127
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi:pISSN: 2723 - 6609
e-ISSN :2745-5254
Vol. 3, No.1 Januari 2022
MEDIA SOSIAL YOUTUBE DAN FACEBOOK DALAM PEMBENTUKAN
SIKAP INTELORENSI DAN RADIKALISME CERAMAH USTADZ HASYIM
YAHYA “ORANG ISLAM YANG BAIK ITU YANG MENJADI TERORIS
Rikky operiady
Program Pascasarjana S2 Angkatan 11 STIK PTIK Jakarta
Abstrak
Era milenial saat ini, modus penyebaran aktivisme berkembang secara masif di
dunia daring. Pada tahun 2015, Kementerian Komunikasi dan Informatika
(Kemkominfo) memutuskan memblokir 22 website atau situs yang tergolong
radikal karena maraknya aktivisme di dunia maya. Pemblokiran situs militan
dilakukan di bawah arahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Distribusi pengguna Internet terutama di Jawa, mencapai 65%, atau 86,3 juta orang.
Berdasarkan angka tersebut, 69,9% atau 92,8 juta orang memakai internet di mana
pun mereka ingin. Ini bisa menunjukkan bahwa mereka akan dapat dengan mudah
mengakses situs web agresif. Pada saat yang sama, propaganda radikal akan lebih
mudah menyebar ke seluruh Indonesia.
Kata kunci: Internet, Uses dan Gratification, Terorisme
Abstract
In the current millennial era, the mode of spreading activism is growing massively
in the online world. In 2015, the Ministry of Communication and Information
(Kemkominfo) decided to block 22 websites or sites that were classified as radical
because of rampant activism in cyberspace. The blocking of militant sites is carried
out under the direction of the National Counterterrorism Agency (BNPT). The
distribution of Internet users, especially in Java, reached 65%, or 86.3 million
people. Based on this figure, 69.9% or 92.8 million people use the internet
wherever they want. This could indicate that they will be able to easily access
aggressive websites. At the same time, radical propaganda will more easily spread
throughout Indonesia.
Keywords: Internet, Uses and Gratification, Terorisme
Pendahuluan
Maraknya aksi teror belakangan ini membuat perbincangan tentang aktivisme
menjadi topik hangat, dan aktivisme individu sering dihubungkan dengan aksi terorisme
karena diklaim sebagai aksi nyata yang bersifat radikal. Namun, mengenai kajian utama
majalah “Silat Radikalisme” edisi ke-40 Duia Online, pemerintah Indonesia belum
mempunyai istilah yang jelas prihal apa yang dimaksud dengan aktivisme itu sendiri.
Pemerintah hanya mengatakan bahwa radikalisme adalah akar dari sebuah gerakan
Rikky operiady.
128 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 1, Januari 2022
teroris, bahwa radikalisme lebih fundamental karena seseorang berpikir secara radikal
sebelum melakukan teror atau kekerasan. Sebagaimana KBBI, arti aktivisme diartikan
sebagai ajaran atau aliran yang ingin membawa perubahan melalui cara-cara yang tidak
baik atau kekerasan. Istilah radikalisme yang tidak jelas juga menjadikan pemerintah
kesulitan untuk membasmi gerakan-gerakan yang mengancam kedaulatan nasional
Indonesia (Widyaningsih & Fil, 2019).
Era milenial saat ini, modus penyebaran aktivisme berkembang secara masif di
dunia daring. Pada tahun 2015, Kemkominfo memutuskan untuk memblokir 22 link
website atau situs yang tergolong radikal karena maraknya aktivisme di dunia maya
(Lestari, 2021). Pemblokiran situs militan dilakukan di bawah arahan Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme (BNPT). Ke-22 situs ini mewakili situs-situs Islam yang
aktif menyebarkan aktivisme di dunia maya yang melaluinya mereka dapat
mempengaruhi masyarakat. Beberapa dari ke-22 link website tersebut antara lain
Eramuslim.com dan Kiblat.net yang sangat kontras, menurut ideologi Majalah Idea
edisi ke-40 antara Pancasila dan Islam. Pancasila diklaim sebagai taghut atau idola,
produk asing, hingga disetarakan dengan prinsip-prinsip zionis.
Semasa yang sama, Islam dipandang sebagai ideologi negara sampai Khilafah
Islam dipaksa untuk menerapkannya di Indonesia (Thoyyib, 2018). Ketika mereka
menemukan informasi ini, orang hanya akan percaya kata-kata dan kebenaran yang
terkandung dalam situs web. Informasi yang diberikan dibuat dengan hati-hati untuk
mengarahkan publik ke tempat yang diinginkan oleh perusahaan media. Selanjutnya,
postingan berjudul Apakah Pancasila Layak Berideologi? Pernyataan dari Voa-
islam.com menyatakan bahwa Pancasila bukanlah ideologi, sehingga tidak layak
ditetapkan pedoman hidup seseorang, bangsa dan negara, serta tidak mempunyai
prasarana yang jelas. Selama Indonesia masih menganut Pancasila sebagai ideologinya,
tidak akan pernah berkembang. Begitulah cara mereka melakukan propaganda untuk
menghilangkan minat mereka pada aktivisme yang dipaksakan.
Media radikal menggunakan berbagai cara guna menggugurkan semua orang
yang diklaim kontradiktif. Isu SARA, ujaran kebencian, dan hoax yang mereka ciptakan
tanpa memperhatikan etika jurnalistik. Semisal, kabar berjudul "Pakar Hukum: Ahok
Harus Ditangkap Sekarang" di upload oleh Eramuslim.com. dalam berita tersebut, unsur
5W+1H belum sepenuhnya terwujud, juga tidak disebutkan kapan, di mana, dan di
forum mana sumber berita berdialog dengan media. Pemberitaan itu juga hanya
mengomentari ahli hukum sebagai narasumber, yakni Martimus Amin. Dikatakan jika
Ahok masih dibiarkan bebas akan membahayakan keamanan negara.
