Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 2, Februari 2022 326
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi:p–ISSN: 2723 - 6609
e-ISSN :2745-5254
Vol. 3, No., 2 Februari 2022
KEWENANGAN ICC MENGADILI KEJAHATAN INTERNASIONAL YANG
DILAKUKAN OLEH PEMIMPIN NEGARA
Oktriani Diani
1
, Fadjrin Wira Perdana
2
, Purboyo
3
, Sri Kelana
4
dan Driasko Budi
Sidartha
5
Politeknik Transportasi SDP Palembang, Indonesia
1,3,4 dan 5
dan Universitas
Diponegoro, Semarang, Indonesia
2
1
2
,
3
4
dan
5
Abstrak
Hadirnya sebuah peradilan pidana internasional dilatarbelakangi oleh keinginan untuk mengadili
para penjahat kemanusiaan. Sebelum adanya pengadilan pidana internasional beberapa peradilan
sudah pernah didirikan untuk mengadili penjahat perang terkhusus setelah perang dunia kedua
terjadi. Nuremberg Trial dan Tokyo Trial dibentuk untuk mengadili para pelaku kejahatan perang
dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi pada perang dunia kedua saat itu. Pemimpin
negara adalah individu yang merupakan subjek hukum internasional dan berhak dimintakan
pertanggungjawaban. Seorang individu dapat dimintakan pertanggungjawaban atas dasar Pasal
25 Statuta Roma 1998 yang membahas mengenai tanggung jawab pidana seorang individu. Pasal
27 Statuta Roma 1998 menyatakan bahwa tidak seorang individu yang dapat terbebas dari hukum
nasional atau internasional yang berlaku, meskipun individu tersebut memiliki peranan penting
dan imunitas di sebuah negara. Omar Al-Bashir dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana
karena memenuhi unsur pertanggungjawaban tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
apakah ICC berwenang mengadili kejahatan internasional yang dilakukan oleh Pemimpin Negara
yang terjadi di Dafur Sudan. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian hukum normatif. Sumber bahan hukum yang diperoleh dan diolah dalam penelitian
hukum normatif adalah data sekunder. Bahan hukum sekunder, yaitu publikasi hukum dari semua
dokumen tidak resmi. Teknik pengumpulan bahan hukum adalah dengan menggali kerangka
normatif dan teknik penelitian dokumen menggunakan bahan hukum yang membahas ketentuan
yurisdiksi International Criminal Court (ICC). Pasal 27 Statuta Roma 1998 menyatakan bahwa
tidak seorang individu yang dapat terbebas dari hukum nasional atau internasional yang berlaku,
meskipun individu tersebut memiliki peranan penting dan imunitas di sebuah negara. Omar Al-
Bashir dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana karena memenuhi unsur pertanggung
jawaban tersebut.
Kata kunci: International Criminal Court; Kejahatan Internasional; Pemimpin Negara
Abstract
The presence of an international criminal court is motivated by the desire to try criminals against
humanity. Prior to the existence of international criminal courts, several courts had been
established to try war criminals, especially after the second world war occurred. The Nuremberg
Trial and Tokyo Trial were formed to try the perpetrators of war crimes and crimes against
humanity that occurred during the second world war at that time. The leader of a state is an
individual who is a subject of international law and has the right to be held accountable. An
Kewenangan ICC Mengadili Kejahatan Internasional yang Dilakukan Oleh Pemimpin
Negara
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 2, Februari 2022 327
individual can be held accountable on the basis of Article 25 of the 1998 Rome Statute which
deals with the criminal responsibility of an individual. Article 27 of the 1998 Rome Statute states
that no individual can be exempt from applicable national or international law, even though the
individual has an important role and immunity in a country. Omar Al-Bashir can be held
criminally responsible for fulfilling the element of responsibility. This study aims to determine
whether the ICC has the authority to prosecute international crimes committed by State Leaders
that occurred in Dafur Sudan. The type of research used in this research is normative legal
research. Sources of legal materials obtained and processed in normative legal research are
secondary data. Secondary legal material, namely legal publication of all unofficial documents.
