231
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi:p–ISSN: 2723 - 6609
e-ISSN :2745-5254
Vol. 3, No.2 Februari 2022
IDENTITAS BUDAYA DAN REPRESENTASI ISLAM DALAM
NOVEL THE TRANSLATOR KARYA LEILA ABOULELA
Syarif Hidayat
Universitas Darma Persada, Jakarta, Indonesia
Abstrak
Isu mengenai identitas memang merupakan sebuah isu yang sering muncul dalam
karya sastra. Tujuan dalam penelitian ini ialah melihat adanya persoalan identitas
budaya pada tokoh-tokoh dalam Novel the Translator. Selain itu, penelitian ini juga
ingin melihat bagaimana islam direpresentasikan dalam novel tersebut. Penelitian ini
menggukan metode penelitian kualitatif, dengan teknik deskriptif analisis. Teori yang
digunakan dalam penelitian ini ialah teori Identitas Budaya yang dibuat olah Stuart
Hall. Dengan menggunakan teori tersebut penelitian ini melihat adanya culture shock
yang dialami tokoh Sammar, Sammar sebagai seorang muslim perempuan sepertinya
merasa asing tinggal di Inggris setelah suaminya meninggal. Di dalam tokoh Sammar
ada sebuah resistensi untuk tetap mempertahankn identitasnya sebagai seorang
muslim. Selain itu, penelitian ini juga melihat adanya negosiasi identitas yang
dilakukan oleh tokoh Rae yang akhirnya berpindah agama. Kesimpulan dalam
penelitian ini adalah adanya persolan identitas dalam tokoh Sammar dan Rae dalam
novel The Translator, serta adanya representasi islam sebagai agama yang dapat
bersifat adil dan mengharuskan penganutnya untuk berserah diri kepada Allah
Subhanahu wa ta’ala.
Kata kunci: Identitas Budaya; Negosiasi Identitas; Representasi Islam; The Translator
Abstract
The issue of identity is indeed an issue that often appears in literary works. The purpose of
this study is to see the problem of cultural identity in the characters in the Novel the Translator.
In addition, this study also wants to see how Islam is represented in the novel. This research
uses qualitative research methods, with descriptive analysis techniques. The theory used in
this research is the theory of Cultural Identity which was developed by Stuart Hall. Using this
theory, this research looks at the culture shock experienced by the character Sammar, Sammar
as a Muslim woman seems to feel foreign living in England after her husband died. In the
character of Sammar there is a resistance to maintain his identity as a Muslim. In addition,
this study also looks at the existence of identity negotiations carried out by Rae's character
who eventually converted to religion. The conclusion in this study is the existence of identity
issues in the characters of Sammar and Rae in the novel The Translator, as well as the
representation of Islam as a religion that can be just and requires its adherents to submit to
Allah Subhanahu wa ta'ala.
Keyword : Cultural Identity; Identity Negotiation; Islamic representation; The Translator
Identitas Budaya dan Representasi Islam dalam Novel The Translator Karya Leila
Aboulela
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 2, Februari 2022 232
Pendahuluan
Berbicara mengenai identitas tentu saja akan sangat berkaitan dengan isu-isu seperti
ras, kelas dan gender (Davies, 2018). Munculnya isu seperti ini dalam karya sastra
tentunya menjadi hal yang menarik dalam bidang kritik sastra, di mana tentu saja akan
menambah objek studi dalam bidang tersebut. (Krismawati, 2015).
Belakangan isu yang berkaitan dengan masalah identitas yang muncul yang
menarik perhatian (Prawoto, 2021), bahkan di seluruh dunia ialah mengenai agama,
khususnya Islam (Winarni, 2014). Permasalahan mengenai identitas Muslim sepertinya
sudah muncul sejak lama (Jubba, 2019), bahkan sebelum adanya isu mengenai terorisme
dan juga islamophobia (Arbi, 2016). Hal ini didasari bahwa sudah sejak lama pula Islam
berkembang dan menyebar di seluruh dunia (Ahmad, 2014). Salah satu yang menjadi
faktor penyebabnya ialah banyak muslim khususnya yang berasal dari Afrika
(Napitupulu, 2018) dan Asia telah berpindah ke negara-negara lain, yang mana
perpindahan ini pun disebabkan oleh banyak faktor penyebab pula (Hadijah & Sadali,
2020), salah satunya ialah yang berkaitan dengan kolonialisme. Beberapa negara yang
merupakan bagian dari negeri jajahan khususnya di Afrika ialah Mesir, Sudan, Uganda
dan Kenya (Aliyudin, 2008), yang merupakan bekas negara jajahan Inggris. Serta
Maroko, Aljazair, Tunisia yang merupakan bekas jajahan Perancis. dan memang hal ini
pulalah yang berpengaruh terhadap perkembangan sastra (Nurgiyantoro, 2018).
