1942
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi: pISSN: 2723 - 6609
e-ISSN : 2745-5254
Vol. 2, No. 11 November 2021
PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI
Hari Soeskandi1, Setia Sekarwati 2
Universitas 17 agustus 1945 Surabaya1,2
Abstrak
Kajian ini dilaksanakan agar bisa mencari tahu upaya pembuktian atas beban
pembuktian terbalik pada tindak pidana korupsi. Kajian ini tergolong sebagai kajian
hukum normatif. Dilakukan menggunakan pendekatan undang-undang, serta
konseptual.Bahan hukum primer berwujud undang-undang terkumpulkan
mempergunakanprosedur inventarisasi maupun kategorisasi.Bahan hukum yang
didapat setelah dihimpun dan disusun, kemudian dianalisa serta diidentifikasi dengan
mempergunakan teknik analisis prespkriptif melalui metode sistematisasi. Sehingga
dapat ditarik kesimpulan dan memberikan saran sesuai dengan permasalahannya.
Dalam pembuktian terbalik, yang wajib melakukan pembuktian ialah terdakwa.
Sesudah terdakwa mendapatkan perintah dari hakim selama memeriksa persidangan
pengadilan. Walau Perundang- Undangan No. 8 Tahun 2010 perihal Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang tanpa memperjelas perihal waktu terbaik untuk
terdakwa membukatikan hartanya, tetapi bila mencermati sistematika pengadilan.
Oleh sebab itulah, saat pemeriksaan atau mendengar keterangan terdakwa itulah saat
yang tepat untuk melakukan proses pembuktian. Tahap membuktikan tindakan yang
dilaksanakan terdakwa memiliki tujuan guna menjelaskan asal muasal harta
kekayaan, diikuti oleh bukti yang memperjelas waktu, asal, dan upaya mendapatkan
harta kekayaan.
Kata kunci: tindak pidana; korupsi; pembuktian terbalik.
Abstract
This study was carried out in order to find out the efforts to prove the reverse burden
of proof in corruption crimes. This study is classified as a normative legal study. It
is carried out using a statutory and conceptual approach. Primary legal materials in
the form of laws are collected using an inventory and categorization procedure.
Legal materials obtained after being compiled and compiled are then analyzed and
identified using prescriptive analysis techniques through the systematization method.
So that conclusions can be drawn and provide suggestions according to the problem.
In reverse proof, it is the defendant who is obliged to prove it. After the defendant
received an order from the judge during the examination of the court trial. Although
Law No. 8 of 2010 concerning the Eradication of the Crime of Money Laundering
without clarifying the best time for the defendant to reveal his assets, but if you look
at the court systematization. Therefore, when examining or hearing the testimony of
the defendant, it is the right time to carry out the proof process. The stage of proving
the actions carried out by the defendant has the aim of explaining the origin of the
Pembuktian Terbalik dalam Tindak Pidana Korupsi
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 11, November 2021 1943
assets, followed by evidence that clarifies the time, origin, and efforts to obtain the
assets.
Keywords: criminal act; corruption; reverse proof.
Pendahuluan
Indonesia ialah negara hukum, sebab mempunyai peraturan hukum berupa
undang-undang. Perihal itu diperjelas melalui Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945. Asas ini
memiliki arti bila di Indonesia, hukum ialah faktor penentu bagi segala aspek kehidupan.
Hukum berposisi secara terstruktur dan mendominasi di segala kehidupan masyarakat.
Secara inti, negara hukum hukum atau tindakan pemerintah ataupun rakyat berdasar
hukum guna melakukan pencegahan atas tindakan kesewenangan pemerintah (penguasa)
dan tindakan rakyat yang dilaksanakan atas keinginan sendiri.
