50
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi:pISSN: 2723 - 6609
e-ISSN :2745-5254
Vol. 3, No.1 Januari 2022
POTENSI PAJAK DALAM EKONOMI DIGITAL DAN REKOMENDASI
KEBIJAKANNYA
Nafis Dwi Kartiko1, Agustin Widjiastuti2
Program Studi Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Pelita Harapan1,2
Abstrak
Ekonomi digital digolongkan dalam sektor yang sulit dipajaki. Indonesia sendiri
telah menerbitkan peraturan perundang-undangan sebagai respons atas pemajakan
ekonomi digital, tetapi menurut peneliti peraturan tersebut belum cukup untuk
memperluas basis pemajakan atas ekonomi digital. Dalam penelitian ini hal yang
menjadi tujuan peneliti adalah mengetahui cakupan dalam ekonomi digital untuk
keperluan basis pemajakan, melakukan komparasi perlakuan perpajakan atas
ekonomi digital, serta memberikan alternatif kebijakan perpajakan yang dapat
ditempuh dalam merespons ekonomi digital. Berdasarkan hasil penelitian, ruang
lingkup ekonomi digital yang paling tepat untuk dijadikan acuan adalah model
menurut OECD, Barefoot et al., dan digitalised economy menurut Bukht & Heeks.
Hasil komparasi dengan negara lain menenunjukkan sebagian negara membuat
aturan khusus terkait pajak ekonomi digital dengan memberlakukan Digital Service
Tax (DST). Alternatif kebijakan yang dapat diterapkan Indonesia untuk ekonomi
digital antara lain: memperkuat sinergi antar otoritas terkait, melakukan pendalaman
terhadap entitas yang diduga melakukan transaksi mencurigakan, mengenakan pajak
langsung dan pajak tidak langsung terhadap ekonomi digital, dan memperluas dan
mempertegas aturan pajak yang sudah ada untuk aspek ekonomi digital, daripada
memberlakukan jenis pajak baru.
Kata kunci: ekonomi digital; pajak; kebijakan.
Abstract:
The digital economy can classify as a sector that is difficult to tax. Indonesia itself
has issued laws and regulations in response to the taxation of the digital economy.
Still, according to researchers, these regulations are not enough to expand the tax
base of the digital economy. In this study, the researcher's goals are to find out the
scope of the digital economy for the purposes of the taxation base, to compare the
tax treatment of the digital economy, and to provide alternative tax policies that can
be taken in response to the digital economy. Based on the research results, the most
appropriate scope for the digital economy to be used as a reference is the model
according to the OECD, Barefoot et al., and the digitalized economy according to
Bukht & Heeks. The results of a comparison with other countries show that some
countries make special rules regarding digital economy taxes by imposing a Digital
Service Tax (DST). Alternative policies that can be applied by Indonesia for the
digital economy include: strengthening synergies between relevant authorities,
deepening of entities suspected of conducting suspicious transactions, imposing
Potensi Pajak dalam Ekonomi Digital dan Rekomendasi Kebijakannya
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 1, Januari 2022 51
direct and indirect taxes on the digital economy, and expanding and reinforcing
existing tax regulations for aspects of the digital economy. the digital economy,
rather than imposing new types of taxes.
Keyword: digital economy; tax; policy
Pendahuluan
Selama dua dekade terakhir ekonomi digital telah berkembang secara
eksponensial sebagai hasil dari kemajuan teknologi yang signifikan dan ketersediaan
konektivitas internet secara global (Sukardi & Jiaqian, 2020). Indonesia sendiri dinilai
memiliki potensi besar karena tingkat penetrasi pengguna internetnya terus meningkat
(Sayekti, 2020). APJII (2020) dalam Survei Penetrasi Internet Indonesia 2018
menyebutkan bahwa pengguna internet di Indonesia telah bertambah sebanyak 10,12
persen pada tahun 2018 jika dibandingkan tahun sebelumnya. Secara total, pengguna
internet di Indonesia telah mencapai 171,17 juta pengguna dari populasi penduduk 264,16
juta jiwa. Pemerintah Indonesia menargetkan Indonesia menjadi kekuatan ekonomi
digital tyang erbesar di ASEAN pada tahun 2020 dengan proyeksi nilai transaksi e-
commerce mencapai 130 juta USD (Sayekti, 2020).
Choi & Whinston (2000) menyebutkan bahwa ekonomi digital adalah ekonomi
yang bercirikan teknologi. Hal ini menurut Choi & Whinston akan berimplikasi pada
terjadinya efisiensi ekonomi dan peningkatan kesejahteraan akibat adanya penggunaan
teknologi dan sistem yang komputerisasi. Ekonomi digital dapat membuat semua
transaksi dilakukan dengan mudah, karena antara penjual dan pembeli tidak memerlukan
tatap muka secara langsung (Kleist, 2004; Pavlou, 2002). Pihak penjual dapat
menggunakan jasa kurir untuk menyerahkan barang kepada konsumen. Wadah yang
digunakan untuk berkomunikasi antara penjual dan pembeli pun dapat menggunakan
social media yang lebih praktis (Suwardi, Budiandri, Cinthya, & Ghifri, 2020).
Kemudahan pada ekonomi digital dengan pemanfaatkan teknologi membawa
dampak yang luar biasa pada pertumbuhan ekonomi ini. Kemudahan ini mengakibatkan
terjadinya pergeseran pada pola konsumsi masyarakat. Berawal dari pola belanja di toko
ritel konvensional menjadi toko ritel online melalui e-commerce atau marketplace. E-
commerce mempunyai potensi yang besar untuk memberi dampak perkembangan
ekonomi. Melalui publikasinya INDEF (Institute for Development of Economic and
Finance) pada tahun 2018 menghitung total investasi e-commerce di Indonesia yang
mencapai 4,8 miliar dolar dan berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi sebesar
0,712% atau kurang lebih Rp93 triliun (Yuliani, 2020).
Di samping kemudahan serta kontribusinya terhadap perekonomian, terdapat
permasalahan serius pada sektor pajak akibat adanya ekonomi digital. Pemerintah
menyebutkan bahwa ekonomi digital diidentifikasi sebagai salah satu faktor yang
mempersulit tercapainya target penerimaan pajak. Pemerintah pada DDTC (2020)
menyebutkan bahwa perkembangan ekonomi digital, baik secara nasional maupun global,
menjadi sumber risiko bagi pendapatan negara. Ekonomi digital dalam sudut pandang
Nafis Dwi Kartiko, Agustin Widjiastuti.
52 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 1, Januari 2022
perpajakan dapat digolongkan shadow economy atau sektor yang sulit dipajaki (hard-to-
tax sectors).
Otoritas pajak Indonesia sendiri telah mengeluarkan beberapa instrumen untuk
menyikapi ekonomi digital. Salah satunya adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor
48/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Penunjukan Pemungut, Pemungutan, dan
Penyetoran, serta Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena
Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak Dari Luar Daerah Pabean di Dalam
Daerah Pabean Melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMK
48/PMK.03/2020), atau lebih dikenal sebagai PPN PMSE. Aturan ini diterbitkan dalam
rangka untuk menciptakan kesetaraan perlakuan perpajakan (level playing field) baik
antara pelaku usaha secara konvensional dan pelaku usaha ekonomi digital maupun
antara pelaku usaha ekonomi digital di dalam & di luar negeri. Beleid ini juga
memberikan kepastian hukum dalam melakukan pemungutan PPN atas pemanfaatan
BKP Tidak Berwujud dan/atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean
melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), serta optimalisasi penerimaan
pajak.
Meskipun pihak otoritas pajak di Indonesia telah menerbitkan PMK
48/PMK.03/2020, menurut peneliti peraturan tersebut masih belum cukup untuk
memperluas basis pemajakan atas ekonomi digital. Aturan tersebut menurut peneliti
hanya mempertegas dalam ruang lingkup Pajak Pertambahan Nilai, belum terdapat
ketentuan spesifik untuk jenis pajak lain dalam hal pemajakan ekonomi digital.