Salah satu karya sastra yang berkaitan dengan masalah identitas ini ialah sebuah
novel yang berjudul The Translator , karya Leila Aboulela. Leila Aboulela adalah seorang
penulis yang lahir di Mesir dan besar di Sudan yang banyak menulis dalam bahasa
Inggris, salah satu karyanya ialah novel The Translator. Novel ini bercerita tentang
seorang perempuan bernama Sammar yang ditinggal mati suaminya karena kecelakaan
dan akhirnya harus berjuang sendiri hidup di Skotlandia. Sammar mempunyai anak yang
tinggal dengan bibinya di Khartoum, Sudan. Di Skotlandia, Sammar bekerja sebagai
seorang penerjemah untuk seorang peneliti bernama Rae. Konflik terjadi ketika keduanya
saling jatuh cinta. Sammar yang beragama Islam tidak dapat menikah dengan Rae yang
beragama Kristen. Sammar harus meninggalkan Rae sementara. Sammar yang tetap kuat
dalam keyakinan, diri, dan cintanya akhirnya bertemu kembali dengan Rae yang telah
berpindah agama dan ingin menikahi Sammar.
Yang menarik dalam novel ini ialah bagaimana ada sebuah isu pencarian Identitas
dalam tokoh utama perempuan, Sammar, yang mencari identitas kebangsaannya, yang
sepertinya disandingkan dengan tokoh laki-laki, Rae, yang mencari identitas agamanya.
Kedua pencarian ini sepertinya dibuat saling melengkapi satu dengan yang lain. Dan juga
terlihat dalam makalah ini ada sebuah representasi Islam yang berkaitan pula dengan
identitas Sammar dan Rae, yang sepertinya diperlihatkan dalam teks dengan tujuan
tertentu.
Yang menjadi permasalahan dalam makalah ini ialah pertama bagaimana Identitas
agama Sammar yang kuat sepertinya memberikan sebuah jalan bagi Rae untuk
menentukan siapa dirinya. Dan kedua ialah sebaliknya di mana Rae yang merupakan
orang berkebangsaan Skotlandia, yang yakin atas identitas kebangsaannya sepertinya
juga memberikan jalan kepada Sammar utnuk dapat memilih siapa dirinya sebenarnya
dalam hal ini. Dan juga terlihat dalam makalah ini ada sebuah representasi Islam yang
berkaitan pula dengan identitas Sammar dan Rae.
Tujuan dari penelitian ini berdasarkan permasalahan di atas ialah untuk mengetahui
apa yang ingin teks ini sampaikan. Di mana sepertinya jika dikaitkan dengan representasi
Syarif Hidayat
233 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 2, Februari 2022
Islam yang digambarkan dalam teks ini, maka sepertinya ada sebuah upaya yang
menggambarkan bahwa ada keinginan dari teks agar Islam dapat diterima pada
masyarakat barat khususnya.
Berdasarkan atas tinjuan pustaka dari novel The Translator ini ditemukan beberapa
artikel yang telah membahas novel ini, yang pertama ialah artikel dari Albashir (2015)
yang sepertinya meneliti novel ini dari segi stilistika pengarang, yang kedua ialah dari Al-
Asmakh yang mengkaji novel ini dari perspektif multikulturalisme. Walaupun sepetinya
makalah ini memiliki kata kunci yang hampir sama dengan Al Asmakh (2009) namun
harus ditekankan bahwa metode penelitiannya berbeda, di mana makalah ini mencoba
melihat proses pencarian identitas, dan mengembangkan lebih jauh permasalahan terjadi
dalam Sammar dan Rae. Sehingga penelitian yang didapat dalam makalah ini akan
berbeda, di mana novel ini tidak hanya ingin agar perempuan muslim yang menggunakan
jilbab itu diterima dalam masyarakat barat, tetapi lebih jauh lagi, akan terlihat bahwa
novel ini ingin agar Islam itu dapat diterima dalam masyarakat barat khususnya dilihat
dari bagaimana Islam itu direpresentasikan dalam novel ini.
Teori yang digunakan dalam makalah ini ialah teori identitas oleh Stuart Hall. Hall
(dalam Rutherford: 1990, 222-225) menyatakan bahwa identitas budaya sellau dalam
proses dan tidak akan pernah selesai seperti sebuah proses produksi yang akan terus
menghasilkan sesuatu. Identitas terbagi menjadi dua yaitu being “what we really aredan
becoming “what we have become”. Dimana menurut hall keduanya sama pentingnya.