Dalam suatu negara hukum, pemerintah harus memberi jaminan bila terdapat
upaya menegakkan hukum dan pencapaian hukum. Dalam buku Sudikno Mertokususumo
dan Pitlo yang berjudul bab-bab penemuan hukum telah dijelaskan bila upaya
menegakkan hukum ada tiga unsur yang perlu memperoleh simpati, meliputi
kebermanfaatan (doelmatigheid), keadilan, dan kepastian hukum (Mertokusumo & Pitlo,
1993). Tujuan utama hukum ialah penciptaanatas tata tertib. Hukum perlu terlaksana dan
perlu ditegakkan; fiat justitia et pereat mundus (meski dunia ini mengalami keruntuhan,
hukum tetap ditegakkan). Tiap individu yang berharap bisa ditentukannya hukum bila ada
suatu kejadian. Hal tersebut sebagai pemahaman dari kepastian hukum. Kepastian hukum
ialah perlindungan justiciable dari tindakan berkesewenang-wenangan, yang
menjelaskan bila seseorang hendak memperoleh sesuatu yang diinginkan berkeadaan
tertentu. Masyarakat memiliki harapan ada kepastian, sehingga melalui kepastian hukum
ini, masyarakat bisa menaati ketertiban.
Hukum berperan menghasilkan kepastian hukum, serta kepastian hukum bisa
memberi peluang guna pencapaian tujuan hukum lainnya, yakni tata tertib masyarakat
(Budiartha, 2016). Dalam menegakkan hukum di satu sisin perlu terdapat kepastian
hukum yang diupayakan perlu memberikan manfaat bagi masyarajat, tidak hanya
menciptakan keadilan. Dalam menegakkan hukum perlu dilaksanakan supaya ada suatu
peraturan hukum guna melindungi kepentingan antarmanusia, sudah terlanggar, dan
dicegah melalui kehadiran hukum pidana.
Melanggar hukum atau peraturan yang sudah ditentukan disebut sebagai tindak
pidana. Seperti yang kerap disebut padaKUHP, yaitu sebagai fundamental dari semua
sistem hukum pidana Indonesia pada suatu undang-undang pidana sebagai keseluruhan
(Lamintang, 1997). Akan tetapi, terdapat bermacam ahli yang menggunakan delik
sebagai laih bahasa daristrafbaarfeit. Tindak pidana pada KUHP terbagi atas dua macam,
yakni kejahatan dan pelanggaran.
Kejahatan merupakan gejala normal pada tiap masyarakat, bagaimana bentuk
masyarakat tersebut, di mana maupun kapan saja (Runturambi, 2017). Begitupun dengan
apa yang ada di Indonesia sekarang, sehingga rumitnya masalah bangsa dan negara yang
Hari Soeskandi, Setia Sekarwati.
1944 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 11, November 2021
tengah dialami, mulai dari krisis ekonomi berkepanjangan,sampai memengaruhi adanya
krisis politik, kepercayaan kepada pemerintah, sampai adanya krisis hukum, memicu
angka kejahatan mengalami peningkatan dengan tajam. Tidak hanya itu, tidak bisa
dipungkiri bila akibat dariglobalisasi sekarang ini ialah kemajuan ilmu pengetahuan,
modernisasi, dan industrialisasi pun sudah memberikan perkembangan atas tindak
kejahatan.
Akibat buruk dari globalisasi itu diakibatkan adanya pengabaian pada nilai norma,
modal, etika, hak asasi manusia, maupun agama (Lalo, 2018). Meski negara barat tolok
ukurnya berlainan dengan negara timur, termasuk Indonesia. Masyarakat harus kian
mengoptimalkan mutunya agar bisa bertahan hidup. Namun, tututan pengoptimalan mutu
hidup itu tanpa disertai oleh kapabilitas pemerintah menyediakan fasilitas guna
memenuhi kebutuhan hidup. Dengan demikian, ada banyak masyarakat yang berupaya
melakukan beragam tindakan guna mencukupi kebutuhan hidup mereka, termasuk
bertindak pidana.
Kehidupan masyarakat sekarang ini berkembang cukup signifikan, dan
memunculkan bermacam kasus tindak pidana yang meresahkan masyarakat. Modus
tindakan pidana juga bermacam, seperti tindak pidana ringan: mencuri ayam hingga
tindak pidana berat, misalnya perampokan, penggelapan, korupsi, maupun pembunuhan.