The technique of collecting legal materials is to explore the normative framework and document
research techniques using legal materials that discuss the jurisdictional provisions of the
International Criminal Court (ICC). Article 27 of the 1998 Rome Statute states that no individual
can be exempt from applicable national or international law, even though the individual has an
important role and immunity in a country. Omar Al-Bashir can be held criminally responsible for
fulfilling the elements of responsibility..
Keywords: International Criminal Court; International Crime; Country Leader
Pendahuluan
Keberadaan hukum pidana internasional tidak terlepas dari keberadaan kejahatan
internasional sebagai substansi hukum pidana internasional (Diantha & SH, 2017).
Keberadaan kejahatan internasional bermula dari kebiasaan dalam praktik hukum
internasional (Maskun et al., 2020). Kejahatan perang merupakan salah satu bentuk
kejahatan internasional tertua di dunia yang bersumber dari hukum kebiasaan
internasional (Gunawan, 2012). Kejahatan perang pertama dilakukan terhadap Peter van
Hagenbach di Breisach, Jerman, pada tahun 1474. Hagenbach diadili di Austria oleh 18
hakim dari Persatuan Kerajaan Romawi Suci dan dinyatakan bersalah atas pembunuhan,
pemerkosaan, sumpah palsu dan hukum lain yang bertentangan dengan Tuhan dan
manusia (Arafah, Fadlia, Sos, & Arts, 2020). Kesatria Hagenbach dilucuti dan dijatuhi
hukuman mati ketika dia terlibat dalam pendudukan militer di pengadilan internasional.
Kejahatan internasional lainnya yang juga memengaruhi hukum pidana internasional
adalah genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Genosida hanya satu dekade di
tahun 1940-an dan upaya untuk menuntut genosida dimulai pada tahun 1918, ketika pada
pertemuan Kabinet Perang Kekaisaran pada tanggal 20 November 1918, Lord Curzon
dari Inggris menekankan penuntutan para pemimpin Jerman dan pemuda Turki secara
etnis membersihkan minoritas Armenia Turki.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kembali untuk membentuk sebuah pengadilan
pidana internasional karena adanya kejahatan internasional dalam kasus-kasus tertentu
(Wahyudi & Budiana, 2021), diantaranya terjadinya kejahatan internasional (genocida)
di Rwanda, maka dibentuk ICTR (International Criminal Tribunal for the Former
Rwanda) (Ansyar & Pranowo, 2021a) dan kasus Yugoslavia (genocida) dibentuk ICTY
(International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia) (Soejoeti, 2018).
Selanjutnya pada tahun 1998 di Roma, PBB dengan konferensinya menerima sebuah
Statuta yang menjadi dasar pembentukan Pengadilan Pidana Internasional (International
Criminal Court selanjutnya ditulis dengan ICC) yang dikenal sebagai Statuta Roma
(Utami, 2012).
Seiring dengan mulai terinternalisasinya ICC sebagai Peradilan Pidana
Internasional dengan segala kewenangan yang dimilikinya, dalam waktu yang beriringan
terjadi kejahatan internasional dengan skala yang massif dan terstruktur karena sebagai
pelaku tindak pidananya adalah Pemimpin Negara. Hal ini dapat diamati pada kejahatan
Oktriani Diani
1
, Fadjrin Wira Perdana
2
, Purboyo
3
, Sri Kelana
4
dan Driasko Budi
Sidartha
5
328 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 2, Februari 2022
genocida yang terjadi pada wilayah Darfur, Republik Sudan yang diduga dilakukan oleh
Pemimpin Negara yaitu para pejabat pemerintah di Sudan antara lain Presiden Sudan
Omar Hassan Al-Bashir, Menteri Masalah Kemanusiaan Ahmad Harun, Pemimpin Milisi
Janjaweed Ali Kushayb, dan Menteri Pertahanan Abdel Rahim M Husein.