Identitas budaya tidak serta merta ada melainkan terus berubah dari masa lalu sampai
masa depan, seperti sejarah, yang dipengaruhi oleh ruang, waktu, sejarah serta budaya.
Identitas budaya pada akhirnya merupakan sebuah positioning.
Menurut Hall (1997: 15) representasi dapat berarti mewakili to stand for atau
menggambarkan (menghadirkan kembali) to represent’ melalui penggambaran atau
pelukisan. Giles dan Midleton (1999: 56) memberikan contoh untuk pengertian pertama,
to stand for yaitu seperti sebuah bendera suatu negara yang mewakili atau menjadi
simbol dari negara tersebut, dan pengertian kedua to represent yaitu seperti buku
biografi atau catatan sejarah yang menggambarkan atau menghadirkan kembali peristiwa
yang telah terjadi. Untuk selanjutnya, penggunaan kata representasi pada tulisan ini
mengacu pada pengertian yang kedua, yaitu ‘to represent’.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode kualitatif. Metode
penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang bertujuan untuk memahami fenomena
pada subjek penelitian seperti perilaku, persepsi, motivasi, tindakan. (Moleong, 2005: 6).
Dengan menggunakan teori identitas Stuart Hall penelitian ini mendeskripsikan data-data
berupa kutipan novel untuk melihat adanya identitas budaya dalam setiap tokoh dalam
The Translator.
Hasil dan Pembahasan
Identitas Budaya pada karakter Sammar
Sammar harus bertahan hidup di Skotlandia sendiri setelah suaminya Tarig
meninggal. Jika dilihat memang pada dasarnya Sammar sangat tidak terlalu menyukai
hidup di Skotlandia. “She was afraid of rain, afraid of the fog and the snow which came
to this country, afraid of the wind even (3). Dari sini terlihat bahwa Sammar tidak
menyukai udara di Skotlandia. Bahkan ia seperti merasa teralienasi disebabkan udara
Identitas Budaya dan Representasi Islam dalam Novel The Translator Karya Leila
Aboulela
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 2, Februari 2022 234
tersebut; dressed African suffers in the alien British cold (65). Sebagai seorang imigran,
yang lahir di Inggris, Sammar selalu berharap bahwa ia dapat lahir dan tinggal di Sudan
Perhaps she would have been given a different name had she been born in Khartoum, a
more common one(5). Dari sini dapat terlihat bahwa dalam diri Sammar, ada sebuah
konsep “rumah” yang merepresentasikan siapa diri dia dan dari mana ia berasal, dan
“rumah” itu ialah Sudan.
Namun demikian, ada sebuah keadaan yang sepertinya memaksa Sammar untuk
terus dapat bertahan hidup di Skotlandia. Hal ini mungkin disebabkan karena keadaanya
sedang sangat terpuruk setelah kematian suaminya. Bahkan ia sendiri tidak dapat merawat
anaknya; She was unable to mother the child. The part of her that did the mothering had
disappeared (7)”. Dari sini seperti terlihat keadaan Sammar yang sedang tidak stabil.
Tetapi, Sammar sepertinya bukan orang yang mudah menyerah ia berusaha untuk
bangkit. Itu sebabnya Sammar memutuskan untuk menikah lagi; 'I want to get married
again, I need a focus in my life (28). Dari sini terlihat bahwa Sammar sepertinya
membutuhkan seorang laki-laki untuk membuatnya tetap bertahan sebagai pengganti
suaminya yang telah pergi. Dan takdir sepertinya mempertemukan Sammar dengan Rae
seorang Ilmuwan di mana Sammar bekerja untuknya sebagai seorang penerjemah.
Namun, hubungan Sammar dan Rae tidak berjalan mulus hal ini disebabkan oleh
perbedaan agama diantara keduanya, di mana Sammar beragama Islam dan Rae beragama
Kristen.