Sejalan dengan penyebaran aktivisme yang meluas, Badan Intelijen Nasional
(BIN) menerbitkan temuannya di tahun 2017. 39% siswa di negara Indonesia sudah
tercemar radikalisme, dan 24% siswa dan 23,3% siswa SMA setuju untuk mendirikan
negara Islam di Indonesia. Demikian diutarakan Kepala BIN Budi Gunawan saat
memberikan sambutan di BEM PTUN di Unwahas, Semarang, Indonesia. Data yang
Media Sosial Youtube dan Facebook dalam Pembentukan Sikap Intelorensi dan
Radikalisme Ceramah Ustadz Hasyim Yahya “Orang Islam yang Baik itu yang Menjadi
Teroris”
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 1, Januari 2022 129
cukup guna memperlihatkan bagaimana proses aktivisme menyebar di area
pendidikan.7
Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika juga semakin dipersoalkan seiring
maraknya penyebaran radikalisme yang berujung pada khilafah dan intoleransi terhadap
terorisme. Semasa tahun 2016, Wahid Foundation bermitra dengan Lembaga
Penyelidikan Indonesia (LSI) melakukan survei nasional bertajuk “Potensi Intoleransi
dan Radikalisme dalam Umat Beragama Muslim di Indonesia”. Mengenai survei
tersebut, timbul beberapa data yang agak meragukan. Berdasarkan sejumlah 1.520
responden, 59,9% termasuk kelompok pembenci, kelompok Tionghoa, komunis, dan
lain sebagainya dengan latar belakang agama non-Muslim.8
Selain itu, berbagai jaringan teroris menggunakan bom di Indonesia, antara lain
bom 2000 gereja di Kota Batam, Kota Pekanbaru, Kota Jakarta, Kota Mojokerto, Kota
Kudus dan Kota Mataram, Paddy's Pub dan Sari Club (SC). 2002 di Bali, 2003 JW
Marriott Hotel I, 2004 Kantor Kedutaan Besar Australia, 2009 JW Marriott Hotel II dan
The Ritz-Carlton Jakarta, Polsek Cirebon 2011, Polres Cirebon 2013, Polres Poso 2013,
Jl . MH Thamrin tahun 2016, dan 2017 di Terminal Trans Jakarta Kampung Melayu.9
Aksi nyata bermula dari pemahaman aktivisme dalam berbagai studi populasi.
Sejak kemunculan ISIS pada tahun 2013, pola radikalisasi terus berkembang
sehingga berdampak besar bagi masyarakat. Negara Islam Irak dan Suriah atau ISIS
sudah menjadi berita di berbagai media dalam negeri dan luar negeri karena mereka
melakukan teror, kekejaman dan penghancuran atas nama Islam. Proses rekrutmen telah
bergeser dari rekrutmen menjadi harus bertatap muka dan kini dapat dilaksanakan
melalui media sosial. Mereka menjual YouTube alternatif, kehidupan sejahtera yang
ditawarkan di bawah paying lindung Khilafah Islamiyah melalui kesaksian beberapa
yang telah sukses didoktrin di media sosial (Ar, 2013).
Janji-janji ISIS juga berhasil meyakinkan kelompok-kelompok, tidak hanya dari
kelas bawah, tetapi 50 persen dari mereka yang terpengaruh hingga ke jenjang
perguruan tinggi. Demikian itu dipaparkan Kepala BNPT Komjen Suhardi Alius pada
waktu diwawancarai 75 WNI yang dideportasi dari Turki karena diperkirakan
bergabung dengan ISIS di Cipayung, Jakarta Timur. Senin (17/6/17).12 Mengenai
hubungannya dengan aktivisme, agama sebenarnya bisa mewadahi berbagai masalah
mendasar atau sangat fundamental yang dikandungnya. Hal itu dipastikan bahwa
pendekatan yang digunakan para ahli selalu dipengaruhi oleh latar belakang intelektual
yang mereka libatkan, termasuk para pakar yang hanya mengkhususkan pada bidang
agama tertentu.
Agama dalam arti non-chaotic sebenarnya disalahgunakan guna menimbulkan
teror, melegitimasi pembunuhan dan kejahatan guna tujuan politik. Arti tidak bingung
dapat diartikan sebagai pernyataan bahwa peraturan yang berlaku dalam suatu agama
memberikan hasil moral dan materi dari pemeluknya, yang dianggap oleh khalayak
umum yang berpengetahuan. Fenomena kehidupan beragama di masyarakat pada
lumrahnya merupakan deskripsi dari agama penduduk. Agama dimaknai sebagai
didikan yang harus dan benar serta tidak bisa dipersalahkan karena bermula dari Tuhan.
Rikky operiady.
130 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 1, Januari 2022
Sementara itu, agama didefinisikan sebagai sikap atau perilaku masyarakat untuk
menerapkan agama itu sendiri (Syakirin, Aziz, & Surayya, 2020).
Tingkah laku dan pengetahuan radikal mengenai agama masuk dalam ruang
lingkup perilaku masyarakat ketika menerapkan agama sesuai pemahamannya (Usman,
Qodir, & Hasse, 2014). Berbagai isu juga mudah tersebar, karena sebagaimana Survei
Perilaku dan Penetrasi Pengguna Internet Indonesia 2016, APJII mengatakan bahwa
populasi pemakai Internet Indonesia adalah 132,7 juta orang, menyumbang 51,8% dari
keseluruhan penduduk atau sejumlah 256,2 juta orang. Sebaran pemakai internet
terutama di pulau Jawa mencapai 65% atau 86,3 juta user. Menurut angka tersebut,
69,9% atau 92,8 juta orang memakai internet di mana pun. Ini mungkin menunjukkan
bahwa mereka akan dapat dengan mudah mengakses situs web agresif. Pada saat yang
sama, propaganda radikal akan lebih mudah menyebar ke seluruh Indonesia.
