1723
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi: pISSN: 2723 - 6609
e-ISSN : 2745-5254
Vol. 2, No. 10 Oktober 2021
LARANGAN MUDIK DALAM PERSPEKTIF HUKUM PROGRESIF
Dahlia Dewi Apriani
1
, Suteki
2
, Fadjrin Wira Perdana
3
, Ferdinand Pusriansyah
4
,
H.Irwan
5
, Yohan Wibisono
6
.
Politeknik Transportasi SDP Palembang
1,4,5,6
, Universitas Diponegoro
2,3
,
Email: dahliadewiapriani@yahoo.co.id
1
2
,
3
4
5
,
6
.
Abstrak
Inkonsisten kebijakan mudik semakain memperdalam dan meruncing pad a
tataran masyarakat, sehingga terjadinya polarisasi cara pandang masyarakat
terhadap urgensi mudik yang sudah lama tertanam dalam sebagai realitas sosio-
kultural masyarakat Indonesia namun harus dilakukan meskipun bahaya
pandemi Covid-19 mengancam. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan
menganalisis bagaimana pandangan hukum progresif terhadap kebiajakan
larangan mudik. Penelitian ini merupakan jenis penelitian yuridis empiris untuk
mengetahui dan menentukan bagaimana hukum itu berlaku sebagai norma atau
das sollen. Hasil penelitian dijelaskan bahwa dalam perspektif Hukum Progresif,
pemberlakuan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 13 Tahun 2021 untuk
menghentikan kontroversi larangan mudik lebaran sekaligus menghadirkan
kepastian hukum dalam perspektif Hukum Progresif adalah menegaskan cara
pandang Pemerintah yang masih mendasarkan diri kepada ajaran ilmu hukum
positif (analytical jurisprudence). Permenhub telah dengan sengaja
“melokalisir” kebenaran hanya yang nampak secara tekstual dalam pasal-pasal
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 13 Tahun 2021, yang oleh Hukum
Progresif justru hal itu dikritik karena sama sekali tidak bisa menjelaskan
kebenaran yang kompleks (keadilan substantive). Dalam perspektif Hukum
Proresif, maka hukum selalu dikaitkan pada tujuan-tujuan di luar narasi tekstual
hukum itu sendiri. Sehingga hukum harus memihak kepada kepentingan
masyarakat (publik) dan demi kepentingan keadilan itu sendiri.
Kata kunci: Mudik; Perspektif Hukum; Progresif
Abstract
The inconsistency of the homecoming policy has deepened and tapered off at the
community level, resulting in a polarization of people's perspectives on the urgency
of going home, which has long been embedded as a socio-cultural reality for
Indonesian society but must be carried out despite the dangers of the Covid-19
pandemic threatening. This study aims to examine and analyze how the progressive
legal view of the homecoming ban policy. This research is a type of empirical
juridical research to find out and determine how the law applies as a norm or das
sollen. The results of the study explained that in the perspective of Progressive
Law, the enactment of the Minister of Transportation Regulation Number PM 13 of
Irssa Intan Fatiha, Liliek Channa AW
1724 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 10, Oktober 2021
2021 to stop the controversy over the Eid homecoming ban while at the same time
providing legal certainty in the perspective of Progressive Law is to emphasize the
Government's perspective which still bases itself on the teachings of positive legal
science (analytical jurisprudence). The Minister of Transportation has deliberately
"localized" the truth only that appears textually in the articles of the Minister of
Transportation Regulation Number PM 13 of 2021, which by Progressive Law has
been criticized for not being able to explain complex truths (substantive justice). In
the perspective of progressive law, the law is always linked to purposes outside the
textual narrative of the law itself. So the law must side with the interests of the
community (public) and for the sake of justice itself.
Keywords: Homecoming; Legal Perspective; Progressive
Pendahuluan
Pemerintah resmi melarang mudik Lebaran 2021. Semua moda transportasi baik
transportasi darat, laut, udara dilarang beroperasi mulai tanggal 6 Mei s/d tanggal 17
Mei 2021. Larangan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor
PM 13 Tahun 2021 tentang Pengendalian Transportasi Selama Masa Idul Fitri 1442
Hijriah Dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Covid-19 (Yunita & Amalliah, 2021).