Hubungan yang sulit untuk disatukan antara Sammar dan Rae bahkan
membuatnya merasa ‘terasing’; “Sammar felt separate from him, exiled while he was in
his homeland, fasting while he was eating turkey and drinking wine” (34), 'Being exiled
isn't very nice (150). Dari sini terlihat bahwa interaksi antara Sammar dan Rae justru
membuat ia merasa terasing karena perbedaan kehidupan diantara keduanya. Dan dari
sini juga terlihat bahwa keterasingan sammar juga disebabkan karena ia merasa bahwa
Skotlandia bukan tanah airnya, di mana mayoritas penduduknya beragama Kristen
sedangkan ia beragama islam yang tentu saja memiliki kebiasaan yang berbeda. Perlu
ditekankan bahwa konsep exiledi sini merupakan keadaan terasing yang terdapat dalam
diri disebabkan karena merasa teralienasi karena berada dalam suatu budaya atau keadaan
yang berbeda dengan keadaan dirinya. hal ini sesuai yang dinyatakan oleh Sara:
John Simpson in The Oxford Book of Exile writes that exile “is the human
condition; and the great upheavals of history have merely added physical
expression to an inner fact” (Simpson “Introduction”). Indeed it is so if exile is
taken to be identical with self-alienation in the modern, post-Marxist, Brechtian
sense of the term. Physical mobility often heightens the spiritual or psychological
sense of alienation from the places one continually moves between. The world, in
existentialist terms, appears absurd and indifferent towards one’s needs. In such a
situation one cannot help but feel like an outsider.
Dan memang dari sini terlihat bahwa Sammar merasa hidup seperti orang asing di
Aberdeen, Skotlandia, apalagi setelah suaminya meninggal.
Dan juga, terlihat ada beberapa kebudayaan yang memang berbeda antara
Aberdeen dan Khartoum, Sudan, yang membuat Sammar mendapatkan Culture shocked.
Pertama ialah ketika Sammar melihat seorang laki-laki tua yang masih menerima mantan
menantunya di rumahnya. Sedangkan kalau di Khartoum mungkin mantan menantu
tersebut akan dihina jika berani datang ke rumahnya karena perceraian mungkin sangat
tidak disukai di Khartoum. Yang ke dua ialah ketika ia mendengar temannya yang tidak
ingin menikah.
Syarif Hidayat
235 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 2, Februari 2022
Selanjutnya, hal-hal yang membuat Sammar merasa terasing di Aberdeen
sepertinya tertolong juga oleh Rae yang juga banyak meneliti tentang Islam dan juga
tertarik dengan Islam. Dan ketika Sammar berbicara dengan Rae ia merasa tidak seperti
berbicara dengan orang Skotlandia lainnya karena Rae “seemed to understand, not in a
modern, deliberately nonjudgemental way but as if he was about to say, 'This has
happened to me too’ (6)”. Dari sini perasaan keterasingan Sammar sepertinya dapat
sedikit dihilangkan karena ia menemukan lawan bicara yang dapat memahami
keadaannya. Dan tidak hanya itu, Rae pun sepertinya sangat menerima masukan dari
Sammar:
They lived in worlds divided by simple facts -religion, Country of origin, race -
data that fills forms. But he doesn't drink anymore, she reminded herself He had
told her that and it had been another thing which made him less threatening.
Another thing which made him not so different from her (34).
Dari sini sepertinya terlihat ada sebuah kondisi multikultural di Skotlandia. Dan yang
menarik di sini ialah bagaimana Rae yang berbeda agama dengan Sammar mau menerima
nasehat sammar untuk tidak minum minuman beralkohol.
Selain interaksi dengan Rae yang di sisi lain dapat membuat Sammar tidak merasa
terasing ialah juga karena sammar banyak belajar hal-hal yang ia belum mengetahui dari
pekerjaannya sebagai penerjemah; She said, 'A lot of the hadiths that are quoted have
already been translated before, so I am working faster than I thought I would be. I am
learning a lot, things I didn't know before.' Here in Scotland she was learning more about
her own religion, the world was one cohesive place”(108). Dari sini terlihat identitas
agama Sammar yang kuat yang selalu merasa tertarik untuk terus belajar dan
memperdalam pengetahuan agamanya.
Dan memang, sepertinya karena perbedaan agama sepertinya hubungan antara
Sammra dan Rae tidak berjalan lancar. Bahkan akhirnya karena merasa Rae tidak akan
memeluk Islam, dan juga pertengkaran antara Sammar dan Rae, Sammar memutuskan
untuk meninggalkan Aberdeen dan pergi ke Khartoum. Ia juga memutuskan untuk
berhenti dari pekerjaannya.
Sammar memang sangat mencintai negaranya, Sudan. Hal ini terlihat ketika kakak
Sammar, Waleed, bertanya tentang khartoum; “So what do you think of this dark country
of ours? Sammar menjawab: 'Beautiful.' 'I swear by Allah Almighty, I see it more beautiful
than anywhere else (148-149). Sammar memang merasa bahwa Sudan memang
“rumah”nya. Sehingga, seburuk apapun keadaan negaranya itu, ia tetap mencintainya.