Permasalahan tersebut di atas menunjukkan bahwa anti radikalisme diperlukan
untuk mengatasi dan memerangi ide-ide radikal yang menyebar di dunia nyata dan
dunia maya. Mengingat semakin pesatnya penyebaran informasi di bidang siber, maka
anti radikalisme di dunia maya perlu mendapat perhatian lebih. Antiradikalisme dapat
muncul dalam bentuk artikel, berita, visual, dan teknologi penyebaran informasi yang
bisa diakses oleh semua orang. Melalui hal tersebut, penelitian ini berupaya untuk
mengeksplorasi bagaimana portal online dapat melawan radikalisme. Gerbang daring
yang dipilih merupakan dari kalangan ormas Islam dan anggota pemerintah. Ormas
Islam Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah menjadi sampel penelitian ini karena
merupakan ormas utama yang digunakan oleh umat Islam di Indonesia. NU, yang
memiliki dasar massa dari 40 juta orang lebih, akan dianggap penting di antara mereka.
Sementara itu, Muhammadiyah adalah kelompok Islam besar lainnya, dengan
sekitar 14 persen dari populasi Muslim Indonesia berpartisipasi.16 Kedua kelompok ini
berperan penting dalam berbagai hal, dan diharapkan mampu melawan aktivisme di
dunia daring. Situs portal online NU terdapat Nu.or.id dan Dutaislam.com yang
dipelihara secara individu oleh personel NU dan pendukungnya. Dutaislam.com bisa
dianggap sangat tidak lunak dan agresif kontra-narasi, termasuk aktivisme, ujaran
kebencian dan hoax. Gerbang tentu memiliki pola yang tidak sama dalam hal kontra-
aktivisme, yang akan peneliti bahas dalam penelitian ini.
Adapun di Muhammadiyah terdapat gerbang Suaramuhammadiyah.id adalah
website legal Majalah Suara Muhammadiyah Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Sedari
dulu (1915), Suaramuhammadiyah.id muncul dalam bentuk surat kabar Majalah Suara
Muhammadiyah. Kini, majalah tersebut muncul dalam edisi digital dan cetak dan
dipelihara langsung oleh perwira-perwira muda Mohammad. Disponsori oleh PT
Syarikat Cahaya Media, moto situs ini adalah "Menyemangati dan Menginspirasi".17
Adapun Sangpencerah.id yang dipelihara sendiri oleh kaum muda Muhammadiyah.
Pemerintah sendiri, mereka juga aktif melawan ide-ide radikal. BNPT sebagai lembaga
pemerintah yang diberdayakan guna menangani terorisme mempunyai lembaga khusus
guna menangani radikalisme di dunia daring, yaitu Peaceful Media Center (PMD).
Media Sosial Youtube dan Facebook dalam Pembentukan Sikap Intelorensi dan
Radikalisme Ceramah Ustadz Hasyim Yahya “Orang Islam yang Baik itu yang Menjadi
Teroris”
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 1, Januari 2022 131
PMD secara aktif menghasilkan konten positif untuk memerangi aktivisme yang
berkembang. Melalui PMD ini, timbul berbagai portal online yang aktif dalam
penelitian kontra radikalisme, termasuk Jalandamai.org. Situs ini dirancang untuk
berbagi pengetahuan, menumbuhkan dan mendoktrin pikiran keramahan dan toleransi.
Situs ini dimulai oleh sekelompok intelektual muda yang berkomitmen kuat untuk
menjadi duta perdamaian Indonesia. Kajian ini akan mengkaji secara lebih spesifik
peran model portal online dalam kontra aktivisme, melalui konten yang mereka
hasilkan, baik berupa artikel, berita, grafik, baik dari intensitasnya.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan. Penelitian kepustakaan adalah
studi pengumpulan informasi dan data dengan bantuan bermacam bahan di
perpustakaan (Sari & Asmendri, 2020). Penelitian kepustakaan juga bisa menelaah
bermacam buku referensi dan temuan penelitian sejenis terdahulu, yang bermanfaat
guna memperoleh teori fundamental bagi pertanyaan penelitian (Anshori & Iswati,
2019). Penelitian kepustakaan juga mengandung pengertian cara pengumpulan data
dengan berkonsultasi dengan buku, literatur, catatan, dan berbagai laporan yang
berkaitan dengan persoalan yang akan diselesaikan (Hermawan, 2019). Adapun
sebagaimana para pakar lain, studi literatur adalah kajian teori, referensi, dan tulisan
ilmiah lainnya terkait budaya, nilai, dan norma yang dikembangkan dalam konteks
sosial yang diteliti (Sugiyono, 2014).
Metode penelitian kepustakaan ini dipakai guna mengembangkan rancangan
tentang expressive writing (EW) agar bisa dijadikan dasar untuk mengembangkan
langkah-langkah praktis sebagai alternatif konsultasi. langkah-langkah penelitian
kepustakaan merupakan berikut ini : 1. Memilih kajian 2. Menggali data 3.
Mengidentifikasi prioritas kajian 4. Mengumpulkan sumber data 5. Menyiapkan
penyajian data 6. Menyiapkan laporan Sumber data menjadi sumber data bahan kajian
ini akan berupa buku, jurnal dan situs internet yang berhubungan dengan topik yang
dipilih. Sumber data untuk penelitian ini meliputi 5 buku dan 14 jurnal tentang
konsultasi Expressive Writing (EW).
Teknik pengumpulan data mengenai penelitian ini merupakan berasal dari
berkas, diantaranya mencari informasia tentang hal-hal atau variabel yang berupa
catatan, buku, makalah atau karya tulis, jurnal, dan lain-lain (Penyusun, 2013). Alat
penelitian dalam penelitian ini merupakan daftar pengelompokkan bahan penelitian,
pola tulisan atau peta, dan format catatan penelitian. Teknologi analisis data yang
digunakan dalam penelitian ini merupakan analisis isi. Analisis ini dipakai untuk
memperoleh inferensi yang valid dan bisa diuji kembali sesuai konteksnya.
Hasil dan Pembahasan
Secara etimologis, agama berawal dari bahasa Sansekerta, yang terdiri dari A
untuk perselisihan dan GAMA untuk kebingungan. Mengenai bentuk harafiahnya yang
terpadu, kata religi berarti “jangan tinggalkan, tetap di tempat, tabah, hamba turun-
Rikky operiady.
