307
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi:p–ISSN: 2723 - 6609
e-ISSN :2745-5254
Vol. 3, No., 2 Februari 2022
IMPLEMENTASI INSTRUMEN INTERNASIONAL TENTANG KEBEBASAN
BERSERIKAT DAN HAK BERORGANISASI PEKERJA/BURUH DI
INDONESIA
Bambang Setiawan
1
, Fadjrin Wira Perdana
2
, Dahlia Dwi Apriani
3
, Ferdinand
Pusriansyah
4
dan Santoso
5
Politeknik Transportasi SDP Palembang
1,3,4 dan 5
, Universitas Diponegoro
2
1
2
,
3
4
dan
5
Abstrak
Secara yuridis, hak berserikat (union rights) yang di dalamnya memuat prinsip-prinsip
kebebasan berserikat dan hak berorganisasi pekerja/buruh sebagai diakui sebagai hak dasar
manusia dan diterima sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM), diatur dalam
instrumen internasional Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of
Human Rights) Perserikatan Bangsa-Bangsa 1948 (DUHAM PBB 1948). Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui implementasi Konvensi ILO mengenai kebebasan berserikat
dan hak berorganisasi pekerja/buruh ke dalam hukum nasional Indonesia. Metode
penelitian yang digunakan yaitu pendekatan yuridis empiris. Istilah “pendekatan” adalah
sesuatu yang dekat atau dekat (tindakan, usaha). Pendekatan yuridis yang ditempuh
dalam penelitian ini adalah dengan menerapkan peraturan perundang-undangan.
Pendekatan empiris adalah pendekatan yang bertujuan untuk memahami hubungan
antara hukum dan masyarakat serta faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan
hukum dalam masyarakat. Sedangkan metode empiris adalah salah satu yang bertujuan
untuk memahami hubungan antara hukum dan masyarakat. Hukum dan masyarakat
berkaitan dengan faktor-faktor yang memengaruhi pelaksanaan hukum dalam
masyarakat. Implementasi instrumen internasional prinsip-prinsip kebebasan berserikat dan
hak berorganisasi pekerja/buruh yang diatur dalam Konvensi, Rekomendasi dan Resolusi
ILO telah menjadi bagian sistem hukum nasional Indonesia, yang bentuk pengesahannya
dilaksanakan melalui ratifikasi Konvensi tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan
terhadap Hak untuk Berorganisasi (Konvensi No. 87) dan Konvensi tentang Hak untuk
Berorganisasi dan Perundingan Bersama (Konvensi No. 98), dan/atau melalui transplantasi
hukum terhadap Rekomendasi tentang Kesepakatan-Kesepakatan Bersama tahun 1951
(Rekomendasi No. 91), Rekomendasi tentang Konsiliasi dan Arbitrase secara Sukarela tahun
1951 (Rekomendasi No. 92), Rekomendasi (Rekomendasi No. 163), Resolusi tahun 1952
tentang Independensi dari Gerakan Serikat Buruh, Resolusi tahun 1970 tentang Hak-hak
Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan hubungannya dengan Kebebasan Sipil.
Kata kunci: Instrumen Internasional; Kebebasan Berserikat; Hak Organisasi; Pekerja/Buruh
Abstract
Juridically, the right of association (union rights) which includes the principles of freedom of
association and the right to organize workers/laborers as recognized as basic human rights
and accepted as part of Human Rights (HAM), is regulated in the international instrument of
Implementasi Instrumen Internasional Tentang Kebebasan Berserikat dan Hak
Berorganisasi Pekerja/Buruh di Indonesia
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 2, Februari 2022 308
the Universal Declaration of Human Rights. Human Rights (Universal Declaration of Human
Rights) United Nations 1948 (UN Universal Declaration of Human Rights 1948). This study
aims to determine the implementation of the ILO Conventions concerning freedom of
association and the right to organize workers/labourers into Indonesian national law. The
research method used is an empirical juridical approach. The term “approach” is something
close or near (action, effort). The juridical approach taken in this research is to apply the laws
and regulations. The empirical approach is an approach that aims to understand the
relationship between law and society and the factors that influence the implementation of law
in society. While the empirical method is one that aims to understand the relationship between
law and society. Law and society are related to the factors that influence the implementation
of law in society. The implementation of international instruments on the principles of freedom
of association and workers' right to organize as regulated in ILO Conventions,
Recommendations and Resolutions has become part of the Indonesian national legal system,
the ratification of which is carried out through the ratification of the Convention on Freedom
of Association and Protection of the Right to Organize (Convention No. 87) and the
Convention on the Right to Organize and Collective Bargaining (Convention No. 98), and/or
through legal transplantation of the Recommendation on Collective Agreements of 1951
(Recommendation No. 91), Recommendation on Voluntary Conciliation and Arbitration of
1951 (Recommendation No. 92), Recommendation (Recommendation No. 163), Resolution
1952 on Independence from the Trade Union Movement, Resolution 1970 on Trade Union
Rights and its relation to Civil Liberties.
