA
Sri Kartini
1
, Fadjrin Wira Perdana
2
, Irwan
3
, Bambang Setiawan
4
dan Purboyo
5
Politeknik Transportasi SDP Palembang, Indonesia
1,3,4 dan 5
, Universitas
Diponegoro, Semarang, Indonesia
2
1
2
,
3
, bambangsetiawan@poltektranssdp-
palembang.ac.id
4
5
Abstrak
Selama 40 tahun terakhir, keanggotaan dan pengaruh Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SB/SP) di
hampir setiap negara di dunia telah menurun secara signifikan, tidak terkecuali Indonesia.
Beberapa media massa Indonesia menyebutkan, penurunan keanggotaan SB/SP terkait dengan
penurunan reputasi SB/SP di kalangan tenaga kerja Indonesia pasca reformasi. Trade Union
Rights Center (TURC) menggunakan istilah non-manufaktur/kantor kerah putih untuk merujuk
pada tenaga kerja kontemporeryang menolak menyebut diri mereka pekerja dan yang sering
secara sinismenentang gerakan buruh. Padahal, melihat kembali sejarah perburuhan, semua
manfaat yang diterima pekerja kantoran, seperti upah minimum, peraturan jam kerja, hak
liburan, dan lain-lain, adalah akibat gerakan buruh yang seringkali mereka anggap remeh.
Penelitian ini bertujuan untuk aktivitas/kegiatan/interaksi tersebut adalah upaya dari masing-
masing pihak/subjek yang terlibat dalam hubungan industrial untuk memperjuangkan
kepentingannya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis
empiris.Penelitian ini menggunakan spesifikasi penelitian deskriptif analisis, jenis dan data
sebagai data asli, data sekunder diperoleh melalui penelitian kepustakaan dan wawancara dengan
instansi terkait, seperti ILO Indonesia, Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian Imigrasi,
Asosiasi Pengusaha Indonesia dan PT. Mattel Indonesia. Pemberlakuan politik hukum yang
ditetapkan dalam pasal-pasal konstitusi negara tentang serikat pekerja/buruh yang bebas.
Adanya berbagai kebijakan penegakan menegaskan hubungan antara konfigurasi politik
pemerintahan dan perumusan kebijakan untuk menegakkan kebebasan berserikat dan mengatur
hak-hak pekerja/buruh untuk merumuskan ketentuan perundang-undangan ketenagakerjaan.
diumumkan. Perbedaan dimensi kebijakan perumusan hukum dan politik, kebebasan berserikat
dan pelaksanaan hak berorganisasi dalam perumusan undang-undang ketenagakerjaan yang
diundangkan oleh pemerintah pada periode yang berbeda berdampak pada pelaksanaan
hubungan perburuhan.
Kata kunci: Politik Hukum; Kebebasan Berserikat; Buruh; Hukum Ketenagakerjaan
Abstract
Over the past 40 years, the membership and influence of trade unions/labor unions (SB/SP) in
almost every country in the world has decreased significantly, Indonesia is no exception. Several
Indonesian mass media stated that the decline in SB/SP membership was related to the decline in
SB/SP reputation among Indonesian workers after the reform. The Trade Union Rights Center
(TURC) uses the term non-manufacturing/white-collar office to refer to a "contemporary"
workforce who refuses to call themselves workers and who often "cynically" oppose the labor
movement. In fact, looking back at the history of labor, all the benefits received by office workers,
Politik Hukum Kebebasan Berserikat Pekerja/Buruh dalam Produk Hukum
Ketenagakerjaan di Indonesia
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 2, Februari 2022 343
such as minimum wages, working hours regulations, vacation rights, and others, are the result of
the labor movement which they often take for granted. This study aims for these
activities/activities/interactions are the efforts of each party/subject involved in industrial
relations to fight for their interests. The method used in this research is empirical juridical
method. This research uses descriptive analysis research specifications, types and data as
original data, secondary data obtained through library research and interviews with related
agencies, such as: ILO Indonesia, Ministry of Manpower and Ministry of Immigration,
Association Indonesian entrepreneurs and PT. Mattel Indonesia. Enforcement of legal politics as
stipulated in the articles of the state constitution concerning free trade unions. The existence of
various enforcement policies confirms the relationship between the political configuration of the
government and the formulation of policies to enforce freedom of association and regulate the
rights of workers/laborers to formulate provisions of labor legislation. announced. Differences
in policy dimensions of legal and political formulation, freedom of association and
implementation of the right to organize in the formulation of labor laws promulgated by the
government at different periods have an impact on the implementation of labor relations.
