333
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi:p–ISSN: 2723 - 6609
e-ISSN :2745-5254
Vol. 3, No., 2 Februari 2022
PENGUATAN FUNGSI KEIMIGRASIAN DALAM RANGKA PENCEGAHAN
TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (TPPO) DALAM PENGIRIMAN
BURUH MIGRAN NON PROSEDURAL DI WILAYAH PERBATASAN
Santoso
1
, Fadjrin Wira Perdana
2
,Irwan
3
, Bambang Setiawan
4
dan Purboyo
5
Politeknik Transportasi SDP Palembang, Indonesia
1,3,4 dan 5
, Universitas
Diponegoro, Semarang, Indonesia
2
1
2
,
3
,
4
dan
5
Abstrak
Perdagangan manusia merupakan salah satu bentuk kejahatan internasional yang semakin banyak
terjadi di dalam dan di luar batas negara, sehingga semakin sulit diprediksi. Bisa juga
dibandingkan dengan fenomena gunung es yang terlihat kecil di permukaan tetapi besar di bawah.
Ini berarti bahwa angka yang tersembunyi di bawah permukaan jauh lebih besar daripada yang
muncul di permukaan. Hak-hak Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan hubungannya dengan
Kebebasan Sipil. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengetahui fungsi
penguatan keimigrasian untuk mencegah kejahatan transasional. Penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif deskriptif eksposisi, yang bertujuan untuk menggambarkan dan menyajikan
secara sistematis dari segi objek atau topik yang diteliti, kemudian menganalisisnya dari
perspektif hukum dan hak asasi manusia untuk memberikan laporan yang komprehensif.
Berdasarkan sifat data yang dikumpulkan, analisis kualitatif digunakan untuk menganalisis data
penelitian. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan
pengawasan pengiriman Buruh Migran non prosedural di Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI) di
wilayah perbatasan dilaksanakan Petugas Imigrasi pada saat memberikan pelayanan penerbitan
paspor. Upaya yang dilakukan untuk mencegah TPPO, maka dalam pelayanan penerbitan paspor
terhadap Buruh Migran, Petugas Imigrasi meminta memohon agar melampirkan tambahan
persyaratan, melalui sistem f.oto berbasis biometrik, melaksanakan proses wawancara,
melakukan penundaan atau penolakan permohonan paspor, serta melakukan kerjasama dengan
instansi terkait apabila terindikasi TPP.
Kata kunci: Fungsi Keimigrasian; Pencegahan; Tindak Pidana Perdagangan Orang; Buruh;
Migran
Abstract
Human trafficking is a form of international crime that is increasingly occurring inside and
outside national borders, making it increasingly difficult to predict. Can also be compared
with the phenomenon of icebergs that look small on the surface but big below. This means that
the number hidden beneath the surface is much larger than what appears on the surface. Trade
Union/Labor Union rights and their relation to Civil Liberties. This study aims to identify and
determine the function of immigration strengthening to prevent transational crime. This study
uses a qualitative descriptive exposition approach, which aims to describe and present
systematically in terms of the object or topic under study, then analyze it from the perspective
of law and human rights to provide a comprehensive report. Based on the nature of the data
Penguatan Fungsi Keimigrasian dalam Rangka Pencegahan Tindak Pidana Perdagangan
Orang (TPPO) dalam Pengiriman Buruh Migran Non Prosedural di Wilayah Perbatasan
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 2, Februari 2022 334
collected, qualitative analysis was used to analyze the research data. Based on the description
above, it can be concluded that the implementation of supervising the delivery of non-
procedural Migrant Workers at Immigration Checkpoints (TPI) in border areas is carried out
by Immigration Officers when providing passport issuance services. Efforts are being made
to prevent TIP, so in the service of issuing passports to Migrant Workers, Immigration Officers
request that they attach additional requirements, through a biometric-based photo system,
carry out the interview process, postpone or reject passport applications, as well as cooperate
with relevant agencies. if indicated TPP.
Keywords: Immigration Function; Prevention; Criminal act of people-trafficking; Laborer;
Migrant
Pendahuluan
Perdagangan manusia sering terjadi dalam konteks kelompok rentan, dimana
korbannya seringkali adalah perempuan dan anak-anak yang tergolong kelompok rentan
(Wulandari & Wicaksono, 2014). Banyaknya kasus eksploitasi terhadap perempuan dan
anak ini disebabkan karena status perempuan dalam keluarga bukan kepala rumah tangga
(dianggap sebagai pembantu rumah tangga) (Turatmiyah & Annalisa, 2013), kesulitan
pekerjaan dan kemiskinan atau masalah ekonomi menjadi alasan utama dan dengan
demikian perdagangan manusia. terus meningkat (Daniah & Apriani, 2018).