Banyaknya tindak kejahatan, pasti mengakibatkan kondisi di dalam masyarakat tidak
kondusif. Dengan demikian, aparat harus memberi tindakan tegas bagi pihak yang
melanggar hukum berdasar pada aturan yang berlaku.
Pemberian sanksi itu memiliki maksud sebagai efek jera untuk pihak yang
bertindak pidana, sehingga tidak mengulangi tindakan itu.
Korupsi di Indonesia sudah kerap dilakukan sejak zaman kerajaan, seperti ada
keinginan raja yang harus terlaksanakan melalui penarikan upeti sesuka hati, dan
berlanjut ke masa penjajahan, terutama pada masa pemerintahan VOC.Bermula dari janji
manis guna menyejahterakan masyarakat, secara perlahan tindakan yang dilakukan VOC
mengarah ke kerja paksa. Sama seperti masa kerajaan, pada masa VOC tindakan korupsi
pun terkesan kontras melalui adanya penjarahan sumber daya alam yang sepatutnya
diberikan bagi masyarakat asli, pemberian pajak atas kesewenangan, merampas harta,
penyelewengan uang kas, dan lain-lain. Tindakan tersebut pun menjadi benih korupsi
modern di Indonesia.
Sebelum reformasi, ketika konstitusi sebagai instrumen guna mempermudah
kekuasaan bukan menjadi kontrol kekuasaan (Indrayana, 2011). Kebebasan pers pada
periode tersebut seolah-oleh terbatasi oleh dinding yang dikenal sebagai kekuasaan
otoriter, sehingga kekuasaan itu kian meluas tanpa ada pengontrolan melalui keterbukaan.
Tidak hanya itu, kondisi seperti itu menjadi kesempatan bagi bagi angkatan bersenjata
Indonesia guna mendominasi pemerintah, khususnya di bidang sosial-politik atau
Dwifungsi ABRI. Atas dasar itu, terbukalah ruang yang memberi kesempatan bagi politisi
elit guna mengekspoitasi negara, sehingga menciptakan sistem tata negara yang koruptif.
Pada masa itu, korupsi bisa disebut sebagai tindakan yang terorganisasi dan terstruktur,
Pembuktian Terbalik dalam Tindak Pidana Korupsi
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 11, November 2021 1945
sebab tanpa ada kasus korupsi yang terungkap, berbeda dengan saat ini yang
memberitakan segala tindakan korupsi secara terang-terangan. Bahkan, pada periode itu
belum terdapat peraturan yang mengatur tindakan korupsi. Saat itu, tindakan korupsi
terlaksana secara rapi dan terkesan ditutup-tutupi berkat ada pembangunan yang terus-
terusan, bahkan melalui pemberian kesejahteraan untuk masyarakat.
Sekarang ini, korupsi terlaksana dengan bermacam modus yang berimbas
langsung pada kehidupan berbangsa di Indonesia, serta dikhawatirkan bisa
membahayakan stabilitas, keamanan, dan turut berimbas ke warga negaranya. Tidak
hanya itu, tindak pidana korupsi pun turut mengarah ke bermacam aspek perekonomian,
kebudayaan, ataupun sosial. Selama era demokrasi, khususnya melalui pemilu yang
terlaksana secara jujur, berkeadilan, langsung, rahasia, bebas, dan umum bisa menjadi
pesta rakyat yang menentukan siapa pemimpin atau sebagai penyambung lidah mereka.
Pemilihan pejabat negara harus berlandaskan pada diri pejabat itu, seperti kebijakasnaan,
arif, bermoral, dan tidak sekadar mencari kuasa semata (Supusepa, 2019).