Keywords: Legal Politics; Freedom of Association; Laborer; Labor Law
Pendahuluan
Negara Kesatuan Republik Indonesia mengakui dan melindungi prinsip-prinsip
kebebasan berserikat (Muhlashin, 2021) dan hak berorganisasi dalam konstitusi nasional.
Pasal 28E (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan
berbicara”. Rumusan Pasal 28E (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 merupakan dasar bagi pengakuan dan perlindungan konstitusional terhadap
hak-hak pekerja/buruh untuk bebas berserikat dan berserikat di Indonesia (Pratiwi, 2021).
Kebebasan berserikat bagi pekerja/buruh merupakan bentuk pengorganisasian pikiran,
gagasan dan pendapat melalui berorganisasi (kebebasan berserikat) dalam masyarakat
demokratis (Winayanti, 2016), yang merupakan bentuk fundamental dan inheren dari hak
asasi manusia untuk hidup bersama.
Secara hukum, baik instrumen internasional maupun instrumen nasional yang
mengatur hak asasi manusia (konstitusi) mengakui (Marentek, 2019) dan menjamin
perlindungan prinsip-prinsip kebebasan berserikat dan hak untuk berserikat pekerja/buruh
(Sinaga, 2018). Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB 1948 (Deklarasi Universal
PBB 1948) menjadi instrumen internasional pertama yang memasukkan hak serikat
pekerja ke dalam hak asasi manusia (Bambang Setiawan, Perdana, Apriani, & Pusriansya, 2022a).
Hal ini tertuang dalam Pasal 20 (1) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 1948,
yang menyatakan: “Setiap orang berhak atas kebebasan berkumpul dan berserikat tanpa
kekerasan”. Pasal 23(4) Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 1948 menyatakan
bahwa “Setiap orang berhak untuk membentuk dan bergabung dengan serikat pekerja
untuk melindungi kepentingannya” (Hakki, 2019).
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1948
mendeklarasikan hak berserikat (hak serikat pekerja) sebagai hak asasi manusia dan
Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) tahun 1976 mendefinisikan
hak-hak dasar ini (lebih rinci) sebagai dua hak, yaitu berkumpul secara damai (hak untuk
berkumpul secara damai) dan hak setiap orang atas kebebasan berserikat (freedom of
association). Pasal 22 (1) Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik menyatakan bahwa
“Setiap orang berhak untuk berserikat dengan orang lain, termasuk hak untuk membentuk
dan bergabung dengan serikat pekerja untuk melindungi kepentingannya sendiri” (Aditya
Putra Setiawan & Riwanto, 2020). Berdasarkan perkembangannya, Deklarasi Universal Hak
Sri Kartini
1
, Fadjrin Wira Perdana
2
, Irwan
3
, Bambang Setiawan
4
dan Purboyo
5
344 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 2, Februari 2022
Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1948 juga diadopsi oleh Organisasi
Perburuhan Internasional (ILO) dengan dua konvensi (Bambang Setiawan, Perdana, Apriani, &
Pusriansya, 2022b), yaitu Konvensi ILO tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan
Hak Berorganisasi, 1948 (No. 87) dan Hak Konvensi Organisasi Perburuhan
Internasional dan Perundingan Bersama 1949 (No. 98).
Substansi Konvensi ILO tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak
Berorganisasi, 1948 (No. 87), yaitu memastikan bahwa semua pekerja dan pengusaha
memiliki hak untuk membentuk dan bergabung dengan organisasi pilihan mereka sendiri
tanpa perbedaan dan tanpa izin sebelumnya (Budiono, 2016). Organisasi memiliki hak
untuk merumuskan undang-undang dan peraturannya sendiri (Kahpi, 2013), memilih
perwakilannya dengan kebebasan penuh, mengatur manajemen dan kegiatannya serta
merumuskan rencananya tanpa campur tangan pemerintah. Organisasi tidak dapat
dibubarkan atau dibekukan oleh pemerintah, organisasi harus berhak membentuk federasi
dan federasi (Ritonga, 2015), serta berafiliasi dengan organisasi pekerja dan pengusaha
internasional. Hal yang sama berlaku untuk federasi dan federasi.