Kejahatan internasional yang terjadi di Darfur Republik Sudan kemudian diperiksa
di ICC (Humaniter, 2019) dan mendudukkan sebagai Terdakwa Presiden Sudan Omar
Hassan Al-Bashir, Menteri Masalah Kemanusiaan Ahmad Harun, Pemimpin Milisi
Janjaweed Ali Kushayb, dan Menteri Pertahanan Abdel Rahim M Husein. Semuanya
disangka atas beberapa kejahatan internasional antara lain, Genosida (Pasal 6 Statuta
Roma), Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Pasal 7 Statuta Roma), dan Kejahatan Perang
(Pasal 8 Statuta Roma). Berdasarkan penulisan makalah ini akan diberikan analisis proses
hukum dalam ICC terhadap kejahatan internasional yang dilakukan secara terstruktur
oleh Pemimpin Negara di Dafur Sudan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui apakah ICC berwenang mengadili kejahatan internasional yang dilakukan
oleh Pemimpin Negara yang terjadi di Dafur Sudan.
Metode Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum
normatif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan mengkaji peraturan perundang-
undangan yang berlaku atau diterapkan pada suatu masalah hukum tertentu. Mengenai
jenis penelitian yang digunakan yaitu penelitian hukum normatif, metode yang digunakan
adalah metode perundang-undangan dan metode kasus. Sumber bahan hukum yang
diperoleh dan diolah dalam penelitian hukum normatif adalah data sekunder yang
diperoleh dari sumber kepustakaan, bahan hukum primer yaitu hukum otoritatif artinya
bersifat otoritatif, mengkaji ketentuan-ketentuan yang bersumber dari hukum
internasional berupa konvensi-konvensi. Bahan hukum sekunder, yaitu publikasi hukum
dari semua dokumen tidak resmi. Teknik pengumpulan bahan hukum adalah dengan
menggali kerangka normatif dan teknik penelitian dokumen menggunakan bahan hukum
yang membahas ketentuan yurisdiksi International Criminal Court (ICC).
Hasil dan Pembahasan
Proses Hukum terhadap Kejahatan Internasional pada International Criminal Court
(ICC)
Ada beberapa definisi mengenai apa yang dimaksud dengan kejahatan internasional
dari beberapa ahli (Nrangwesti, 2021). Bassiouni memberi definisi kejahatan
internasional sebagai setiap tindakan yang ditetapkan di dalam konvensi konvensi
multilateral dan diikuti oleh sejumlah negara (Sumilat, 2021) dan didalamnya terdapat
salah satu dari sepuluh karakteristik pidana (Ruslan Renggong, 2021).
Sedangkan Bryan
A. Garner memberi pengertian kejahatan internasional sebagai kejahatan terhadap hukum
internasional (Pitaloka, 2021): Pertama, suatu tindakan sebagai kejahatan berdasarkan
perjanjian (treaty crime) di bawah hukum internasional (Ansyar & Pranowo, 2021b) atau
hukum kebiasaan internasional dan mengikat individu secara langsung tanpa diatur dalam
hukum nasional (Fahri, 2021). Kedua, ketentuan dalam hukum internasional yang
mengharuskan penuntutan terhadap tindakan-tindakan yang dapat dipidana berdasarkan
prinsip yurisdiksi universal (Sirait & SH, 2021).
Berdasarkan uraian di atas, maka kejahatan internasional dapat didefinisikan
sebagai tindakan yang oleh konvensi internasional atau hukum kebiasaan internasional
dinyatakan sebagai kejahatan di bawah hukum internasional (Pangestu, 2015) atau
Kewenangan ICC Mengadili Kejahatan Internasional yang Dilakukan Oleh Pemimpin
Negara
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 2, Februari 2022 329
kejahatan terhadap masyarakat internasional yang penuntutan dan penghukumannya
berdasarkan prinsip universal (Aziz, 2017). Prinsip universal di sini berarti bahwa setiap
negara berhak dan wajib untuk melakukan penuntutan (Hiariej, 2019) dan penghukuman
terhadap pelaku kejahatan internasional dimanapun dia berada (Tamaroba, 2021). Hal ini
dimaksudkan agar tidak ada pelaku kejahatan internasional yang lolos dari hukuman.
Akan tetapi, jika seorang pelaku kejahatan internasional telah dituntut (Jainah, 2013) dan
dihukum oleh suatu pengadilan atas kejahatan tersebut, maka pengadilan atau negara lain
tidak boleh melakukan penuntutan dan penghukuman (Jainah, 2013).