Diperlukan policy yang lebih tegas dan spesifik untuk keperluan basis pemajakan
ekonomi digital. Sehingga hal tersebutlah yang akan menjadi research gap dalam
penelitian ini yaitu untuk memberikan alternatif kebijakan perpajakan yang dapat
ditempuh berdasarkan kerangka pemikiran yang nantinya akan diuraikan dalam
penelitian ini. Tujuan penelitian ini dibuat antara lain (i) mengetahui cakupan dalam
ekonomi digital untuk keperluan basis pemajakan, (ii) melakukan komparasi perlakuan
perpajakan atas ekonomi digital berdasarkan konsesus global atau aturan dibeberapa
negara, serta (iii) memberikan alternatif kebijakan perpajakan yang dapat ditempuh
dalam merespons ekonomi digital.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini merupakan metode
deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Metode yang digunakan bersifat diskriptif
analisis artinya pembahasan diarahkan pada penggambaran kondisi atas objek yang
diteliti yang berkaitan dengan kebijakan pajak pada era ekonomi digital. Pendekatan
kualitatif yang digunakan dalam penelitian merujuk pada pendapat (Creswell 2015) yang
meliputi serangkaian proses penyelidikan untuk memahami masalah sosial, berdasarkan
menciptakan gambaran holistik secara lengkap. Metode kualitatif digunakan untuk
menyelidiki proses sosial, makna, dan konteks yang sedang berlangsung (Holly et al.,
2014). Peneliti yang menggunakan metode kualitatif bertujuan untuk mencari dan
mengarahkan pada pemahaman yang lebih besar. Metode deskriptif kualitatif bertujuan
Potensi Pajak dalam Ekonomi Digital dan Rekomendasi Kebijakannya
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 1, Januari 2022 53
untuk membuat ringkasan komprehensif atas peristiwa yang terjadi. Pendekatan
penelitian kualitatif digunakan untuk mengakomodasi pertanyaan yang tidak dapat
dijawab oleh penelitian kuantitatif (Burdine, Thorne, & Sandhu, 2021).
Pengumpulan data dalam studi deskriptif kualitatif biasanya diarahkan untuk
menemukan siapa, apa, dan di mana peristiwa atau pengalaman atau sifat dan bentuknya
yang penting (Merriam, 2002; Sandelowski, 2000). Data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah data sekunder yang sumber dari berbagai publikasi yang ada dengan
teknik studi kepustakaan. Studi literatur dilakukan dengan membaca beberapa buku,
jurnal, makalah ilmiah, dan sebagainya untuk mendapatkan kerangka teoritis yang
menjadi dasar dalam penelitian ini. Selain itu, peneliti juga mengkaji ketentuan
perpajakan terkait objek penelitian untuk memahami konteks masalah secara mendalam
(Pandey & Pandey, 2021). Analisis dilakukan dengan membandingkan antar pendapat
dan praktik di berbagai negara berdasarkan literatur yang ada untuk mendapatkan
pemahaman dan rekomendasi kebijakan yang diinginkan.
Hasil dan Pembahasan
Pertanyaan mendasar untuk menentukan kebijakan perpajakan selanjutnya adalah
tentang ruang lingkup ekonomi digital. Hal ini bukan tanpa alasan, (Barefoot et al. 2018)
menyatakan bahwa tantangan mendasar untuk mengukur ekonomi digitial adalah
kurangnya definisi yang tepat dan universal yang menjelaskan kegiatan mana yang harus
dimasukkan saat mengukur ekonomi digital. Salah satu penelitian terdahulu yang
membahas terkait ruang lingkup ekonomi digital adalah penelitian yang dilakukan oleh
(Bukht & Heeks 2017). Dalam penelitian ini, Bukht & Heeks membedakan sektor digital
(digital (IT/ICT) sector), ekonomi digital (digital economy), dan ekonomi terdigitalisasi
(digitalised economy). Ekonomi digital sendiri oleh Bukht & Heeks didefinisikan sebagai
that part of economic output derived solely or primarily from digital technologies with
a business model based on digital goods or services”. Gambaran terkait ruang lingkup
ekonomi digital menurut (Bukht & Heeks 2017) disajikan pada gambar di bawah ini.
Gambar 1. Ruang Lingkup Ekonomi Digital
Sumber: (Bukht & Heeks, 2017)
Nafis Dwi Kartiko, Agustin Widjiastuti.
54 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 1, Januari 2022
Definisi lain dikemukakan oleh (Wibowo 2018) yang menyatakan bahwa ekonomi
digital merupakan sektor perekonomian meliputi barang dan jasa yang pengembangan,
produksi, penjualan atau suplainya tergantung kepada teknologi digital. (Wibowo 2018)
menjelaskan bahwa ekonomi digital merupakan ekonomi yang berdasarkan skema
perdagangan barang elektronik dan jasa yang dihasilkan oleh bisnis digital melalui
perdagangan digital.
(Barefoot et al. 2018) dengan menggunakan literatur dari Organisation for
Economic Cooperation and Development tau OECD (2018) memberikan ruang lingkup
ekonomi digital di Amerika Serikat antara lain sebagai berikut: (i) infrastruktur
pendukung digital yang diperlukan agar jaringan komputer ada dan beroperasi (digital‐
enabling infrastructure), (ii) transaksi digital yang terjadi menggunakan sistemtersebut
(e-commerce), dan (iii) konten yang dibuat dan diakses oleh pengguna ekonomi digital
(digital media). Berikut adalah ruang lingkup ekonomi digital lebih lanjut yang dijelaskan
oleh (Barefoot et al. 2018).
Digital‐Enabling Infrastructure
a. Perangkat keras komputer (Computer hardware): Elemen fisik yang diproduksi
menjadi sistem komputer meliputi, namun tidak terbatas pada, monitor, hard drive,
semikonduktor, produk komunikasi nirkabel, dan produk peralatan audio dan visual.
b. Perangkat lunak (Software): Program dan informasi operasi lainnya digunakan oleh
komputer pribadi dan server komersial, termasuk perangkat lunak komersial dan
perangkat lunak yang dikembangkan di rumah oleh perusahaan untuk penggunaannya.
c. Peralatan dan layanan telekomunikasi (Telecommunications equipment and services):
Peralatan dan layanan yang diperlukan untuk transmisi informasi digital dari kejauhan
melalui kabel, telegraf, telepon, penyiaran, atau satelit.
d. Struktur (Structures): Termasuk didalamnya membangun bangunan di mana produsen
ekonomi digital menciptakan barang ekonomi digital atau menyediakan layanan
ekonomi digital. Kategori struktur juga mencakup bangunan yang menyediakan
layanan dukungan untuk produk digital. Ini terdiri dari pembangunan pusat data,
pabrik fabrikasi semikonduktor, instalasi kabel serat optik, sakelar, repeater, dll.
e. Internet of Things (IoT): Perangkat yang mendukung Internet seperti peralatan, mesin,
dan mobil dengan perangkat keras tertanam memungkinkan mereka untuk
berkomunikasi satu sama lain dan terhubung ke Internet.
E-Commerce
a. E-commerce business-to-business (B2B): Jenis e-commerce ini menggunakan Internet
atau sarana elektronik lainnya untuk melakukan transaksi barang dan jasa dari bisnis
ke bisnis lain. Produsen, grosir, dan industri lainnya terlibat dalam e-commerce inter
dan intra perusahaan untuk memproduksi barang dan jasa untuk konsumsi akhir.
b. E-commerce business-to-consumer (B2C): E-commerce yang memanfaatkan Internet
atau cara elektronik lainnya untuk menjual barang dan jasa oleh bisnis kepada
konsumen, atau e-commerce ritel.
Potensi Pajak dalam Ekonomi Digital dan Rekomendasi Kebijakannya
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 1, Januari 2022 55
c. Peer-to-peer (P2P) e-commerce: Sharing ekonomy, juga dikenal sebagai e-commerce
platform-enabled, melibatkan pertukaran barang dan jasa antara konsumen yang
difasilitasi melalui aplikasi digital. Termasuk didalamnya (tetapi tidak terbatas pada)
pengiriman naik, penyewaan akomodasi, layanan pengiriman dan kurir, lansekap,
persiapan makanan, penyewaan barang konsumsi, layanan binatu, dan layanan
kebersihan.
Digital Media
1. Media digital penjualan langsung (Direct sale digital media): Bisnis dapat menjual
produk digital langsung ke konsumen dengan imbalan biaya, baik berdasarkan item-
demi-item atau melalui layanan berlangganan.
2. Media digital gratis (free digital media): Beberapa perusahaan menawarkan media
digital kepada konsumen tanpa biaya, seperti YouTube atau Facebook. Biasanya,
bisnis yang menyediakan layanan ini mendapatkan pendapatan dengan menjual ruang
iklan di margin produk digital, seperti model yang diikuti oleh banyak media cetak
atau outlet televisi siaran. Selain itu, beberapa konsumen membuat konten online asli
untuk konsumsi teman sebaya, yang dikenal sebagai media digital P2P.
3. Big data: Beberapa perusahaan menghasilkan kumpulan big data sebagai bagian dari
operasi sehari-hari mereka. Hal ini juga dapat mencakup media digital sebagai
mekanisme untuk mengumpulkan informasi tentang perilaku atau preferensi
konsumen. Perusahaan-perusahaan ini dapat memperoleh pendapatan dengan menjual
informasi ini, kadang-kadang disebut big data atau memanfaatkannya dengan cara
lain.