Meskipun secara substansi Konvensi Hak Berorganisasi dan Perundingan Bersama
ILO, 1949 (No. 98) melengkapi Konvensi ILO, 1948 (No. 87), Konvensi ini membahas
lebih banyak masalah hubungan. Konvensi ini melindungi pekerja dari diskriminasi anti-
serikat/serikat yang terkait dengan pekerjaan dan secara khusus mengharuskan organisasi
pekerja dilindungi secara memadai dari campur tangan pemberi kerja (Rozarie & Indonesia,
2017).
Selain instrumen internasional hak asasi manusia tersebut di atas, prinsip-prinsip
pengakuan dan perlindungan kebebasan berserikat (Warong, 2020) dan hak
pekerja/buruh untuk berserikat juga diatur dalam instrumen hak asasi manusia nasional,
yaitu peraturan perundang-undangan formal yang melaksanakan amanat Hak Asasi
Manusia. Dewan. Konstitusi nasional yang diatur dalam Pasal 28E (3) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, antara lain MPR No. XVII/MPR/1998
tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia.
Berdasarkan uraian di atas, negara mengakui dan menjamin perlindungan
kebebasan berserikat dan hak berserikat pekerja/buruh melalui bentuk hukum yang
tertinggi, yaitu ketentuan konstitusi nasional. Instrumen hak asasi manusia internasional
juga telah diratifikasi, termasuk pengakuan dan jaminan hak-hak dasar tersebut dalam
undang-undang formal melalui UU HAM MPR dan UU HAM. Dari segi hukum-politik
(legal-policy), negara telah merumuskan kebijakan dasar dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengakui dan melindungi kebebasan
berserikat dan hak berserikat pekerja/buruh di Indonesia, sebagaimana diatur dalam
konstitusi nasional.Kebijakan fundamental untuk kebebasan berserikat dan berorganisasi
hak-hak pekerja/buruh yang diabadikan dalam konstitusi nasional harus diartikulasikan
melalui kebijakan penegakan dalam undang-undang formal (produk hukum
ketenagakerjaan). Persoalannya, kebijakan dasar yang diatur dalam konstitusi nasional
tidak serta merta sejalan dengan kebijakan implementasi produk hukum ketenagakerjaan
yang dikeluarkan pemerintah. Hubungan antara dua dimensi politik hukum tersebut
sangat dipengaruhi oleh kemauan politik rezim yang berkuasa. Selama periode tertentu
pengelolaan kekuasaan negara secara otoriter, kebijakan yang ditetapkan dalam produk
hukum perburuhan untuk menerapkan kebebasan berserikat dan mengatur hak
pekerja/buruh cenderung represif/ortodoks/elitis. Di sisi lain, kebijakan yang ditetapkan
dalam produk hukum perburuhan untuk mengimplementasikan kebebasan berserikat dan
Politik Hukum Kebebasan Berserikat Pekerja/Buruh dalam Produk Hukum
Ketenagakerjaan di Indonesia
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 2, Februari 2022 345
hak pekerja/buruh untuk berorganisasi cenderung responsif/populis pada periode tertentu
ketika kekuasaan negara dijalankan secara demokratis.
Penelitian ini bertujuan untuk aktivitas/kegiatan/interaksi tersebut adalah upaya
dari masing-masing pihak/subjek yang terlibat dalam hubungan industrial untuk
memperjuangkan kepentingannya. Manfaat penelitian ini untuk mengetahui bagaimana
formulasi politik hukum kebebasan berserikat buruh dalam produk hukum
ketenagakerjaan di Indonesia dan mengetahui implikasi formulasi politik hukum tersebut
terhadap dinamika pelaksanaan hubungan industrial. Tenaga kerja (sumber daya
manusia) merupakan aspek yang sangat berpengaruh dari semua pembangunan ekonomi
di dunia (Menajang, 2014). Tenaga kerja tidak dapat dipisahkan dari pembangunan,
tenaga kerja tidak dapat dipisahkan dari kehidupan, tenaga kerja merupakan penopang
utama perekonomian suatu negara selain sumber daya alam dan teknologi (Prianto, 2020).