Keywords: International Instruments; Freedom of Association; Organizational Rights;
Workers/Labourers
Pendahuluan
Secara historis DUHAM PBB 1948 menjadi instrumen internasional pertama yang
memasukkan hak berserikat (union rights) sebagai bagian dari HAM (Herlin Wijayati, 2022a).
Hal itu dirumuskan dalam Pasal 20 ayat (1) DUHAM PBB 1948 yang menyebutkan bahwa
(Akbar, 2021), “Setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat tanpa
kekerasan”. Kemudian dalam Pasal 23 ayat (4) DUHAM PBB 1948, dengan rumusan, “Setiap
orang berhak mendirikan dan memasuki serikat-serikat pekerja untuk melindungi
kepentingannya” (Rahman Amin, 2021). Secara normatif DUHAM PBB 1948 merepresentasikan
pendapat internasional masyarakat bangsa-bangsa yang tergabung dalam PBB (Jaelani,
Syahidin, & Sumarna, 2021), meskipun dokumen tersebut tidak mengikat secara hukum.
Hak berserikat (union rights) yang oleh DUHAM PBB 1948 dideklarasikan sebagai
HAM, diatur lebih lanjut oleh Kovenan Internasional Mengenai Hak Sipil dan Politik
(International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR) 1976. Pasal 22 ayat (1) ICCPR,
menyatakan bahwa, “Setiap orang berhak untuk bergabung berasosiasi dengan dengan orang lain,
termasuk hak untuk membentuk (Ningsih, Sibuea, & Nugroho, 2021) dan memasuki serikat
pekerja untuk menjaga kepentingan-kepentingannya sendiri”. Ketentuan dalam DUHAM PBB
1948 juga diadopsi dalam Kovenan Hak Sipil dan Politik (KIHSP) (Rasad, 2021).
Berdasarkan perkembangannya DUHAM PBB 1948 juga diadopsi oleh organisasi buruh
internasional yaitu International Labour Organisation (ILO) (Herlin Wijayati, 2022b) dalam
berbagai macam konvensi. Secara kelembagaan, menurut Jasmien Van Daele ILO merupakan
Organisasi Internasional yang mempunyai otoritas untuk mengatur dan menetapkan standar
internasional mengenai prinsip-prinsip kebebasan berserikat (Sanny, Pieris, & Foekh, 2021)
dan hak berorganisasi pekerja/buruh dalam bentuk konvensi, rekomendasi (dan/atau resolusi)
(Commune, 2021).
ILO menjadi wadah yang menggabungkan kepentingan pemerintah,
kepentingan pekerja/buruh, dan kepentingan pengusaha (Sipayung et al., 2022). Berdasarkan
konteks intergovernmental organization”, maka perwakilan pekerja/buruh dan pengusaha
dikualifikasikan sebagai perwakilan non-government.
Bambang Setiawan
1
, Fadjrin Wira Perdana
2
, Dahlia Dwi Apriani
3
, Ferdinand
Pusriansyah
4
dan Santoso
5
309 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 2, Februari 2022
Menurut Heiko Sauer ILO yang dibentuk pada tahun 1919, merupakan organisasi
internasional yang bertujuan untuk meningkatkan kondisi pekerja/buruh melalui penetapan
standar internasional ketenagakerjaan (Anwar, 2021). Secara umum melekat tiga kewenangan
dari ILO, yaitu wewenang normatif, wewenang pengawasan, dan wewenang sanksi. Berdasarkan
wewenang normatif, ILO membuat norma-norma seperti ketentuan hukum (Rato, 2021) dan hak
untuk ikut dalam membuat perjanjian internasional dengan subjek- subjek hukum internasional
lainnya sesuai dengan Pasal 6 Konvensi Wina. Kewenangan untuk melakukan pengawasan
dilakukan untuk mengawasi negara-negara anggota yang tidak melaksanakan kewajiban-
kewajiban yang telah disepakati dalam Konvensi, Rekomendasi dan/atau Resolusi (Priambudi
& Oktavia, 2021).