ICC dibentuk berdasarkan Statuta Roma (1998), secara efektif mulai berlaku sejak
tanggal 17 Juli 2002, di samping memiliki yurisdiksi kriminal sebagaimana dikemukakan
di atas, juga memiliki yurisdiksi personal untuk menyelidiki, mengadili dan memidana
individu tanpa memandang official capacity yang dimiliki oleh pelakunya di dalam
negara nasionalnya (Damayanti, 2020). Tidak peduli, apakah ia seorang kepala negara,
kepala pemerintahan, komandan militer atau sebagai atasan, seorang sipil atau tentara
bayaran. Jika terbukti bersalah melakukan kejahatan yang menjadi yurisdiksi kriminal
ICC (Lamadju, 2019), maka pelakunya sudah dapat dinyatakan shall be individually
responsible, oleh karena itu liable for punishment. Namun yurisdiksi kriminal dan
personal yang dimiliki ICC hanya dapat diterapkan terhadap warga negara yang negara
nasionalnya ikut meratifikasi Statuta Roma 1998, artinya berstatus sebagai State Party.
Statuta Roma 1998 merupakan dasar hukum bagi pembentukan dan
operasionalisasi Pengadilan Pidana Internasional (PPI) atau International Criminal Court
(ICC). Sejak disahkan tanggal 17 Februari 1998 Statuta Roma telah mengalami
perubahan melalui Review Conference yang diadakan di Kampala dari tanggal 21 Mei-
11 Juni 2010. Perubahan yang mendasar adalah penambahan ketentuan tentang kejahatan
agresi sebagaimana dikehendaki oleh ketentuan Pasal (5) angka 2 yang menyatakan
bahwa: yurisdiksi terhadap kejahatan agresi akan berlaku jika sudah ada ketentuan sesuai
maksud Pasal 121 dan Pasal 123, yakni tentang rincian kejahatan dan tentang syarat-
syarat pengadilan dapat melaksanakan yurisdiksi atas kejahatan itu, yang tidak boleh
bertentangan dengan piagam PBB.
2. Kewenangan ICC terhadap Kejahatan Internasional yang dilakukan oleh
Pemimpin Negara Sudan
Pemimpin negara adalah individu subjek Hukum Internasional yang dapat
dimintakan pertanggungjawaban. Pemikiran terhadap kedudukan Individu di dalam
hukum internasional telah berevolusi sedemikian rupa dan berkembang cukup signifikan
setelah adanya perkembangan yang terjadi dalam cabang-cabang hukum Internasional,
yaitu hukum pidana internasional, hukum hak asasi manusia internasional, dan hukum
humaniter internasional untuk menelaah kembali pengertian individu terutama dalam
konteks pertanggungjawaban pidana di hadapan pengadilan internasional secara
menyeluruh.
Sudan menyerahkan mantan Presiden Sudan, Omar Al-Bashir dan lainnya ke
Pengadilan Pidana Internasional (ICC) atas tuduhan kejahatan perang di Darfur. ICC yang
bermarkas di Den Haag telah mendakwa Bashir dan tiga mantan pembantunya dengan
genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang di wilayah barat Sudan
selama konflik yang menghancurkan dari 2003. Konflik di Darfur meletus ketika
pemberontak etnis minoritas Afrika mengangkat senjata melawan pemerintah Bashir
yang saat itu didominasi Arab, menuduhnya memarginalkan wilayah tersebut secara
ekonomi dan politik. ICC menuduh Bashir melakukan genosida, kejahatan perang, dan
kejahatan terhadap kemanusiaan karena perannya dalam konflik.
Oktriani Diani
1
, Fadjrin Wira Perdana
2
, Purboyo
3
, Sri Kelana
4
dan Driasko Budi
Sidartha
5
330 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 2, Februari 2022
Omar Al Bashir merupakan seorang Individu yang menjadi kepala negara sekaligus
merupakan panglima tertinggi di Sudan. Oleh karena kejahatan internasional yang
dilakukannya, maka Omar Al Bashir di bawa ke ICC. Fungsi dari ICC adalah untuk
mengadili pelaku individu yang telah melakukan kejahatan serius dalam level
internasional dan melawan atau mencegah terjadinya imunitas bagi aktor individu yang
melakukan kejahatan serius, meskipun aktor individu tersebut memiliki jabatan khusus
atau mempunyai power disuatu negara, seperti contohnya presiden.