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode empiris. Istilah
“mendekati” adalah sesuatu yang dekat atau dekat (tindakan, usaha). Pendekatan yudisial
yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menerapkan peraturan perundang-
undangan. Pendekatan empiris adalah pendekatan yang bertujuan untuk memahami
hubungan antara hukum dan masyarakat serta faktor-faktor yang mempengaruhi
pelaksanaan hukum dalam masyarakat. Sedangkan pendekatan empiris adalah
pendekatan yang bertujuan untuk memahami hubungan antara hukum dan masyarakat
serta faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan hukum dalam masyarakat. Analisis
adalah mengelompokkan, menghubungkan, membandingkan dan memberi makna pada
materi dan penerapannya peraturan ketenagakerjaan dalam konvensi ILO yang telah
diratifikasi oleh pemerintah Indonesia.Setiap penelitian ilmiah membutuhkan data untuk
memecahkan masalah. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan
data sekunder yang diperoleh melalui wawancara dan studi pustaka. Metode analisis data
yang mendasari kesimpulan penelitian ini adalah metode kualitatif. Analisis kualitatif
terhadap bahan hukum yang disusun secara sistematis, yang mengarah pada kesimpulan
akhir yang dapat ditafsirkan secara objektif merupakan jawaban atas pertanyaan dalam
penelitian ini.
Hasil dan Pembahasan
Salah satu bidang perkembangan hukum adalah perkembangan bahan hukum, Bagir
Manan menggunakan istilah politik pembentukan hukum, atau istilah lain yang
digunakan oleh Hikmahanto Juwono, politik hukum perundang-undangan. Dalam politik
pembentukan hukum, secara konseptual politik hukum memiliki dua dimensi (Anggoro,
2019), yaitu dimensi politik hukum yang menjadi alasan mendasar dibuatnya peraturan
perundang-undangan. Dimensi politik hukum ini disebut kebijakan dasar. Dimensi kedua
dari politik hukum adalah tujuan atau alasan di balik perumusan peraturan. Dimensi
politik hukum inilah yang disebut dengan kebijakan penegakan.
Tentang politik hukum kebebasan berserikat dan hak-hak pekerja/organisasi buruh
dalam produk hukum ketenagakerjaan Indonesia, negara mengakui dan menjamin
perlindungan kebebasan berserikat dan hak-hak pekerja/organisasi buruh sebagai
kebijakan dasar dalam pembentukan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan,
melalui rumusan ketentuan konstitusi nasional, yaitu Pasal 28 E (3) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan “Setiap orang berhak
atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan berekspresi”.
Sri Kartini
1
, Fadjrin Wira Perdana
2
, Irwan
3
, Bambang Setiawan
4
dan Purboyo
5
346 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 2, Februari 2022
Selain itu, pengakuan terhadap tiga (tiga) konstitusi negara Indonesia yang sah
secara historis, kebebasan berserikat, dan hak berserikat pekerja/buruh juga ditetapkan
sebagai kebijakan fundamental pembentukan undang-undang dan diundangkan di
beberapa tempat. Pasal 28 UUD 1945 menyatakan: “Kebebasan berserikat dan
berkumpul, mengeluarkan gagasan secara tertulis atau lisan, dan sebagainya, ditetapkan
dengan undang-undang”. Pasal 28 UUD 1948 RIS menyatakan: “Setiap orang berhak
membentuk dan bergabung dengan serikat pekerja untuk melindungi kepentingannya;
dan Pasal 29 UUD 1950 menyatakan bahwa “setiap orang berhak membentuk dan
bergabung dalam serikat pekerja untuk perlindungan dan kemajuan kepentingannya”.
Pada masa reformasi, pemerintahan orde lama Presiden Sukarno (demokrasi
parlementer periode 1950-1955 dan demokrasi terkemuka periode 1956-1965) dan
pemerintahan orde baru Presiden Suharto mewakili dua kutub penyelenggaraan
kekuasaan negara, yaitu dua kutub kutub pola politik demokrasi dan dua kutub pola
politik otoriter. Periode demokrasi parlementer 1950-1955 adalah periode di mana
Presiden Sukarno menjalankan kekuasaan pemerintahan negara secara demokratis.