Globalisasi yang terjadi dalam berbagai aspek kehidupan dalam pergaulan antar
bangsa-bangsa di dunia (Rohmah, 2019) pada saat ini telah merubah pola mobilitas
penduduk dari satu negara ke wilayah negara lain (Takdir, 2020). Pola mobilitas
penduduk antar negara tersebut selama ini diatur dalam instrumen hukum Internasional
(Wijaya & Nurhajati, 2018) dalam berbagai macam bentuk yang memberikan hak dan
wewenang kepada masing-masing negara untuk menjalankan yurisdiksi dalam lingkup
wilayah kedaulatannya (Suprapto, 2015). Salah satu aspek yang diatur adalah masalah
keimigrasian. Menurut Wahyudin Ukun, secara konseptual aspek keimigrasian terkait
dengan pengaturan terhadap mobilitas penduduk antar negara memiliki sifat yang
universal karena dipraktikkan oleh semua negara di dunia (Wardana, 2019), namun isi
pengaturannya didasarkan kepada kekhususan masing-masing negara (Arifin, 2019).
Oleh karena itu lazim bagi setiap negara-negara di dunia ini untuk menetapkan peraturan
perundang-undangan keimigrasian sebagai instrumen hukum nasional (Zamzami, 2020).
Indonesia sebagai Negara yang berdaulat berkepentingan menetapkan instrumen
hukum keimigrasian nasional yang merupakan atribut yang sangat penting dalam
menegakkan kedaulatan hukum dan wilayah teritorial Negara Kesatuan Republik
Indonesia (Hasan, 2015). Instrumen hukum keimigrasian nasional tersebut adalah
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Di dalam konsideran
(menimbang) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian, disebutkan
bahwa:
Pengaturan keimigrasian yang meliputi lalu lintas orang masuk atau ke luar wilayah
Indonesia merupakan hak (Mohede, 2011) dan wewenang Negara Republik Indonesia
serta merupakan salah satu perwujudan dari kedaulatannya sebagai negara hukum yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (Respationo, 2013).
Wilayah teritorial Indonesia terdiri dari pulau-pulau memiliki garis perbatasan yang
cukup panjang dengan negara tetangga baik darat, laut dan udara, atau yang disebut batas
wilayah Negara yang merupakan pemisah kedaulatan suatu negara yang didasarkan atas
hukum internasional (Iriansyah, 2018). Bagian dari wilayah teritorial Indonesia yang
terletak pada sisi dalam sepanjang batas wilayah Indonesia dengan negara lain merupakan
Santoso
1
, Fadjrin Wira Perdana
2
,Irwan
3
, Bambang Setiawan
4
dan Purboyo
5
335 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 2, Februari 2022
kawasan perbatasan. Sebagai wilayah pemisah kedaulatan negara, kawasan perbatasan
tersebut merupakan gerbang keluar masuknya pelintas batas wilayah Negara (baik
manusia maupun barang), sehingga pada tempat perlintasan tersebut didirikan Pos Lintas
Batas Negara (PLBN).
Fungsi PLBN bersifat lintas sektoral yang dilengkapi fasilitas pelayanan terpadu
antara lain Bea Cukai, Imigrasi, Balai Karantina, serta pertahanan dan keamanan yang
masing-masing sektor tersebut dilaksanakan oleh instansi yang berwenang. Secara khusus
pada sektor imigrasi, fungus PLBN tersebut adalah sebagai tempat pemeriksaan lalu lintas
orang yang masuk atau keluar Wilayah Indonesia. Lembaga yang melaksanakan fungsi
imigrasi pada PLBN tersebut adalah Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum
dan HAM.