Kajian yang dilakukan Agusmidah menyebutkan bahwa dalam rangka untuk memberikan
perlindungan hukum kepada pekerja/buruh di seluruh dunia (Priambudi & Oktavia, 2021), ILO
telah membuat 189 Konvensi, 205 Rekomendasi, dan 6 Protokol Tambahan, dengan
menyusunnya menjadi 3 (tiga) klasifikasi yaitu dasar (fundamental), pemerintah (governance),
dan teknis (technical) (Fauzia, Virantika, & Firmansyah, 2021). Secara faktual negara
Indonesia telah meratifikasi 8 (delapan) Konvensi Dasar ILO dan 11 (sebelas) Konvensi Teknis
yang dianggap penting dan Indonesia membutuhkannya sebagai dasar hukum nasional peraturan
perundang-undangan. Ratifikasi bersifat sukarela, artinya tidak ada sanksi yang dapat diberikan
kepada negara-negara yang tidak meratifikasi konvensi ILO (Mita Noveria, 2021). Konvensi
harus diratifikasi seluruhnya oleh negara anggota.
Berkaitan dengan Konvensi ILO, maka yang harus dilakukan oleh negara anggota adalah
mengadopsi konvensi-konvensi ILO tersebut untuk selanjutnya mengaturnya ke dalam sistem
hukum nasional masing-masing negara. Selanjutnya ILO akan melaksanakan pemantauan
berdasarkan laporan dan/atau pengaduan baik dari unsur pemerintah, pengusaha, atau asosiasi
pekerja/buruh apabila koneksi tidak dijalankan, untuk selanjutnya dilaksanakan mekanisme
negosiasi antara negara dalam forum Conference Committee ILO. Dengan diratifikasinya
konvensi dasar ILO oleh Indonesia, maka terbentuk norma baru dalam hukum Indonesia.
Selanjutnya Indonesia, hal. 2. wajib melaksanakan semua norma yang terdapat dalam konvensi-
konvensi tersebut. Di Indonesia, konvensi internasional diratifikasi dalam bentuk undang-undang
(UU). Sedangkan rekomendasi yang dikeluarkan oleh ILO, tidak dimaksudkan untuk diratifikasi,
dan mengikat, hanya sebagai petunjuk untuk kegiatan nasional dan aplikasi dari konvensi ILO.
Lebih spesifik lagi, Konvensi ILO pertama yang mengatur tentang hak untuk berorganisasi
adalah Konvensi tentang Hak untuk Berserikat (Pertanian), tahun 1921 (Konvensi No. 11). Pada
tahun 1947 ditetapkan Konvensi No. 84 tentang Hak untuk Berserikat (Wilayah-wilayah bukan
Metropolitan). Sementara konvensi yang mengatur tentang kebebasan untuk berserikat ditetapkan
pada tahun 1948 yaitu Konvensi tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan terhadap Hak
untuk Berorganisasi (Konvensi ILO No. 87) dan, diikuti Konvensi tentang Hak untuk
Berorganisasi dan Perundingan Bersama (Konvensi ILO No. 98), yang secara bersama-sama
membentuk instrumen-instrumen dasar yang mengatur tentang kebebasan berserikat.