Selebihnya, yaitu sampai pemerintahan Orde Baru berkuasa, Sukarno menjalankan
kekuasaan pemerintahan negara yang otoriter, yaitu masa demokrasi pimpinan 1956-
1965.
Demokrasi parlementer Soekarno, pemerintahan orde lama, dilakukan dalam
lanskap politik yang demokratis, sehingga berdampak pada kebijakan politik dan
legislatif yang cenderung populis dan peduli pada masyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan
ratifikasi pemerintah terhadap Konvensi International Labour Organization (ILO) No. 1.
98 Prinsip-prinsip dasar tentang hak untuk berorganisasi dan perundingan bersama,
berdasarkan Undang-Undang No. 18 Tahun 1956. Ratifikasi Konvensi ini sejalan dengan
kebijakan dasar kebebasan berserikat dan hak-hak pekerja/buruh terorganisir yang telah
ditetapkan sebelumnya. Konstitusi RI. Konstitusi 1948 dan 1950.
Selain itu juga dilakukan penelitian tentang dasar pembuatan kebijakan dalam
produk undang-undang ketenagakerjaan yang diundangkan pada masa demokrasi
parlementer, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan
antara Serikat Pekerja dan Pengusaha dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957
tentang Penyelesaian Hubungan Industrial Perselisihan. Menyediakan kerangka kerja
untuk perlindungan pekerja/buruh dalam melaksanakan hak-hak kolektif (termasuk
berserikat dan berorganisasi) melalui intervensi pemerintah dalam penyelesaian
perselisihan industrial, serta perlindungan serikat pekerja (sebagai pihak yang secara
alami lebih lemah).
Kebijakan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1954 yang berorientasi
pada kebebasan berserikat dan hak berserikat pekerja/buruh, berlaku pada saat ketentuan
undang-undang tersebut dibuat, termasuk penggunaan hak tawar menawar kolektif serikat
pekerja/buruh hanya dapat mendaftar dengan pemberi kerja dengan Kementerian Tenaga
Kerja jika pemberi kerja adalah serikat pekerja, perjanjian kerja tertulis, akibat hukum
pembubaran serikat pekerja, pembatalan perjanjian kerja melalui pengadilan.
Implementasi kebijakan UU No. 22 Tahun 1957 juga berorientasi pada kebebasan
berserikat dan hak berserikat pekerja/buruh, dalam perumusan ketentuan undang-undang,
yang meliputi penyelesaian perselisihan melalui perantara pegawai, penyelesaian
perselisihan melalui P4D dan P4P dan hak veto oleh Menteri Tenaga Kerja. Yang bisa
dijelaskan selama ini adalah, dalam konfigurasi politik yang demokratis, cenderung
melahirkan produk hukum perburuhan yang bersifat responsif/populis.
Politik Hukum Kebebasan Berserikat Pekerja/Buruh dalam Produk Hukum
Ketenagakerjaan di Indonesia
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 2, Februari 2022 347
Pada masa demokrasi kepemimpinan (1956-1965), pengelolaan kekuasaan
pemerintahan negara bersifat otokratis, dan kebijakan yang diambil pemerintah bersifat
subjektif, termasuk dikeluarkannya Ketetapan MPR tentang pembubaran DPR dan
Konstituante. . Presiden Sukarno bahkan mengeluarkan Ketetapan MPR yang berisi
penegasan kepemimpinannya, tetapi tidak ada masa jabatannya. Keraton semakin kuat,
partai-partai selain PKI melemah, bahkan militer menguat. Dengan struktur politik yang
otoriter ini berdampak pada politik hukum produk hukum perburuhan yang represif/elitis,
dimana implementasi kebijakan dalam UU PRPS No. 7 Tahun 1963 bertujuan untuk
melarang pemogokan atau pemogokan oleh perusahaan yang bertujuan untuk
mengamankan kepentingan. dan tujuan Revolusi shutdown. Pada saat yang sama,
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di
Perusahaan Swasta dirancang untuk mengamankan deklarasi politik pemerintah.