Dan ia merasa bahwa Her future was here where she belonged. She belonged with her
son and strangers who smiled when she came into a room (157)”. Walaupun, Sammar
juga sempat merasa kaget akan perubahan yang terjadi di Khartoum:
“You want to go away and come back and find everything the same? She shrugged
in the dark. There was always a tone in his voice that seemed to her harsh. But
she knew he did6t mean it. She was the one who had become too sensitive. She
was the one who had been away for too long. (147)”
Sammar yang memang sudah lama tinggal di Aberdeen sepertinya memang
merasa kaget melihat perubahan yang terjadi di Khartoum. Tidak hanya itu, Sammar juga
sempat mendapatkan sebuah perasaan rindu akan Aberdeen: She could have all the
colours that she had missed in Aberdeen; yellow and brown, and everything else vivid
(144)”. Kerinduan Sammar akan Aberdeen juga terlihat ketika ia selalu menyinggung
keadaan di sana ketika berbicara dengan kakaknya. If We were in Scotland you would
have had to sit in the back and wear seat belts (145)”. Dari sini maka akan terlihat isu
Identitas Budaya dan Representasi Islam dalam Novel The Translator Karya Leila
Aboulela
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 2, Februari 2022 236
Hybrid”. Di mana diri Samar yang merupakan percampuran dua tempat yang berbeda
akan merasa bimbang akan di mana ia seharusnya berada.
Dan juga, pada akhirnya Sammar yang berusaha melupakan Rae pun akhirnya
mengalami mimpi bahwa ia bertemu dengan Rae. Hal ini mungkin disebabkan perasaan
rindu Sammar terhadap Rae. Sampai akhirnya ia mendapati surat dari temannya Rae
bahwa yang juga dikenalnya bahwa Rae telah masuk Islam. Dan akhirnya Sammar pun
memberanikan diri untuk menulis surat kepada Rae; Please come and see me. Please.
Here is where I am . . .(191). Rae pun akhirnya datang ke Khardoum dan bertemu dengan
Sammar. Mereka pun memutuskan untuk menikah dan selanjutnya Sammar akan kembali
ke Aberdeen bersama Rae.
Namun, sebenarnya masih ada keinginan dari Sammar untuk tinggal di Khartoum;
If I was someone else, someone strong and independent 1 would tell you now, I don't
want to go back with you, I don't want ' to leave my family, I love my country too much.'
(198)”. Dari sini terlihat bahwa Sammar memang sangat mencintai negaranya Sudan dan
berat untuk meninggalkannya. Namun pada akhirnya Sammar pun merelakan semuanya
dan memutuskan untuk mengikuti Rae kemanapun ia pergi. Maka dari sini akan terlihat
bahwa Identitas kebangsaan Rae ialah identitas kebangsaan Sammar setelah mereka
menikah. Dan pada akhirnya memang Rae lah yang membantu Sammar untuk
mengetahui siapa dirinya sebenarnya.
Identitas pada Rae
Rae yang berkebangsaan Skotlandia dan beragama Kristen, sejak kecil sudah
mengenal akan agama Islam terutama dari pamannya David, yang merubah agamanya
menjadi Islam setelah mempelajari banyak tentang Islam. Bahkan ketika masa sekolah
Rae pernah meniru esai pamanya dengan merubah judulnya saja Islam is better than
Christianity.'(17). Dan sejak muda Rae memang sudah terlihat bahwa dirinya tertarik
dengan Islam; He did what the young did not do: he read newspapers, he was learning
Arabic. Wandering into mosques, living with Moroccans (60)” terbiasa dengan Islam
sepertinya membuat Rae sepertinya mempertanyakan kembali tentang Identitas
agamanya. Dalam novel ini diceritakan bahwa Rae jarang sekali terlihat pergi ke gereja,
bahkan orang-orang di kantornya mengira bahwa Rae merupakan Atheis (91).
Karena ingin tahu lebih banyak dan tertarik dengan Islam, hal ini sepertinya yang
membuat Rae menekuni bidang kajian Islam; 'I wanted to understand the Middle East.
No one writing in the fifties and sixties predicted that Islam would play such a significant
part in the politics of the area. (109). Dari sini memang sepertinya terlihat bahwa Rae
ingin mempelajari Islam untuk kepentingan politik. Hal ini mungkin yang menyebabkan
bahwa Yasmin, sekretaris Rae menyebutnya orientalis.
Namun, banyak mempelajari Islam sepertinya membuat Rae mengetahui
kebenaran dalam Islam, dan hal ini terlihat dari apa yang ia katakan kepada Sammar
bahwa he believes that the Qur'an is a sacred text . . .' (93)”. Rae juga selalu mengatakan
kepada Sammar bahwa; “You make me feel safe, I feel safe when I talk to you (51, 64)”.