Kajian terbaru oleh OECD pada tahun 2019 menghasilkan empat tingkatan definisi
dari ekonomi digital yang dapat dilihat pada Gambar 2. Berikut adalah berbagai tingkatan
pada ekonomi digital sebagaimana pendapat OECD (2019):
1. Ukuran inti ekonomi digital hanya mencakup kegiatan ekonomi dari produsen barang
TIK dan ICT dan layanan informasi.
2. Ukuran sempit mencakup sektor inti dan kegiatan ekonomi yang berasal dari
perusahaan yang bergantung pada input digital.
3. Ukuran Luas mencakup dua langkah pertama dan kegiatan ekonomi dari perusahaan
yang secara signifikan ditingkatkan dengan penggunaan input.
4. Masyarakat digital meluas lebih jauh dari Ekonomi Digital. Ini menggabungkan
interaksi dan kegiatan digital yang tidak termasuk dalam batas produksi PDB, seperti
platform digital gratis (termasuk media digital publik). Meskipun tidak dianggap
sebagai bagian dari ekonomi digital, kegiatan ini sangat penting untuk kebijakan
digital yang efektif oleh pemerintah.
5. Ukuran tambahan kegiatan ekonomi, yang dipesan secara digital dan disampaikan
secara digital, dapat dianggap sebagai perspektif alternatif ekonomi digital. Hal ini
digambarkan berdasarkan sifat transaksi daripada dibagi berdasarkan output
Nafis Dwi Kartiko, Agustin Widjiastuti.
56 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 1, Januari 2022
perusahaan atau metode produksi. Ukuran ini berfokus pada pemesanan atau
pengiriman, terlepas dari produk akhir atau bagaimana diproduksi.
Gambar 2: Tingkatan Definisi Ekonomi Digital
Sumber: (OECD, 2019)
Menurut peneliti sendiri, definisi ekonomi digital dalam bahasa Indonesia lebih
tepat menyitir pendapat dari (Barefoot et al. 2018) dan (OECD 2019). Definisi ekonomi
digital berdasarkan pendapat (Bukht & Heeks 2017) menurut peneliti lebih tepat pada
ruang lingkup digitalised economy, sehingga hal ini dapat selaras dengan pendapat OECD
(2019) dan (Barefoot et al. 2018). Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan ekonomi
digital adalah definisi seluas-luasnya sebagaimana definisi OECD (2019), (Barefoot et al.
2018), dan digitalised economy menurut (Bukht & Heeks 2017).
1. Fungsi Pajak
Umumnya ada dua fungsi pajak: fungsi budgetair (fungsi anggaran) dan fungsi
regulerend (fungsi pengaturan). Menurut (Zulvina 2011), terdapat fungsi perpajakan
lainnya, yaitu fungsi demokrasi dan redistribusi. Berikut ini adalah elaborasi lebih lanjut
fungsi pajak menurut Zulvina (2011).
a. Fungsi regularend adalah fungsi pajak sebagai alat yang digunakan untuk mencapai
tujuan tertentu di luar sektor keuangan.
b. Fungsi anggaran terletak di sektor publik, yaitu pengumpulan pajak digunakan
untuk membiayai pengeluaran negara.
c. Fungsi demokratis pajak merupakan fungsi yang terkait sistem gotong-royong
dalam kegiatan pemerintahan dan pembangunan untuk kepentingan umat manusia.
d. Fungsi redistribusi adalah fungsi yang menekankan pada unsur keadilan dan
keadilan dalam masyarakat.
Kaitannya dengan pemajakan pada ekonomi digital keempat fungsi pajak ini
memainkan peran yang penting. Pemikiran berangkat dari fungsi regulerend dimana
diperlukan suatu aturan yang mengatur tentang ekonomi digital. Selanjutnya setelah
aturan telah diundangkan maka fungsi budgeter mengambil alih untuk menarik pajak atas
seluruh tambahan ekonomis pada aktivitas tersebut. Pajak yang telah dipungut secara
gotong-royong digunakan untuk pemerataan dalam masyarakat, dalam hal ini fungsi
Potensi Pajak dalam Ekonomi Digital dan Rekomendasi Kebijakannya
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 1, Januari 2022 57
demokrasi dan redistribusi yang berperan. Aturan pajak harus berangkat dari keempat
fungsi tersebut dan harus memberikan perlakuan yang sama terhadap ekonomi digital.
Pajak harus berlaku adil terhadap seluruh pelaku ekonomi baik dalam ekonomi digital
maupun konvensional.
2. Prinsip Perpajakan Ekonomi Digital
OECD (2014) memberikan pandangannya terkait prinsip kebijakan pajak dalam
merespons ekonomi digital. Prinsip-prinsip tersebut antara lain netralitas (neutrality),
efisiensi (efficiency), kepastian dan kesederhanaan (certainty and simplicity), efektivitas
dan keadilan (effectiveness and fairness), dan fleksibilitas (flexibility). Selain prinsip yang
telah disebutkan sebelumnya, OECD juga menyatakan bahwa keadilan (equity) harus
menjadi pertimbangan penting dalam merumuskan kebijakan pajak. Prinsip-prinsip
berdasarkan OECD tersebut lebih lanjut diuraikan sebagai berikut.
a. Netralitas
Pajak harus berusaha untuk netral dan adil terhadap segala macam bentuk kegiatan
bisnis. Dalam pengertian ini, netralitas juga berarti bahwa sistem perpajakan harus
dapat meningkatkan pendapatan negara dengan meminimalisisr terjadinya
diskriminasi yang pada jenis ekonomi tertentu.
b. Efisiensi
Biaya kepatuhan pajak dalam biaya bisnis dan administrasi (business and
administration costs) untuk pemerintah harus dapat diminimalkan sekecil mungkin.
c. Kepastian dan Kesederhanaan
Aturan perpajakan harus jelas dan sederhana untuk dipahami, sehingga Wajib Pajak
dapat memahami posisi mereka. Sistem perpajakan yang sederhana memudahkan
individu dan entitas bisnis untuk memahami kewajiban dan hak mereka. Implikasinya,
entitas bisnis dapat membuat keputusan yang optimal dan mampu memilih pilihan
kebijakan yang diinginkan. Sebaliknya apabila aturan pajak dibuat dengan sangat
kompleks, maka akan terjadi perencanaan pajak yang agresif (aggressive tax
planning), yang dapat memicu kerugian pada perekonomian.
d. Efektivitas dan Keadilan
Sistem perpajakan harus menghasilkan jumlah pajak yang tepat pada waktu yang
tepat. Selain itu, potensi penghindaran pajak harus dapat diminimalisir oleh otoritas
terkait. Technical Advisory Groups (TAGs) dalam OECD (2014) menyebutkan bahwa
there is a class of taxpayers that are technically subject to a tax, but are never required
to pay the tax due to inability to enforce it”. Hal yang demikian dianggap oleh sebagian
Wajib Pajak sebagai perlakuan yang tidak adil dan tidak efektif (unfair and
ineffective).
e. Fleksibilitas
Sistem perpajakan harus dinamis dengan memastikan Wajib Pajak dapat mengikuti
perkembangan teknologi dan komersial. Sistem perpajakan harus cukup dinamis dan
fleksibel untuk memenuhi kebutuhan pendapatan pemerintah saat ini, sambil terus
Nafis Dwi Kartiko, Agustin Widjiastuti.
58 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 1, Januari 2022
beradaptasi dengan perubahan yang ada. Pemerintah harus merespons sesuai
kebutuhan mereka untuk mengimbangi perkembangan teknologi dan komersial.
Keadilan (equity) juga merupakan pertimbangan penting dalam merumuskan
kerangka kebijakan perpajakan. Keadilan memiliki dua elemen utama yaitu keadilan
horizontal dan keadilan vertikal. Keadilan horizontal menunjukkan bahwa Wajib Pajak
dalam keadaan yang sama harus menanggung beban pajak yang serupa. Keadilan vertikal
adalah konsep normatif, yang definisinya dapat berbeda dari satu pengguna ke pengguna
lainnya.
3. Base Erosion And Profit Shifting
Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) merupakan strategi perencanaan pajak
(tax planning) yang didalamnya memanfaatkan celah dan kelemahan peraturan
perpajakan domestik untuk meminimalisir dan memperkecil keuntungan atau dengan
mengalihkan keuntungan tersebut ke negara lain yang memiliki tarif pajak lebih rendah
atau bebas pajak. Tujuan akhir BEPS tidak lain agar perusahaan tidak membayar pajak
atau pajak yang dibayar nilainya sangat kecil terhadap pendapatan perusahaan secara
keseluruhan (OECD, 2013 dalam Rakhmindyarto, 2014). Isu BEPS sangat erat kaitannya
dengan ekonomi digital seiring dengan kemajuan teknologi dan informasi. (Darussalam
& Tobing, 2014) menyebutkan bahwa perusahaan yang melakukan penghindaran pajak
adalah perusahaan yang mengoperasikan kegiatan bisnis di bidang teknologi informasi
dan komunikasi, yang mana perusahaan ini memegang peranan penting dalam ekonomi
digital. BEPS memanfaatkan gap dan perbedaan peraturan perundang-undangan
perpajakan antar negara agar penghasilan yang diperoleh suatu entitas tidak dikenakan
pajak.
