1915
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi: pISSN: 2723 - 6609
e-ISSN : 2745-5254
Vol. 2, No. 11 November 2021
URGENSI PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PENYALURAN
KREDIT BERBASIS APLIKASI OLEH PERBANKAN KONVENSIONAL
Elfita Agustini1, Fadjrin Wira Perdana2, Paulina M. Latuheru3, Sri Kartini4,
Santoso5.
Politeknik Transportasi SDP Palembang1,3,4,5, Universitas Diponegoro2
[email protected]3, crie_llasdp171@yahoo.com4,
Abstrak
Perbankan sebagai lembaga keuangan mempunyai kedudukan dan peran yang
strategis dalam pelaksanaan pembangunan perekonomian masyarakat. Tujuan utama
bank adalah sebagai badan usaha yang dapat menghimpun dana masyarakat dan
kemudian menyalurkan kembali dana tersebut kepada masyarakat. Metode penelitian
yang bersifat normatif. Penelitian hukum normatif adalah suatu proses untuk
menemukan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum maupun doktrin-doktrin
hukum, untuk menjawab permasalahan hukum yang dihadapi. Penyaluran kredit
berbasis aplikasi produk digital lending yang dijalankan perbankan konvensional
telah sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan OJK No. 12 Tahun 2018. Layanan
produk keuangan tersebut sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 10 ayat (1) butir d
PJOK Nomor 12 Tahun 2018. Berkaitan dengan syarat dan ketentuan dalam produk
digital lending perbankan konvensional dimana proses penyaluran kredit dapat
dilakukan kapan saja dan dimana saja tanpa harus melakukan tatap muka antara bank
dengan nasabah, juga sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 11 ayat (2) PJOK Nomor
12 Tahun 2018 yang menetapkan ketentuan bank melakukan verifikasi atas informasi
dan dokumen pendukung nasabah atau calon nasabah dengan melalui tatap muka
secara langsung (face to face); atau tanpa melalui tatap muka namun menggunakan
perangkat lunak milik Bank dengan perangkat keras milik Bank atau perangkat keras
milik nasabah atau calon nasabah. Perbankan konvensional mengimplementasikan
prinsip kehati-hatian yang termuat dalam PJOK Nomor 12 Tahun 2018 pada tahap
persiapan kredit, tahap analisis kredit, dan tahap keputusan kredit, diantaranya
pemberian kredit baru membatasi kepada kantor/perusahaan tertentu yang telah
menjalin kerjasama pembayaran gaji karyawan/pegawai melalui sistem payroll
Kata kunci: Penyaluran Kredit, Aplikasi Oleh Perbankan, Konvensional
Abstract
Banking as a financial institution has a strategic position and role in the
implementation of community economic development. The main purpose of the bank
is as a business entity that can collect public funds and then channel the funds back
to the community. Normative research methods. Normative legal research is a
process to find a rule of law, legal principles and legal doctrines, to answer the legal
problems faced. The disbursement of credit based on the application ofproducts
Elfita Agustini, Fadjrin Wira Perdana, Paulina M. Latuheru, Sri Kartini, Santoso.
1916 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 11, November 2021
digital lending carried out by conventional banks has complied with the provisions
of OJK Regulation No. 12 of 2018. The financial product service is in accordance
with the provisions in Article 10 paragraph (1) point d of PJOK Number 12 of 2018.
In relation to the terms and conditions in conventional banking digital lending
products where the credit distribution process can be done anytime and anywhere
without having to interfacing between the bank and its customers, also in accordance
with the provisions of Article 11 (2) PJOK No. 12 of 2018 which establishes the terms
of banks to verify the information and supporting documents clients or potential
clients through direct face to face(faceto face ); or without going through face-to-
face but using software owned by the Bank with hardware owned by the Bank or
hardware belonging to customers or prospective customers. Conventional banking
implements the precautionary principle contained in PJOK Number 12 of 2018 at
the credit preparation stage, credit analysis stage, and credit decision stage,
including the granting of new loans limiting certain offices/companies that have
collaborated in paying employee salaries through the system. payroll
Keywords: Credit Distribution, Application By Banking, Conventional
Pendahuluan
Perbankan sebagai lembaga keuangan mempunyai kedudukan dan peran yang
strategis dalam pelaksanaan pembangunan perekonomian masyarakat. Fungsi utama bank
adalah sebagai badan usaha yang dapat menghimpun dana masyarakat dan kemudian
menyalurkan kembali dana tersebut kepada masyarakat. Berdasarkan Pasal 1 ayat (1)
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan (untuk selanjutnya disebut dengan Undang-
Undang Perbankan), menyebutkan bahwa, “Bank adalah badan usaha yang menghimpun
dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya kepada masyarakat
dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”. (Undang-undang nomor 7 tahun
1992) Berdasarkan statusnya sebagai badan hukum yang menjalankan fungsi bisnis, maka
bank tidak terlepas dari tujuan mencari keuntungan sebesar-besarnya.