Lalu lintas orang yang masuk atau keluar Wilayah Indonesia yang melintasi PLBN
tersebut untuk berbagai kepentingan, yang salah satunya adalah sebagai jalur lintas batas
pengiriman buruh migran yaitu Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang akan bekerja di luar
negeri. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Lyzia Permata Mardiana dan
Syamsir, pengiriman buruh migran ada yang dilaksanakan secara procedural karena
memenuhi semua ketentuan yang dipersyaratkan perundang-undangan nasional di
Indonesia. Namun, sebagian lagi pengiriman buruh migran tersebut dilaksanakan tidak
berdasarkan prosedur yang ditetapkan perundang-undangan, sehingga dalam praktik
karena pelaksanaannya tidak sesuai dengan prosedur pengiriman, maka dalam partik
disebut buruh migran non prosedural yang potensial terjadi Tindak Pidana Perdagangan
Orang (TPPO).
Dengan demikian buruh migran non procedural tersebut di atas adalah Warga
Negara Indonesia (WNI) yang bekerja ke luar negeri melalui prosedur penempatan TKI
yang tidak benar/non procedural sebagai illegal stay, illegal entry, atau illegal entry and
illegal stay. Secara konseptual illegal stay diartikan sebagai orang yang mempunyai izin
keimigrasian yang sah, tetapi masa berlakunya habis. Hal itu atau orang yang demikian
disebut over stay. Sedangkan illegal entry adalah orang dimana masuknya ke suatu
Negara secara tidak sah, yaitu tidak melalui pemeriksaan pejabat Imigrasi dengan
menggunakan dokumen atau surat perjalanan dan atau visa palsu atau dipalsukan.
Terakhir yang dimaksud dengan illegal entry and illegal stay adalah orang yang baik
masuknya maupun keberadaannya secara tidak sah.
Selanjutnya dalam rangka mencegah terjadinya TPPO dalam pengiriman buruh
migran non procedural, maka Direktorat Jenderal Imigrasi sebagai organ pemerintahan
yang mempunyai kewenangan menerbitkan Dokumen Perjalanan Republik Indonesia
(DPRI) mempunyai peran, tugas dan tanggungjawab untuk mencegah terjadinya TPPO
dalam pengiriman buruh migran non procedural yang menggunakan PLBN sebagai jalur
lintas batas pengiriman buruh migran ke luar negeri.
Secara preventif Dokumen Perjalanan Republik Indonesia (DPRI) dapat
dimaksimalkan oleh pihak imigrasi yang bertugas di Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI)
sebagai instrumen perizinan yang ketat untuk mencegah pengiriman buruh migran non
procedural ke luar negeri, sehingga akan memberikan dampak menekan TPPO dengan
korban buruh migran. Prinsip kehati-hatian dan sense of security dalam penerbitan DPR
sebagai instrumen perizinan dalam pengiriman buruh migran menjadi hal sangat krusial.
Secara khusus dalam penulisan makalah ini akan dianalisis dan dilakukan pembahasan
implementasi penerbitan DPR RI di PLBN sebagai jalur lintas pengiriman buruh migran
ke luar negeri.
Penguatan Fungsi Keimigrasian dalam Rangka Pencegahan Tindak Pidana Perdagangan
Orang (TPPO) dalam Pengiriman Buruh Migran Non Prosedural di Wilayah Perbatasan
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 2, Februari 2022 336
Metode Penelitian
Berdasarkan penelitian ini digunakan metode kualitatif dengan deskripsi deskriptif,
yang bertujuan untuk menggambarkan objek atau topik yang diteliti sesuai dengan
esensinya dan menyajikannya secara sistematis kemudian menganalisisnya untuk
memberikan laporan yang komprehensif, baik dari perspektif Hukum dan Hak Asasi
Manusia.
Analisis data penelitian menggunakan analisis kualitatif sesuai dengan sifat data
yang dikumpulkan, yang menurut Arikunto merupakan uraian kalimat (data naratif) dan
tidak dapat diubah secara numerik. Artinya, menggambarkan hasil data lapangan yang
diperoleh dari data mentah, kemudian mereduksi semua informasi yang diperoleh untuk
fokus pada masalah utama. Dasar peneliti menggunakan penelitian kualitatif adalah
bahwa proses penelitian dirancang untuk memahami isu-isu sosial yang muncul dalam
penanganan kasus TPPO. Dokumen terkait dan wawancara dengan informan lapangan.
Pemilihan informan menggunakan teknik purposive sampling dimana informan sengaja
dipilih dan dianggap benar-benar berpengetahuan atau berhubungan langsung.