132 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 1, Januari 2022
temurun”. Sebagaimana dalam KBBI, agama diartikan sebagai didikan atau peraturan
yang memerintah tentang keyakinan dan sistem peribadatan kepada Tuhan Yang Maha
Esa, serta aturan-aturan yang berkaitan dengan sesama manusia dan sekitarnya.
Orang Barat menyamakan agama dengan religere. Kata religere berawal dari
bahasa latin dan terdiri dari dua bagian yaitu “re” yang berarti kembali dan “ligere”
yang artinya berhubungan atau terikat, karena perlu hukum untuk mengikatnya. Kata
ad-din memiliki banyak arti harfiah, yaitu pahala, persediaan, kekuasaan, pengaturan,
dan kalkulasi. Ulama Islam mengistilahkan agama sebagai hukum pedoman manusia
dari Tuhannya, dan menarik mereka untuk masa kini dan masa depan, perjuangan untuk
hidup. Sebagaimana penjelasan di atas, agama yang sebenarnya digunakan sebagai alat
untuk mengatur kehidupan dan pekerjaan masyarakat secara damai dan tenteram, telah
berubah menjadi sarana saling tuding, perusakan dan kejahatan. Agama seolah menjadi
didikan yang harus diterapkan dan dipercayai sepenuh hati, namun bisa dikatakan
pemahaman yang salah akan mampu mengubah esensi agama yang dibuat sebagai
sistem tatanan kehidupan. Titik tolaknya adalah wahyu atau penafsiran tentang
bagaimana Tuhan menyampaikan doktrin-doktrin agama, di mana doktrin-doktrin itu
mulai dimengerti dan disebarkan.
Berkenaan dengan radikalisme agama, Akbar S. Ahmed berpendapat bahwa
radikalisme sama dengan fundamentalisme Islam, yang terutama ditandai dengan vulgar
dan kecenderungan untuk menggunakan bahasa yang kasar dan kotor untuk menganiaya
lawan politik, bahkan jika mereka tidak menyadarinya. diklaim dan diperjuangkan,
dengan cara yang brutal. Radikalisme agama kerap diucap dengan al-taṭharuf al-diny
yang artinya berdiri di ujung, atau menjauhi tengah, atau bisa juga didefinisikan
melakukan sesuatu yang berlebihan. Pada awalnya, al-ta'haruf didefinisikan sebagai
sesuatu yang konkrit. Namun, penjelasan berikut adalah hal-hal yang abstrak, seperti
overthinking, melakukan sesuatu, dan keyakinan agama. Menurut Syafi’i Anwar, ada
dua alasan munculnya kelompok radikal. Pertama, umat Islam yang kecewa dan
terasing karena “tertinggalnya” kemajuan peradaban Barat dan akomodasi yang
berlebihan terhadap berbagai budaya. Karena mereka tidak bisa mengikuti
perkembangan budaya Barat, untuk menghadapinya mereka menggunakan kekerasan.
Kedua, munculnya kelompok radikal karena kedangkalan agama.
Situasi ini terjadi karena mereka yang pernah terdoktrin atau berpartisipasi
dalam gerakan Islam radikal atau garis keras biasanya terdiri dari orang-orang dengan
latar belakang pendidikan non-agama. Mereka hanya memahami agama berdasarkan
pemahaman kata atau nash. Pemahaman substantif mereka kepada pemahaman Islam
bisa disebut tidak kuat, karena mereka belum memahami berbagai tafsir, kaidah ushul
fiqh, dan perubahan pengertian nash yang ada. Ketika membaca ayat-ayat Al-Qur'an,
mereka melakukannya dalam "kesepian", sehingga konsep moral dan latar belakang
sejarah tidak ada hubungannya dengan interpretasi mereka. Padahal, sangat penting
Media Sosial Youtube dan Facebook dalam Pembentukan Sikap Intelorensi dan
Radikalisme Ceramah Ustadz Hasyim Yahya “Orang Islam yang Baik itu yang Menjadi
Teroris”
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 1, Januari 2022 133
untuk memahami latar belakang turunnya ayat-ayat Al-Qur'an, karena Al-Qur'an tidak
lahir begitu saja.
Berbagai ciri yang dapat diidentifikasi dari tindakan dan pemahaman radikal
tersebut adalah: intoleransi (enggan menghormati pendapat dan kepercayaab orang
lain), fanatisme (kerap berprasangka benar dan menjustifikasi orang lain salah),
eksklusivitas (memanfaatkan diri sendiri dan kaum Islam pada biasanya), revolusioner.5
Horace M. Callen berpendapat bahwa aktivisme disertai dengan tiga karakteristik.
Pertama, aktivisme merupakan respon terhadap situasi saat ini dalam wujud evaluasi,
penolakan, atau perlawanan. Kedua, aktivisme tidak berhenti berusaha menolaknya,
tetapi terus berusaha merubah aturan yang berlaku dengan wujud aturan nilai yang lain.
Ketiga, kaum radikal yakin akan otentisitas program atau ideologi yang
diusungnya. Sebelum seseorang atau kelompok menggunakan aktivisme, ada proses
radikalisasi. Mereka sudah berproses transformasi yang mengakibatkan penolakan
untuk menggunakan kekerasan untuk mencapai nilai dan institusi mereka. Proses
radikalisasi Cilluffi dan Saathof meliputi 2 jenis: radikalisasi individu dan radikalisasi
kelompok. Radikalisasi pribadi diakibatkan oleh keterpaparan individu terhadap sumber
online atau pihak lain dengan pemikiran yang ekstrim, yang dikenal dengan istilah lone
wolf atau serigala penyendiri yang menjalani proses radikalisasi sendirian. Perseorangan
tidak harus terkoneksi ke jaringan teroris, tetapi dengan mudah direkrut ke dalam
jaringan teroris. Selain itu, radikalisasi kelompok adalah proses dimana sekelompok
mencari dan mendoktrin perseorangan yang mudah guna direkrut ke dalam koneksi
teroris, dengan memakai program rekrutmen top-down yang terstruktur.