Negara yang tergabung dalam G20 telah mendeklarasikan aksi bersama dengan
OECD yang didalamnya memuat 15 Rencana Aksi atas isu BEPS. Lima belas Rencana
Aksi ini secara prinsip didasarkan pada tiga hal yaitu koherensi, substansi, dan
transparansi. serta diharapkan dapat mentransformasi standar perpajakan internasional
(Darussalam & Tobing, 2014). Dalam Boccia & Leonardi (2016), rencana aksi OECD
yang membahas terkait ekonomi digital terdapat pada Rencana Aksi 1, yaitu Address the
tax challenges of the Digital Economy”. Rencana aksi ini bertujuan untuk
mengidentifikasi kesulitan yang ditimbulkan akibat adanya ekonomi digital untuk
keperluan perpajakan internasional, serta mengembangkan opsi untuk mengatasi masalah
ini. Pendekatan yang diambil oleh OECD berpijak pada pendekatan yang holistik dengan
mempertimbangkan aspek pajak langsung dan pajak tidak langsung.
Meskipun telah ada rencana aksi dari OECD, tidak membuat masalah BEPS pada
ekonomi digital dapat terselesaikan. Menurut Rakhmindyarto (2014) dalam pelaksanaan
rencana aksi BEPS membutuhkan kerangka kerja yang didasarkan pada konsensus global.
Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa rencana aksi tersebut dapat berjalan secara
efektif dan efisien, dengan mempertimbangkan sudut pandang negara-negara
berkembang, bisnis, serta masyarakat internasional. Hal demikian bukan tanpa alasan,
Potensi Pajak dalam Ekonomi Digital dan Rekomendasi Kebijakannya
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 1, Januari 2022 59
secara prinsip BEPS melibatkan persinggungan peraturan perpajakan di yurisdiksi
negara-negara yang berbeda. Sehingga Indonesia pun tidak dapat menyelesaikan masalah
tersebut sendiri, diperlukan keterlibatan dan kerjasama seluruh stakeholder global.
4. Perlakuan Perpajakan Atas Ekonomi Digital
Saat ini Indonesia telah mempunyai payung hukum dalam melakukan pemajakan
atas ekonomi digital. Payung hukum tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 48/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Penunjukan Pemungut,
Pemungutan, dan Penyetoran, serta Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak Dari Luar Daerah Pabean
di Dalam Daerah Pabean Melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMK
48/PMK.03/2020) atau lebih dikenal sebagai PMSE. PMK 48/PMK.03/2020 ini
merupakan pengejawantahan ketentuan Pasal 6 ayat (13) huruf a Perppu Nomor 1 Tahun
2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk
Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Dalam Rangka
Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas
Sistem Keuangan (telah diundangkan menjadi Undang-Undang Nomor 2 tahun 2020).
Subjek yang ditunjuk sebagai pemungut PPN PMSE adalah pelaku usama PMSE yang
terdiri dari Pedagang Luar Negeri, Penyedia Jasa Luar Negeri, Penyelenggara PMSE
(PPMSE) Luar Negeri, dan/atau PPMSE Dalam Negeri. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
dikenakan atas pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dan/ atau JKP dari luar Daerah Pabean
di dalam Daerah Pabean melalui PMSE. Sejak 1 Oktober 2020 terdapat 12 perusahaan
yang memenuhi kriteria sebagai pemungut pajak pertambahan nilai (PPN) atas barang
dan jasa digital yang dijual kepada pelanggan di Indonesia.
Peraturan yang diterbitkan oleh pemerintah dalam hal ini otoritas pajak sebatas pada
pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dan/ atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam
Daerah Pabean. Pertanyaannya selanjutnya bagimana dengan ekonomi digital dalam
negeri, misalnya e-commerce? Sebetulnya pemerintah sendiri pernah menerbitkan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan
atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (E-Commerce), namun peraturan
tersebut dicabut dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor
31/PMK.010/2019. Alasan pencabutan tersebut disebabkan karena masyarakat dan
pelaku usaha kerap menyalahartikan karena mengira pemerintah mengenakan pajak baru
bagi pelaku dalam e-commerce, padahal sebenarnya tidak terdapat pengenaan pajak yang
baru (Fitriandi, 2020). Penelitian yang dilakukan Terada-Hagiwara et al. ( 2019) terhadap
komparasi regulasi pajak tidak langsung di Asia Tenggara pada Tabel 1 memperlihatkan
bahwa tidak terdapat aturan yang mengkhususkan perlakuan Pajak Pertambahan Nilai
pada e-commerce. Menurut peneliti gap inilah yang harus ditindaklanjuti dan ditutup oleh
pemerintah untuk dapat memberikan kepastian hukum bagi pengusaha. Pemerintah
memerlukan aturan yang lebih tegas untuk pemajakan ekonomi digital.
Nafis Dwi Kartiko, Agustin Widjiastuti.
60 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 1, Januari 2022
Tabel. 1 Tarif Pajak E-Commerce dan Peraturan
pada Ekonomi Asia Tenggara
Negara
Jenis Pajak
Tidak
Langsung
Tarif
Regulasi
Indonesia
VAT
10%
Pada tahun 2017, pemerintah menyatakan niatnya untuk
menambahkan PPN 10% ke harga barang yang dibeli secara online.
Pajak e-commerce, ketika diterapkan, akan mencakup empat jenis
platform: pasar online, iklan baris, transaksi harian, dan ritel online.
Asosiasi E-Commerce Indonesia sedang mempertimbangkan PPN
0,5% untuk setiap penjual pasar. Namun, tidak ada yang
dilaksanakan.
Malaysia
SST
6%
SST menggantikan GST 6% pada September 2018.
Perpanjangan SST ke pemasok digital B2B dan B2C dengan tanggal
pengenalan 1 Januari 2019 (untuk pemasok B2B tertentu) dan 1
Januari 2020 (untuk pemasok B2C tertentu).
Malaysia untuk memperkenalkan pajak digital yang akan diterapkan
pada pemain lokal dan internasional, untuk implementasi pada 1
Januari 2020.
Filipina
VAT
12%
Filipina adalah satu-satunya pasar di kawasan ini dengan pajak e-
commerce yang diterapkan pada pemain lokal.
Sejak 2016, PPN 12% dikenakan pada nilai total transaksi online
lebih dari $ 37.310.
PPN 3% dikenakan pada transaksi online yang lebih rendah dari
ambang batas.
Singapura
GST
7%
Saat ini, setiap pembelian online di bawah 400 dolar Singapura (S $)
(US $ 290,17) dibebaskan dari GST.
Mulai 1 Januari 2020, konsumen akan membayar GST saat membeli
layanan online dari luar negeri.
Thailand
VAT
7%
Kabinet menyetujui proposal untuk mengumpulkan PPN 7% dari
platform e-commerce asing dengan pendapatan tahunan melebihi
THB1,8 juta ($ 56.000).
Perusahaan dengan kehadiran di luar negeri dan mendapatkan
penghasilan dari iklan dan / atau penyewaan ruang situs web dari
Thailand dikenakan pajak pemotongan 15%.
Saat ini, vendor di luar Thailand bertanggung jawab atas PPN 7%
hanya jika nilai melebihi THB1.500 ($ 45,76).
Vietnam
VAT
10%
Perusahaan e-commerce asing harus memiliki kantor perwakilan
lokal yang terdaftar di Vietnam dan membayar PPN sebesar 10%.
Individu tanpa perusahaan e-commerce yang mapan di Vietnam
dikenakan pajak jika mereka memiliki pendapatan penjualan tahunan
lebih dari $ 4.300.
Keterangan: B2B = business-to-business, B2C = business-to-customer, GST = goods and service tax, SST = sales and
service tax, THB = Thai baht, VAT = value-added tax.
Sumber: (Terada-Hagiwara et al., 2019)
Seharusnya pemerintah dapat mengakomodir pengenaan pajak untuk ekonomi
digital dalam peraturan tersendiri. Peneliti mencoba membandingkan dengan Peraturan
Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 231/PMK.03/2019 tentang Tata Cara
Pendaftaran Dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak, Pengukuhan Dan Pencabutan
Potensi Pajak dalam Ekonomi Digital dan Rekomendasi Kebijakannya
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 1, Januari 2022 61
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, Serta Pemotongan Dan/Atau Pemungutan,
Penyetoran, Dan Pelaporan Pajak Bagi Instansi Pemerintah, dalam Peraturan Menteri
Keuangan pemerintah dapat merinci dan “mengkhususkan” perlakuan perpajakn bagi
Instansi Pemerintah. Dengan semangat yang sama seharusnya pemerintah juga dapat
membuat peraturan yang lebih rinci dan khusus untuk ekonomi digital.