Fungsi bank yang lebih tegas, disebutkan dalam Pasal 3 Undang-undang
Perbankan, yang menyebutkan bahwa fungsi utama perbankan Indonesia adalah sebagai
penghimpun dan penyalur dana masyarakat (Anshori, 2018). Perbankan menghimpun
dana masyarakat melalui tabungan, sementara perbankan juga berfungsi sebagai penyalur
dana masyarakat dalam bentuk pemberian kredit. Berdasarkan fungsi utama bank
tersebut, maka bank disebut sebagai lembaga intermediasi yaitu badan usaha yang
berfungsi sebagai penghubung yaitu menghimpun dana dari masyarakat dan kemudian
menyalurkannya kembali kepada masyarakat. Penghimpunan dana merupakan suatu jasa
utama yang ditawarkan dunia perbankan (Usman, 2001). Di samping menghimpun dana
masyarakat, fungsi bank adalah memberikan kredit dan jasa-jasa. Adapun pemberian
kredit itu dilakukan baik dengan modal sendiri atau dengan dana-dana yang dipercayakan
oleh pihak ketiga maupun dengan jalan memperedarkan alat-alat pembayaran baru berupa
uang giral (Sembiring, 2019).
Urgensi Penerapan Prinsip Kehati-Hatian dalam Penyaluran Kredit Berbasis Aplikasi
oleh Perbankan Konvensional
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 11, November 2021 1917
Penyaluran dana kepada masyarakat oleh perbankan sering dikenal dengan nama
“kredit”. Seseorang yang memperoleh kredit berarti memperoleh kepercayaan. Oleh
karena itu, dasar dari kredit adalah kepercayaan. Kepercayaan dari pihak bank dapat
timbul ketika telah dilakukan suatu analisis kredit secara mendalam terhadap pemberian
kredit dengan memintakan berbagai persyaratan yang harus dipenuhi oleh calon penerima
kredit. Dalam melaksanakan analisis kredit secara mendalam melalui berbagai
persyaratan tersebut pihak bank mengedepankan prinsip kehati-hatian. Dengan demikian
dalam penyaluran kredit kepada masyarakat, bank berpedoman kepada dua prinsip utama
tersebut, yaitu prinsip kepercayaan dan prinsip kehati-hatian.
Prinsip kehati-hatian disebutkan pengaturannya baik dalam Undang-undang
Perbankan maupun Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (Yustianti, 2017). Berdasarkan
Pasal 29 Undang-undang Perbankan disebutkan bahwa, “Bank wajib memelihara tingkat
kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas
manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan
usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian”.
Selanjutnya dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan, prinsip kehati-hatian mendapatkan
pengaturan yang rinci melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan RI Nomor
11/POJK.03/2019 tentang Prinsip Kehati-hatian Dalam Aktivitas Sekuritas Aset Bagi
Bank Umum.
Prinsip-prinsip penyaluran kredit kepada masyarakat tersebut di atas,
dilaksanakan perbankan berdasarkan 5 (lima) parameter yaitu karakter, modal,
kemampuan, kondisi ekonomi, dan jaminan. Johanes Ibrahim, menjelaskannya sebagai
berikut: (Ibrahim, 2004)
1. Karakter
Karakter dari calon debitor merupakan salah satu faktor yang harus
dipertimbangkan dan merupakan unsur terpenting sebelum memutuskan
memberikan kredit kepadanya. Dalam hal ini bank meyakini benar calon
debitornya memiliki reputasi baik artinya selalu memenuhi janjinya dan berlakuan
baik.
2. Modal
Modal bank harus meneliti modal calon debitor selain besarnya juga strukturnya.
Hal ini diperlukan untuk mengukur tingkat rasio likuiditasnya dan solvabilitasnya.
Rasio ini diperlukan berkaitan dengan pemberian kredit untuk jangka pendeknya
atau jangka panjang.
3. Kemampuan
Bank harus mengetahui secara pasti atas kemampuan calon debitor dengan
melakukan analisis usahanya dari waktu ke waktu. Pendapatan yang selalu
meningkat diharapkan kelak mampu melakukan pembayaran kembali atas
kreditnya. Sedangkan bila diperkirakan tidak mampu, bank dapat menolak
permohonan dari calon debitor.
4. Kondisi Ekonomi
Elfita Agustini, Fadjrin Wira Perdana, Paulina M. Latuheru, Sri Kartini, Santoso.
1918 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 11, November 2021
Kondisi ekonomi ini perlu menjadi sorotan bagi bank karena akan berdampak baik
secara positif atau negatif terhadap usaha calon debitor sebagai contoh dapat
terjadi dalam kurun waktu tertentu pasaran tekstil yang biasanya menerima
barang-barang tersebut menghentikannya impornya
5. Jaminan
Jaminan yang diberikan oleh calon debitor akan diikat suatu hak atas jaminan
sesuai dengan jenis jaminan yang diserahkan. Dalam praktik perbankan, jaminan
merupakan langkah terakhir bila debitor tidak dapat melaksanakan kewajibannya
lagi.
Dengan melakukan analisis kredit sesuai dengan lima parameter seperti tersebut
di atas, maka akan muncul suatu kepercayaan dari pihak bank terhadap suatu nasabah
yang akan melakukan perjanjian kredit dengan pihak bank (Binsneyder & Rosando,
2020). Sebagai pihak yang memberikan kredit, pihak bank berkepentingan terhadap
pengembalian dana pinjaman tersebut dari para nasabah debitur, sesuai dengan klausul-
klausul dalam perjanjian pemberian kredit yang telah disepakati.
Namun dalam praktik perbankan, sering terjadi kepentingan mencapai volume
kredit yang tinggi demi mendapat profit yang besar, bank menawarkan berbagai
kemudahan bagi masyarakat untuk memperoleh kredit (Kosasih & SH, 2021). Salah satu
kemudahan dalam praktik perbankan memunculkan suatu produk dari kredit yang tidak
lagi memerlukan agunan sebagai syarat dalam permberian kredit, dengan nama Kredit
Tanpa Agunan (KTA). Munculnya kemudahan dalam penyaluran kredit dalam bentuk
KTA terjadi dalam praktik perbankan, bukan merujuk kepada perundang-undangan
perbankan. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari ketatnya persaingan antar bank itu sendiri.