Setelah data terkumpul, data dikategorikan dengan anotasi singkat dan disajikan
dalam bentuk deskriptif untuk memudahkan pemahaman secara keseluruhan dan juga
untuk menarik kesimpulan untuk analisis dan penelitian lebih lanjut.
Hasil dan Pembahasan
Fungsi Pengawasan Imigrasi sebagai Pelaksanaan Fungsi Pemerintahan
Berdasarkan pembidangan hukum yang selama ini dikenal, Hukum Keimigrasian
dimasukkan dalam kategori hukum publik, yaitu cabang hukum mengatur hubungan
antara individu dan negara. Menurut Herlin Wijayanti, keterkaitan strategis antara
kepentingan Negara tersebut terhadap hal ikhwal keimigrasian yang bersinggung pada
aspek pendekatan keamanan negara dan aspek pendekatan kesejahteraan yang
mengakibatkan hukum keimigrasian bukan lagi sebagai hukum administratif yang
bersifat umum.
Dalam studi Hukum Administrasi Negara, sistem hukum keimigrasian merupakan
sebagian kebijakan organ administrasi (negara) yang melaksanakan kegiatan
pemerintahan dilakukan negara dalam keadaan bergerak. Dalam konteks Indonesia,
fungsi dan kewenangan keimigrasian dilaksanakan oleh Departemen Hukum dan Hak
Asasi Manusia melalui Direktorat Jenderal Imigrasi.
Di dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang
Keimigrasian, dirumuskan Keimigrasian sebagai berikut:
Keimigrasiannya adalah hal ikhwal lalu lintas orang yang masuk atau keluar
wilayah Negara Republik Indonesia serta pengawasannya dalam rangka menjaga
tegaknya kedaulatan Negara.
Berdasarkan ketentuan diatas maka dapat disimpulkan, bahwa yang menjadi
lapangan (obyek) Hukum Keimigrasian adalah lalu lintas dan pengawasan keimigrasian.
Sedangkan subyek hukum dari hukum keimigrasian adalah orang yang masuk dan keluar
wilayah Indonesia dan orang asing yang berada di wilayah Negara Republik Indonesia
untuk menjaga tegaknya Kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menurut Bagir Manan, jika dilihat dari sistem Hukum Keimigrasian pada dasarnya
merupakan sebagian kebijakan organ administrasi (negara) yang melaksanakan kegiatan
pemerintah (administrasi negara) berupa perbuatan hukum pemerintah yang dilakukan
Negara dalam keadaan bergerak (staat in beweging). Dengan demikian Hukum
Keimigrasian menjadi bagian dari sistem hukum yang berlaku di Indonesia, yaitu
Santoso
1
, Fadjrin Wira Perdana
2
,Irwan
3
, Bambang Setiawan
4
dan Purboyo
5
337 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 2, Februari 2022
merupakan subsistem dari Hukum Administrasi Negara (HAN). Fungsi dan kewenangan
keimigrasian di Indonesia dilaksanakan oleh Departemen Hukum dan Hak Asasi
Manusia, yang secara khusus dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Imigrasi. Dalam
kaitannya dengan hal tersebut, Prajudi Atmosudirdjo menyebutkan bahwa Hukum
Keimigrasian sebagai hukum mengenai pemerintah dalam kedudukan dan fungsinya
sebagai Administrator Negara.
Selanjutnya Prajudi Atmosudirdjo mengatakan bahwa di dalam negara modern
terdapat lima fungsi pokok dalam pemerintahan dimana salah satunya adalah fungsi
Administrasi Negara, yaitu melaksanakan dan menyelenggarakan kehendak-kehendak
(strategi) serta keputusan-keputusan pemerintah secara nyata dan penyelenggarakan
undang-undang (menurut pasal-pasalnya) sesuai dengan peraturan-peraturan yang
ditetapkan oleh pemerintah.
Berdasarkan uraian di atas, maka hukum keimigrasian yang merupakan hukum
administrasi negara bertujuan untuk mengatur dan menyelenggarakan semua aspek
keimigrasian yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan keimigrasian.
Dengan demikian Hukum Keimigrasian merupakan himpunan petunjuk yang mengatur
tata tertib orang-orang yang berlalu lintas masuk keluar wilayah Indonesia dan
pengawasan terhadap orang-orang asing yang berada di wilayah Indonesia dan/atau lalu
lintas WNI ke luar wilayah teritorial Indonesia (luar negeri).