Jika dilihat dari arti kata islam yang dapat berarti keselamatan, maka akan terlihat bahwa
kata safe di sini mengacu pada Islam. Itu berarti ada kemungkinan bahwa yang
dimaksud Rae di sini ialah ia menemukan kedamaian dalam Islam.
Namun tidaklah mudah bagi Rae untuk menjadi seorang peneliti Kristen yang tau
banyak tentang Islam dan sepertinya lebih mendukung Islam dari pada agamanya sendiri.
hal ini bahkan menyebabkan Rae dimarahi oleh atasannya:
You are a disgrace to our universities, we pay taxes . . . You don't know what,! .
you're talking about, fighter-planes aren't enoughfor this war. We need to drop an
Syarif Hidayat
237 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 2, Februari 2022
atomic bomb once and for all . . . And after a radio programme, Is This War A
Holy War?, You wog bastard, may I remind you that England is a Christian
country, and it would be a good thing for you and all the rest of the odious wog
bastards were to go back to the land of Allah . Since you bastards came to
England this country has become the asshole of the West . . .105
Dari kutipan di atas sepertinya terdapat sebuah kondisi multikultural di mana
seperti yang dikatakan oleh Budianta (2003) bahwa “Multikulturalisme sangat rentan
terjebak dalam politik identitas (Al-Farisi, 2020). Dalam memperjuangkan pengakuan
atas keragaman budaya, orang berbicara atas nama satu kelompok budaya tertentu
(Suryadinata, 2014), dengan identitas tertentu, antara lain yang mengacu pada etnisitas
(Adiwilaga, Ridha, & Mustofa, 2017), ras, agama, atau daerah.” Namun, walaupun
dimarahi oleh atasannya Rae hanya tersenyum.
Penelitian Rae terhadap Islam tidak serta merta membuat Rae masuk Islam bahkan
ketika diminta oleh Sammar. Karena memang Rae masih ragu; “I have to he sure. I would
despise myself if I wasn't sure” (128). 'Nothing is obvious to me”128. Dari kutipan ini
memang terlihat bahwa Rae masih mencari identitas agamanya. Dan Rae seperti ingin
memeluk sebuah agama yang ia rasa melalui dirinya memang benar; “I wanted to be the
one of the few who was saying what was reasonable and right.' (126)”.
Namun, pada akhirnya Rae pun memutuskan untuk memeluk Islam dengan alasan
'I found out at the end, that it didn't have anything to do with how much I've read or how
many facts I've learned about Islam. Knowledge is necessary, that's true. But faith, it
comes direct. from Allah (198). Dari sini terlihat bahwa Rae masuk Islam karena
menurutnya ini merupakan petunjuk Allah SWT (Nasbi, 2015). Dan juga dari sini terlihat
bahwa ia memang menemukan kebenaran dalam Islam dari segi pengetahuan.
Dari sini terlihat bahwa dalam menemukan Identitas agamanya, secara tidak
langsung berkaitan dengan Sammar sebagai translatornya dan juga berkaitan dengan
pekerjaanya hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Hall (dalam Helen, 2004: 162)
bahwa Identity is in constant production and exists at the point of intersection between
the individual and other determining structures and institutions”. Dari kutipan ini terlihat
bahwa Identitas seseorang juga dipengaruhi oleh institusi di mana ia berada. Dan itu terus
berproses. Dan dalam novel ini pun terdapat gambaran di mana dalam menemukan jalan
spiritual pada sebuah proses yang harus dilalui; The spiritual path. Everyone is on his
own in this.” (202).”
Representasi Islam dalam Novel
Dalam novel the Translator Islam direpresentasikan melalui berbagai macam
cara. Yang pertama ialah melalui tokoh utama perempuannya yaitu Sammar. Ketika
Sammar diajak oleh Rae untuk berkunjung ke rumah orang tuanya Sammar menolaknya
dengan alasan:
Someone will see us together, alone together …a woman’s reputation is fragile
as a match stick …a woman;s honour…You’re right. I would like to see castles
where believers lived long ago helpless and yet strong, a lighthouse tall as a
minaret, a house with flat roof like my aunt’s house. But it would be wrong. I’m
sorry, very sorry.