Aturan mengenai KTA ini diatur tersendiri dalam Standard Operating Procedures (SOP)
masing-masing bank.
Dalam perkembangannya, pelaksanaan fungsi penyaluran kredit kepada
masyarakat yaitu para nasabah debitur tidak hanya dihadapkan kepada persaingan sesama
bank (persaingan antar bank), namun seiring perkembangan teknologi informasi yang
sedemikian cepat muncul pesaing baru, yaitu idustri baru diluar perbankan konvensional
yang dapat menjalankan fungsi menyalurkan kredit secara digital yaitu penyaluran kredit
secara online berbasis aplikasi (Naja & SH, 2007). Pesaing baru perbankan konvensional
tersebut adalah financial technology atau dikenal juga dengan nama perusahaan fintech.
Keberadaan perusahaan fintech bertujuan untuk membuat masyarakat lebih
mudah mengakses produk-produk keuangan, mempermudah transaksi dan juga
meningkatkan literasi keuangan. Perusahaan-perusahaan fintech Indonesia didominasi
oleh perusahaan startup dan berpotensi besar. National Digital Research Centre di
Dublin, Irlandia mendefinisikan financial technology atau fintech sebagai: innovation in
financial services atau “inovasi dalam layanan keuangan”. Inovasi dalam layanan
keuangan yang dilakukan perusahaan fintech, menjadi ancaman serius perbankan
konvensional, karena melalui berbagai inovasi dan terobosan yang dilakukan oleh
perusahaan fintech, dapat menyalurkan kredit kepada masyarakat dengan lebih efektif dan
efisien karena dilakukan secara online berbasis aplikasi.
Urgensi Penerapan Prinsip Kehati-Hatian dalam Penyaluran Kredit Berbasis Aplikasi
oleh Perbankan Konvensional
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 11, November 2021 1919
Hadirnya industri baru pada era digital melalui perusahaan-perusahaan fintech
yang dinilai efektif menyalurkan kredit secara digital, menginspirasi perbankan
konvensional untuk melakukan terobosan serupa melalui produk baru layanan digital
lending (Hariyanto, 2019). Produk digital lending yang diselenggarakan perbankan
konvensional didasarkan kepada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 12
Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Layanan Perbankan Digital Oleh Bank Umum.
Dengan diundangkannya Peraturan OJK tersebut, maka perbankan konvensional telah
memiliki dasar hukum dalam menyalurkan kredit melalui produk digital lending.
Landasan hukum tersebut sangat penting bagi perbankan konvensional, tidak sekedar
hanya memberikan dasar legalitas, namun lebih jauh lagi adalah bahwa Peaturan OJK
tersebut memperkuat posisi perbankan konvensional dalam penyaluran kredit karena
secara kelembagaan lebih kuat dibandingkan dengan perusahaan fintech.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, akan dilakukan analisis dan pembahasan
dalam makalah ini penyaluran kredit online berbasis aplikasi oleh perbankan
konvensional dengan pertimbangan, disamping sebagai terobosan baru layanan
perbankan, bentuk digital lending yang menjadi produk baru perbankan dalam
menyalurkan kredit kepada masyarakat secara potensial dihadapkan kepada persoalan
perbedaan dalam penerapan prinsip-prinsip dasar dalam menyalurkan kredit, khususnya
prinsip kehati-hatian (prudential principle) yang dijalankan bank dalam penyaluran kredit
tanpa angunan yang dilakukan secara digital.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian yang bersifat normatif. Penelitian
hukum normatif adalah suatu proses untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip-
prinsip hukum maupun doktrin-doktrin hukum, untuk menjawab permasalahan hukum
yang dihadapi (Rindu Setyaningrum & Turiningsih, 2012). Bahan hukum yang digunakan
oleh penulis adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder (Marzuki, 2016).
Pengumpulan bahan hukum sekunder dilakukan dengan studi kepustakaan, yang
dikumpulkan dengan membaca, mempelajari, serta mengidentifikasi, dan
mengklasifikasi bahan tersebut hingga diperoleh bahan yang relevan dengan
permasalahan yang dibahas. Penelitian hukum ini menggunakan pendekatan kasus (case
approach).
Hasil dan Pembahasan
Penyaluran Kredit Berbasis Aplikasi Produk Digital Lending Perbankan
Konvensional Berdasarkan Peraturan OJK Nomor 12 Tahun 2018
Perkembangan teknologi informasi mendorong perbankan konvensional
melakukan terobosan dengan meluncurkan produk digital lending. Dasar hukum layanan
baru perbankan tersebut adalah Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 12
Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Layanan Perbankan Digital Oleh Bank Umum.
Berdasarkan POJK tersebut, perbankan konvensional meluncurkan berbagai produk
digital lending.
Elfita Agustini, Fadjrin Wira Perdana, Paulina M. Latuheru, Sri Kartini, Santoso.
1920 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 11, November 2021
Layanan perbankan elektronik adalah layanan bagi nasabah Bank untuk
memperoleh informasi, melakukan komunikasi, dan melakukan transaksi perbankan
melalui media elektronik. Sedangkan layanan perbankan digital adalah layanan
perbankan elektronik yang dikembangkan dengan mengoptimalkan pemanfaatan data
nasabah dalam rangka melayani nasabah secara lebih cepat, mudah, dan sesuai dengan
kebutuhan (customer experience), serta dapat dilakukan secara mandiri sepenuhnya oleh
nasabah, dengan memperhatikan aspek pengamanan.