Tanggung jawab Omar Al-Bashir, pemimpin negara sebagai individu tidak terlepas
dari kesalahan yang dilakukannya pada saat menjabat sebagai Presiden. Kesalahan yang
dilakukannya yaitu, pemimpin negara tersebut melakukan suatu tindak pidana
internasional yang masuk dalam yurisdiksi ICC antara lain, kejahatan perang, kejahatan
terhadap kemanusiaan dan genosida yang dilakukan dengan kesengajaan (dolus).
Legalitas dari tindak pidana kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan
genosida terdapat dalam Pasal 6 Statuta Roma 1998 tentang genosida, Pasal 7 Statuta
Roma 1998 yang membahas mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan, dan Pasal 8
mengenai kejahatan perang. Omar Al Bashir sebagai individu yang menjabat sebagai
pemimpin negara Sudan dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana karena telah
memenuhi asas legalitas dan terdapat kesalahan yang dilakukannya dengan suatu
kesengajaan (dolus). Kejahatan perang yang dilakukan Omar Al-Bashir dikarenakan
tanggung jawabnya sebagai pemimpin. Omar Al-Bashir secara sadar melakukan
pembunuhan, penyiksaan atau perlakuan tidak manusiawi, menyebabkan penderitaan
berat, atau luka serius terhadap badan atau kesehatan, melancarkan serangan terhadap
sekelompok penduduk sipil atau terhadap setiap orang sipil yang tidak ikut serta secara
langsung dalam pertikaian itu.
Pemberlakuan yurisdiksi ICC hanya dapat menggantikan yurisdiksi pengadilan
nasional jika pengadilan nasional telah memenuhi kriteria prinsip admissibility.
Kejahatan perang yang dilakukan Omar Al-Bashir dikarenakan tanggung jawabnya
sebagai pemimpin negara telah memenuhi kriteria tersebut. Keputusan ICC untuk
mengeluarkan surat penahanan atas diri Omar Al- Bashir, merupakan sejarah tersendiri
atas adanya upaya pengesampingan hak imunitas yang melekat pada kepala negara yang
masih berkuasa.
Kesimpulan
Pemimpin negara adalah individu yang merupakan subjek hukum internasional dan
berhak dimintakan pertanggungjawaban. Seorang individu dapat dimintakan
pertanggungjawaban atas dasar Pasal 25 Statuta Roma 1998 yang membahas mengenai
tanggung jawab pidana seorang individu. Pasal 27 Statuta Roma 1998 menyatakan bahwa
tidak seorang individu yang dapat terbebas dari hukum nasional atau internasional yang
berlaku, meskipun individu tersebut memiliki peranan penting dan imunitas di sebuah
negara. Omar Al-Bashir dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana karena memenuhi
unsur pertanggungjawaban tersebut.
Bibliografi
Ansyar, Muhammad, & Pranowo, Dimas. (2021a). Peradilan Campuran dalam Hukum
Pidana Internasional (Hybrid Tribunal). Syntax Literate; Jurnal Ilmiah Indonesia,
6(11), 5777–5789.
Kewenangan ICC Mengadili Kejahatan Internasional yang Dilakukan Oleh Pemimpin
Negara
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 2, Februari 2022 331
Ansyar, Muhammad, & Pranowo, Dimas. (2021b). Peradilan Campuran dalam Hukum
Pidana Internasional (Hybrid Tribunal). Syntax Literate; Jurnal Ilmiah Indonesia,
6(11), 5777–5789.
Arafah, Azmi, Fadlia, Faradilla, Sos, S., & Arts, M. (2020). Sumpah dalam Qanun Nomor
6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat (Konsep Keadilan bagi Korban
Pemerkosaan). Jurnal Ilmiah Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik, 5(1).
Aziz, Sari. (2017). Kedudukan Prinsip Komplementaritas Mahkamah Pidana
Internasional atas Pemberian Amnesti terhadap Pelaku Kejahatan Internasional.
Jurnal Hukum & Pembangunan, 34(3), 230–257.
Damayanti, Novy Septiana. (2020). Peran Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Kaitannya
dengan Penegakan Hukum Oleh Mahkamah Pidana Internasional (Prospek dan
Tantangan). Sasi, 26(2), 251–265.