Negara Indonesia sebagai menjadi anggota Perserikatan Bangsa- Bangsa dan sekaligus
anggota ILO, maka konsekuensinya adalah bahwa Indonesia harus mengimplementasikan
berbagai konvensi ILO tersebut dalam sistem hukum nasional Indonesia, termasuk di dalamnya
Konvensi ILO mengenai prinsip-prinsip kebebasan berserikat dan hak berorganisasi
pekerja/buruh. Dalam konteks inilah kajian ini dilakukan untuk mengetahui implementasi
Konvensi ILO mengenai kebebasan berserikat dan hak berorganisasi pekerja/buruh ke dalam
hukum nasional Indonesia.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan yaitu pendekatan yuridis empiris. Istilah “pendekatan”
adalah sesuatu yang dekat atau dekat (tindakan, usaha). Pendekatan yuridis yang ditempuh dalam
penelitian ini adalah dengan menerapkan peraturan perundang-undangan. Pendekatan empiris
adalah pendekatan yang bertujuan untuk memahami hubungan antara hukum dan masyarakat
Implementasi Instrumen Internasional Tentang Kebebasan Berserikat dan Hak
Berorganisasi Pekerja/Buruh di Indonesia
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 2, Februari 2022 310
serta faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan hukum dalam masyarakat. Sedangkan
metode empiris adalah salah satu yang bertujuan untuk memahami hubungan antara hukum dan
masyarakat. Hukum dan masyarakat berkaitan dengan faktor-faktor yang memengaruhi
pelaksanaan hukum dalam masyarakat. Analisis mengacu pada pengelompokan,
menghubungkan, membandingkan dan memberi makna pada materi dan penerapannya peraturan
ketenagakerjaan dalam konvensi ILO yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia. Setiap
penelitian ilmiah membutuhkan data untuk memecahkan suatu masalah. Data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder yang diperoleh melalui wawancara dan
studi pustaka. Metode analisis data yang mendasari kesimpulan penelitian ini adalah kualitatif.
Analisis kualitatif terhadap bahan hukum yang disusun secara sistematis untuk sampai pada suatu
kesimpulan akhir yang dapat dijelaskan secara objektif merupakan jawaban atas pertanyaan-
pertanyaan yang disajikan dalam penelitian ini.
Analisis mengacu pada pengelompokan, menghubungkan, membandingkan dan memberi
makna pada materi dan penerapannya peraturan ketenagakerjaan dalam konvensi ILO yang telah
diratifikasi oleh pemerintah Indonesia. Setiap penelitian ilmiah membutuhkan data untuk
memecahkan suatu masalah. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan
data sekunder yang diperoleh melalui wawancara dan studi pustaka. Metode analisis data yang
mendasari kesimpulan penelitian ini adalah kualitatif. Analisis kualitatif terhadap bahan hukum
yang disusun secara sistematis untuk sampai pada suatu kesimpulan akhir yang dapat dijelaskan
secara objektif merupakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang disajikan dalam penelitian
ini.
Hasil dan Pembahasan
Analisis dan Pembahasan
Konvensi ILO mengenai Kebebasan Berserikat dan Hak Berorganisasi Pekerja/Buruh
Menurut J.G. Starke Hukum Internasional adalah keseluruhan hukum yang untuk
sebagian besar terdiri dari prinsip-prinsip dan kaidah- kaidah dalam mengatur perilaku subjek
hukum internasional. Selanjutnya di dalam prinsip-prinsip yang mengatur subjek hukum
internasional, negara-negara merasa dirinya terikat untuk menaati, dan karenanya, benar-benar
ditaati secara umum dalam hubungan mereka satu sama lain. Dalam hukum internasional diatur
tentang perjanjian internasional dan keberadaan organisasi internasional. Selanjutnya perjanjian
internasional dalam tulisan ini memfokuskan pada analisis dan pembahasan terhadap konvensi
ILO tentang kebebasan berserikat dan hak berorganisasi pekerja/buruh, dimana harus dituang ke
dalam hukum nasional tiap tiap negara anggota, termasuk Indonesia.
Pada uraian sebelumnya telah disebutkan bahwa Konvensi ILO yang mengatur kebebasan
untuk berserikat adalah Konvensi tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan terhadap Hak
untuk Berorganisasi (Konvensi ILO No. 87) dan Konvensi tentang Hak untuk Berorganisasi dan
Perundingan Bersama (Konvensi ILO No. 98). Substansi Konvensi ILO tentang Kebebasan
Berserikat dan Perlindungan Hak Berorganisasi 1948 (Konvensi No. 87), yaitu:
Menjamin semua pekerja dan pengusaha tanpa perbedaan apapun dan tanpa izin
sebelumnya, hak untuk membentuk dan mengikuti organisasi pilihannya sendiri. Organisasi ini
harus memiliki hak untuk membuat konstitusi dan peraturannya sendiri, memilih wakil-
wakilnya dengan kebebasan penuh, mengatur administrasi dan kegiatannya, serta menyusun
program-programnya, tanpa campur tangan oleh pemerintah. Organisasi ini tidak dapat
dibubarkan atau dibekukan oleh pemerintah, organisasi ini harus mempunyai hak untuk
membentuk federasi dan konfederasi, dan berafiliasi dengan organisasi internasional pekerja dan
pengusaha. Hal yang sama berlaku untuk federasi dan konfederasi.