Berdasarkan ketentuan dalam PJOK tersebut di atas, bank umum, dapat
menyelenggarakan layanan perbankan elektronik, sepanjang tidak bertentangan dengan
ketentuan dalam PJOK. Ketentuan dalam Pasal 10 ayat (1) PJOK Nomor 12 Tahun 2018,
mengatur bahwa layanan perbankan digital yang disediakan oleh bank berupa:
a. administrasi rekening;
b. otorisasi transaksi;
c. pengelolaan keuangan; dan/atau
d. pelayanan produk keuangan lain berdasarkan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan.
Berkaitan dengan syarat dan ketentuan bagi bank umum untuk menyelenggarakan
layanan digital lending, diatur dalam Pasal 11 ayat (1) PJOK Nomor 12 Tahun 2018, bank
wajib melakukan:
a. identifikasi nasabah atau calon nasabah;
b. verifikasi atas informasi dan dokumen pendukung nasabah atau calon nasabah.
Selanjutnya dalam Pasal 11 ayat (2) PJOK Nomor 12 Tahun 2018, menetapkan
ketentuan bank melakukan verifikasi atas informasi dan dokumen pendukung nasabah
atau calon nasabah dengan:
a. melalui tatap muka secara langsung (face to face); atau menggunakan perangkat lunak
milik Bank dengan perangkat keras milik Bank atau perangkat keras milik nasabah
atau calon nasabah; dan/atau
b. tanpa melalui tatap muka namun menggunakan perangkat lunak milik Bank dengan
perangkat keras milik Bank atau perangkat keras milik nasabah atau calon nasabah.
Sedangkan dalam Pasal 11 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) PJOK Nomor 12 Tahun
2018, mengharuskan bank dalam melakukan verifikasi dengan perangkat keras dan/atau
perangkat lunak harus memperhatikan faktor keaslian (authentication factor). Dalam hal
Bank melakukan verifikasi tanpa melalui tatap muka, bank wajib menerapkan faktor ciri
khas anda (what you are) sebagai salah satu dari 2 (dua) faktor keaslian (two factor
authentication).
Berdasarkan skema di atas, berkaitan dengan ketentuan legalitas pelayanan
produk keuangan seperti yang diatur dalam Pasal 10 ayat (1) butir d PJOK Nomor 12
Tahun 2018, dimana layanan perbankan digital yang disediakan oleh bank berupa
pelayanan produk keuangan lain berdasarkan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan, harus
dipenuhi oleh perbankan konvensional untuk memenuhi syarat legalitas seperti yang
ditentukan dalam PJOK. Selanjutnya ketentuan dalam Pasal 11 ayat (2) butir b PJOK
Nomor 12 Tahun 2018 menyebutkan bahwa bank melakukan verifikasi atas informasi
Urgensi Penerapan Prinsip Kehati-Hatian dalam Penyaluran Kredit Berbasis Aplikasi
oleh Perbankan Konvensional
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 11, November 2021 1921
dan dokumen pendukung nasabah atau calon nasabah dengan: (b) tanpa melalui tatap
muka namun menggunakan perangkat lunak milik Bank dengan perangkat keras milik
Bank atau perangkat keras milik nasabah atau calon nasabah.
Dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga intermediary, Bank wajib
menerapkan prinsip kehati-hatian, khususnya dalam menyalurkan dana melalui
pemberian kredit atau pembiayaan untuk memastikan bahwa debitur atau nasabah
memiliki itikad dan kemampuan untuk membayar sesuai kesepakatan.
Ketentuan Pasal 2 Undang-undang Perbankan menyebutkan bahwa Perbankan
Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan
menggunakan prinsip kehati-hatian. Hal ini menunjukan bahwa prinsip kehati-hatian
adalah salah satu prinsip terpenting yang wajib diterapkan atau dilaksanakan oleh bank
dalam menjalankan kegiatan usahanya. Penerapan prinsip kehati-hatian dalam seluruh
kegiatan perbankan merupakan salah satu cara untuk menciptakan perbankan yang sehat.
Kemudian dalam Pasal 29 ayat (2) Undang-undang Perbankan mempertegas kembali
pentingnya prinsip kehati-hatian itu diterapkan dalam setiap kegiatan Perbankan yang
menyebutkan bahwa bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan
ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas,
solvabilitas, dan aspek lainnya yang berhubungan dengan usaha bank, dan wajib
melakukan kegiatan usaha dengan prinsip kehati-hatian. Pasal ini mengandung arti,
bahwa dalam kebijakan harus senantiasa berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Salah satu kegiatan perbankan ialah kegiatan penyaluran kredit, sesuai Pasal 29
ayat (3) Undang-undang Perbankan yang lebih menekankan penerapan prinsip kehati-
hatian pada penyaluran kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syari’ah.
Sebelumnya, dalam Pasal 8 Undang-undang Perbankan disebutkan, penerapan prinsip
kehati-hatian dalam pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, telah
terlihat dari kemauan bank yang memiliki keyakinan bahwa nasabah akan melunasi
utangnya sehingga mau memberikan kredit.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, Undang-undang Perbankan sudah cukup jelas
mengatur mengenai kewajiban bank dalam menyalurkan kredit untuk menjalankan
prinsip kehati-hatian. Ketentuan untuk menjalankan prinsip kehati-hatian tersebut
tentunya berlaku juga kepada bank umum yang saat ini menyelenggarakan pemberian
kredit produk digital lending, yang secara normative diatur dalam Peraturan OJK Nomor
12 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Layanan Perbankan Digital Oleh Bank Umum.