5. Komparasi Pengenaan Pajak Ekonomi Digital
Berbagai negara di beladan dunia memikirkan bagaimana mengenakan pajak atas
ekonomi digital. Tabel 2 menguraikan kebijakan pengenaan pajak atas ekonomi digital
beberapa negara yang peneliti pilih untuk dibandingkan. Terdapat negara yang memilih
mengenakan jenis pajak baru yaitu Digital Service Tax (DST). Lowry (2019) menyatakan
bahwa jenis pajak ini lebih memajaki penghasilan berdasarkan omset, bukan pada laba
atau keuntungan perusaan. Sehingga perusahaan yang dikatakan sebagai taxable person
dikenakan pajak atas penghasilan bruto/omset yang berasal dari negara yuridiksi.
Tabel. 2 Komparasi Pengenaan Pajak Ekonomi Digital
Negara
Pokok Peraturan
Perancis (Suwardi
et al., 2020)
Sistem perpajakan yang mengenakan pajak berbasis penghasilan yang berasal dari layanan
digital disebut sebagai Digital Service Tax (DST)
Ruang lingkup kondisi Taxable Person dalam suatu periode pajak:
1. Total penghasilan yang dilaporkan di seluruh dunia oleh entitas untuk yang relevan
tahun keuangan melebihi EUR 750.000.000
2. Jumlah total penghasilan kena pajak yang diperoleh oleh entitas di Perancis selama
tahun pajak yang relevan melebihi EUR 25.000.000
Objek DST:
1. Iklan yang dipasang pada media digital yang ditujukan kepada customer media digital
yang bersangkutan
2. Fasilitas yang disediakan oleh penyedia digital interface dua arah yang dapat
memungkinkan bertemunya antar pengguna, serta memfasilitasi penyediaan barang
atau jasa secara langsung.
3. Pengiriman Data yang diperoleh dari kegiatan pengguna di media digital.
Tarif Pajak : 3%
Australia (Suwardi
et al., 2020)
Australia melakukan pemajakan atas transaksi digital economy dengan menerapkan GST
(Good Service Tax).
Objek yang dikenakan GST meliputi seluruh penjualan barang dan jasa. Barang yang
dimaksud terdiri dari dua macam yaitu barang digital (tidak memiliki wujud fisiknya) dan
barang berwujud (memiliki wujud fisik) yang diserahkan kepada konsumen di Australia.
Entitas yang dijadikan subjek dalam GST merupakan pihak yang memasukkan barang
dan/atau jasa, meliputi suatu kegiatan bisnis, kegiatan yang dilakukan oleh lembaga
keagamaan, badan amal atau pemerintah, atau kegiatan yang dilakukan secara
berkelanjuatan atau teratur dalam bentuk sewa, lisensi atau kepentingan lainnya pada sektor
properti.
Australia menerapkan tarif GST sebesar 10% dari harga jual produk yang dikonsumsi atau
dijual di Australia.
Spanyol (Lowry,
2019)
Spanyol menerapkan DST dalam melakukan pemajakan atas transaksi digital economy.
Pajak akan dikenakan pada layanan digital tertentu, termasuk iklan online, marketplaces,
dan layanan transfer data (yaitu, pendapatan dari penjualan aktivitas pengguna online) yang
ditentukan dari internet alamat protokol (IP) di Spanyol
Pajak hanya akan berlaku untuk perusahaan dengan pendapatan global untuk tahun
kalender sebelumnya melebihi 750 juta dan 3 juta pendapatan yang diperoleh pada
tahun berjalan dari aktivitas dengan pengguna di Spanyol.
Nafis Dwi Kartiko, Agustin Widjiastuti.
62 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 1, Januari 2022
Inggris (HMRC,
2020)
Inggris menerapkan DST dalam rangka melakukan pemajakan atas transaksi dalam digital
economy.
Tarif pajak adalah 2% atas pendapatan dari mesin pencari, layanan media sosial, dan
marketplaces yang mendapatkan nilai dari pengguna Inggris.
Digital Service Tax akan dikenakan jika pendapatan grup di seluruh dunia dari aktivitas
digital ini lebih dari £ 500 juta dan lebih dari £ 25 juta dari pendapatan ini berasal dari
pengguna Inggris Raya.
Pendapatan £ 25 juta pertama grup yang berasal dari pengguna Inggris tidak akan
dikenakan Digital Service Tax.
Turki (Atabey &
Şamlı, 2020)
Turki melakukan pemajakan atas transaksi ekonomi digital dengan menerapkan DST.
Layanan digital yang dikenakan pajak
1. Semua jenis layanan periklanan online
2. Penjualan audio, video, atau konten digital apa pun di lingkungan digital
3. Layanan untuk menyediakan dan mengoperasikan lingkungan digital tempat
pengguna dapat berinteraksi satu sama lain
4. Layanan perantara yang dilakukan di lingkungan digital untuk layanan yang
tercantum di atas
Tarif 7,5% atas pendapatan yang dihasilkan dari layanan digital yang termasuk dalam
cakupan DST.
Sanksi
1. Penyedia layanan digital yang tidak memenuhi kewajibannya untuk menyerahkan
laporan dan pembayaran terkait DST dapat diberitahukan oleh otoritas pajak dengan
pemberitahuan tertulis, email, atau semua instrumen komunikasi lainnya.
2. Jika kewajiban ini tidak dipenuhi dalam waktu 30 hari sejak pengumuman, maka
dilakukan pemblokiran terhadap penyedia layanan digital sampai kewajiban tersebut
terpenuhi.
Berdasarkan komparasi pada Tabel 2, peneliti mengelompokkan regulasi antar
negara secara umum mengatur (a) taxable person, (b) threshold pengenaan pajak, dan (c)
sumber pengenaan pajak. Taxable person atau entitas yang dapat dikenakan pajak secara
umum merujuk pada perusahaan yang mendapatkan penghasilan dari negara yuridiksi.
Beberapa negara memberikan insentif berupa threshold untuk dapat dikenakan pajak atas
ekonomi digital. Sumber pengenaan pajak pada berbagai negara sesuai dengan ruang
lingkup ekonomi digital pada bagian sebelumnya.
6. Potential Loss Penerimaan Pajak
Potensi Penerimaan Pajak
Salah satu penyebab tidak tercapainya target penerimaan pajak secara optimal
adalah tingginya kegiatan ekonomi bayangan atau shadow economy di Indonesia. Jika
pada bagian sebelumnya peneliti membahas ruang lingkup dalam ekonomi digital, pada
bagian ini peneliti mencoba masuk dalam ranah ekonomi digital bayangan (digital
shadow economy). Digital shadow economy merupakan bagian dari shadow economy
atau ekonomi bayangan. Definisi ekonomi bayangan sangatlah luas tetapi umumnya
mengacu pada kegiatan bisnis yang beroperasi di luar sistem perpajakan dan bisnis yang
terdaftar secara hukum (registered business). Tindakan menyembunyikan transaksi
digunakan oleh pelaku dalam ekonomi bayangan untuk menghindari membayar pajak
atau biaya jaminan sosial, atau juga dapat digunakan menghindari biaya yang terkait
dengan kondisi kerja yang aman. atau perlindungan hak konsumen. (Russell, 2010). Pada
Potensi Pajak dalam Ekonomi Digital dan Rekomendasi Kebijakannya
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 1, Januari 2022 63
Tabel 3 disajikan klasifikasi shadow economy menurut Schneider and Enste dalam
Remeikiene et al. (2018). Beberapa penelitian terdahulu yang mengukur estimasi shadow
economy dan potential loss penerimaan pajak di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel. 3 Klasifikasi Shadow Economy
Criteria
Household
Informal
Underground
Criminal
Production/
Distribution
Legal
Legal
Illegal
Illegal
Transfers in the
market
no transfers
are conducted
are conducted
are conducted
Result
(products/services)
Legal
Legal
Legal
Illegal
Example
To do everything
by oneself; an
office at home;
barter; child
care
Neighbours’
assistance; advisory
centres; self-help
organisations;
honorary activities;
network activities
Illegal work: violations
of the regulations on
trade, craft,
distribution; tax
evasion; abuse of
social benefits
Trade in stolen
goods and drugs;
forbidden
gambling; fraud;
smuggling; hiding
of stolen goods
Categories
Self-sufficient
economy
Shadow economy
Sumber: Schneider and Enste dalam Remeikiene et al. (2018)
Tabel. 4 Penelitian Sebelumnya atas Shadow Economy di Indonesia
Peneliti
Estimasi Shadow Economy
Estimasi Potential Loss Penerimaan
Pajak
Nizar dan Purnomo (2011)
Rata-rata pertahun: Rp164,4
Triliun
Rata-rata pertahun: Rp20,55 Triliun
Sapardi (2013)
Rata-rata pertahun: Rp95,4 Triliun
Rata-rata pertahun: Rp6,9 Triliun
Samuda (2016)
Rata-rata pertahun: Rp376,56
Triliun
Rata-rata pertahun: Rp44,68 Triliun
Azwar dan Mulyawan
(2017)
Rata-rata pertahun: Rp536 Triliun
Rata-rata pertahun: Rp487,12 Triliun
Sumber: Diolah dari berbagai sumber
Secara umum jumlah potential loss penerimaan pajak dan estimasi shadow
economy di Indonesia sangat signifikan. Kekurangan penerimaan pajak yang dialami
Indonesia selama satu dekade terakhir seharusnya dapat ditutup. Nizar dan Purnomo
(2011) menyatakan potential loss penerimaan pajak ditaksir sebesar Rp20,55 triliun
pertahun, apabila kita bandingkan dengan kekurangan penerimaan pajak tahun 2011,
maka nilai potensi kerugian tersebut hampir menutupi kekurangan penerimaan pajak
sebesar Rp21 triliun. Sedangkan berdasarkan estimasi model yang dilakukan Azwar dan
Mulyawan (2017), maka kekurangan penerimaan pajak selama beberapa tahun terakhir
seharusnya tidak terjadi apabila shadow economy di Indonesia dapat diatasi. Misalnya
kekurangan penerimaan pajak sebesar Rp132,1 triliun pada tahun 2017, apabila potensi
penerimaan pajak dari shadow economy dapat dipungut oleh negara maka kekurangan
tersebut tidak akan terjadi.