Kasus TPPO dalam Pengiriman Buruh Migran Non Prosedural
Negara Indonesia pengerahan TKI ke luar negeri sudah berlangsung sejak zaman
penjajahan (sebelum Indonesia merdeka) dan masih berlangsung hingga sekarang. TKI
yang bekerja di luar negeri adalah buruh migran yang pengirimannya dilaksanakan
berdasarkan prosedur dan ketentuan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan
nasional Indonesia. Namun dalam praktik, meningkat kecenderungan pengiriman buruh
migran tersebut dilaksanakan secara ilegal karena tidak mengikuti prosedur yang telah
ditetapkan sehingga mereka merupakan buruh migran non prosedural.
Kondisi kontemporer, saat ini terdapat kecenderungan pengiriman Buruh Migran
non procedural yang terindikasi TPPO. Kementerian Luar Negeri (Kemlu) mencatat
bahwa sejak tahun 2013 hinggal awal Agustus 2016, terdapat 1.328 kasus WNI korban
Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di luar negeri. Jumlah itu terdiri dari 188
kasus pada tahun 2013, 326 kasus pada tahun 2014, dan 548 kasus pada tahun 2015.
Sementara itu, data Migrant Care menunjukkan bahwa dalam kurun waktu Mei 2015
sampai dengan Mei 2016 terdapat 2.644 WNI terjebak di Saudi Arabia, Uni Emirat Arab,
Abu Dhabi, Yordania, Qatar, dan Kuwait.
Laporan Tahunan (Tahun 2018) Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak
Pidana Perdagangan Orang, menyebutkan:
Berdasarkan Laporan Bareskrim, POLRI tahun 2018, korban perempuan 70 persen
dari 297 orang korban, dengan rincian korban perempuan dewasa 190 orang dan anak
perempuan 18 orang, sedangkan sisanya korban laki-laki dewasa dan anak laki-laki.
Kementerian Luar Negeri melaporkan pada tahun 2018 menangani 162 kasus Warga
Negara Indonesia (WNI) korban TPPO di luar negeri - Timur Tengah 74 orang, Asia
Timur dan Asia Tenggara 47 orang, Afrika 39 orang, Asia Selatan dan Asia Tengah 1
orang, dan Amerika Utara dan Amerika Tengah 1 orang. Dari jumlah kasus tersebut, yang
diselesaikan 88 kasus (54%) dan yang sedang berproses 74 kasus (46%).
Data korban TPPO Kementerian Sosial Tahun 2016 s/d 2019 menunjukkan tren
peningkatan kasus TPPO. Dari Tahun 2016 sampai pertengahan Tahun 2019, jumlah
korban perdagangan orang mencapai 4.906 kasus.
[8]
Selanjutnya dalam Laporan Tahunan
Penguatan Fungsi Keimigrasian dalam Rangka Pencegahan Tindak Pidana Perdagangan
Orang (TPPO) dalam Pengiriman Buruh Migran Non Prosedural di Wilayah Perbatasan
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 2, Februari 2022 338
Perdagangan Orang (Tahun 2020) Kedutaan Besar dan Konsulat AS di Indonesia, masih
menempatkan Indonesia pada Tingkat 2. Di dalam laporan tahunan disebutkan Profil
Perdagangan Orang di Indonesia sebagai berikut:
Seperti yang dilaporkan selama 5 tahun terakhir, pelaku perdagangan orang
mengeksploitasi korban domestik dan asing yang berada di Indonesia. Pelaku juga
mengeksploitasi korban asal Indonesia di luar negeri. Setiap provinsi (34 provinsi) di
Indonesia merupakan daerah asal dan tujuan perdagangan orang. Pemerintah
memperkirakan setidaknya dua juta dari 6-8 juta WNI yang bekerja di luar negeri,
sebagian besar adalah perempuan, tidak memiliki dokumen atau telah melebihi batas
waktu tinggal yang tercantum pada visa mereka. Pelaku perdagangan orang
mengeksploitasi banyak warga negara Indonesia yang bekerja di Asia dan Timur Tengah
melalui kekerasan dan paksaan berbasis utang-piutang, terutama para pekerja rumah
tangga, pabrik, konstruksi, manufaktur, dan perkebunan kelapa sawit di Malaysia serta
pekerja di kapal penangkap ikan di seluruh Samudra Hindia dan Pasifik, Singapura,
Malaysia, Hong Kong. Negara-negara Timur Tengah menampung banyak pekerja rumah
tangga asal Indonesia yang tidak dilindungi undang-undang ketenagakerjaan setempat
dan sering mengalami berbagai indikator TPPO, termasuk jam kerja yang panjang,
ketiadaan kontrak resmi, dan upah yang tidak dibayarkan.