Ketentuan dalam Peraturan OJK Nomor 12 Tahun 2018, mendorong bank agar
menerapkan prinsip kehati-hatian pada setiap tahap pemberian kredit secara digital. Hal
ini dapat dimati pada syarat dan ketentuan tahapan pemberian kredit online produk digital
landing perbankan konvensional, mulai dari tahap persiapan kredit, tahap analisis kredit,
dan tahap keputusan kredit.
Pada tahap persiapan kredit, yaitu kegiatan tahap permulaan dengan maksud untuk
saling mengetahui informasi dasar antara calon debitur dengan bank, terutama pada calon
debitur yang baru pertama kali akan mengajukan kredit kepada bank yang bersangkutan.
Elfita Agustini, Fadjrin Wira Perdana, Paulina M. Latuheru, Sri Kartini, Santoso.
1922 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 11, November 2021
Pada tahap ini kewajiban bank untuk menerapkan prinsip kehati-hatian diatur dalam Pasal
11 ayat (1) butir a Peraturan OJK Nomor 12 Tahun 2018, mengatur bahwa bank wajib
melakukan identifikasi nasabah atau calon nasabah. Pada pemberian kredit produk
Pinang, penerapan prinsip kehati-hatian sudah diterapkan PT. Bank BRI Agro melalui
penerapan prinsip mengenal nasabah (know your customer principles). Prinsip mengenal
nasabah diterapkan perbankan konvensional sebagai upaya preventif terhadap resiko
pemberian kredit mengingat pemberian kredit tersebut tanpa agunan (KTA).
Implementasi adalah dengan menerapkan prinsip 5C (dalam hal ini menjadi prinsip 4C)
sebelum pemberian kredit dilakukan, yaitu: (1) character (sifat-sifat si calon debitur); (2)
capital (permodalan); (3) capacity (kemampuan); (4) condition of economy (kondisi
perekonomian), serta prinsip 4P yang meliputi: (1) personality (kepribadian debitur); (2)
purpose (tujuan penggunaan kredit); (3) prospect (masa depan usaha debitur); (4)
payment (cara pembayarannya).
Tahap analisis kredit, adalah tahapan dalam pemberian kredit dimana akan
dilakukan penilaian yang mendalam tentang keadan usaha atau proyek pemohon kredit.
Seperti halnya pada tahap persiapan kredit, maka pada tahap analisis kredit bank wajib
menerapkan prinsip kehati-hatian. Ketentuan dalam Pasal 11 ayat (1) huruf b Peraturan
OJK Nomor 12 Tahun 2018 mengatur bahwa bank wajib melakukan verifikasi atas
informasi dan dokumen pendukung nasabah atau calon nasabah. Pasal 11 ayat (3), ayat
(4), dan ayat (5) PJOK Nomor 12 Tahun 2018, mengharuskan bank dalam melakukan
verifikasi dengan perangkat keras dan/atau perangkat lunak harus memperhatikan faktor
keaslian (authentication factor). Dalam hal Bank melakukan verifikasi tanpa melalui
tatap muka, bank wajib menerapkan faktor ciri khas anda (what you are) sebagai salah
satu dari 2 (dua) faktor keaslian (two factor authentication). Penerapan prinsip kehati-
hatian pada tahap analisis kredit diimplementasikan oleh perbankan konvensional melalui
penetapan syarat dan ketentuan bahwa kredit online saat ini baru ditawarkan kepada
pegawai atau karyawan yang menerima gaji dari rekening bank yang bersangkutan
(payroll). Pembatasan segementasi kredit hanya untuk calon nasabah yang menerima gaji
dari rekening bank yang bersangkutan (perusahaan yang pembayaran gajinya melalui
bank pemberi kredit).
Tahap keputusan kredit, adalah tahapan berikutnya setelah mendapatkan laporan
hasil analisis kredit, maka pihak bank melalui pemutusan kredit. Pada tahap akhir
penerapan prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit digital lending, adalah pada
tahap persetujan pinjaman akan didasarkan pada hasil pre-screening dan credit scoring
dimana hasil skoring tersebut dipengaruhi beberapa faktor, diantaranya kebenaran dan
kelengkapan data diri, BI Checking”, lama penggunaan nomor seluler, sosial media,
hasil analisa psychometric.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka menurut penulis perbankan
konvensional yang menyelenggarakan produk digital lending melalui produk Pinajam
Tenang (Pinang) dapat menerapkan prinsip kehati-hatian dalam semua tahap pemberian
kredit kepada nasabah.
Urgensi Penerapan Prinsip Kehati-Hatian dalam Penyaluran Kredit Berbasis Aplikasi
oleh Perbankan Konvensional
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 11, November 2021 1923
Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak dalam Penyaluran Kredit Berbasis Aplikasi
Produk Digital Lending yang Dijalankan Perbankan Konvensional
Di dalam aktivitas perbankan, khususnya dalam proses penyaluran kredit
dibutuhkan jaminan pemenuhan dan proteksi terhadap kepentingan para pihak, baik
debitur maupun kreditur. Demikian juga dengan penyaluran kredit berbasis aplikasi
produk digital lending yang melibatkan teknologi informasi, harus memiliki mekanisme
perlindungan hukum baik bagi kreditur (bank), maupun bagi debitur (nasabah).