Seperti dalam Tabel 3, Schneider dan Enste mengartikan shadow economy sebagai
kegiatan ekonomi baik legal maupun ilegal. Kegiatan legal yang dapat dikelompokkan
Nafis Dwi Kartiko, Agustin Widjiastuti.
64 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 1, Januari 2022
dalam shadow economy adalah hasil dari aktivitas ekonomi yang melanggar aturan
perundang-undangan, penghindaran pajak, dan penyalahgunaan manfaat jaminan sosial.
Dalam konteks ekonomi digital Gaspareniene et al. (2016) memberikan ringkasan terkait
aktivitas apa saja yang dapat digolongkan dalam aktivitas ekonomi bayangan digital
(digital shadow activity). Pada Tabel 5 disajikan terminologi terkait ekonomi bayangan
digital pada penelitian Gaspareniene et al. (2016).
Tabel. 5 Terminoligi terkait Digital Shadow Activity
Terms
Interpretasi
Terms reflecting the nature of
activities
Pelanggaran berbasis keuntungan yang dilakukan mengeksploitasi teknologi
jaringan
Digital illegal economy
Pendapatan yang dihasilkan oleh kegiatan ekonomi online
Digital unreported economy
Kegiatan ekonomi yang tidak terdaftar secara online, dilakukan menghindari
kontribusi pajak
Digital unrecorded economy
Kegiatan ekonomi online, dilakukan menghindari peraturan yang ditetapkan
tentang pelaporan bisnis
Digital black marketing
Cybercrime
Perdagangan online produk fisik ilegal atau data penipuan kejahatan berbasis
internet yang dilakukan dari jarak jauh untuk secara ilegal mengambil kekayaan
atau sumber daya dari entitas swasta dan yuridis serta sektor publik.
Terms reflecting the role of a
consumer as the main agent E-
fraud
Tindakan tidak jujur konsumen secara online, dilakukan melanggar persyaratan
kontrak dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan dari ketidakjujuran
Digital piracy (e-piracy)
Jenis pembajakan produk, muncul sebagai memproduksi, memperoleh dan / atau
mengkonsumsi salinan ilegal dari setiap produk otentik
Dysfunctional consumer
behaviour online
Tindakan online konsumen, yang melanggar norma perilaku yang diterima secara
umum
Sumber: Gaspareniene et al. (2016)
Berdasarkan hasil studi literatur yang penulis lakukan, diperoleh data sebagai
berikut:
a. Kerugian akibat pembajakan di seluruh Indonesia diprediksi mencapai Rp100 triliun
per tahun (REPUBLIKA, 2019). Jika menggunakan asumsi tarif pajak penghaislan
0,5% (PPh Final UMKM) maka total potensi pajak yang dapat disetor ke kas negara
sebesar Rp5 milyar. Jumlah tersebut belum dihitung pajak tidak langsung yang dapat
dikenakan (di Indonesia sendiri salah satu jenis pajak tidak langsung adalah Pajak
Pertambahan Nilai).
b. Setyawan (2019) dalam tulisannya menyatakan terdapat potensi pajak cukup
signifikan yang dapat digali dari industri ekonomi digital antara lain berasal dari:
1. Data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), transaksi jasa iklan
di Indonesia dari perusahaan over the top (OTT) mencapai USD 800 juta dengan
potensi kewajiban pajak penghasilan terutang adalah sebesar USD 77 juta atau
sekitar Rp1,07 triliun (belum termasuk PPN).
2. Berdasarkan data Google & Temasek pada 2017, pembelian produk via e-
Commerce di Indonesia telah mencapai US$ 10,9 miliar atau sekitar Rp146,7
Potensi Pajak dalam Ekonomi Digital dan Rekomendasi Kebijakannya
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 1, Januari 2022 65
triliun, naik 41 persen apabila dibandingkan dengan tahun 2015 dari angka US$ 5,5
miliar atau sekitar Rp 74 triliun.
3. Berdasarkan data Bappebti-Kemendag, perkembangan transaksi bisnis investasi
atas aset cryptocurrency (aset digital kripto, bukan sebagai alat pembayaran)
seperti Bitcoin, Etereum, Ripple, Litecoin di Indonesia cukup signifikan, dengan
market capitalization telah mencapai angka Rp1 triliun per hari dan
jumlah investor sebanyak lebih dari 1,4 juta orang, apabila dikenakan pajak final
(dipersamakan tarif atas transaksi saham) sebesar 0,1% dari transaksi maka akan
menghasilkan potensi PPh sebesar Rp365 milyar.
7. Alternatif Kebijakan Perpajakan
Berdasarkan uraian pada bagian sebelumnya, maka terdapat beberapa kemungkinan
rekomendasi peraturan yang dapat diberlakukan di Indonesia terkait pengenaan pajak
pada ekonomi digital. Pertama, pemerintah dapat mengenakan pajak langsung dan tidak
langsung terhadap setiap transaksi pada ekonomi digital. Kedua, diperlukan kerjasama
dengan otoritas lain selain pajak untuk melakukan pengawasan atas kegiatan dalam
ekonomi digital.
Skema umum terkait penyerahan barang atau jasa pada ekonomi digital dapat
dilihat pada Gambar 3. Entitas A menyerahkan barang/jasa ke Entitas B dengan imbalan
tertentu. Ketika Entitas B membayar kepada Entitas A, maka terdapat pihak yang terlibat
pada proses tersebut. Secara umum proses tersebut melibatkan pihak perbankan. Otoritas
Pajak dapat bekerjasama dengan pihak Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
(PPATK) dan perbankan untuk melakukan pengawasan terkait transaksi pada ekonomi
digital. Perangkat aturan yang dapat digunakan adalah Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 Tentang Akses Informasi Keuangan Untuk
Kepentingan Perpajakan Menjadi Undang-Undang (telah diundangkan menjadi Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2017). Aturan ini secara umum bertujuan
untuk memberikan kepastian hukum terkait pemberian akses yang luas bagi otoritas
pajak dalam menerima dan memperoleh informasi keuangan untuk kepentingan
perpajakan dan memenuhi komitmen Indonesia dalam perjanjian internasional mengenai
pertukaran informasi keuangan secara otomatis. Peran aktif otoritas pajak untuk meminta
data kepada pihak yang berkepentingan pada Perppu tersebut, akan meningkatkan
pengawasan terhadap aktivitas ekonomi digital.
Gambar. 3 Skema Umum Transaksi
Nafis Dwi Kartiko, Agustin Widjiastuti.
66 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 1, Januari 2022
Sumber: Diolah penulis
Peran PPATK dapat lebih dilibatkan sesuai dengan Peraturan Kepala Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Nomor: Per-11 / 1.02 /PPATK/06 /2013
tentang Identifikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan Bagi Penyedia Jasa Keuangan.