Para penegak hukum khususnya Jaksa serta KPK harus bekerja secarea maksimal
untuk memberi efek jera bagi para koruptor (Husodo et al., 2011). Pembuktian merupakan
hal yang memegang peranan penting di persidangan selama menegakkan tindak pidana
korupsi. Saat pemeriksaan di persidangan akan mengungkap fakta yang menetapkan
apakah seseorang selaku terdakwa terbukti melakukan korupsi ataukah tidak. Upaya
untuk membuktikan seseorang bertindak pidana korupsi ataukah tidak bisa
diberlakukannya pembuktian terbalik. Prinsip pembuktian pembalikan beban ialah
sistematika yang ada di luar kewajaran dalam membuktikanhukum acara pidana yang
umum. Baik itu sistem kontinental ataupun Anglo Saxon yang mengenali pembuktian
secara tetap memberi beban pada kewajiban pembuktian kepada jaksa penuntut umum.
Namun, pada kasus tertentu terdapat implementasi bermekanisme difrensial,
yakni sistem membalikkan beban pembuktian dan itupun tidak dilakukan sepenuhnya
serta masih memiliki batasan yang seminimal mungkin tidak melakukan pelanggaaran
hukum yang berpeluang seperti hak prinsip korban, tersangka/terdakwa, masyarakat serta
negara (Nurhayani, 2015). Beban pembuktian yang ada di Jaksa Penuntut Umum
berkaitan pada asas praduga tidak bersalah (presumption of innocent) serta asas tidak
sebagai eksplanasi dari prinsip umum hukum pidana: siapa yang melakukan penututan,
berarti dirinyalah yang perlu memberi bukti kebenaran atas tuntutan mempermasalahkan
diri sendiri (non- self incrimination). Dalam membebankan pembuktian terbalik,
(Prasetia, Permana, & Dewi, 2014) beban pembuktian yang disampaikan jaksa penuntut
umum terlaksana secara universal bagi segala bentuk tindak pidana, termasik di dalam
maupun di luar kodifikasi KUHP. Akan tetapi ada pengkhususan ke tindak pidana,
khususnya yang ada di luar KUHP, seperti halnya korupsi yang tercantum di
Perundang-Undangan No.31
Tahun 1999 jo Perundang-Undangan No. 20 Tahun 2001 terkait pemberantasan
tindak pidana korupsi.
Pada perundang-undangan ada ketetapan mengenali pelaksanaan pembuktian
terbalik yang awalnya diberikan ke jaksa penutut umum, kemudian diberikan kepada
Hari Soeskandi, Setia Sekarwati.
1946 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 11, November 2021
terdakwa. Bila tanpa bisa memberi bukti, terdakwa akan dianggap bersalah. Ketetapan ini
termuat di Pasal 12 B Ayat (1) Huruf a dan b, Pasal 37, 37 A dan 38 B. Pada uraian yang
terdapat di Pasal 37 Perundang-Undangan Nomor 31 Tahun 1999 menjelaskan bila
ketetapan ini sebagai penyimpangan dari ketetapan KUHP, memberi ketetapan bila jaksa
berkewajiban memberi bukti tindak pidana, dan bukanlah terdakwa. Sesuai ketetapan ini,
terdakwa bisa memberi bukti bila dirinya tanpa bertindak pidana korupsi. Jika terdakwa
bisa memberi bukti tanpa bertindak korupsi, berarti penutut umum tetap wajib memberi
bukti dakwaannya (Barama, 2012). Ketetapan pada pasal ini sebagai upaya membuktikan
secara terbalik yang terbatas, sebab jaksa mempunyai bukti guna membuktikan dakwaan.
Ketetapan terkait pembalikan beban pembuktian atau sistem pembalikan beban
pembuktian (reversal of burden proof atau omkering van bewijslast) sebagai hasil
pengadopsian sistem hukum Anglo Saxon/ negara yang menganutcase-law yang terbatas
di kasus tertentu (certain cases), terutama tindak pidana terkait gratifikasi (gratification)
atau menyuap (bribery). Pembuktian terbalik ialah sistematika guna membuktikan sesuatu
yang ada di luar prevalensi teoretis pembuktian pada hukum acara pidana yang umum.
Metode Penelitian
Jenis penelitian pada kajian hukum ialah hukum normatif maupun kajian hukum
empiris. Dalam kajian hukum ini jenis penilitian yang digunakan ialah kajian hukum
normatif yang bermaksud agar bisa memperoleh peraturan hukum, prinsip, ataupun
doktrin hukum untuk memberi jawaban atas wacana hukum yang sedang dihadapi.