Menurut Adita Irawati Juru Bicara Kementerian Perhubungan Adita Irawati, dalam
konferensi pers di Jakarta, bahwa “Pengendalian transportasi dilakukan melalui
larangan penggunaan atau pengoperasian sarana transportasi penumpang untuk semua
moda transportasi yaitu: moda darat, laut, udara dan perkeretapian, dimulai dari tanggal
6 Mei hingga 17 Mei 2021. Adapun untuk transportasi barang dan logistik tetap berjalan
seperti biasa (Irawati, 2021)
Pengendalian transportasi dilakukan melalui larangan penggunaan atau
pengoperasian sarana transportasi penumpang untuk semua moda transportasi yaitu
moda darat, laut, udara dan perkeretaapian. Angkutan yang dilarang pada masa
pemberlakuan aturan tersebut yaitu kendaraan bermotor umum dengan jenis mobil bus
dan mobil penumpang, Kendaraan bermotor perseorangan dan jenis mobil penumpang,
mobil bus. Serta kendaraan bermotor, serta kapal angkutan sungai, danau, dan
penyeberangan. Meskipun demikian, terdapat alat transportasi yang masih dapat
beroperasi yaitu angkutan barang dan logistik. Kendaraan angkutan tersebut tetap
berjalan seperti biasa.
Kebijakan larangan mudik tersebut memicu kontroversi di tengah masyarakat
karena dinilai sebagai kebijakan yang inkonsisten. Pada awalnya Pemerintah melalui
Kementerian Perhubungan memperbolehkan mudik, sehingga publik meresponnya
dengan meminta Kemenhub untuk memperhatikan kelayakan sarana dan transportasi
berupa inspeksi terhadap personel, ramp check, hingga ketersediaan sarana keselamatan
(Detiknews, 2021). Inkonsistensi kebijakan mudik sebenarnya telah muncul dari awal
saat Kementrian PMK memberikan keterangan yang berbeda (bertolak belakang)
dengan Kementrian Perhubungan terkait dengan Mudik 2021, sehingga publik juga
menilai lemahnya koordinasi administrative pemerintahan.
Larangan Mudik dalam Perspektif Hukum Progresif
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 10, Oktober 2021 1725
Inkonsisten kebijakan mudik tersebut semakain memperdalam keterbelahan di
akar rumput (masyarakat) yaitu terjadinya polarisasi cara pandang masyarakat terhadap
urgensi mudik yang telah lama tertanam dalam sebagai realitas sosio-kultural
masyarakat Indonesia namun harus dilakukan di tengah pandemi Covid-19. Survey
yang dilaksanakan oleh Kemenhub melalui Badan Penelitian dan Pengembangan
Perhubungan (Balitbanghub) pada Maret 2021 juga telah melaksanakan survey kepada
masyarakat terhadap animo masyarakat untuk melakukan mudik. Hasil survey itu
menunjukan ada 11% responden atau sekitar 27,6 juta orang yang memilih tetap mudik
meskipun ada pelarangan mudik (Balitbang, 2021).
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 13 Tahun 2021 tentang
Pengendalian Transportasi Selama Masa Idul Fitri 1442 Hijriah Dalam Rangka
Pencegahan Penyebaran Covid-19, menjadi cara yang diambil pemerintah untuk
menghentikan kontroversi di tengah masyarakat terkait dengan mudik lebaran tahun
2021 dan sekaligus memberikan kepastian hukum bagi pengusaha moda transportasi
(darat/laut/udara), pengusaha ritel makanan-minuman, pakain (konveksi) dan lain-lain
sebagai pihak-pihak yang selama ini berkepentingan langsung secara ekonomi
(finansial) dari kegiatan mudik masyarakat Indonesia.
Mengenai kajian mudik, maka terdapat beberapa temuan kajian sebelumnya
yang membahas tentang mudik dari berbagai perspektif, sebagaimana yang dilakukan
oleh Bambang (Soebyakto, 2011) dengan melalui kajian kualitatif terhadap mudik
lebaran, (Wahid & Kosmopolitan, 2007) dengan melakukan kajian realistis pelaku
mudik melalui perspektif budaya dan agama, (Fuad, 2011) dengan penekanan kajian
pada fenomenologi kepada pelaku mudik, (Lestari, 2019) dengan menggunakan survei
online terhadap karakteristik arus mudik lebaran. Mengenai angkutan tranportasi yang
dijadikan kendaraan oleh para pemudik pada waktu mudik lebaran dijadikan kajian
penelitian oleh (Narti & Setiyadi, 2020) dengan menggunakan metode Analytic
Hierarchy Process. Tidak hanya itu saja, pemantauan kualitas udara saat terjadi alus
mudik juga dilakukan kajian oleh (Putra, 2018). Sedangkan kajian pelarangan mudik
dan dampaknya terhadap tingkat pertumbuhan perekonomian dilakukan oleh (Haidar &
Nurwati, 2020).