Perlindungan hukum tersebut bertujuan untuk memberikan kepastian hukum, dimana
kepentingan para pihak terpenuhi dan terproteksi dalam proses penyaluran kredit tersebut.
Bagi kreditur (bank), dalam melaksanakan kegiatan penyaluran kredit berbasis
aplikasi produk digital lending menuntut adanya perlindungan hukum bagi kreditur
(bank), mengingat pemberian kredit dilakukan tanpa agunan (agunan fisik), sehingga
sangat perlu bagi bank untuk melakukan proteksi terhadap kemungkinan terjadinya
resiko. Oleh karena itu maka sangat penting bagi pihak bank penerapan prinsip mengenal
nasabah (know your customer principle). Sementara bagi debitur (nasabah), dalam
pelaksanaan kegiatan penyaluran kredit berbasis aplikasi produk digital lending menuntut
adanya perlindungan hukum, mengingat pemberian kredit tersebut menggunakan
teknologi informasi yang bersinggungan dengan hak pribadi (privacy rights) nasabah.
Kepentingan untuk memberikan perlindungan hukum bagi para pihak tersebut dapat
diamati dalam kegiatan penyaluran kredit di lingkungan perbankan konvensional.
Produk digital lending yang diselenggarakan perbankan onvensional merupakan
produk pinjaman berbasis aplikasi yang sudah fully digital dengan sistem digital
verification, digital scoring dan digital signature. Dengan memanfaatkan teknologi
informasi, proses pengajuan hingga pencairan kredit dilakukan sangat cepat yaitu kurang
dari 10 menit, dengan tenor fleksibel antara 1 sampai 12 bulan. Pengajuan dapat
dilakukan calon debitur (nasabah) tanpa harus ke bank dan tatap muka secara langsung,
dengan plafon pinjaman Rp 20 juta dengan bunga yang lebih rendah dibandingkan dengan
produk sejenis yang diselenggarakan perusahaan finansial berbasis teknologi (Tekfin).
Nasabah dapat mengajukan permohonan pinjaman tanpa agunan (KTA), dengan syarat
kantor/perusahaan tempat kerja calon nasabah tersebut telah bekerja sama dengan pihak
bank dalam pembayaran gaji yaitu pengguna payroll. Berdasarkan deskripsi mengenai
kegiatan penyaluran kredit tersebut di atas, dimana semua tahapan kegiatan penyaluran
kredit berbasis teknologi informasi, sehingga ada kepentingan para pihak terhadap
jaminan kepastian hukum untuk melindungi kepentingan masing-masing dalam kegiatan
penyaluran kredit tersebut. Secara berurutan perlindungan hukum bagi debitur dan
kreditur tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
Dalam kegiatan pemberian kredit bank pada umumnya baik yang diperuntukkan
bagi kredit korporasi/perusahaan dan/atau kredit konsumsi/perseorangan, biasanya pihak
bank meminta suatu jaminan dan/atau agunan, misalnya berupa Hak Tanggungan,
Jaminan Fidusia, dan lain-lain. Agunan merupakan salah satu unsur pemberian kredit,
apabila berdasarkan unsur-unsur lain telah dapat diperoleh keyakinan atas kemampuan
nasabah debitur mengembalikan utangnya (dalam hal ini merupakan jaminan). Agunan
Elfita Agustini, Fadjrin Wira Perdana, Paulina M. Latuheru, Sri Kartini, Santoso.
1924 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 11, November 2021
dapat hanya berupa barang, proyek, atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang
bersangkutan. Dengan demikian fungsi agunan tersebut adalah untuk mengurangi resiko
yaitu memberikan keyakinan kepada bank atas kemampuan dan kesanggupan nasabah
debitur untuk melunasi kewajibannya. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Penjelasan
Pasal 8 ayat (1) Undang-undang Perbankan, yang menyebutkan bahwa:
Kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang diberikan oleh bank
mengandung risiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-
asas perkreditan atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang sehat. Untuk
mengurangi risiko tersebut, jaminan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan
Prinsip Syariah dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan Nasabah Debitur
untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor
penting yang harus diperhatikan oleh bank.
Dalam perkembangan pemberian kredit perbankan, dimungkinkan kredit
diberikan tanpa memberikan agunan yang sering disebut Kredit Tanpa Agunan (KTA).
Munculnya fasilitas kredit tanpa agunan (KTA) ini merupakan suatu alternatif yang
menarik bagi kreditur. Melalui kredit tanpa agunan (KTA) nasabah dapat memperoleh
dana untuk membiayai pembelian barang-barang modal atau juga untuk kegiatan
konsumsi dengan persyaratan yang ringan.