Kajian hukum normatif terlaksana agar bisa memperoleh prosedur menyelesaikan
permasalahan terkait isu hukum (legal issue) (Ryana & Idzati, 2018). Hasil kajian ini,
yaitu mendeskripsikan rumusan permasalahan yang terajukan. Kajian hukum normatif
sekadar menganalisis norma hukum tanpa mencermati praktik hukum di lapangan (law in
action).
Pendekatan
Keterkaitan dengan kajian normatif, pendekatan yang dipergunakan pada
penulisan hukum sesuai penuturan Peter Mahmud Marzuki yaitu:
a. Pendekatan Undang-Undang
Terlaksana melalui penelaahan keseluruhan perundang-undangan dan aturan
terkait isu hukum yang tengah ditangani. Melalui pendekatan undang-undang pada kajian
normatif, maka bisa bermanfaat secara praktis ataupun akademis. Hasil penelaahan itu
sebagai hipotesis atau argumentasi guna menyelesaikan isu hukum. Pendekatan aturan
hukum undang-undang (statute aprroach) dipergunakan sebab hendak mengeliti
peraturan hukum terkait kajian ini. Pendekatan ini diperlukan agar bisa memperoleh
jawaban terkait materi muatan hukum yang terumuskan pada kajian ini.
b. Pendekatan Konseptual
Pembuktian Terbalik dalam Tindak Pidana Korupsi
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 11, November 2021 1947
Berawal dari perspektif, berkembangnya doktrin di ilmu hukum dengan
mempelajari permasalahan-permasalahan dalam ilmu hukum, peneliti hendak
memperoleh gagasan yang menciptakan definisi hukum, dan asas hukum sesuai wacana
yang berkembang yang sedang dihadapi terkait pemahaman atas perspektif maupun
doktrin itu sebagai dasar bagi peneliti selama merancang argumen hukum selama
menyelesaikan wacana yang sedang dihadapi (Marzuki, 2011).
Pada kajian ini mempergunakan pendekatan undnag-undang dengan mengkaji
suatu peraturan- perundangan yang sesuai dengan pokok pembahasan dalam rangka
menemukan ketentuan hukum yang dapat dipakai sebagai landasan dalam penyusunan
karya ilmiah ini.Pendekatan konseptual ialah pendekatan kajian yang bertolak ukur
kepada perspektif ataupun doktrin yang mengalami perkembangan pada ilmu hukum
dengan mencermati atau menggali pandangan dan doktrin itu bisa memperoleh definisi
hukum maupun konsep hukum terkati masalah/materi pada muatan hukum yang hendak
dianalisis. Melalui penggunaan konsep ini, setidaknya bisa merancang argumen untuk
menjawab materi muatan hukum yang dijadikan kajian.
Teknik Pengumpulan Dan Pengolahan Bahan Hukum
Teknik dalam mengumpulkan bahan hukum sebagai prosedur peneliti guna
mendapatkan bahan hukum. Teknik mengumpulkan bahan hukum sangat bergantung
kepada jenis kajiannya. Bahan hukum primer, meliputi pengumpulan undang-undang
mempergunakan prosedur inventarisasi maupun pengategorisasi. Bahan hukum sekunder
terkumpulkan melalui sistematika kartu catatan.
Analisis Bahan Hukum
Bahan hukum didapat setelah dihimpun dan disusun, selanjutnya menganalisis,
serta diidentifikasi dengan mempergunakan teknik analisis prespkriptif melalui metode
sistematisasi. Sehingga dapat ditarik kesimpulan dan memberikan saran sesuai dengan
permasalahannya.