Jika kita cermati berbagai penelitian sebelumnya, tidak ada satupun yang secara
khusus membahas tentang kajian larangan mudik dari sudut pandang hukum progresif.
padahal jika dikaji secara akademis, akan ada pernyataan rasional bahwa akan ada
beberapa pengetahuan antropologis, konsep sosial, pandangan hukum dan adat, dan
pemahaman tentang agama Islam yang diyakini sepenuh hati dan mengakar kuat pada
msyarakat muslim di Indonesia.
Kepastian hukum yang hendak dihadirkan Pemerintah melalui Peraturan Menteri
Perhubungan Nomor PM 13 Tahun 2021 tersebut menarik untuk dilakukan pembahasan
dengan menggunakan Hukum Progresif sebagai istrumen analisis.
Metode Penelitian
Irssa Intan Fatiha, Liliek Channa AW
1726 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 10, Oktober 2021
Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian yuridis empiris, atau penelitian
lapangan, yang mengkaji peraturan perundang-undangan yang berlaku dan apa yang
terjadi dalam realitas sosial. Penelitian yuridis empiris adalah penelitian hukum tentang
pelaksanaan atau pelaksanaan ketentuan hukum normatif dalam peristiwa hukum
tertentu yang terjadi di masyarakat (Ali, 2021).
Dalam penelitian ini, metode yang digunakan untuk memecahkan masalah
adalah dengan menggunakan metode empiris. Disebut metode yudisial adalah
memperlakukan hukum sebagai suatu norma atau das sollen), karena ketika membahas
masalah dalam penelitian ini digunakan bahan hukum (hukum tertulis dan hukum tidak
tertulis atau bahan hukum primer, sekunder dan tersier. adalah memperlakukan hukum
sebagai realitas masyarakat, budaya, atau keberadaan, karena data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah data asli yang langsung diperoleh dari lokasi penelitian.
permasalahan yang telah dirumuskan. Bahan hukum Sekunder dan Tersier (yaitu data
sekunder) dipadukan dengan data primer yang diperoleh di lapangan yaitu pelaksanaan
penyelesaian sengketa ekonomi syariah khususnya melalui jalur litigasi di pengadilan
agama.
Data primer diperoleh melalui wawancara dan observasi atau data yang
diperoleh secara langsung dari sumber data di lokasi penelitian atau lapangan (field
research). Wawancara adalah suatu proses tanya jawab dalam penelitian yang
merupakan bentuk lisan dimana dua orang atau lebih bertatap muka dan secara langsung
mendengarkan informasi atau uraian.
Data yang dikumpulkan melalui kegiatan pengumpulan data tidak ada artinya
untuk tujuan penelitian. Karena data tersebut masih merupakan data mentah dan perlu
diolah secara keras, maka peneliti tidak dapat menarik kesimpulan tentang tujuan
penelitian. Proses yang sedang berlangsung adalah meninjau dan meninjau data yang
diperoleh untuk memastikan apakah data tersebut dapat memenuhi situasi yang
sebenarnya. Setelah data diolah dan dirasa cukup, disajikan dalam bentuk narasi dan
tabel. Setelah data terkumpul lengkap dan diolah dengan menggunakan narasi atau
tabel, selanjutnya dianalisis secara kualitatif.
Hasil dan Pembahasan
Kebijakan Larangan Mudik di Saat Pandemi Covid-19
Kementerian Perhubungan telah menerbitkan Peraturan Menteri Perhubungan
Nomor 13 Tahun 2021 tentang Pengendalian Transportasi Selama Masa Idul Fitri 1442
H/Tahun 2021 Dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Covid-19.
Substansi hukum (legal substance) yang diatur dalam pengendalian transportasi
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 13 Tahun 2021 meliputi hal-hal yang dilarang,
pengecualian-pengecualian, pengawasan, dan sanksi. Serta diatur juga ketentuan
mengenai pengendalian transportasi di wilayah aglomerasi. Pengecualian terhadap
aturan ini diberlakukan antara lain untuk penumpang yang memenuhi kriteria khusus
Larangan Mudik dalam Perspektif Hukum Progresif
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 10, Oktober 2021 1727
seperti perjalanan dinas, bekerja, atau kondisi mendesak seperti: melahirkan dan kondisi
sakit.
Latar belakang diundagkannya Permenhub 13 Tahun 2021 diterbitkan dalam
rangka menindaklanjuti hasil Rapat Tingkat Menteri dalam Sidang Kabinet Paripurna
yang telah menetapkan kebijakan peniadaan mudik Idul Fitri tahun 2021.