Sedangkan substansi Konvensi ILO tentang Hak Berorganisasi dan Berunding Kolektif
1949 (Konvensi ILO No. 98) melengkapi Konvensi ILO 1948 (Konvensi ILO No. 87), lebih
diarahkan pada masalah hubungan-hubungan antara pengusaha dan pekerja. Konvensi ini
melindungi pekerja terhadap tindakan diskriminasi anti serikat pekerja/serikat buruh dalam
Bambang Setiawan
1
, Fadjrin Wira Perdana
2
, Dahlia Dwi Apriani
3
, Ferdinand
Pusriansyah
4
dan Santoso
5
311 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 2, Februari 2022
hubungannya dengan pekerjaan, dan khususnya mempersyaratkan agar organisasi pekerja
mendapatkan perlindungan cukup terhadap campur tangan pengusaha.
Selanjutnya Rekomendasi ILO mengenai kebebasan berserikat dan hak berorganisasi
pekerja/buruh adalah Rekomendasi No. 91, Rekomendasi No. 92, dan Rekomendasi No. 163.
Rekomendasi ILO No. 91 adalah Rekomendasi tentang Kesepakatan-Kesepakatan Bersama
tahun 1951. Isi dari Rekomendasi tersebut mengatur cara-cara perundingan secara bersama,
penyusunan Perjanjian Kerja Bersama/Kesepakatan Kerja Bersama. Sedangkankan
Rekomendasi ILO No. 92 tentang Konsiliasi dan Arbitrase secara Sukarela tahun 1951 berisi
cara melaksanakan konsiliasi dan mekanisme arbitrase dalam pelaksanaan perundingan antara
serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha, termasuk pelaksanaan hak mogok. Terakhir
Rekomendasi ILO Nomor 163 tentang perundingan bersama secara sukarela.
ILO juga telah menetapkan Resolusi terkait kebebasan berserikat dan hak berorganisasi
pekerja/buruh, diantaranya Resolusi ILO tahun 1952 mengenai independensi gerakan serikat
pekerja/serikat buruh, dan terakhir Resolusi ILO tahun 1970 tentang hak-hak Serikat
Pekerja/Serikat Buruh. Terkait dengan Resolusi tahun 1952 meletakkan sejumlah prinsip dasar
atau asas yang terkait dengan hubungan-hubungan antara organisasi-organisasi pekerja/buruh,
pemerintah dan partai-partai politik. Resolusi ini menyatakan bahwa penting bagi gerakan
serikat pekerja/serikat buruh di setiap negara untuk menjaga kebebasan dan independensi
sehingga dapat menjalankan misi ekonomi dan sosial, terlepas dari perubahan-perubahan politik.
Sedangkan Resolusi ILO tahun 1970 mengakui bahwa hak-hak yang diberikan kepada organisasi
serikat pekerja/serikat buruh dan pemberi kerja harus berdasarkan pada penghormatan terhadap
kebebasan-kebebasan sipil dan politik yang telah dicantumkan secara khusus di dalam Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia dan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik.
Implementasi Konvensi ILO tentang Kebebasan Berserikat dan Hak Berorganisasi
Pekerja/Buruh dalam Hukum Nasional Indonesia
Sebagai organisasi internasional di bawah PBB, maka ILO memiliki kewenangan
membuat peraturan dalam bentuk konvensi, rekomendasi dan/atau resolusi. Hal itu
dimaksudkan untuk menerapkan standar ketenagakerjaan di seluruh dunia, memberikan posisi
yang sama antar negara dengan meminimalisir kesenjangan sosial yang secara faktual terjadi
pada tiap-tiap negara anggota. Untuk itu ILO mempunyai instrumen promosi dan tugas spesifik.