Hasil dan Pembahasan
Pembalikan beban pembuktian adalah sistematika pembuktian yang tidak dikenal
apda KUHAP. Di Indonesia, pembuktian terbalik tertuang di Perundang-UndanganNo.25
Tahun 2003 jo Perundang-UndanganNo. 8 Tahun 2010 terkait Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, serta Perundang-UndanganNo. 20 Tahun
2001 terkait Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Terkait pembalikan beban
pembuktian yang ada di tindak pidana pencucian uang sesuaiPerundang-UndanganNo. 8
Tahun 2010 terkait tindak pidana pencucian uang (money laundering). Pasal 77 UU TPPU
(tindak pidana pencucian uang) memaparkan bila bagi kepentingan pemeriksaan di
pengadilan, terdakwa harus memberi bukti jika hartanya bukan hasil dari tindak pidana.
Sesuai Pasal 78 Ayat (1) UU TPPU secara inti, hakim memberi perintah bagi terdakwa
supaya memberi bukti bila harta yang terkait dengan perkara tidak berasal dari tindak
Hari Soeskandi, Setia Sekarwati.
1948 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 11, November 2021
pidana sesuai penjelasan di Pasal 2 Ayat (1). Berdasar ketetapan Pasal 35 Perundang-
UndanganNo.
15 Tahun 2002 jo Perundang-UndanganNo.25 Tahun 2003 mengenai Pencegahan
dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Demi kepentingan pemeriksaan di
persidangan, terdakwa berkewajiban memberi bukti jika harta yang diperolehnya
bukanlah hasil dari tindak pidana.
Pada Pasal 77 Perundang-UndanganNo. 8 Tahun 2010 memperjelas bila demi
pemeriksaan di persidangan, terdakwa berkewajiban memberi bukti bila harta yang
diperoleh bukanlah hasil dari tindak pidana. Terkait hal itu, dalam Pasal 78 Ayat (1)
dijelaskan bila pemeriksaan di persidangan sesuai yang tercantum di Pasal 77, hakim
memberikan perintah kepada terdakwa supaya memberi bukti bila harta yang berkaitan
dengan perkara tidak berasal dari tindak pidana.
Bagaimana usaha pembuktian terhadap beban pembuktian terbalik? Menurut
analisa penulis, jawaban dari pertanyaan tersebut adalah berkaitan dengan bagaimana
upaya pembuktian beban pembuktian dalam perkara tindak pidana korupsi maupun
sistematika pembalikan pembultian dalam tindak korupsi (Nurfanto, Sari, Harwika,
Michael, & Hadi, 2021). Pada pembuktian terbalik, pihak yang wajib membuktikan ialah
terdakwa. Sesudah terdakwa mendapatkan perintah dari hakum di persidangan
pengadilan. Walau Perundang-Undangan Nomor 8 Tahun 2010 mengenai Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang tidak menjelsakan terkait waktu yang tepat kapan untuk
terdakwa membuktikan hartanya, tetapi bila melihat sistematika pengadilan, berarti saat
pemeriksaan atau mendengar keterangan terdakwa itulah saat yang tepat untuk
melakukan proses pembuktian.
Pembalikan beban pembuktian terkait mengembalikan kerugian keuangan negara
ialah penjelasan dari terdakwa pada upaya membuktikan bila harta benda tidak berasal
dari tindak korupsi. Kesuksesan terdakwa memberi bukti terkait harta dakwaannya ialah
harta yang halal, sebab asal dari penambahan harta kekayaan dari sumber yang halal,
sehingga tanpa memengaruhi apa pun pada pembuktian penutut umum terkait perkara
pokok, bila penutut umum sukses memberi bukti terkait unsur maupun terbukti terdakwa
bersalah melaksanakannya.
Jika terdakwa tidak mampu memberi bukti terkait sumber pendapatan yang
berimbang dengan kekayaan atau tanpa terbukti sumber kekayaannya halal, maka penutut
umum bisa mempergunakan kondisi sedemikian rupa guna menguatkan alat bukti bila
terdakwa bertindak korupsi. Bila terdakwa mampu memberikan bukti atas perimbangan
tersebut, maka harta yang didakwakan tanpa ada keterkaitan dengan tindak pidana yang
didakwakan, serta harta bendanya tidak terampas (memperoleh sanksi pidana perampasan
barang) bagi negara.