Pelaksanaan kebijakan-kebijakan dalam PRPS UU No. 7 Tahun 1963 dan UU No.
12 Tahun 1964 bukan untuk mewujudkan hak-hak dasar pekerja/buruh, tetapi untuk
mewujudkan tujuan politik kekuasaan pemerintah. Hal ini tercermin dalam rumusan kata
pengantar (pertimbangan) dan interpretasi umum dari kedua undang-undang di atas.
Bahkan menurut penulis kebijakan pelaksanaan dari ketentuan yang ditetapkan dalam UU
PRPS Nomor 7 Tahun 1963 adalah anti kebebasan berserikat, karena memberikan sanksi
Pidana dikenakan kepada siapa saja yang melakukan atau berpartisipasi dalam
pemogokan atau penutupan (lockout) dalam suatu perusahaan, lembaga, atau kelompok
yang dinyatakan dengan Keputusan Presiden sebagai penting, sanksi pidana dikenakan
kepada siapa saja yang menawarkan kesempatan atau provokasi, ajakan, anjuran, hasutan,
perintah, perintah, Atau pemogokan paksa atau penutupan perusahaan, departemen, atau
lembaga yang telah dinyatakan kritis dengan keputusan presiden. Tindakan perampasan
barang yang digunakan dalam pembuatan atau sehubungan dengan atau diperoleh dari
pemogokan atau kegagalan perusahaan (lockdown). Dengan rumusan di atas, maka
produk undang-undang ketenagakerjaan yang diundangkan kemudian oleh pemerintahan
Orde Lama Sukarno bersifat represif/elitis.
Reformasi politik tahun 1998 mengakhiri masa pemerintahan Orde Baru Suharto
yang menjalankan kekuasaan pemerintahan negara yang otoriter, kemudian memasuki
masa pemerintahan reformasi (melalui Presiden BJ Habibie, Presiden Abdulrahman
Wahid dan Presiden Megawati Sukarno Pugh yang secara demokratis menjalankan
kekuasaan pemerintahan negara bagian. Dibandingkan dengan orde baru yang tidak
memberikan ruang yang luas bagi serikat pekerja/buruh, kebebasan berserikat dan hak
berorganisasi memperoleh ruang yang luas pada masa reformasi karena merupakan
bagian dari syarat reformasi sosial.
Berdasarkan tahun 2004, Indonesia menyelenggarakan pemilihan umum (Pemilu),
pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung, menandai berakhirnya era
reformasi dan awal pemerintahan pasca reformasi. Pemilih Presiden Surilo Bowman
Yuronono tetap menjalankan pemerintahan negara pada periode sebelumnya dengan
mengutamakan praktik politik yang demokratis. Pada periode ini diundangkan Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Dalam sejarah pemerintahan di Indonesia, pemerintahan dengan struktur politik
otoriter diwakili oleh pemerintahan orde lama Soekarno (1959-1965) dan pemerintahan
orde baru Suharto (1966-1998). Ciri menonjol dari kedua pemerintahan tersebut adalah
bahwa negara memainkan peran utama dalam mengatur semua aspek kehidupan
masyarakat. Dominasi dan kekuasaan politik diwujudkan dalam penggunaan alat
kekuasaan negara (militer) untuk mengintervensi secara langsung kehidupan rakyat dan
Sri Kartini
1
, Fadjrin Wira Perdana
2
, Irwan
3
, Bambang Setiawan
4
dan Purboyo
5
348 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 2, Februari 2022
juga secara tidak langsung melalui kontrol pemerintah untuk membentuk undang-undang
(peraturan perundang-undangan), melalui perumusan peraturan perundang-undangan
politik yang terarah menuju tujuan. mendukung kepentingan kekuasaan pemerintah. Hal
ini tercermin dalam ekspresi politik undang-undang tentang kebebasan berserikat dan hak
untuk berserikat, produk undang-undang ketenagakerjaan yang membatasi dan/atau
melarang kebebasan berserikat dan hak untuk berorganisasi pekerja/buruh.
Upaya pemerintah untuk ikut serta dan menjadi bagian dari penyelenggaraan
hubungan industrial dengan membawa (Fatimah, 2015) dan memaksakan kepentingannya
sendiri tersirat dalam produk undang-undang ketenagakerjaan yang diundangkan.