Instrumen promosi difungsikan pada semua bentuk umum instrumen ILO, yang bertujuan untuk
mendesak setiap negara menjalankan instrumen ILO atas dasar HAM (human rights). Instrumen
tugas spesifik ditujukan khusus untuk lembaga legislatif setiap negara yang langsung terikat
dengan instrumen ILO. Instrumen ILO walaupun tidak memiliki kewajiban untuk diratifikasi,
tetapi tetap bersifat berlaku universal. Beberapa negara dalam hukum nasional menolak
memberlakukan instrumen ILO, maka negara yang bersangkutan tetap menjadi pelaksana dari
setiap instrumen dan menerapkan norma-norma yang terdapat di instrumen terhadap hukum
nasional.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka konvensi-konvensi ILO merupakan perjanjian
internasional, sehingga Indonesia sebagai anggota ILO terikat untuk melaksanakan semua
ketentuan dalam konvensi tersebut, mengatur lebih lanjut dalam sistem hukum nasional
Indonesia. Menurut Pasal 1 angka 7 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian.
Internasional, diberikan rumusan tentang organisasi internasional yaitu
adalah “Organisasi antar pemerintah yang diakui sebagai subjek hukum internasional dan
mempunyai kapasitas untuk membuat perjanjian internasional”. Selanjutnya dalam Pasal 4
Undang- undang Nomor 24 Tahun 2000, disebutkan bahwa, “Pemerintah Republik Indonesia
berhak membuat perjanjian internasional dengan organisasi internasional, dengan
menjalankannya dengan itikad baik”. Prinsip dasar yang harus diingat, bahwa konvensi
bukanlah perjanjian bilateral. Konvensi merupakan perjanjian internasional. Konsekuensinya
suatu perjanjian internasional akan mengikat secara nasional apabila sudah mendapatkan
pengesahan. Dalam hal ini setiap negara memiliki prosedur pengesahan perjanjian internasional,
sesuai dengan hukum nasional negara tersebut..
Implementasi Instrumen Internasional Tentang Kebebasan Berserikat dan Hak
Berorganisasi Pekerja/Buruh di Indonesia
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 2, Februari 2022 312
Negara Indonesia, pengesahan perjanjian internasional dilakukan menurut berdasarkan
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Ketentuan yang
dirumuskan dalam Pasal 10 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 menyebutkan bahwa,
“Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan bentuk Undang- undang apabila
berkenaan dengan:
a. Masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara
b. Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia
c. Kedaulatan atau hak berdaulat negara
d. Hak asasi manusia dan lingkungan hidup
e. Pembentukan kaidah hukum baru
f. Pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
Selanjutnya di dalam penjelasan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional, disebutkan bahwa “Bentuk pengesahan terbagi menjadi empat
kategori, yakni:
a. Ratifikasi (ratification) apabila negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian turut
menandatangani naskah perjanjian
b. Aksesi (accesion) apabila negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian internasional
tidak turut menandatangani naskah perjanjian
c. Penerimaan (acceptance) dan penyetujuan (approval) adalah pernyataan menerima atau
menyetujui dari negara-negara pihak pada suatu perjanjian internasional atas perubahan
perjanjian internasional tersebut. Selain itu, juga terdapat perjanjian- perjanjian
internasional yang tidak memerlukan pengesahan dan langsung berlaku setelah
penandatanganan.
Berdasarkan dalam praktik, instrumen hukum ILO yaitu Konvensi tentang Kebebasan
Berserikat dan Perlindungan terhadap Hak untuk Berorganisasi (Konvensi No. 87) dan Konvensi
tentang Hak untuk Berorganisasi dan Perundingan Bersama (Konvensi No. 98), oleh Indonesia
diratifikasi menjadi hukum nasional tidak hanya berbentuk Undang-undang, namun juga dalam
bentuk Keputusan Presiden:
a. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1956 tentang Persetujuan Konvensi Organisasi
Perburuhan Internasional (ILO) No. 98 mengenai Dasar-dasar dari Hak Untuk
Berorganisasi dan Berunding Bersama.
b. Kepres Nomor 83 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor 87 Tentang
Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Untuk Berorganisasi.
Pengesahan Konvensi ILO Nomor 87 Tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan
Hak Untuk Berorganisasi dalam bentuk Keputusan Presiden pada dasarnya tidak mengubah
kekuatan norma yang terkandung dalam Keputusan Presiden tersebut. Dengan kata lain, tidak
ada kewajiban bentuk pengesahan terhadap perjanjian internasional harus berupa UU. Namun
untuk menghindari polemik, maka semua instrumen hukum internasional yang akan disahkan
setelah berlakunya Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional,
akan diratifikasi dalam bentuk Undang-undang (UU).
