Implementasi Instrumen Internasional Tentang Kebebasan Berserikat dan Hak
Berorganisasi Pekerja/Buruh di Indonesia
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 2, Februari 2022 308
the Universal Declaration of Human Rights. Human Rights (Universal Declaration of Human
Rights) United Nations 1948 (UN Universal Declaration of Human Rights 1948). This study
aims to determine the implementation of the ILO Conventions concerning freedom of
association and the right to organize workers/labourers into Indonesian national law. The
research method used is an empirical juridical approach. The term “approach” is something
close or near (action, effort). The juridical approach taken in this research is to apply the laws
and regulations. The empirical approach is an approach that aims to understand the
relationship between law and society and the factors that influence the implementation of law
in society. While the empirical method is one that aims to understand the relationship between
law and society. Law and society are related to the factors that influence the implementation
of law in society. The implementation of international instruments on the principles of freedom
of association and workers' right to organize as regulated in ILO Conventions,
Recommendations and Resolutions has become part of the Indonesian national legal system,
the ratification of which is carried out through the ratification of the Convention on Freedom
of Association and Protection of the Right to Organize (Convention No. 87) and the
Convention on the Right to Organize and Collective Bargaining (Convention No. 98), and/or
through legal transplantation of the Recommendation on Collective Agreements of 1951
(Recommendation No. 91), Recommendation on Voluntary Conciliation and Arbitration of
1951 (Recommendation No. 92), Recommendation (Recommendation No. 163), Resolution
1952 on Independence from the Trade Union Movement, Resolution 1970 on Trade Union
Rights and its relation to Civil Liberties.
Keywords: International Instruments; Freedom of Association; Organizational Rights;
Workers/Labourers
Pendahuluan
Secara historis DUHAM PBB 1948 menjadi instrumen internasional pertama yang
memasukkan hak berserikat (union rights) sebagai bagian dari HAM (Herlin Wijayati, 2022a).
Hal itu dirumuskan dalam Pasal 20 ayat (1) DUHAM PBB 1948 yang menyebutkan bahwa
(Akbar, 2021), “Setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat tanpa
kekerasan”. Kemudian dalam Pasal 23 ayat (4) DUHAM PBB 1948, dengan rumusan, “Setiap
orang berhak mendirikan dan memasuki serikat-serikat pekerja untuk melindungi
kepentingannya” (Rahman Amin, 2021). Secara normatif DUHAM PBB 1948 merepresentasikan
pendapat internasional masyarakat bangsa-bangsa yang tergabung dalam PBB (Jaelani,
Syahidin, & Sumarna, 2021), meskipun dokumen tersebut tidak mengikat secara hukum.
Hak berserikat (union rights) yang oleh DUHAM PBB 1948 dideklarasikan sebagai
HAM, diatur lebih lanjut oleh Kovenan Internasional Mengenai Hak Sipil dan Politik
(International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR) 1976. Pasal 22 ayat (1) ICCPR,
menyatakan bahwa, “Setiap orang berhak untuk bergabung berasosiasi dengan dengan orang lain,
termasuk hak untuk membentuk (Ningsih, Sibuea, & Nugroho, 2021) dan memasuki serikat
pekerja untuk menjaga kepentingan-kepentingannya sendiri”. Ketentuan dalam DUHAM PBB
1948 juga diadopsi dalam Kovenan Hak Sipil dan Politik (KIHSP) (Rasad, 2021).
Berdasarkan perkembangannya DUHAM PBB 1948 juga diadopsi oleh organisasi buruh
internasional yaitu International Labour Organisation (ILO) (Herlin Wijayati, 2022b) dalam
berbagai macam konvensi. Secara kelembagaan, menurut Jasmien Van Daele ILO merupakan
Organisasi Internasional yang mempunyai otoritas untuk mengatur dan menetapkan standar
internasional mengenai prinsip-prinsip kebebasan berserikat (Sanny, Pieris, & Foekh, 2021)
dan hak berorganisasi pekerja/buruh dalam bentuk konvensi, rekomendasi (dan/atau resolusi)
(Commune, 2021).
ILO menjadi wadah yang menggabungkan kepentingan pemerintah,
kepentingan pekerja/buruh, dan kepentingan pengusaha (Sipayung et al., 2022). Berdasarkan
konteks “intergovernmental organization”, maka perwakilan pekerja/buruh dan pengusaha
dikualifikasikan sebagai perwakilan non-government.