Kesimpulan
Bagaimana upaya pembuktian terhadap beban pembuktian terbalik?. Menurut
analisa penulis, jawaban dari pertanyaan tersebut adalah berkaitan dengan bagaimana
Pembuktian Terbalik dalam Tindak Pidana Korupsi
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 11, November 2021 1949
upaya pembuktian beban pembuktian yaitu terdakwa dalam perkara tindak pidana koripsi.
serta juga mekanisme/tatacara pembalikan beban pembuktian dalam korupsi. Pada
pembuktian terbalik, pihak yang harus membuktikan ialah terdakwa. Sesudah terdakwa
mendapatkan perintah dari hakim pada pemeriksaan di persidangan, walau Perundang-
UndanganNomor 8 Tahun 2010 terkait Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
tanpa memperjelas waktu yang tepat untuk terdakwa membuktikan hartanya, tetapi bila
melihat sistematika pengadilan, berarti saat pemeriksaan atau mendengar keterangan
terdakwa itulah saat yang tepat untuk melakukan proses pembuktian. Keberhasilannya
adalah ketika terdakwa memberi bukti terkait harta yang didakwakan ialah harta yang
halal, sebab sumber penambahan kekayaan berasal dari sumber yang halal. Bila terdakwa
tanpa bisa memberi bukti bila sumber pendapatan yang berimbang dengan kekayaan atau
tanpa terbukti sumber kekayaan ialah halal, maka penutut umum bisa mempergunakan
kondisi sedemikian rupa guna menguatkan alat bukti bila terdakwa bertindak pidana
korupsi.
Hari Soeskandi, Setia Sekarwati.
1950 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 11, November 2021
Bibliografi
Barama, Michael. (2012). Pembuktian Terbalik Perkara Pidana Korupsi.
Budiartha, I. (2016). HUKUM OUTSOURCING: Konsep Alih Daya, Bentuk
Perlindungan, dan Kepastian Hukum. Setara Press.
Husodo, Adnan Topan, Sunaryanto, Agus, Yuntho, Emerson, Diansyah, Febri, Abid,
Lais, & Langkun, Tama S. (2011). Evaluasi Dan Roadmap Penegakan Hukum Kpk
2012-2015.
Indrayana, Denny. (2011). Indonesia Optimis. Bhuana Ilmu Populer.
Lalo, Kalfaris. (2018). Menciptakan generasi milenial berkarakter dengan Pendidikan
karakter guna menyongsong era globalisasi. Jurnal Ilmu Kepolisian, 12(2), 8.
Lamintang, P. A. F. (1997). Dasar-dasar untuk mempelajari Hukum Pidana yang berlaku
di Indonesia. Citra Aditya Bakti.
Marzuki, Peter Mahmud. (2011). Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana. Mertokusumo,
Sudikno.
Mertokusumo, M. Sudikno, & Pitlo, Adriaan. (1993). Bab-bab tentang penemuan hukum.
Citra Aditya Bakti.
Nurfanto, Luki, Sari, Amelia Puspita, Harwika, Dara Manista, Michael, Tomy, & Hadi,
Syofyan. (2021). Kebaruan Dalam Jurnal. Tomy Michael.
Nurhayani, Nurhayani. (2015). Pembuktian Terbalik dalam Pemeriksaan Tindak Pidana
Korupsi di Indonesia. Jurnal IUS Kajian Hukum Dan Keadilan, 3(1).
Prasetia, M. Edo Rezawan, Permana, Sandhi, & Dewi, Yunita Kurnia. (2014). Sistem
Pembuktian Terbalik Dalam Pembuktian Perkara Gratifikasi. Verstek, 2(2).
Runturambi, Josias Simon. (2017). Makna Kejahatan dan Perilaku Menyimpang dalam
Kebudayaan Indonesia. Antropologi Indonesia, 125135.
Ryana, Pricilia, & Idzati, Aisy. (2018). Korupsi Dalam Kajian Hukum Dan Hak Asasi
Manusia. Lex Scientia Law Review, 2(2), 177188.
Supusepa, Reimon. (2019). Problematika Pembuktian Terbalik Dalam Perkara Tindak
Pidana Korupsi. JURNAL BELO, 4(2), 134144.