Peraturan ini dapat menjadi titik awal untuk bergerak ke UU Nomor 9 tahun 2017
sebelumnya. Ketika PPATK mencurigai terdapat transaksi keuangan yang mencurigakan,
Otoritas Pajak dapat segera meminta pihak yang berkepentingan dalam UU Nomor 9
tahun 2017 untuk membuka data tersebut. Kemungkinan yang dapat timbul atas suatu
transaksi keuangan berasal dari suatu entitas bisnis terdaftar maupun yang tidak terdaftar.
Ketika suatu entitas bisnis tersebut tidak terdaftar, maka otoritas pajak (dalam hal ini
Direktorat Jenderal apajak) dapat menerbitkan secara jabatan Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP) untuk menutup celah praktik tersebut. Apabila entitas bisnis telah terdaftar maka
terdapat dua kemungkinan atas status entitas tersebut. Pertama sudah terdaftar sebagai
Wajib Pajak dan kemungkinna kedua belum terdaftar sebagai Wajib Pajak. Untuk kasus
pertama tindak lanjutnya adalah menerbitkan NPWP secara jabatan, sedangkan untuk
kasus kedua otoritas pajak dapat melakukan pengawasan dengan melaksanakan
pemeriksaan pajak untuk menilai apakah transaksi tersebut telah dilaporkan pada otoritas
pajak. Untuk lebih sederhana dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar. 4 Perlakuan Transaksi Mencurigakan
Potensi Pajak dalam Ekonomi Digital dan Rekomendasi Kebijakannya
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 1, Januari 2022 67
Sumber: Diolah penulis
Secara sederhana pada langkah nomor 1, PPATK melakukan analisis terhadap
transaksi yang mencurigakan. Setelah mendapatkan hasil analisis pada nomor 2,
selanjutnya dilakukan penerusan informasi ke otoritas terkait, dalam hal pajak diteruskan
ke Direktorat Jenderal Pajak. Direktorat Jenderal Pajak meminta lembaga keuangan untuk
membuka transaksi tersebut disimbolkan pada nomor 3. Lembaga keuangan
menyerahkan hasil kepada Direktorat Jenderal Pajak pada nomor 4. Selanjutnya
Direktorat Jenderal Pajak melakukan identifikasi entitas tersebut terdaftar atau tidak
terdaftar pada nomor 5.
8. Pajak Langsung dan Pajak Tidak Langsung
Pajak atas ekonomi digital dapat peneliti bedakan menjadi dua macam, yaitu pajak
langsung (direct taxes) dan pajak tidak langsung (indirect taxes). Pajak langsung dapat
dimaknai sebagai antara pembayar pajak dan penanggungjawab pajak merupakan entitas
yang sama. Sedangkan perbedaannya dengan pajak tidak langsung dapat dilihat pada
pihak yang membayar pajak dan penanggungjawab pajak merupakan entitas yang
berbeda. Dalam pajak tidak langsung untuk kasus ini, maka pembayar pajak merupakan
pembeli/customer, sedangkan penanggungjawab pajak adalah pengusaha. Peneliti
memberikan gambaran pemajakan ekonomi digital untuk entitas dari luar negari/luar
daerah pabean yang menerima penghasilan dari Indonesia pada Gambar 5.
Aturan yang saat ini berlaku di Indonesia baru membahas pengenaan pajak tidak
langsung terkait barang/jasa yang berasal dari luar negeri yang digunakan oleh customer
Indonesia. Peneliti menilai harus terdapat pajak langsung yang harus dikenakan kepada
entitas tersebut. Mengapa hal ini harus dilakukan, mengingat pajak tidak langsung yang
dikenakan di Indonesia saat ini merupakan pajak atas konsumsi yang dibebankan kepada
Nafis Dwi Kartiko, Agustin Widjiastuti.
68 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 1, Januari 2022
pembeli dari Indonesia. Pajak tersebut sesungguhnya tidak dikenakan kepada entitas yang
mendapatkan penghasilan.
Gambar. 5 Pemajakan Entitas dari Luar Daerah Pabean yang Menerima Penghasilan
dari Indonesia
Sumber: Diolah penulis
Pada Gambar 5 misalnya, ketika XYZ Ltd menerima penghasilan dari Indonesia,
seharusnya dikenakan pajak langsung dan pajak tidak langsung. Pajak tidak langsung
dapat menggunakan dua skema. Skema pertama pembeli langsung membayar pajak ke
kas negara, karena entitas yang menjadi penanggungjawab tidak atau belum dikukuhkan
menjadi pemungut pajak di Indonesia. Sedangkan dalam skema kedua, ketika entitas yang
menjadi penanggungjawab telah dikukuhkan menjadi pemungut pajak di Indonesia, maka
entitas tersebutlah yang akan membayarkan pajak tersebut ke kas negara.
Dalam pajak langsung, peneliti berpendapat pemerintah harus menggagas
pengenaan pajak atas ekonomi digital. Pengenaan tersebut dapat berupa pajak yang baru
maupun memperluas aturan pajak yang ada. Seperti negara-negara yang telah
mengenakan Digital Service Tax (DST) sebelumnya, Indonesia pun dapat menggagas
pajak yang serupa untuk ekonomi digital. Tetapi yang harus diingat adalah ini akan
menimbulkan potensi gejolak sebagaimana Peraturan Menteri Keuangan Nomor
210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan Melalui
Sistem Elektronik (E-Commerce) yang telah dibatalkan. Sehingga peneliti lebih setuju
untuk memperluas dan mempertegas aturan pajak yang telah ada misalnya dalam Pajak
Penghasilan, daripada membuat menggagas jenis pajak yang baru. Muatan terkait hal apa
saja yang seharusnya diatur dapat dilihat pada Gambar 6.
9. Muatan dalam Peraturan Pajak Langsung
Potensi Pajak dalam Ekonomi Digital dan Rekomendasi Kebijakannya
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 1, Januari 2022 69
Menurut peneliti hal pertama yang harus diidentifikasi oleh pemerintah adalah
ruang lingkup ekonomi digital. Peneliti lebih setuju rung lingkup sebagaimana telah
diungkapkan sebelumnya, yaitu pendapat OECD (2019), Barefoot et al. (2018), dan
digitalised economy menurut Bukht & Heeks (2017). Setelah pemerintah berhasil
membuat identifikasi, langkah selanjutnya adalah menentukan siapa yang dapa disebut
dengan taxable person, sumber penghasilan yang dapat dikenakan pajak di Indonesia,
serta berapa batasan penghasilan yang akan dikenakan pajak.
Gambar 6 Muatan dalam Peraturan Pajak Langsung
Sumber: Diolah penulis
Pemerintah dapat mengadopsi aturan dari Perancis, Spanyol, Inggris dan Turki
tentang pendefinisian taxable person, sumber penghasilan, serta threshold dengan
memperhatikan sistem hukum yang ada di Indonesia. Salah satu pertimbangan dalam
aturan hukum perpajakan yang berlaku adalah kedudukan Persetujuan Penghindaran
Pajak Berganda atau tax treaty dalam hukum pajak di Indonesia. Hal lain yang harus
dipertimbangkan adalah bagaimana konsensus global mengatur pemajakan digital
economy dan dasar pengenaan pajak. Dasar pengenaan pajak menjadi hal yang penting
dalam hal ini, karena pemerintah harus mempertimbangkan apakah pajak yang dikenakan
atas laba di Indonesia atau penghasilan bruto dari Indonesia. Peneliti lebih setuju untuk
mengenakan berdasarkan penghasilan bruto. Pertimbangan yang mendasari adalah
tingkat kesulitan dalam menentukan biaya pengurang yang dapat diatribusikan untuk
pendapatan dari Indonesia.
Kesimpulan
Ruang lingkup ekonomi digital yang dapat diterapkan dalam aturan perpajakan di
Indonesia antara lain definisi , dan digitalised economy. Pemajakan atas ekonomi digital
harus mempertimbangkan prinsip-prinsip seperti netralitas, efisiensi, kesederhanaan dan
Nafis Dwi Kartiko, Agustin Widjiastuti.
70 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 1, Januari 2022
kepastian, keadilan dan efektivitas, dan fleksibilitas. Salah satu masalah yang dihadapi
pada ekonomi digital adalah Base Erosion Profit Shifting atau BEPS. Dalam praktik
BEPS peraturan perpajakan di yurisdiksi negara-negara yang berbeda saling bergesekan
satu dengan yang lain. Sehingga Indonesia memerlukan keterlibatan dan sinergi dengan
seluruh stakeholder global.