Beberapa kerugian yang akan dihadapi oleh Warga Negara Indonesia yang menjadi
pekerja migran/tenaga kerja ilegal/non-prosedural, antara lain: sponsor/calo/orang yang
menjanjikan pekerjaan dapat melarikan uang yang telah disetor oleh calon TKI (ditipu).
Tidak aman, karena tidak mendapat jaminan perlindungan di negara tujuan penempatan.
Diperlakukan tidak manusiawi mulai dari penampungan sampai ke luar negeri. Gaji
sangat rendah, bahkan ada yang tidak dibayar, karena tidak memiliki kekuatan hukum.
Dibatasi hak dan kewajibannya oleh majikan. Selalu merasa khawatir akan kemungkinan
ditangkap oleh aparat keamanan negara setempat. Jika tertangkap, akan dipenjara dan
dipulangkan paksa (deportasi). Tidak mendapat jaminan asuransi jika mengalami sakit,
musibah, kecelakaan, atau kematian.
Data faktual yang menunjukkan kecenderungan meningkatnya TPPO, khususnya
dalam pelaksanaan pengiriman Pekerja Migran Indonesia (BMI) secara non-prosedural
di wilayah perbatasan, justru terjadi bersamaan kebijakan Pemerintah membenahi
infrastruktur kawasan perbatasan melalui Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor
6 Tahun 2015 tentang Percepatan Pembangunan 7 (Tujuh) Pos Lintas Batas
Negara Terpadu dan Sarana Prasarana Penunjang di Kawasan Perbatasan, yaitu Pos
Lintas Batas Negara (PLBN) Aruk Kabupaten Sambas, PLBN Entikong Kabupaten
Sanggau, PLBN Nanga Badau, Kabupaten Kapuas Hulu, PLBN Motaain, Kabupaten
Belu, PLBN Motamasin, Kabupaten Malaka, PLBN Wini, Kabupaten Timor Tengah
Utara, dan PLBN Skouw, Kota Jayapura.
Urgensi Penguatan Fungsi Pengawasan Imigrasi untuk Mencegah TPPU dalam
Pengiriman Buruh Migran di Wilayah Perbatasan
Secara yuridis Pengawasan Keimigrasian adalah ”Serangkaian kegiatan yang
dilakukan untuk mengumpulkan, mengolah, serta menyajikan data dan informasi
keimigrasian warga negara Indonesia dan orang asing dalam rangka memastikan
dipatuhinya ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang keimigrasian.
Sedangkan pengertian pengawasan dalam fungsi keimigrasian merupakan keseluruhan
proses kegiatan untuk mengontrol atau mengawasi apakah proses pelaksanaan tugas telah
sesuai dengan aturan yang telah ditentukan.
Santoso
1
, Fadjrin Wira Perdana
2
,Irwan
3
, Bambang Setiawan
4
dan Purboyo
5
339 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 2, Februari 2022
Dirjen Imigrasi melalui Surat Edaran Nomor IMI-0277.GR.02.06 Tahun 2017
tentang Pencegahan TKI Non Prosedural dan Surat Dirlantaskim Nomor IMI.2-
GR.01.01-0331 tanggal 24 Februari 2017 mengenai pencegahan tki nonprosedural di
dalam proses penerbitan paspor dan pemberian izin keluar di TPI memberikan arahan
kepada seluruh Kantor Imigrasi untuk melakukan langkah-langkah yang dapat diambil
dalam upaya mencegah timbulnya TKI Nonprosedural, yaitu dengan cara sebagai berikut:
a. Mengontrol pemberian paspor RI melalui pemeriksaan keaslian dan kelengkapan
dokumen.
Proses pengawasan yang dilakukan pihak imigrasi berawal dari proses
pemeriksaan kelengkapan dan keaslian dari pada dokumen-dokumen yang menjadi
syarat dari pada proses permohonan paspor, hal ini dilakukan untuk meneliti tentang
kebenaran dari dokumen yang dilampirkan apakah sesuai dengan diminta atau tidak.