Dari kutipan di atas terlihat bahwa Sammar tidak ingin pergi berdua dengan Rae untuk
menjaga kehormatannya. Hal ini seperti yang dinyatakan Ahmed (2011) bahwa “Muslim
women are careful about their reputation.” Dan memang Islam melarang laki-laki dan
perempuan berjalan berduaan karena akan mendatangkan fitnah dan juga takut terjerumus
Identitas Budaya dan Representasi Islam dalam Novel The Translator Karya Leila
Aboulela
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 2, Februari 2022 238
dalam perzinahan. Dari sini akan terlihat bahwa Islam direpresentasikan dalam novel ini
sebagai agama yang menjaga kehormatan seorang perempuan.
Berikutnya ialah Islam direpresentasikan dalam novel ini langsung dari ayat Al-
Quran, seperti; 'Say: I take refuge in the Lord of daybreak. . .', 'Say: I take refuge in the
Lord of humans”(102). . .kutipan ini ialah merupakan kutipan yang berasal dari ayat Al
Quran surat Al-Falaq:1 dan surat An Nas:1. Selain dari Al Quran ada kutipan yang juga
berasal dari Hadis:
''Allah Almighty says: I am as My servant think am. I am with him when he makes
mention of Me. If he makes mention Me to himelf; I make mention of him to Myself
and if he makes mention of Me in an assembly, I make mention of him in a better
assembly. And he draws near to Me a hand's span, I draw near to him an am' s
length and f he draws near to Me an arm's length, I draw near to hi orboards.
fathom's length. And if he comes to Me walking, I go to him at speed."(42)
Kutipan diatas ialah merupakan Hadis Qudsi yang berada dalam novel. Hadis
Qudsi tersebut berada dalam cerita ketika Rae menanyakan perbedaan antara Hadis Qudsi
dengan Al Quran kepada Sammar dan Sammar pun menjelaskannya:
A definition given by the scholar al-Jujani, ‘A Sacred Hadith is, as to its
meaning, from Allh the Almighty; as to the wording, it is from Messenger of
Allah, peace be upon him. It is that which Allah the Almighty has communicated
to His Prophet through revelation or in dream and he, peace be upon him, has
communicated it in his own words. Thus the Qur’as is superior to it because,
besides being revealed, it is Allah’s wording.” In a definition given by a later
scholar al-Qari, “…unlike the Holy Qur’an, Sacred Hadith are not acceptable
for recitation in one’s prayers, they are not forbidden to be touched or read by
one who is in state of ritual impurity… and they are not characterized by the
attribute of inimitability.”(41-42)
Jika dilihat dari kutipan Al-Quran dan Hadis diatas, maka akan terlihat bahwa Al-Quran
di dalam novel ini direpresentasikan sebagai ajaran agama yang selalu berserah diri
kepada tuhannya. Orang Islam akan selalu sabar dan tabah dalam menerima segala ujian
karena; there is no will or strength except from Allah (195).
Selain itu , Islam juga direpresentasikan sebagai agama yang demokrasi dalam
Novel ini: "The best jihad is when a person speaks the truth before a tyrant ruler." 108.
Kutipan ini berasal dari hadis sahih At-Thariq ibn Shihab.
Selanjutnya Islam juga direpresentasikan sebagai agama yang adil, khususnya
dalam bidang ekonomi:
these theories explain why capitalism developed ultimately in Europe and not in
other earlier civilisations which were more sophisticated. Civilisations like
Muslim Spain or the Ottoman empire. One theory is that for capitalism to grow
there must be an accumulation of wealth through inheritance that comes from
dynasties and families surviving over a long time. But the sharia's. laws on
inheritance and charity fragmented wealth so much that the necessary
accumulation never took place. There was a blocking effect, like an internal
there most at or switch that stopped this excess. I think of it as a balance,
something that kept things reasonable, steady. (110)
Dari kutipan di atas terlihat bahwa sistem ekonomi Islam lebih baik dari sistem
ekonomi kapitalis. Di mana dalam sistem ekonomi Islam akan terjadi keseimbangan dan
Syarif Hidayat
239 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 2, Februari 2022
pemerataan kesejahteraan. Dan memang hal ini sudah banyak dibuktikan oleh ilmuan-
ilmuan.
Dan Islam pun direpresentasikan sebagai agama yang adil dalam hubungan antara
laki-laki dan perempuan; 'In the Qur'an it says that pure women are for pure men” (198).
Kutipan ini hadir ketika Rae sedang berbicara dengan Sammar di akhir cerita.
Jika dilihat dari dalam teks, maka representasi Islam ini sangat berhubungan
dengan Identitas agama yang dimiliki oleh Sammar dan Rae. Di mana pada akhirnya Rae
masuk Islam karena melihat kebenaran-kebenaran dalam Islam. Dan juga dari sini terlihat
bagaimana Sammar merupakan perempuan yang memiliki Identitas agama yang kuat, dan
hal ini yang membuat Sammar bertahan dan kuat ketika ditinggal oleh suaminya, Tarig.