Undang-undang PRPS Nomor 7 Tahun 1963 tentang Pencegahan Pemogokan dan/atau
Penguncian (lockout) di Perusahaan, Biro dan Institusi vital, dalam (pertimbangan) di
atas, memberikan rumusan, “Larangan pemogokan atau penguncian di perusahaan
dirancang untuk memastikan bahwa kepentingan dan tujuan revolusioner”. Undang-
undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja Pada Perusahaan-
Perusahaan Swasta Gambaran Umum, juga mengatur bahwa "tujuan diundangkannya
Undang-undang ini adalah untuk mengamankan pernyataan politik Pemerintah".
Pernyataan-pernyataan dalam kata pengantar (penimbangan) dan penjelasan umum di
atas, menegaskan bahwa produk hukum digunakan sebagai alat kekuasaan untuk
mencapai tujuan kekuasaan.
Pemerintah Orde Baru kemudian mengembangkan konsep Hubungan Industrial
Pancasila (HIP). Ringkasnya, sistem hubungan industrial yang dikembangkan oleh
pemerintahan orde lama Sukarno dan pemerintahan orde baru Suharto pada masa
demokrasi didasarkan pada struktur politik yang otoriter. Secara teori, sistem hubungan
industrial yang berkembang selama dua periode pemerintahan dapat diklasifikasikan
sebagai model korporatis. Menurut Aloysius Uwiyono, model korporatis adalah model
hubungan industrial dimana pemerintah berperan sangat penting dalam menentukan
syarat dan ketentuan kerja. Nah, model serikat pekerja adalah serikat tunggal. Dalam hal
ini serikat pekerja diposisikan sebagai cabang pemerintahan.
Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan bahwa
perumusan politik undang-undang serikat pekerja/buruh bebas dalam pasal-pasal
konstitusi nasional, yaitu UUD 1945, UUD RIS 1948, UUD 1950, dan UUD negara
republik Indonesia 1945 (hasil amandemen), negara mengakui pekerja/buruh. hak atas
kebebasan berserikat dan berorganisasi. Adanya berbagai kebijakan penegakan
menegaskan struktur politik pemerintahan dan perumusan kebijakan yang
memberlakukan kebebasan berserikat dan berorganisasi hak-hak pekerja/buruh, dan
perumusan ketentuan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan diantara
pemerintahan-pemerintahan dengan struktur politik yang demokratis, pemerintahan pra-
reformasi (pemerintahan orde lama Presiden Sukarno pada masa demokrasi parlementer
1950-1955), pemerintahan pasca-reformasi (Presiden BJ Habibie, Abdul Rahmanwa
Sid, Megawati Sukarno Putri) dan pemerintahan yang direformasi. Reformasi (Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono). Pemerintahan dengan struktur politik otoriter diwakili
oleh periode pemerintahan sebelum reformasi (pemerintahan orde lama Soekarno, 1956-
1965 memandu periode demokrasi dan pemerintahan orde baru Suharto 1966-1998).
Ketentuan undang-undang ketenagakerjaan yang diundangkan oleh pemerintah dalam
periode yang berbeda memiliki makna yang berbeda dalam perumusan hukum dan
politik, serta implementasi dimensi kebijakan kebebasan berserikat dan hak
Politik Hukum Kebebasan Berserikat Pekerja/Buruh dalam Produk Hukum
Ketenagakerjaan di Indonesia
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 2, Februari 2022 349
berorganisasi, yang berdampak pada implementasi kebijakan industri. Hubungan, yaitu
pemerintahan dengan struktur politik otoriter, sedangkan dalam pemerintahan dengan
struktur politik demokratis, politik hukum pemerintah memberikan hak kepada
pekerja/buruh untuk berserikat dan berorganisasi secara bebas.
Sri Kartini
1
, Fadjrin Wira Perdana
2
, Irwan
3
, Bambang Setiawan
4
dan Purboyo
5
350 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 2, Februari 2022
Bibliografi
Anggoro, Syahriza Alkohir. (2019). Politik Hukum: Mencari Sejumlah Penjelasan.