Moda angkutan darat yang dilarang pada masa pemberlakuan Permenhub 13
Tahun 2021 yaitu: kendaraan bermotor umum dengan jenis mobil bus dan mobil
penumpang, kendaraan bermotor perseorangan dan jenis mobil penumpang, mobil bus
dan kendaraan bermotor, serta kapal angkutan sungai, danau dan penyeberangan.
Pengecualian diberlakukan bagi masyarakat dengan kepentingan tertentu seperti: yang
bekerja atau perjalanan dinas untuk Aparatur Sipil Negara (ASN), Pegawai BUMN,
Pegawai BUMD, Polri, TNI, pegawai swasta yang dilengkapi dengan surat tugas
dengan tandatangan basah dan cap basah dari pimpinannya, kunjungan keluarga yang
sakit, kunjungan duka anggota keluarga yang meninggal dunia, ibu hamil dengan satu
orang pendamping, kepentingan melahirkan maksimal dua orang pendamping, dan
pelayanan kesehatan yang darurat.
Sedangkan, pengecualian kendaraan diberlakukan bagi: kendaraan pimpinan
lembaga tinggi negara RI, kendaraan dinas operasional, berplat dinas, TNI, Polri dan
kendaraan dinas operasional petugas jalan tol, kendaraan pemadam kebakaran,
ambulans dan mobil jenazah; mobil barang dengan tidak membawa penumpang;
kendaran yang digunakan untuk pelayanan kesehatan setempat seperti ibu hamil dan
anggota keluarga intinya yang akan mendampingi, kendaraan yang mengangkut pekerja
migran Indonesia WNI dan mahasiswa pelajar di luar negeri, serta pemulangan orang
dengan alasan khusus dari pemerintah sampai ke daerah asal sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.
Pengawasan di lapangan akan dilakukan Polri dibantu TNI, Kemenhub, dan
Dinas Perhubungan di daerah, untuk kendaraan bermotor umum dan kendaraan
bermotor perseorangan melalui titik-titik penyekatan. Adapun titik penyekatan akan
dilakukan di 333 titik pada akses utama keluar dan masuk jalan tol dan non-tol, terminal
angkutan penumpang, pelabuhan sungai, danau, dan penyeberangan.
Moda angkutan laut, selama periode pelarangan mudik lebaran, dibuka posko
pengendalian di 51 pelabuhan pantau pada H-15 dan H+15. Di sektor perhubungan laut,
pengecualian diberlakukan terhadap: kapal penumpang yang melayani pemulangan
tenaga kerja Indonesia, pekerja migran, dan WNI yang terlantar dari pelabuhan negara
perbatasan; pergantian awak kapal; kapal penumpang yang melayani transportasi rutin
untuk pelayaran lokal satu kecamatan, kabupaten, provinsi dengan ketentuan
persyaratan yang berlaku; kapal penumpang yang melayani transportasi antar-pulau
khusus bagi TNI, Polri, ASN, dan tenaga medis yang sedang melaksanakan tugas; kapal
penumpang yang melayani transportasi rutin untuk pelayaran di daerah perintis dan
daerah tertinggal, terpencil, terluar maupun daerah perbatasan; serta kapal penumpang
dapat diizinkan beroperasi untuk mengangkut barang logistik yang meliputi barang
pokok dan peralatan medis, obat-obatan, dan barang esensial lainnya.
Irssa Intan Fatiha, Liliek Channa AW
1728 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 10, Oktober 2021
Pengawasan larangan penggunaan sarana transportasi laut dilaksanakan oleh
Penyelenggara Pelabuhan dan/atau Syahbandar bersama dengan Satgas Covid-19.
Sedangkan pelanggaran oleh operator terhadap larangan tersebut akan dikenakan sanksi
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Moda angkutan udara, pelarangan berlaku bagi angkutan niaga dan bukan niaga.
Selanjutnya, operator yang akan melakukan penerbangan yang dikecualikan, dapat
menggunakan izin rute eksisting atau mengajukan flight approval (FA) kepada Ditjen
Perhubungan Udara Kemenhub.
Pengecualian pada angkutan udara diberlakukan bagi: penerbangan pimpinan
lembaga tinggi dan tamu kenegaraan; operasional kedutaan besar, konsulat jenderal, dan
konsulat asing serta perwakilan organisasi internasional; operasional penerbangan
khusus repatriasi; operasional penegakan hukum, ketertiban, dan pelayanan darurat;
operasional angkutan kargo; serta operasional angkutan udara perintis operasional
lainnya dengan seizin dari Dirjen Perhubungan Udara Kemenhub.
Pengawasan dilakukan oleh Ditjen Perhubungan Udara, Penyelenggara Bandara,
Pemda, dan Satgas Covid-19, yang dilakukan pada pos koordinasi atau cek poin di
terminal bandara.