Selain itu, munculnya representasi Islam dalam novel ini sepertinya dilakukan
oleh pengarang agar Islam dapat diterima di negara barat khususnya. Hal ini diperlihatkan
dari novel ini yang memunculkan kebaikan-kebaikan dalam Islam. Dan tentu saja hal ini
dilakukan agar tidak ada lagi diskriminasi terhadap Islam.
Kesimpulan
Berdasarkan analisa di atas dapat disimpulkan bahwa novel The Translator
memiliki sebuah isu identitas budaya, yang memang Identitas itu akan terus berubah dan
mengalami sebuah proses. Hal ini terlihat dari dua karakter dalam novel ini yaitu Sammar
dan Rae. Sammar berusaha mencari identitasnya kembali setelah suaminya meninggal
yang pada akhirnya ia memutuskan bahwa identitas kebangsaan Sammar akan mengikuti
identitas kebangsaan Rae ketika mereka menikah. Dan dalam kasus Rae telihat sebuah
proses di mana ia berusaha untuk menemukan identitas agamanya yang sesungguhnya.
Dan akhirnya ia masuk Islam karena melihat kebenaran-kebenaran dalam Islam (berdasar
petunjuk dari Allah Subhanahu wa ta’ala).
Dan memang isu identitas di atas sangat berkaitan dengan representasi Islam yang
berada dalam novel. Islam sangat berpengaruh terhadap kedua tokoh dalam novel yaitu
Sammar dan Rae. Dan juga dari Representasi Islam tersebut sepertinya ada sebuah upaya
agar Islam dapat diterima khususnya di dunia barat, sehingga tidak ada lagi diskriminasi
yang terjadi.
Identitas Budaya dan Representasi Islam dalam Novel The Translator Karya Leila
Aboulela
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 2, Februari 2022 240
Bibliografi
Adiwilaga, Rendy, Ridha, M., & Mustofa, M. (2017). Pemilu dan Keniscayaan Politik
Identitas Etnis di Indonesia: Sebuah Tinjauan Teoritis. Jurnal Bawaslu, 3(2), 269–
284.
Ahmad, Amar. (2014). Dinamika komunikasi Islami di media online. Jurnal Ilmu
Komunikasi, 11(1), 44–58.
Al-Farisi, Leli Salman. (2020). POLITIK IDENTITAS: Ancaman Terhadap Persatuan
dan Kesatuan Bangsa dalam Negara Pancasila. ASPIRASI, 10(2), 77–90.
Aliyudin, Aliyudin. (2008). Sketsa Dakwah Islam di Eropa Barat. Ilmu Dakwah:
Academic Journal for Homiletic Studies, 4(11), 1–26.
Arbi, Hanan Rananta. (2016). Reaksi Uni Eropa Terhadap Islamophobia di Perancis
pada tahun 2011-2015.
Davies, Sharyn Graham. (2018). Keberagaman Gender di Indonesia. Yayasan Pustaka
Obor Indonesia.
Hadijah, Zara, & Sadali, Mohammad Isnaini. (2020). Pengaruh urbanisasi terhadap
penurunan kemiskinan di Indonesia. Jurnal Wilayah Dan Lingkungan, 8(3), 290–
306.
Jubba, Hasse. (2019). Kontestasi Identitas Agama: Lokalitas Spiritual di Indonesia. The
Phinisi Press.
Krismawati, Septina. (2015). Penggalian Nilai-Nilai Kemanusiaan dalam Pembelajaran
Kritik Sastra Berbasis Pedagogi Ignasian.
Napitupulu, Dedi Sahputra. (2018). Gnosisme dan Pengaruhnya Teradap Pemikiran
Pendidikan Islam. FITRAH: Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Keislaman, 4(1), 165–184.
Nasbi, Ibrahim. (2015). Filsafat al-Nafs dan Filsafat al-Akhlak. Shaut al Arabiyyah, 4(1),
16–24.
Nurgiyantoro, Burhan. (2018). Teori pengkajian fiksi. UGM press.
Prawoto, Sigit. (2021). Isu Multikulturalisme Dalam Transisi Perubahan Dunia. Studi
Budaya Nusantara, 5(2), 99–106.
Suryadinata, Leo. (2014). Kebijakan Negara Indonesia terhadap Etnik Tionghoa: Dari
Asimilasi ke Multikulturalisme? Antropologi Indonesia.
Winarni, Leni. (2014). Media Massa dan Isu Radikalisme Islam. Jurnal Komunikasi
Massa, 7(2), 159–166.