Aktivisme menyebar luas melalui sarana agama, dan bermacam kelompok dalam
daftar radikal hanya dapat menghasut berbagai kelompok untuk berpartisipasi dalam
aktivisme mereka dengan menambahkan bumbu pada ayat-ayat model mereka.
Pergerakan grup radikal atas nama agama termasuk dalam gerakan Islam alternatif.
Grup itu percaya bahwa kelompok Islam arus utama seperti NU dan Muhammadiyah
tidak dapat mewujudkan “Islam yang benar” dan mengatasi berbagai ketidakadilan di
masyarakat.
Secara umum, ada dua mode gerakan untuk gerakan Islam non-mainstream.
Pertama, gerakan non-Salafi dipadukan dengan antusias literal ajaran Kafa. Beberapa
kelompok tersebut antara lain Darul Arqam, Jamaah Tabligh, Ihwanul Muslim, Isa
Bugis, IJABI, FPI, DI, HTI, dan lain sebagainya. Kedua, gerakan Salafi berupaya
mencapai harapan sosial-politik Islam yang tidak sama dengan yang diungkapkan oleh
gerakan-gerakan Islam arus utama.
Kelompok yang termasuk adalah MMI, Laskar Jihad, Jamaah Islamiyah.
Keduanya berkembang sekaligus bersinggungan dengan semua pihak, dan gerakan
alternatif tersebut dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu jihadis, reformis, dan
rejeksionis. Para jihadis melakukan pergerakan politik berupa aksi kekerasan yang
mengatasnamakan jihad, dan para pelakunya bersedia mengorbankan nyawanya demi
janji surga. Pada saat yang sama, kaum reformis mengambil tindakan politik dalam
bentuk tekanan kepada pemerintah, dari pada menggunakan kekerasan yang dapat
Rikky operiady.
134 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 1, Januari 2022
menggoyahkan negara dan mengklaim hak sektarian. Kita dapat melihat bahwa dalam
beberapa tahun terakhir telah terjadi proliferasi multi-volume pembelaan agama.
Rejektionis merupakan bentuk aksi politik yang menolak demokrasi dan memberikan
dorongan pada bermacam konsep.
Hammami Zada mencatat ada 2 tren gerakan yang muncul, yakni gerakan yang
lebih formal (berorientasi politik) dan gerakan kultural-religius (berorientasi budaya).
Gerakan religiusme yang bertujuan politik disimbolkan dengan timbulnya bermacam
partai politik berdasar Islam. Gerakan politik Islamis lebih ditujukan pada berbagai
tujuan politik, ada yang hanya berusaha mendapatkan dukungan dari umat Islam dan
ada juga yang lebih ditekan oleh ideologi. Aspirasi ideologis yang dituju adalah mereka
meyakini bahwa kaidah-kaidah Islam harus dibela melalui lembaga formal dan
dilegitimasi oleh hukum. Lebih jauh lagi, Gerakan Islam Budaya adalah gerakan Islam
garis keras yang diproklamirkan secara terbuka.
Berbagai kelompok gerakan tersebut antara lain Front Pembela Islam yang
didirikan oleh Rizieq Shihab di Jakarta pada 17 Agustus 1998, Laskar Ahlul Front
Komunikasi Sunnah wa Al-Jama'ah Thalib yang dikomandoi oleh Ja'far Ummar
Didirikan di Thoreau pada 12 Februari 1998. Majelis Mujahidin Indonesia kemudian
dibentuk di Solo yang dikaderi oleh Abu Bakar Basyir. Gerakan-gerakan ini berusaha
untuk menciptakan "negara Islam" atau setidaknya menerapkan hukum Islam. Gerakan-
gerakan ini percaya bahwa masalah negara Indonesia hanya bisa diakhiri melalui
penerapan hukum Syariah.
Mereka menggunakan metode yang berbeda untuk mempertahankan ide-ide
yang mereka percayai. Cara damai digunakan oleh HTI, Jamaah Tarbiyah atau Harokah
Ikhwanul Muslimin. Pada saat yang sama, kekerasan dimulai dengan perusakan atau
kekejaman, dengan menyerbu tempat-tempat yang dianggap tidak bermoral, Sama
seperti FPI. Ada lagi bentuk kekerasan yang lebih ekstrim yaitu melakukan aksi
terorisme, yakni pengeboman atau penembakan, seperti yang dilakukan Jemaah
Islamiyah (JI) dalam bom Bali 1 yang menewaskan ratusan korban. Mereka semua
memiliki cita-cita yang sama, yaitu mendirikan kekhalifahan Islam.
Selain itu, karena penyebaran informasi yang cepat, internet tidak sekedar
memberikan efek positif bagi pemakainya, tetapi juga bermacam efek negatif. Beberapa
di antaranya untuk menyebarkan radikalisme ke terorisme. Dalam dunia terorisme,
kelompok militan melakukan berbagai aktivitas untuk mempengaruhi semua pihak.
Mereka menggunakan 9P, yaitu propaganda, rekrutmen, pelatihan, logistik,
pembentukan pasukan paramiliter ilegal, perencanaan, pelaksanaan serangan teroris,
penyembunyian dan pembiayaan. Kegiatan ini dilakukan untuk menginformasikan dan
membiasakan masyarakat dengan ideologi mereka.
Propaganda aktivisme yang tersebar di internet dikemas sedemikian rupa dan
disebarkan melalui berbagai website atau media sosial. Mereka menggunakan layanan
gratis untuk membuat blog dengan menggunakan domain yang tampak seperti situs
Islami yang tidak menyimpang. Termasuk materi tentang aktivisme yang menggunakan
Media Sosial Youtube dan Facebook dalam Pembentukan Sikap Intelorensi dan
Radikalisme Ceramah Ustadz Hasyim Yahya “Orang Islam yang Baik itu yang Menjadi
Teroris”
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 1, Januari 2022 135
teks-teks keagamaan untuk menyentuh hati guna mempengaruhi pembaca. Internet
menawarkan banyak kesempatan bagi kelompok aktivis untuk melakukan berbagai aksi.
