Penguatan Fungsi Keimigrasian dalam Rangka Pencegahan Tindak Pidana Perdagangan
Orang (TPPO) dalam Pengiriman Buruh Migran Non Prosedural di Wilayah Perbatasan
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 2, Februari 2022 338
Perdagangan Orang (Tahun 2020) Kedutaan Besar dan Konsulat AS di Indonesia, masih
menempatkan Indonesia pada Tingkat 2. Di dalam laporan tahunan disebutkan Profil
Perdagangan Orang di Indonesia sebagai berikut:
Seperti yang dilaporkan selama 5 tahun terakhir, pelaku perdagangan orang
mengeksploitasi korban domestik dan asing yang berada di Indonesia. Pelaku juga
mengeksploitasi korban asal Indonesia di luar negeri. Setiap provinsi (34 provinsi) di
Indonesia merupakan daerah asal dan tujuan perdagangan orang. Pemerintah
memperkirakan setidaknya dua juta dari 6-8 juta WNI yang bekerja di luar negeri,
sebagian besar adalah perempuan, tidak memiliki dokumen atau telah melebihi batas
waktu tinggal yang tercantum pada visa mereka. Pelaku perdagangan orang
mengeksploitasi banyak warga negara Indonesia yang bekerja di Asia dan Timur Tengah
melalui kekerasan dan paksaan berbasis utang-piutang, terutama para pekerja rumah
tangga, pabrik, konstruksi, manufaktur, dan perkebunan kelapa sawit di Malaysia serta
pekerja di kapal penangkap ikan di seluruh Samudra Hindia dan Pasifik, Singapura,
Malaysia, Hong Kong. Negara-negara Timur Tengah menampung banyak pekerja rumah
tangga asal Indonesia yang tidak dilindungi undang-undang ketenagakerjaan setempat
dan sering mengalami berbagai indikator TPPO, termasuk jam kerja yang panjang,
ketiadaan kontrak resmi, dan upah yang tidak dibayarkan.
Beberapa kerugian yang akan dihadapi oleh Warga Negara Indonesia yang menjadi
pekerja migran/tenaga kerja ilegal/non-prosedural, antara lain: sponsor/calo/orang yang
menjanjikan pekerjaan dapat melarikan uang yang telah disetor oleh calon TKI (ditipu).
Tidak aman, karena tidak mendapat jaminan perlindungan di negara tujuan penempatan.
Diperlakukan tidak manusiawi mulai dari penampungan sampai ke luar negeri. Gaji
sangat rendah, bahkan ada yang tidak dibayar, karena tidak memiliki kekuatan hukum.
Dibatasi hak dan kewajibannya oleh majikan. Selalu merasa khawatir akan kemungkinan
ditangkap oleh aparat keamanan negara setempat. Jika tertangkap, akan dipenjara dan
dipulangkan paksa (deportasi). Tidak mendapat jaminan asuransi jika mengalami sakit,
musibah, kecelakaan, atau kematian.
Data faktual yang menunjukkan kecenderungan meningkatnya TPPO, khususnya
dalam pelaksanaan pengiriman Pekerja Migran Indonesia (BMI) secara non-prosedural
di wilayah perbatasan, justru terjadi bersamaan kebijakan Pemerintah membenahi
infrastruktur kawasan perbatasan melalui Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor
6 Tahun 2015 tentang Percepatan Pembangunan 7 (Tujuh) Pos Lintas Batas
Negara Terpadu dan Sarana Prasarana Penunjang di Kawasan Perbatasan, yaitu Pos
Lintas Batas Negara (PLBN) Aruk Kabupaten Sambas, PLBN Entikong Kabupaten
Sanggau, PLBN Nanga Badau, Kabupaten Kapuas Hulu, PLBN Motaain, Kabupaten
Belu, PLBN Motamasin, Kabupaten Malaka, PLBN Wini, Kabupaten Timor Tengah
Utara, dan PLBN Skouw, Kota Jayapura.
Urgensi Penguatan Fungsi Pengawasan Imigrasi untuk Mencegah TPPU dalam
Pengiriman Buruh Migran di Wilayah Perbatasan
Secara yuridis Pengawasan Keimigrasian adalah ”Serangkaian kegiatan yang
dilakukan untuk mengumpulkan, mengolah, serta menyajikan data dan informasi
keimigrasian warga negara Indonesia dan orang asing dalam rangka memastikan
dipatuhinya ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang keimigrasian.
Sedangkan pengertian pengawasan dalam fungsi keimigrasian merupakan keseluruhan
proses kegiatan untuk mengontrol atau mengawasi apakah proses pelaksanaan tugas telah
sesuai dengan aturan yang telah ditentukan.