Berdasarkan dalam perkembangannya, meskipun tidak ada kewajiban seperti halnya
kalaua itu merupakan Konvensi, Indonesia merespon lebih jauh terhadap beberapa Rekomendasi
dan Resolusi ILO tentang kebebasan berserikat dan hak berorganisasi pekerja/buruh dengan cara
melakukan transplantasi hukum substansi hukum (legal substance) Rekomendasi tentang
Kesepakatan-Kesepakatan Bersama tahun 1951 (Rekomendasi No. 91), Rekomendasi tentang
Konsiliasi dan Arbitrase secara Sukarela tahun 1951 (Reomendasi No. 92), Rekomendasi
(Rekomendasi No. 163), Resolusi tahun 1952 tentang Independensi dari Gerakan Serikat Buruh,
Resolusi tahun 1970 tentang Hak-hak Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan hubungannya dengan
Kebebasan Sipil. Transplantasi hukum dilakukan dengan mengatur ketentuan yang ada dalam
Rekomendasi dan/atau Resolusi ILO dalam pasal-pasal Undang-undang yang diundangkan
pasca Reformasi Politik 1998, yaitu Undang-undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat
Pekerja/Serikat Buruh, Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan
Bambang Setiawan
1
, Fadjrin Wira Perdana
2
, Dahlia Dwi Apriani
3
, Ferdinand
Pusriansyah
4
dan Santoso
5
313 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 2, Februari 2022
terakhir Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial. Dalam konteks ini, menegaskan bahwa Reformasi Politik 1998 memberikan
kontribusi bagi Indonesia dimilikinya instrumen hukum nasional yang lengkap dan
komprehensif tentang prinsip kebebasan berserikat dan hak berorganisasi pekerja/buruh.
Pengesahan Konvensi ILO Nomor 87 Tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan
Hak Untuk Berorganisasi dalam bentuk Keputusan Presiden pada dasarnya tidak mengubah
kekuatan norma yang terkandung dalam Keputusan Presiden tersebut. Dengan kata lain, tidak
ada kewajiban bentuk pengesahan terhadap perjanjian internasional harus berupa UU. Namun
untuk menghindari polemik, maka semua instrumen hukum internasional yang akan disahkan
setelah berlakunya Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional,
akan diratifikasi dalam bentuk Undang-undang (UU).
Berdasarkan dalam perkembangannya, meskipun tidak ada kewajiban seperti halnya
kalaua itu merupakan Konvensi, Indonesia merespon lebih jauh terhadap beberapa Rekomendasi
dan Resolusi ILO tentang kebebasan berserikat dan hak berorganisasi pekerja/buruh dengan cara
melakukan transplantasi hukum substansi hukum (legal substance) Rekomendasi tentang
Kesepakatan-Kesepakatan Bersama tahun 1951 (Rekomendasi No. 91), Rekomendasi tentang
Konsiliasi dan Arbitrase secara Sukarela tahun 1951 (Reomendasi No. 92), Rekomendasi
(Rekomendasi No. 163), Resolusi tahun 1952 tentang Independensi dari Gerakan Serikat Buruh,
Resolusi tahun 1970 tentang Hak-hak Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan hubungannya dengan
Kebebasan Sipil. Transplantasi hukum dilakukan dengan mengatur ketentuan yang ada dalam
rekomendasi atau resolusi ILO dalam pasal-pasal Undang-undang diundangkan pasca reformasi
politik 1998 (Buana, 2021), yaitu undang-undang Nomor 21 Tahun 200 tentang serikat
Pekerja/serikat buruh, Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dan
terakhir Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial. Dalam konteks ini, menegaskan bahwa reformasi politik 1998 memberikan kontribusi
bagi Indonesia dimiliknya instrumen hukum nasional yang lengkap dan komprehensif tentang
prinsip kebebasan berserikat dan hak berorganisasi pekerja atau buruh.
Kesimpulan
Implementasi instrumen internasional prinsip-prinsip kebebasan berserikat dan hak
berorganisasi pekerja/buruh yang diatur dalam Konvensi, Rekomendasi dan Resolusi ILO telah
menjadi bagian sistem hukum nasional Indonesia, yang bentuk pengesahannya dilaksanakan
melalui ratifikasi Konvensi tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan terhadap Hak untuk
Berorganisasi (Konvensi No. 87) dan Konvensi tentang Hak untuk Berorganisasi dan
Perundingan Bersama (Konvensi No. 98), dan/atau melalui transplantasi hukum terhadap
Rekomendasi tentang Kesepakatan-Kesepakatan Bersama tahun 1951 (Rekomendasi No. 91),
Rekomendasi tentang Konsiliasi dan Arbitrase secara Sukarela tahun 1951 (Reomendasi No.