Peluang tersebut antara lain:
1. Ciptakan kesempatan untuk mengekspos seseorang pada ideologi radikal. Secara
tidak langsung, Internet memfasilitasi penyebaran aktivisme melalui situs-situs
radikal dengan jangkauan yang sangat luas.
2. Internet telah menjadi ruang gema bagi ideologi radikal. Internet telah memudahkan
pengguna untuk memperoleh materi yang menarik, termasuk propaganda teroris,
melalui situs web tertentu, blog, jejaring sosial, formulir Internet, fasilitas obrolan,
dan aliran video.
3. Internet telah mempercepat radikalisasi. Dalam konteks ini, Internet telah
memudahkan untuk memperoleh informasi dan mempromosikan aktivisme.
4. Internet menawarkan peluang untuk radikalisasi tanpa kontak fisik.
5. Internet meningkatkan peluang radikalisasi diri. Pengguna internet dapat
mempelajari lebih lanjut tentang pola aktivitas teroris tanpa harus bersentuhan
langsung dengan teroris lain. Ini karena pengguna Internet memiliki akses ke banyak
informasi dan memahami pola aktivitas teroris di Internet.
Pengertian Kontra Radikalisme
Dalam KKBI, kata "con" diartikan sebagai tidak setuju, tidak setuju, dan lain
sebagainya.12 Kontra-radikalisme adalah upaya untuk menanamkan nilai-nilai
Indonesia serta nilai-nilai non-kekerasan. Strategi ini dilaksanakan melalui pendidikan
formal dan nonformal. Deradikalisasi ini dilakukan melalui tokoh agama, tokoh agama,
Pendidikan, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh pemuda dan pemangku kepentingan
lainnya memberikan nilai-nilai kebangsaan untuk memerangi radikalisme. Anti-
radikalisasi adalah bagian dari deradikalisasi untuk anti-radikalisasi. Deradikalisasi ini
untuk simpatisan, Pendukung, inti dan militan dilakukan di dalam dan di luar penjara.
Tujuannya adalah agar kelompok inti, simpatisan radikal, dan pendukung meninggalkan
cara-cara kekerasan dan teror dan memoderasi mereka saat mereka memperjuangkan
misi mereka. Ide-ide radikal mereka menjadikan mereka sesuai dengan etos kelompok
Islam moderat dan sesuai dengan misi nasional yang memperkuat bangsa dan bangsa.
Deradikalisasi memiliki tiga dimensi, yaitu sebagai strategi, program dan sistem
kelembagaan. Antiradikalisasi mencakup upaya khusus dari deradikalisasi sebagai
dimensi strategis. Ini ditujukan untuk masyarakat umum, apakah mereka telah terkena
aktivisme atau tidak. Harapan peningkatan imunitas dan stamina bagi yang belum
terpapar kesadaran ini dengan cara ini orang kurang rentan terhadap persuasi tradisional
dan media sosial. Sasaran utama dari kontra aktivisme ini adalah generasi muda yang
sedang menempuh pendidikan di bangku sekolah menengah hingga perguruan tinggi.
Tugas dan tanggung jawab pemberantasan radikalisme dan terorisme tidak hanya
menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga tanggung jawab seluruh lapisan
masyarakat. Saat ini, partisipasi masyarakat masih sangat dibutuhkan untuk mengisi
dunia maya dengan konten-konten positif atau anti radikal.
Rikky operiady.
136 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 1, Januari 2022
Dalam memerangi propaganda radikalisme dan terorisme melalui media internet,
diperlukan peran berbagai kalangan, baik itu urama, tokoh pendidikan, tokoh agama,
tokoh pemuda, tokoh masyarakat, dll. Dalam kontra radikalisme, ada 20 indikator yang
bisa dijadikan parameter untuk mengukur kecenderungan ekstremisme agama, yaitu:
a. Gerakan memiliki kecenderungan untuk menyimpang dari arus utama atau
menolak tatanan dunia, politik dan sosial;
b. Upaya untuk menggulingkan tatanan politik untuk menciptakan kembali apa
yang mereka anggap sebagai tatanan alam masyarakat, yang dapat
Berdasarkan ras, kelas, kepercayaan dan keunggulan ras;
c. Memiliki ideologi dan rencana aksi yang bertujuan untuk memperoleh
kekuatan politik atau komunitas;
d. Menolak atau mengaburkan gagasan ketertiban hukum dalam masyarakat
demokratis; menggunakan ruang politik yang disediakan oleh lembaga-
lembaga demokrasi untuk memajukan tujuan mereka merebut kekuasaan;
e. Menolak Deklarasi Internasional Hak Asasi Manusia, menunjukkan
ketidakmampuannya dan tidak mengakui hak orang lain;
f. Menolak prinsip demokrasi berdasarkan kedaulatan rakyat;
g. Penyangkalan umum terhadap kesetaraan, terutama bagi perempuan dan
minoritas;
h. Menolak keragaman dan pluralisme, bahkan menganjurkan sistem
monokultural (masyarakat monokultural);
Theory Uses dan Gratification
Apa yang disebut oleh para sarjana komunikasi massa saat ini sebagai Uses dan
Gratification? (U&G) pendekatan umumnya diakui sebagai subtradisi penelitian efek
media. Berdasarkan awal mula sejarah penelitian komunikasi, sebuah pendekatan
dikembangkan guna mempelajari kepuasan yang menarik dan menahan audiens untuk
jenis media dan jenis konten yang memenuhi kebutuhan sosial dan psikologis mereka
(Hadi, 2021). Banyak penelitian efek awal mengadopsi eksperimen atau pendekatan
kuasi-eksperimental, di mana keadaan komunikasi dimanipulasi untuk mencari
pelajaran umum tentang bagaimana berkomunikasi yang lebih baik, atau tentang
konsekuensi pesan yang tidak diinginkan (Manab, 2015).