KTA dilihat dari segi tujuan penggunaan kredit termasuk kredit konsumtif, yaitu
kredit yang diberikan oleh bank yang diberikan kepada perseorangan untuk membiayai
keperluan konsumsinya untuk kebutuhan sehari-hari. Dilihat dari segi jaminannya, KTA
termasuk jenis kredit tanpa jaminan atau kredit blanko (unsecured loan), yaitu pemberian
kredit tanpa jaminan materiil (agunan fisik). Pemberian kredit dengan agunan fisik masih
tetap diperlukan untuk pengajuan pinjaman utang dengan nilai besar, namun untuk
kepentingan kredit konsumtif dengan pinjaman utang yang tidak terlalu besar,
dimungkinkan pemberian kredit tanpa agunan (KTA). Dalam Penjelasan Pasal 8 ayat (1)
Undang-undang Perbankan disebutkan bahwa:
Mengingat bahwa agunan sebagai salah satu unsur pemberian kredit, maka apabila
berdasarkan unsur-unsur lain telah dapat diperoleh keyakinan atas kemampuan Nasabah
Debitur mengembalikan utangnya, agunan hanya dapat berupa barang, proyek, atau hak
tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan. Tanah yang kepemilikannya
didasarkan pada hukum, dan lain-lain yang sejenis dapat digunakan sebagai agunan. Bank
tidak wajib meminta agunan berupa barang yang tidak berkaitan langsung dengan obyek
yang dibiayai, yang lazim dikenal dengan agunan tambahan.
Bagi kreditur (bank) KTA mengandung lebih besar resiko, mengingat pemberian
KTA dilakukan tanpa agunan (agunan fisik), sangat perlu bagi bank untuk melakukan
proteksi terhadap kemungkinan terjadinya resiko, misalnya, resiko gagal bayar atau kredit
macet. Secara umum, prinsip mengenal nasabah (know your customer principles),
diterapkan oleh perbankan pada kegiatan penyaluran kredit. Kegiatan pemberian kredit
bank tersebut merupakan kebijakan baru perkreditan yang mempunyai resiko terhadap
Urgensi Penerapan Prinsip Kehati-Hatian dalam Penyaluran Kredit Berbasis Aplikasi
oleh Perbankan Konvensional
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 11, November 2021 1925
pihak bank sendiri mengingat pemberian kredit tersebut tanpa agunan (KTA). Oleh
karena itu diterapkan mekanisme perlindungan hukum preventif bagi bank terhadap
resiko gagal bayar dari nasabah. Instrumen perlindungan hukum yang selama ini
digunakan mengacu kepada Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 3/10/PBI/2001 tentang
Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles) sebagaimana
terakhir diubah dengan PBI No. 5/21/PBI/2003. Prinsip mengenal nasabah dalam PBI ini
adalah prinsip yang diterapkan bank untuk mengetahui identitas nasabah, memantau
kegiatan transaksi nasabah termasuk pelaporan transaksi yang mencurigakan. Melalui
penerapan prinsip mengenal nasabah diharapkan bank secara dini dapat mengidentifikasi
debitur (nasabah) untuk meminalisir berbagai risiko. Dengan kata lain, dengan
menerapkan prinsip tersebut, bank diharapkan tidak hanya mengenal nasabah secara
harfiah saja, tapi bisa mengenal lebih komprehensif lagi, tidak hanya mengetahui identitas
nasabah tapi juga berkaitan dengan profil dan karakter transaksi nasabah, yang dilakukan
melalui jasa perbankan.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dalam hal penyaluran kredit termasuk produk
Pinang yang merupakan produk digital lending perbankan konvensional, telah ada
instrumen perlindungan hukum yang bersifat preventif untuk melindungi kepentingan
bank selaku debitur dari potensi resiko kredit bermasalah yaitu dengan menerapkan
prinsip mengenal nasabah, baik secara kelembagaan maupun secara prosedural (syarat
dan ketentuan pemberian kredit).
Seperti halnya pihak bank (kreditur), dalam kegiatan penyaluran kredit, pihak
nasabah (debitur) berkepentingan untuk mendapatkan perlindungan hukum dalam
kegiatan penyaluran kredit tersebut. Berdasarkan rumusan Pasal 1 angka 28 Undang-
undang Perbankan, rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan
keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya. Selanjutnya dalam Pasal 40
ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang Perbankan, mengatur bahwa bank diwajibkan untuk
merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam
hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44 dan
Pasal 44A. Pasal-pasal pengecualian tersebut adalah apabila untuk kepentingan
perpajakan, untuk penyelesaian piutang bank, untuk kepentingan peradilan dalam perkara
pidana serta atas permintaan, persetujuan atau kuasa dari nasabah penyimpan, dimana
bank dapat melanggar ketentuan mengenai rahasia bank ini tentunya dengan prosedur-
prosedur tertentu.
Seiring dengan perkembangan teknologi informasi, serta mulai diluncurkannya
penyaluran kredit berbasis aplikasi produk digital lending oleh perbankan, maka semakin
penting adanya perlindungan terhadap hak pribadi (privacy rights) nasabah dalam bentuk
data pribadi nasabah. Data pribadi adalah setiap informasi yang berhubungan untuk
mengidentifikasikan atau dapat mengidentifikasikan seseorang. Dikaitkan dengan
pemanfaatan teknologi informasi layanan perbankan, dimana data atau informasi
senantiasa mengalami proses transmisi yang dapat berakibat timbulnya risiko tertentu,
oleh karena itu hukum diperlukan dalam mengatur masalah data pribadi nasabah dalam
pemanfaatan layanan perbankan berbasis teknologi informasi tersebut.
Elfita Agustini, Fadjrin Wira Perdana, Paulina M. Latuheru, Sri Kartini, Santoso.
1926 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 11, November 2021
Perkembangan teknologi informasi saat ini memungkinkan bahwa keamanan
privasi data pribadi nasabah yang menggunakan layanan perbankan melalui media
internet kurang terjamin. Hal ini dikarenakan masih terkandung berbagai kelemahan
dalam mengantisipasi berbagai pelanggaran atau penyalahgunaan dari media internet
yang berdampak kerugian berbagai pihak.