Pertimbangan tentang keaslian dokumen tersebut sangat penting karena dari hal
tersebut dapat dilihat tentang kebenaran dari permohonan tersebut benar-benar untuk
untuk memperoleh paspor. Ketelitian pihak imigrasi sangat dibutuhkan dalam
menyeleksi keaslian dokumen pengajuan paspor dimana pada saat itulah menjadi
awal untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan dari fungsi paspor, bentuk
penelitian terhadap dokumen-dokumen persyaratan paspor dapat berupa Keaslian
Dokumen, Kesesuaian nama pemohon dengan nama yang tertera pada dokumen,
Kecukupan umur dari pemohon paspor TKI dan Kelengkapan dokumen.
Berdasarkan bentuk-bentuk di atas pihak imigrasi dapat mencegah terjadinya
TKI Nonprosedural tersebut dari segi penyeleksian berkas-berkas dokumen dimana
pihak imigrasi berhak untuk tidak mengeluarkan paspor sesuai permohonan dari
pemohon, selain itu pihak imigrasi juga dapat melakukan tindak lanjut dari
kejanggalan yang ditemukan dalam proses penelitian berkas pemohon dengan
melakukan koordinasi dengan pihak yang terkait dalam hal pengeluaran berkas
permohonan paspor. Hal tersebut merupakan salah satu bentuk tugas dan tanggung
jawab dari imigrasi dalam mencegah timbulnya TKI Nonprosedural. Ketelitian dan
kejelian dari pihak imigrasi dalam meneliti dokumen-dokumen tersebut sangatlah
penting untuk mencegah timbulnya TKI Nonprosedural.
b. Melaksanakan Proses wawancara
Wawancara memiliki peran yang sangat penting dalam proses penelitian
kelayakan dari seseorang memperoleh paspor dimana wawancara merupakan proses
penelitian kelayakan pemberian paspor dengan cara langsung antara petugas imigrasi
dengan calon pemegang paspor. Wawancara yang dilakukan bertujuan untuk
mengetahui kebenaran dokumen yang dilampirkan dengan pernyataan yang
dikeluarkan oleh pemohon.
Pada proses ini pihak imigrasi yang melakukan wawancara dituntut harus bisa
mengungkap keserasian dokumen dengan pernyataan yang dikeluarkan pemohon
melalui pertanyaan-pertanyaan yang ditanyakan oleh petugas wawancara tersebut.
Petugas wawancara yang ditunjuk oleh kantor imigrasi yang mengeluarkan paspor
haruslah orang yang memiliki pengetahuan luas mengenai letak tempat, nama-nama
kota atau lainnya untuk mengungkapkan kebenaran dari data yang ada didalam
berkas persyaratan dengan pernyataan yang disampaikan oleh pemohon melalui
pertanyaan yang dikeluarkan oleh petugas. Bentuk pertanyaan yang dikeluarkan oleh
petugas dapat bermacam-macam tergantung situasi dan kondisi pada saat
berlangsungnya wawancara.
Penguatan Fungsi Keimigrasian dalam Rangka Pencegahan Tindak Pidana Perdagangan
Orang (TPPO) dalam Pengiriman Buruh Migran Non Prosedural di Wilayah Perbatasan
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 2, Februari 2022 340
Selain itu penguasaan pembicaraan oleh petugas wawancara sangat penting
dalam suatu wawancara dimana petugas wawancara harus mampu mengeluarkan
pertanyaan yang dapat menjebak pemohon untuk mengeluarkan pernyataan yang
sebenarnya apabila pada saat proses wawancara petugas menemukan adanya
ketidaksesuaian antara berkas pemohon dengan pernyataan yang dikeluarkan. Pada
umumnya kasus ketidaksesuaian antara keterangan yang terdapat pada berkas dengan
pernyataan yang dikeluarkan pemohon sering terjadi pada TKI dimana berkas yang
dilampirkan oleh pemohon merupakan berkas palsu yang dibuat oleh PJTKI untuk
memudahkan proses permohonan paspor dan mengelabui petugas agar TKI yang
berada dibawah perusahaan mereka dapat memperoleh paspor tanpa harus memiliki
dokumen yang resmi. Dari temuan tersebut pihak imigrasi bisa membatalkan
pemberian paspor kepada TKI sebagai upaya mencegah terjadinya Human
Trafficking pada TKI dan menindak lanjuti PJTKI yang menjadi penanggung jawab
dari pemohon tersebut
Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan
pengawasan pengiriman Buruh Migran non prosedural di Tempat Pemeriksaan Imigrasi
(TPI) di wilayah perbatasan dilaksanakan Petugas Imigrasi pada saat memberikan
pelayanan penerbitan paspor. Upaya yang dilakukan untuk mencegah TPPO, maka dalam
pelayanan penerbitan paspor terhadap Buruh Migran, Petugas Imigrasi meminta
memohon agar melampirkan tambahan persyaratan, melalui sistem photo berbasis
biometrik, melaksanakan proses wawancara, melakukan penundaan atau penolakan
permohonan paspor, serta melakukan kerjasama dengan instansi terkait apabila
terindikasi TPP.