Penelitian efek media lainnya berusaha menemukan motif dan pola seleksi
khalayak untuk media massa depan. Contohnya termasuk Cantril dan Allport (1935)
pada penonton radio; Waples, Berelson, dan Bradshaw (1940) tentang membaca;
Herzog (1940, 1944) mengenai program kuis dan gratifikasi dari serial radio siang hari;
Suchman (1942) mengenai motif mendengarkan musik yang serius; Wolfe dan Fiske
(1949) mengenai minat anak terhadap komik; Berelson (1949) mengenai fungsi
membaca koran; dan Lazarsfeld dan Stanton (1942, 1944, 1949) di media yang berbeda
genre. Masing-masing studi ini merumuskan daftar fungsi yang dilayani oleh beberapa
konten tertentu atau oleh media itu sendiri:
Media Sosial Youtube dan Facebook dalam Pembentukan Sikap Intelorensi dan
Radikalisme Ceramah Ustadz Hasyim Yahya “Orang Islam yang Baik itu yang Menjadi
Teroris”
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 1, Januari 2022 137
Guna mencocokkan akal dengan yang lain, untuk mendapatkan informasi dan
saran untuk hidup keseharian, guna menyediakan konsep kerja untuk hari seseorang,
guna mempersiapkan diri secara budaya untuk tuntutanmobilitas ke atas, atau untuk
diyakinkan tentang martabat dan kegunaan peran seseorang. (Blumler & Katz, 1974).
Penelitian terakhir berfokus pada psikologi sosial dan pendekatan berbasis
audiens, diwujudkan sebagai pendekatan U&G (McQuail, 1994) Beberapa pakar
komunikasi massa mengutip "kepanikan moral" dan penelitian Dana Payne sebagai
nenek moyang teori U&G. Studi Dana Payne oleh American Film Research Council
dilakukan pada akhir 1920-an. Sosiolog dan psikolog terkemuka, termasuk Herbert
Blumer, Philip Hauser, dan LL Thurstone, berusaha mengerti bagaimana menonton film
memengaruhi kelompok muda di Amerika Serikat (Lowery & De Fleur, 1983).
Namun, Rosengren, Johnson-Smaragdi, dan Sonesson (1994) berpendapat
bahwa, Studi Dana Payne adalah studi advokasi yang digerakkan oleh efek, yang
bertentangan dengan tradisi U&G yang berfokus pada penggunaan media pribadi.
Demikian pula, studi Cantril tentang siaran radio Orson Welles "Perang Dunia" lebih
fokus pada faktor sosiologis dan psikologis yang terkait dengan perilaku panik daripada
mengembangkan teori efek komunikasi massa (Lowery & De Fleur, 1983). Dominick
mengusulkan bahwa U&G dimulai pada tahun 1940-an, disaat para peneliti menjadi
tertarik mengapa khalayak terlibat dalam bermacam bentuk media perilaku, semisal
mendengarkan radio atau membaca surat kabar. Penghargaan lebih lanjut diberikan
pada pandangan U&G, penghargaan langsung dan model penghargaan tertunda dari
kepuasan media.
Bagaimanapun, penelitian U&G awal sebagian besar deskriptif, mencoba
mengklasifikasikan reaksi anggota audiens ke dalam kategori yang bermakna (Merton,
1949). Kebanyakan sarjana setuju bahwa ada sedikit koherensi teoretis dalam penelitian
sebelumnya, sebagian besar kecenderungan metodologis terhadap behaviorisme dan
individualisme (McQuail, 1994). Para peneliti berbagi pendekatan kualitatif dengan
mencoba mengelompokkan fakta kepuasan ke dalam kategori berlabel, sebagian besar
tidak acuh terhadap distribusi frekuensi mereka mengenai populasi. Sebagian besar
penulis awal tidak mencoba untuk menelusuri hubungan antara kepuasan terukur dan
asal-usul psikologis atau sosiologis dari kebutuhan yang memuaskan. Mereka sering
gagal menemukan secara kuantitatif dan konseptual hubungan timbal balik antara
berbagai fungsi media yang mungkin mengarah pada penemuan struktur yang
mendasari kepuasan media.
Kritik mengenai penelitian U&G sebelumnya telah berfokus pada fakta bahwa
(a) sangat bergantung pada laporan diri, (b) belum dewasa tentang asal usul sosial
tuntutan audiens dari media, dan (c) terlalu tidak kritis terhadap kedua kemungkinan
disfungsi . Jenis kepuasan penonton tertentu, dan (d) ketertarikan berlebihan pada
penonton kreatif yang terbiasa berfokus pada kendala tekstual (Blumler & Katz, 1974).
Terlepas dari keterbatasan yang serius, para peneliti awal, terutama di Biro
Penelitian Sosial Terapan Universitas Columbia, bertahan, terutama dalam mempelajari
efek media massa pada sikap politik. Mereka mempelajari pemilih di Erie County,
Rikky operiady.
138 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 1, Januari 2022
Ohio, selama pemilihan Roosevelt dan Wilkie 1940 (Hynek, 2017) dan pemilih di
Elmira, New York, selama demokrasi Truman-Dewey 1948. Kedua studi menunjukkan
bahwa media massa memainkan peran yang lebih lemah dalam pengambilan ketentuan
pemilu dikomparasikan dengan pengaruh pribadi dan pengaruh orang lain. Oleh karena
itu, Berelson et al. Mulailah memperkuat riset aliran dua langkah, menjauh dari konsep
audiens "atomik" dan menuju pengaruh pengaruh pribadi (Blumler & Katz, 1974).