92), Rekomendasi (Rekomendasi No. 163), Resolusi tahun 1952 tentang Independensi dari
Gerakan Serikat Buruh, Resolusi tahun 1970 tentang Hak-hak Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan
hubungannya dengan Kebebasan Sipil.
Implementasi Instrumen Internasional Tentang Kebebasan Berserikat dan Hak
Berorganisasi Pekerja/Buruh di Indonesia
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 2, Februari 2022 314
Bibliografi
Akbar, Asep Opik. (2021). Universalisme Minimum Nilai-Nilai HAM Menuju Universalisme
Pluralis dalam Islam. Al Qisthas: Jurnal Hukum Dan Politik Ketatanegaraan, 12(1), 139
181.
Anwar, Ahmad Syaifudin. (2021). Kebijkan Pemutusan Hubungan Kerja di Masa Pandemi Covid
19 Prespektif Hukum Ketenagakerjaan. Supremasi Hukum: Jurnal Kajian Ilmu Hukum,
9(2).
Commune, Jurnal Hukum Bisnis Bonum. (2021). Perlindungan Hukum Terhadap Hak Cuti
Pekerja Perempuan Hamil (Studi Pada Perusahaan Es Krim di Bekasi).
Fauzia, Fika, Virantika, Adinda, & Firmansyah, Gerry. (2021). Langkah langkah Strategis
Pemenuhan Kebutuhan SDM Talenta Digital di Lingkungan Pemerintahan Indonesia.
Proceeding KONIK (Konferensi Nasional Ilmu Komputer), 5, 3946.
Herlin Wijayati, S. H. (2022a). Hukum Kewarganegaraan & Keimigrasian. Media Nusa Creative
(MNC Publishing).
Herlin Wijayati, S. H. (2022b). Hukum Kewarganegaraan & Keimigrasian. Media Nusa Creative
(MNC Publishing).
Jaelani, Juhri, Syahidin, Syahidin, & Sumarna, Elan. (2021). Islam and Women’s Involvement in
Education (Abu Syuqqah Thought Study in Taḥrīr al-Mar’ah ‘Aṣr al-Risālah). Jurnal
Kajian Peradaban Islam, 4(2), 99110.
Mita Noveria, D. K. K. (2021). Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Yayasan Pustaka Obor
Indonesia.
Ningsih, Tuty, Sibuea, Ishman L., & Nugroho, Aditya Yusup. (2021). Kajian Penerapan Sistem
Sustainable Palm Oil (RSPO-ISPO) Secara Terintegrasi di PT. Bakrie Sumatera Plantations,
Tbk. Prosiding Konferensi Nasional Social & Engineering Polmed (KONSEP) 2021, 2(1),
283293.
Priambudi, Zaki, & Oktavia, Avina Nakita. (2021). FK2H Law Review 2021: Dinamika
Perkembangan Hukum HAM, Hukum Internasional, dan Pembangunan Hukum di
Indonesia. UPT Penerbitan & Percetakan Universitas Jember.
Rahman Amin, S. H. (2021). Hukum Perlindungan Anak Dan Perempuan Di Indonesia.
Deepublish.
Rasad, Fauziah. (2021). Perubahan Pidana Mati Menjadi Pidana Penjara Melalui Pemidanaan
Secara Alternatif. Jurnal HAM, 12, 141163.
Rato, Dominikus. (2021). Dasar-dasar Ilmu Hukum: Memahami Hukum Sejak Dini. Prenada
Media.
Sanny, Honing, Pieris, John, & Foekh, Daniel Yusmic P. (2021). Hak Asasi Manusia, Demokrasi
Dan Pancasila. To-Ra, 142156.
Sipayung, Parlin Dony, Manullang, Sardjana Orba, Gelong, Hendrik Ruben, Nasrin, Nasrin,
Hijriani, Hijriani, Anggusti, Martono, & Faried, Annisa Ilmi. (2022). Hukum
Ketenagakerjaan. Yayasan Kita Menulis.