Pemajakan atas ekonomi digital harus dilakukan mengingat besarnya potensi atas
ekonomi digital di Indonesia. Kebijakan yang dapat diterapkan Indonesia untuk ekonomi
digital antara lain:
a. Memperkuat sinergi antar otoritas terkait, misalnya perbankan/lembaga keuangan,
PPATK, serta otoritas pajak
b. Entitas yang diidentifikasi melakukan transaksi mencurigakan oleh PPATK, harus
dilakukan pendalaman untuk menentukan entitas tersebut dapat dilakukan pemeriksaa
atau menetapkan NPWP secara jabatan
c. Pemerintah dapat mengenakan pajak langsung dan pajak tidak langsung terhadap
ekonomi digital
d. Pajak langsung yang dikenakan harus memperhatikan konsensus global dan sistem
hukum yang ada di Indonesia
e. Peneliti berpendapat bahwa pemerintah lebih baik memeprluas dan memeprtegas
aturan pajak yang sudah ada untuk aspek ekonomi digital, daripada memberlakukan
jenis pajak baru.
Potensi Pajak dalam Ekonomi Digital dan Rekomendasi Kebijakannya
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 1, Januari 2022 71
Bibliografi
APJII. (2020). Survei APJII yangDitunggu-tunggu,Penetrasi InternetIndonesia 2018.
Buletin APJII, 40, 16.
Atabey, Utku, & Şamlı, Erdem. (2020). Digital Service Tax in Turkey.
Azwar, & Mulyawan, Andi Wawan. (2017). Analisis Underground Economy Indonesia
Dan Potensi Penerimaan Pajak,. 1(1), 6078.https://doi.org/10.31092/jia.v1i1.18
Barefoot, Kevin, Curtis, Dave, Jolliff, William, Nicholson, Jessica R., & Omohundro,
Robert. (2018). Defining and measuring the digital economy. US Department of
Commerce Bureau of Economic Analysis, Washington, DC, 15.
Boccia, Francesco, & Leonardi, Robert. (2016). The Challenge of the Digital Economy.
Markets, Taxation and Appropriate Economic Models. Library of Congress Control,
(2016957774). Springer.
Bukht, Rumana, & Heeks, Richard. (2017). Defining, conceptualising and measuring the
digital economy. Development Informatics Working Paper, (68).
Burdine, Thompson Julie, Thorne, Sally, & Sandhu, Gurjit. (2021). Interpretive
description: a flexible qualitative methodology for medical education research.
Medical Education, 55(3), 336343.https://doi.org/10.1111/medu.14380
Choi, Soon Yong, & Whinston, Andrew B. (2000). The future of the digital economy. In
Handbook on electronic commerce (pp. 2552). Springer.
https://doi.org/10.1007/978-3-642-58327-8_2
Creswell, John W. (2015). Educational research: Planning, conducting, and evaluating
quantitative (5th ed.). Upper Saddle River, New Jersey: Pearson Education Limited.
Darussalam, & Tobing, Ganda C. (2014). Rencana AksiBase Erosion Profit Shifting dan
Dampaknya terhadap Peraturan Pajak di Indonesia.
DDTC. (2020). Pemerintah Sebut 6 Faktor Ini Bisa Persulit Pencapaian Target Pajak.
Retrieved October 25, 2020, from https://news.ddtc.co.id/pemerintah-sebut-6-
faktor-ini-bisa-persulit-pencapaian-target-pajak-23745
Fitriandi, Primandita. (2020). PEMAJAKAN ATAS TRANSAKSI MELALUI ONLINE
MARKETPLACE. JURNAL PAJAK INDONESIA (Indonesian Tax Journal), 4(1),
1420. https://doi.org/10.31092/jpkn.v3i1.1202
Gaspareniene, Ligita, Remeikiene, Rita, & Navickas, Valentinas. (2016). The concept of
digital shadow economy: consumer’s attitude. Procedia Economics and Finance,
39, 502509.https://doi.org/10.1016/S2212-5671(16)30292-1
HMRC. (2020). Digital Services Tax.
Nafis Dwi Kartiko, Agustin Widjiastuti.
72 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 1, Januari 2022
Holly, Cheryl, Bugel, Mary Jo, Scuderi, Deneen, Estrada, Rosario P., Harvey, Joan,
Echevarria, Mercedes, Giuliante, Maryanne M., Antonio, Angelito S., Duncan,
Keesha A., Shuler, Jackeline Biddle, Barto, Donna, & Singer, Ahmad. (2014).
Qualitative Descriptive Research. In Scholarly Inquiry and the DNP Capstone (pp.
692014). https://doi.org/10.1891/9780826193889.0005
Kleist, Virginia Franke. (2004). A transaction cost model of electronic trust:
Transactional return, incentives for network security and optimal risk in the digital
economy. Electronic Commerce Research, 4(1), 4157.
https://doi.org/10.1023/B:ELEC.0000009281.05504.93
Lowry, Sean. (2019). Digital Services Taxes (DSTs): Policy and Economic Analysis.
CRS Report, (R45532).
Merriam, Sharan B. (2002). Introduction to qualitative research. Qualitative Research in
Practice: Examples for Discussion and Analysis, 1(1), 117.
Nizar, Muhammad Afdi, & Purnomo, Kuntarto. (2011). potensi penerimaan pajak dari
underground economy di indonesia. Kajian Ekonomi Dan Keuangan, 15, 135.
OECD. (2014). Addressing the Tax Challenges of the Digital Economy.
https://doi.org/10.1787/9789264218789-en
OECD. (2019). A Roadmap Toward A Common Framework For Measuring The Digital
Economy.
Pandey, Prabhat, & Pandey, Meenu Mishra. (2021). Research Methodology Tools and
Techniques. Bridge Center.
Pavlou, Paul A. (2002). Institution-based trust in interorganizational exchange
relationships: the role of online B2B marketplaces on trust formation. The Journal
of Strategic Information Systems, 11(34), 215243. https://doi.org/10.1016/S0963-
8687(02)00017-3
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48/PMK.03/2020.
Rakhmindyarto. (2014). Base Erosion and Profit Shifting (BEPS): AktivitasEkonomi
Global dan Peran OECD.
Remeikiene, Rita, Gaspareniene, Ligita, & Schneider, Friedrich Georg. (2018). The
definition of digital shadow economy. Technological and Economic Development of
Economy, 24(2), 696717.https://doi.org/10.3846/20294913.2016.1266530
REPUBLIKA. (2019). Kerugian Pembajakan Per Tahunnya Capai Puluhan Triliun.
Russell, Barrie. (2010). Revenue administration: managing the shadow economy.
International Monetary Fund.
Potensi Pajak dalam Ekonomi Digital dan Rekomendasi Kebijakannya
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 3, No. 1, Januari 2022 73
Samuda, Sri Juli Asdiyanti. (2016). UNDERGROUND ECONOMY IN INDONESIA.
Buletin Ekonomi Moneter Dan Perbankan, 19, 3956.
https://doi.org/10.21098/bemp.v19i1.599
Sandelowski, Margarete. (2000). Whatever happened to qualitative description?
Research in Nursing & Health, 23(4), 334340.https://doi.org/10.1002/1098
Sapardi, Tenang. (2013). Estimasi Potential Loss Penerimaan Pajak dari Kegiatan
Underground Economy dengan Pendekatan Moneter. 21, 71
86.http://dx.doi.org/10.25105/me.v21i1.793
Sayekti, Nidya Waras. (2020). STRATEGI PENGEMBANGAN PARIWISATA
HALAL DI INDONESIA. Kajian, 24(3), 159172. 10.22212/kajian.v24i3.1866
Setyawan, Herry. (2019). Pajak dan Ekonomi Digital.
Sukardi, Ichwan, & Jiaqian, Sophia She. (2020). Taxing the digital economy in Indonesia.
Suwardi, Suwardi, Budiandri, Alan, Cinthya, S., & Ghifri, N. A. (2020). memajaki
transaksi ekonomi digital: studi kasus di india, perancis, dan australia. JURNAL PKN
(Jurnal Pajak Dan Keuangan Negara), 2(1), 1
12.https://doi.org/10.31092/jpkn.v2i1.971
Terada-Hagiwara, Akiko, Gonzales, Kathrina, & Wang, Jie. (2019). Taxation Challenges
in a Digital Economy—The Case of the People’s Republic of China.
Wibowo, Edi Wahyu. (2018). Analisis Ekonomi Digital dan Keterbukaan terhadap
Pertumbuhan GDP Negara ASEAN. Jurnal Lentera Bisnis, 7(2), 66
80.http://dx.doi.org/10.34127/jrlab.v7i2.235
Yuliani, Dinda. (2020). COMPARATION OF INDONESIA AND CHINA DIGITAL
ECONOMIC GROWTH IN THE FIELD E-COMMERCE. Universitas Ahmad
Dahlan.
Zulvina, Susi. (2011). Pengantar Hukum Pajak. Jakarta: Sekolah Tinggi Akuntansi
Negara.