Penggunaan teknologi informasi dalam layanan produk digital lending harus
memberikan perlindungan terhadap nasabah (debitur) khususnya yang berkaitan dengan
bekerjanya sistem teknologi yang digunakan oleh perbankan. Meskipun belum menjadi
permasalahan hukum, potensi dirugikannya nasabah (debitur) akibat bekerjanya sistem
teknologi yang digunakan oleh perbankan dapat terjadi dan secara riil berpotensi
merugikan nasabah (debitur) apabila tidak segera dibenahi.
Kesimpulan
Berdasarkan analisis dan pembahasan yang dilakukan terhadap dua pokok
permasalahan yang diajukan dalam penulisan makalah ini, maka dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut: 1. Penyaluran kredit berbasis aplikasi produk digital lending yang
dijalankan perbankan konvensional telah sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan OJK
No. 12 Tahun 2018. Layanan produk keuangan tersebut sesuai dengan ketentuan dalam
Pasal 10 ayat (1) butir d PJOK Nomor 12 Tahun 2018. Berkaitan dengan syarat dan
ketentuan dalam produk digital lending perbankan konvensional dimana proses
penyaluran kredit dapat dilakukan kapan saja dan dimana saja tanpa harus melakukan
tatap muka antara bank dengan nasabah, juga sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 11
ayat (2) PJOK Nomor 12 Tahun 2018 yang menetapkan ketentuan bank melakukan
verifikasi atas informasi dan dokumen pendukung nasabah atau calon nasabah dengan
melalui tatap muka secara langsung (face to face); atau tanpa melalui tatap muka namun
menggunakan perangkat lunak milik Bank dengan perangkat keras milik Bank atau
perangkat keras milik nasabah atau calon nasabah. Perbankan konvensional
mengimplementasikan prinsip kehati-hatian yang termuat dalam PJOK Nomor 12 Tahun
2018 pada tahap persiapan kredit, tahap analisis kredit, dan tahap keputusan kredit,
diantaranya pemberian kredit baru membatasi kepada kantor/perusahaan tertentu yang
telah menjalin kerjasama pembayaran gaji karyawan/pegawai melalui sistem payroll. 2.
Perlindungan hukum bagi para pihak dalam penyaluran kredit berbasis aplikasi produk
digital lending sangat dibutuhkan. Bagi bank, pemberian kredit produk digital lending
tanpa agunan (KTA) dengan resiko nasabah gagal bayar/kredit macet, secara preventif
ditanggulangi melalui penerapan prinsip mengenal nasabah (know your customer
principle). Sedangkan bagi nasabah, perlindungan hukum dibutuhkan karena dasar
pemberian kredit adalah penggunaan teknologi informasi yang rentan terhadap
penyalahgunaan data pribadi nasabah dan/atau dampak kegagalan pengoperasian sistem
perbankan yang merugikan kepentingan nasabah.
Urgensi Penerapan Prinsip Kehati-Hatian dalam Penyaluran Kredit Berbasis Aplikasi
oleh Perbankan Konvensional
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 11, November 2021 1927
Bibliografi
Undang undang nomor 7. tahun. (1992). Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang nomor 10 tahun1998.
Anshori, Abdul Ghofur. (2018). Perbankan syariah di Indonesia. UGM PRESS.
Binsneyder, Meike, & Rosando, Abraham Ferry. (2020). Akibat Hukum Pengalihan Hak
Tanggungan Tanpa Sepengetahuan Kreditur Dalam Tinjauan Asas Keseimbangan
Dan Itikad Baik Dalam Putusan Pengadilan. Jurnal Hukum Bisnis Bonum Commune,
3(1), 104119.
Hariyanto, Eri. (2019). Komunikasi Publik di Era Industri 4.0: Memetik Pelajaran dari
Strategi Komunikasi Utang Pemerintah. @ jualinbukumu.
Ibrahim, Johannes. (2004). Bank sebagai lembaga intermediasi dalam hukum positif.
Utomo.
Kosasih, Johannes Ibrahim, & SH, M. (2021). Akses Perkreditan dan Ragam Fasilitas
Kredit dalam Perjanjian Kredit Bank. Sinar Grafika (Bumi Aksara).
Marzuki, Peter Mahmud. (2016). Penelitian Hukum, Edisi Revisi, Cetakan Ke-12.
Jakarta: Kencana.
Naja, H. R. Daeng, & SH, Mhum. (2007). Bank Hijau. Media Pressindo.
RINDU SETYANINGRUM, Dr R. A., & Turiningsih, S. H. (2012). Badrulzaman,
Mariam Darus. 1996. KUH Perdata Buku III: Hukum Perikatan dengan Penejelasan.
Bandung: Alumni. Dewata, Mukti Fajar Nur & Yulianto Achmad. 2010. Dualisme
Penelitian Hukum Normatif & Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Fried, Charles.
1981. Contract as Promises, a Theory of Contractual Obligation. Jurnal Berkala
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Vol, 24(3).
Sembiring, Sentosa. (2019). Hukum pengangkutan laut. Nuansa Aulia.
Usman, Rachmadi. (2001). Aspek-aspek hukum perbankan di Indonesia. Gramedia
Pustaka Utama.
Yustianti, Surti. (2017). Kewenangan Pengaturan Dan Pengawasan Perbankan Oleh Bank
Indonesia Dan Otoritas Jasa Keuangan (Ojk). ACTA DIURNAL Jurnal Ilmu Hukum
Kenotariatan, 1(1), 6072.