Jurnal Cakrawala Hukum, 10(1), 77–86.
Budiono, Abdul Rachmad. (2016). Hak Kebebasan Berserikat Bagi Pekerja Sebagai Hak
Konstitusional. Jurnal Konstitusi, 13(4), 788–808.
Fatimah, Yani Nur. (2015). Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial di Pengadilan
Hubungan Industrial dalam Pemenuhan Hak Pekerja/Buruh Yang di Putus
Hubungan Kerja. Pandecta Research Law Journal, 10(2), 215–232.
Hakki, Abdillah. (2019). Kewenangan Direksi dan Dinas Ketenagakerjaan dalam
Prosedur Pembentukan Serikat Pekerja. Jurist-Diction, 2(5), 1519–1540.
Kahpi, Ashabul. (2013). Jaminan konstitusional terhadap hak atas lingkungan hidup di
Indonesia. Al Daulah: Jurnal Hukum Pidana Dan Ketatanegaraan, 2(2), 143–159.
Marentek, Yanes S. (2019). Tanggung Jawab Negara Dalam Perlindungan Hak Asasi
Manusia Menurut Hukum Internasional. Lex Privatum, 6(9).
Menajang, Heidy. (2014). Pengaruh Investasi Dan Tenaga Kerja Terhadap Pertumbuhan
Ekonomi Kota Manado. Jurnal Pembangunan Dan Keuangan Daerah, 13(1),
45053.
Muhlashin, Ias. (2021). Negara Hukum, Demokrasi Dan Penegakan Hukum Di Indonesia.
Jurnal Al-Qadau: Peradilan Dan Hukum Keluarga Islam, 8(1), 87–100.
Pratiwi, Charina Lucky. (2021). Pencatatan Serikat Pekerja/Serikat Buruh Berdasarkan
Asas Kebebasan Berserikat. Interdisciplinary Journal on Law, Social Sciences and
Humanities, 2(1), 1–25.
Prianto, Agus. (2020). Menakar Kualitas Pertumbuhan Ekonomi Indonesia. Jurnal
Manajemen Dan Usahawan Indonesia, 42(1), 23.
Ritonga, Rifandy. (2015). Pembubaran Partai Politik Terhadap Sistem Demokrasi di
Indonesia. Pranata Hukum, 10(2).
Rozarie, C. V. R. A. de, & Indonesia, Jawa Timur–Negara Kesatuan Republik. (2017).
Manajemen sumber daya manusia.
Setiawan, Aditya Putra, & Riwanto, Agus. (2020). Analisis Terhadap Pembubaran
Organisasi Kemasyarakatan dalam Perspektif Hak Asasi Manusia. Res Publica, 4(3),
273–288.
Setiawan, Bambang, Perdana, Fadjrin Wira, Apriani, Dahlia Dwi, & Pusriansya,
Ferdinand. (2022a). Implementasi Instrumen Internasional Tentang Kebebasan
Berserikat dan Hak Berorganisasi Pekerja/Buruh di Indonesia. Jurnal Indonesia
Sosial Teknologi, 3(2), 307–314.
Setiawan, Bambang, Perdana, Fadjrin Wira, Apriani, Dahlia Dwi, & Pusriansya,
Ferdinand. (2022b). Implementasi Instrumen Internasional Tentang Kebebasan
Berserikat dan Hak Berorganisasi Pekerja/Buruh di Indonesia. Jurnal Indonesia
Sosial Teknologi, 3(2), 307–314.
Sinaga, Niru Anita. (2018). Peranan Perjanjian Kerja Dalam Mewujudkan Terlaksananya
Hak Dan Kewajiban Para Pihak Dalam Hubungan Ketenagakerjaan. JURNAL
ILMIAH HUKUM DIRGANTARA, 7(2).
Warong, Kristian Megahputra. (2020). Kajian Hukum Hak Asasi Manusia Terhadap
Kebebasan Berpendapat Oleh Organisasi Kemasyarakatan Di Media Sosial. LEX
ADMINISTRATUM, 8(5).
Winayanti, Nia Kania. (2016). Makna pasal 28 UUD 1945 terhadap kebebasan berserikat
dalam konteks hubungan industrial. Jurnal Konstitusi, 8(6), 969–992.