Santoso
1
, Fadjrin Wira Perdana
2
,Irwan
3
, Bambang Setiawan
4
dan Purboyo
5
341 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 2, Februari 2022
Bibliografi
Arifin, Muhammad Ya’rif. (2019). Perekonomian Nasional Dalam Perspektif Undang-
Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia. Celebes Equilibrum Journal, 1(1),
26–31.
Buana, Mirza Satria. (2021). Menimbang Lembaga Peradilan Khusus Pemilu: Studi
Perbandingan Hukum Tata Negara.
Daniah, Rahmah, & Apriani, Fajar. (2018). Kebijakan nasional anti-trafficking dalam
migrasi internasional. Jurnal Politica Dinamika Masalah Politik Dalam Negeri Dan
Hubungan Internasional, 8(2).
Hasan, Alan. (2015). Pengawasan dan penindakan Keimigrasian bagi orang asing Yang
melebihi batas waktu izin Tinggal di Indonesia. Lex et Societatis, 3(1).
Iriansyah, Herinto Sidik. (2018). Manajemen Strategi Pengamanan Wilayah Nasional
dalam Prespektif Geopolitik dan Geostrategi Perbatasan NKRI. Jurnal Ilmu
Pendidikan (JIP) STKIP Kusuma Negara, 9(2), 1–16.
Mohede, Noldy. (2011). Sanksi Pidana terhadap Pelaku Tindak Pidana Keimigrasian.
Jurnal Hukum Unsrat, 19(4), 40–52.
Respationo, H. M. Soerya. (2013). Pemilihan Kepala Daerah Dalam Demokrasi Electoral.
Masalah-Masalah Hukum, 42(3), 356–361.
Rohmah, Sari Nur. (2019). Eksistensi Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris Dalam Ilmu
Pengetahuan di Era Globalisasi.
Suprapto, Putu Adi. (2015). Dampak Pembangunan By Pass Ida Bagus Mantra Terhadap
Alih Fungsi Lahan Pertanian di Provinsi Bali. Jurnal Komunikasi Hukum (JKH),
1(1).
Takdir, M. Iqrar. (2020). Pengaruh Mobilitas Penduduk Dan Remitan Terhadap
Pertumbuhan Ekonomi Di Kota Makassar. Skripsi Universitas Muhammadiyah
Makassar. Makassar.
Turatmiyah, Sri, & Annalisa, Y. (2013). Pengakuan hak-hak perempuan sebagai pekerja
rumah tangga (domestic workers) sebagai bentuk perlindungan hukum menurut
hukum positif Indonesia. Jurnal Dinamika Hukum, 13(1), 49–58.
Wardana, I. Gusti Putu Anom Kresna. (2019). Prevention and Deterrence of Foreigners
who Violate Immigration Regulations. Journal of Law and Border Protection, 1(1),
73–86.
Wijaya, Amelia Tharuni, & Nurhajati, Lestari. (2018). Implementasi CRPD dalam Aspek
Aksesibilitas Transportation Publik di DKI Jakarta. Bricolage: Jurnal Magister Ilmu
Komunikasi, 4(02), 180–209.
Wulandari, Cahya, & Wicaksono, Sonny Saptoajie. (2014). Tindak pidana perdagangan
orang (human trafficking) khususnya terhadap perempuan dan anak: Suatu
permasalahan dan penanganannya di Kota Semarang. Yustisia Jurnal Hukum, 3(3),
15–26.
Zamzami, Abid. (2020). Pelaksanaan Fungsi Hukum Administrasi Negara Dalam
Mewujudkan Pemerintahan Yang Baik. Jurnal Fakultas Hukum Universitas Islam
Malang.