Riset ketergantungan media sendiri berasumsi bahwa pengaruh media
diputuskan oleh hubungan antara media, khalayak dan masyarakat (Loges & Ball-
Rokeach, 1993). Keinginan individu terhadap informasi media merupakan variabel
pertama yang menjabarkan mengapa informasi media mempunyai efek kognitif, afektif,
atau variabel. Ketergantungan media tinggi ketika kepuasan tujuan individu bergantung
pada pembentukan sistem media (Loges & Ball-Rokeach, 1993). Rubin dan Windahl
memperluas model ketergantungan untuk memasukkan kepuasan pencarian penonton
sebagai komponen interaktif dengan ketergantungan media. Bagi Rubin dan Windahl,
kombinasi dari kepuasan yang diterima dengan baik dan ketergantungan yang
ditentukan secara sosial menciptakan efek media. Mereka berpendapat bahwa
ketergantungan pada nama media atau informasi muncul ketika individu dengan sengaja
mencari informasi atau terbiasa menggunakan saluran komunikasi atau informasi
tertentu.
Misalnya, (McIlwraith, 1998) menemukan bahwa orang-orang yang menyebut
diri mereka "Facebook dan Youtuber" sering menggunakan televisi untuk mengalihkan
diri dari pikiran yang tidak menyenangkan, mengatur emosi, dan menghabiskan waktu.
Hubungan antara ketergantungan dan alternatif fungsional ini menggambarkan
bagaimana U&G dapat menjadi teori 'mampu menghubungkan komunikasi individu dan
termediasi'.
Kesimpulan
Era milenial saat ini, modus penyebaran aktivisme berkembang secara masif di
dunia online. Pada tahun 2015, Kementerian Komunikasi dan Informatika
(Kemkominfo) akhirnya memblokir 22 website/website yang tergolong radikal karena
maraknya aktivisme di dunia maya. Pemblokiran situs militan dilakukan di bawah
arahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Distribusi pengguna
Internet terutama di Jawa, mencapai 65%, atau 86,3 juta orang. Menurut data, 69,9%
atau 92,8 juta user menggunakan internet di mana saja. Ini menunjukkan bahwa mereka
akan dapat dengan mudah mengakses situs web agresif. Pada saat yang sama,
propaganda radikal akan lebih mudah menyebar ke seluruh Indonesia.
Media Sosial Youtube dan Facebook dalam Pembentukan Sikap Intelorensi dan
Radikalisme Ceramah Ustadz Hasyim Yahya “Orang Islam yang Baik itu yang Menjadi
Teroris”
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 1, Januari 2022 139
Bibliografi
Anshori, Muslich, & Iswati, Sri. (2019). Metodologi penelitian kuantitatif: edisi 1.
Airlangga University Press.
Ar, Eka Hendry. (2013). Pola Gerakan Islam Garis Keras di Indonesia. Jurnal
Khatulistiwa LP2M IAIN Pontianak, 3(2), 163174.
Blumler, Jay G., & Katz, Elihu. (1974). The Uses of Mass Communications: Current
Perspectives on Gratifications Research. Sage Annual Reviews of Communication
Research Volume III.
Hadi, Ido Prijana. (2021). Penelitian Media Kualitatif-Rajawali Pers. PT. RajaGrafindo
Persada.
Hermawan, Iwan. (2019). Metodologi Penelitian Pendidikan (Kualitatif, Kuantitatif dan
Mixed Method). Hidayatul Quran.
Hynek, Jeřábek. (2017). Paul Lazarsfeld and the origins of communications research.
Routledge.
Lestari, Ambar Sri. (2021). Narasi dan Literasi Media dalam Pemahaman Gerakan
Radikalisme: Konsep dan Analisis-Rajawali Pers. PT. RajaGrafindo Persada.
Loges, William E., & Ball-Rokeach, Sandra J. (1993). Dependency relations and
newspaper readership. Journalism Quarterly, 70(3), 602614.
https://doi.org/10.1177/107769909307000311
Lowery, Shearon, & De Fleur, Melvin. (1983). Milestones in mass communication
research. Media effects. Nueva York.
Manab, H. Abdul. (2015). Penelitian Pendidikan Pendekatan Kualitatif. Kalimedia.
McIlwraith, Robert D. (1998). “I’m addicted to television”: The personality,
imagination, and TV watching patterns of self‐identified TV addicts. Journal of
Broadcasting & Electronic Media, 42(3), 371386.
https://doi.org/10.1080/08838159809364456
McQuail, Denis. (1994). The rise of media of mass communication. Mass
Communication Theory: An Introduction, 129.
Rikky operiady.
140 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 1, Januari 2022
Merton, Robert K. (1949). Patterns of Inluence: A Study of Interpersonal Influence and
of Communications Behavior in a Local Community. In. Lazarsfeld, Paul F.-
Stanton, Frank, N.(ed.). Communications Research 1948-1949. New York: Harper
& Brothers.
Penyusun, Tim. (2013). Pedoman penulisan karya ilmiah. Universitas Maritim Raja Ali
Haji.
Sari, Milya, & Asmendri, Asmendri. (2020). Penelitian Kepustakaan (Library Research)
dalam Penelitian Pendidikan IPA. Natural Science: Jurnal Penelitian Bidang IPA
Dan Pendidikan IPA, 6(1), 4153. 10.15548/nsc.v6i1.1555
Sugiyono, Metode. (2014). Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif Kualitatif
R&D cet. Ke-19, Bandung: Alfabeta.
Syakirin, Muhammad Hamda, Aziz, Djisman, & Surayya, Elly. (2020). Eksistensi
Pondok Pesantren Wali Peetu dalam Menarik Minat Orang Tua Untuk
Melanjutakan Pendidikan Agama Anak Di Desa Air Hitam Laut Kecamatan Sadu
Kabupaten Tanjung Jabung Timur Provinsi Jambi. UIN Sulthan Thaha Saifuddin
Jambi.
Thoyyib, Mochamad. (2018). Radikalisme Islam Indonesia. TA’LIM: Jurnal Studi
Pendidikan Islam, 1(1), 90105.
Usman, Sunyoto, Qodir, Zuly, & Hasse, J. (2014). Radikalisme agama di Indonesia.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Widyaningsih, Rindha, & Fil, S. (2019). Deteksi Dini Radikalisme. Purwokerto: Unsoed
Press.