Diantha, I. Made Pasek, & SH, M. S. (2017). Hukum Pidana Internasional: dalam
dinamika pengadilan pidana internasional. Prenada Media.
Fahri, Faizal. (2021). Daya Ikat Putusan Mahkamah Internasional: Analisis Penyerangan
Militer dan Paramiliter Amerika Terhadap Nikaragua. The Digest: Journal of
Jurisprudence and Legisprudence, 2(2), 263–283.
Gunawan, Yordan. (2012). Penegakan Hukum Terhadap Pembajakan di Laut Melalui
Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional. Jurnal Media Hukum, 19(1).
Hiariej, Eddy Omar Sharif. (2019). United Nations Convention Against Corruption
Dalam Sistem Hukum Indonesia. Mimbar Hukum-Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada, 31(1), 112–125.
Humaniter, Jurnal Hukum. (2019). Kasus Darfur. TerAs Law Review: Jurnal Hukum
Humaniter Dan HAM, 1(2).
Jainah, Zainab Ompu. (2013). Kejahatan Narkoba Sebagai Fenomena Dari Transnational
Organized Crime. Pranata Hukum, 8(2).
Maskun, S. H., LM, L., Maskun, S. H., LM, L., Achmad, S. H., MH, Achmad S. H.,
Naswar, S. H., Assidiq, Assidiq, & Lubis, Sitti Nurhalima. (2020). Korelasi
Kejahatan Siber dan Kejahatan Agresi Dalam Perkembangan Hukum Internasional.
Nrangwesti, Ayu. (2021). Beberapa Aspek yang Berkaitan dengan Kejahatan Terhadap
Kemanusiaan (Crimes Against Humanity) dalam Perspektif Hukum Internasional.
Hukum Pidana Dan Pembangunan Hukum, 3(2), 45–57.
Pangestu, Danang Y. (2015). Pengusiran Terhadap Warga Negara Asing Pelaku Tindak
Pidana Narkotika Setelah Menjalani Masa Pidana. Lex Crimen, 4(5).
Pitaloka, Diva. (2021). Pemberian Suaka Diplomatik Berkaitan Dengan Hak Asasi
Manusia Dalam Perspektif Hukum Internasional. Unizar Law Review (ULR), 4(1).
Ruslan Renggong, S. H. (2021). Hukum Pidana Khusus Memahami Delik-delik di Luar
KUHP Edisi Revisi. Prenada Media.
Sirait, Timbo Mangaranap, & SH, M. H. (2021). Hukum Pidana Internasional Dan
Perkembangannya. Deepublish.
Soejoeti, Ariani Hasanah. (2018). Hukuman Penjara Seumur Hidup dan Genosida.
Deviance Jurnal Kriminologi, 2(2), 102–116.
Sumilat, Charles Frera. (2021). Kewenangan Mahkamah Pidana Internasional dalam
Mengadili Kejahatan Internasional Bagi Negara Non Peserta Statuta Roma 1998
Berdasarkan Hukum Internasional. LEX CRIMEN, 10(2).
Tamaroba, Fira. (2021). Tindak Pidana Lain yang Berkaitan dengan Pendanaan
Terorisme Menurut Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 Tentang
Oktriani Diani
1
, Fadjrin Wira Perdana
2
, Purboyo
3
, Sri Kelana
4
dan Driasko Budi
Sidartha
5
330 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 2, Februari 2022
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. LEX
CRIMEN, 10(6).
Oktriani Diani
1
, Fadjrin Wira Perdana
2
, Purboyo
3
, Sri Kelana
4
dan Driasko Budi
Sidartha
5
332 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 2, Februari 2022
Utami, Asri Dwi. (2012). Analisis Yurisdiksi Perompakan Kapal Laut Di Laut Lepas
Menurut Hukum Internasional (Studi Kasus Perompakan Kapal Sinar Kudus Mv).
Wahyudi, Anak Agung Ngurah Riski, & Budiana, I. Nyoman. (2021). Komparasi
Penyelesaian Perkara Pidana Kejahatan Genosida yang Terjadi di Rwanda dan
Myanmar Ditinjau Dari Perspektif Hukum Pidana Internasional. Jurnal Komunikasi
Hukum (JKH), 7(1), 158–169.