Moda angkutan kereta api, perjalanan kereta api antar kota akan ditiadakan, dan
kereta perkotaan diberlakukan pembatasan jam operasional dan supply.Pengawasan
dilakukan oleh Ditjen Perkeretaapian, Balai Teknik Perkeretaapian di Jawa dan
Sumatera, dibantu oleh Satgas Penanganan Covid-19, TNI/Polri, Dishub dan Pemda.
Sanksi akan diberikan kepada operator perkeretaapian jika terjadi pelanggaran, sesuai
dengan ketentuan perundangan yang berlaku.
Teori Hukum Progresif
Sebagaimana diuraikan oleh Philipe Nonet dan Philipp Selznich, bahwa di
Amerika pada tahun 70-an timbul persoalan-persoalan sosial, kejahatan, kemerosotan
lingkungan, protes massa, hak-hak sipil, kemiskinan, kerusuhan di kota-kota serta abuse
of power pada tahun 1960-an, masyarakat merasakan betapa hukum gagal untuk
menangani berbagai problema sosial tersebut (Rahardjo, 2009). Kondisi hukum di
Amerika tersebut memunculkan suatu kritik pada pakar hukum di Amerika melalui
Critical Legal Studies Movement”. Kemudian dengan tulisan dari Philippe Nonet dan
Philip Selznich yang bertitik tolah dari teori sosial tentang hukum membedakan 3 (tiga)
tipe hukum, yaitu hukum represif, hukum otonom dan hukum responsif.
Sebagaimana evolusi yang terus berkembang dari sisi keilmuan, maka pemikiran
untuk mengukuhkan keberadaan ilmu hukum untuk menjadi sebenar ilmu juga terus
berkembang. Hukum bukanlah sesuatu yang final (finite scheme) akan tetapi terus
bergerak dan dinamis mengikuti perubahan jaman. Sehingga, hukum harus terus
ditelaah dengan melakukan review melalui upaya-upaya yang progresif sehingga
kebenaran yang hakiki dapat dicapai dan menghadirkan kemerdekaan manusia dalam
Larangan Mudik dalam Perspektif Hukum Progresif
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 10, Oktober 2021 1729
menggapai keharmonisan, kedamaian, ketertiban yang pada akhirnya mewujudkan
kesejahteraan yang adil dan beradab sesuai dengan semangat nilai-nilai Pancasila.
Di Indonesia, muncul yang dinamakan hukum Progresif yang muncul pada
sekitar tahun 2002 dengan penggagasnya Satjipto Rahardjo. Hukum progresif lahir
karena selama ini ajaran ilmu hukum positif (analytical jurisprudence) yang
dipraktikkan pada realitas empirik di Indonesia tidak memuaskan. Gagasan hukum
progresif muncul karena prihatin terhadap kualitas penegakan hukum di Indonesia
terutama sejak terjadinya reformasi pada pertengah tahun 1997. Jika fungsi hukum
dimaksudkan untuk turut serta memecahkan persoalan kemasyarakatan secara ideal,
maka yang dialami dan terjadi Indonesia sekarang ini adalah sangat bertolak belakang
dengan cita-cita ideal tersebut (Rahardjo, 2005).
Untuk mencari solusi dari kegagalan penerapan analytical jurisprudence,
Hukum Progresif memiliki asumsi dasar hubungan antara hukum dengan manusia.
Progresivisme bertolak dari pandangan kemanusiaan, bahwa manusia pada dasarnya
adalah baik, memiliki sifat-sifat kasih sayang serta kepedulian terhadap sesama. Dengan
demikian, asumsi dasar Hukum Progresif dimulai dari hakikat dasar hukum adalah
untuk manusia. Hukum tidak hadir untuk dirinya-sendiri sebagaimana yang digagas
oleh ilmu hukum positif-tetapi untuk manusia dalam rangka mencapai kesejahteraan dan
kebahagiaan manusia. Posisi yang demikian mengantarkan satu predisposisi bahwa
hukum itu selalu berada pada status “law in the making(hukum yang selalu berproses
untuk menjadi) (Rahardjo, 2005).
Gagasan yang demikian ini jelas berbeda dari aliran hukum positif yang
menggunakan sarana analytical jurisprudence yang bertolak dari premis peraturan dan
logika. Bagi Ilmu Hukum Positif (dogmatik), kebenaran terletak dalam tubuh peraturan.
Ini yang dikritik oleh Hukum Progresif, sebab melihat hukum yang hanya berupa pasal-
pasal jelas tidak bisa menggambarkan kebenaran dari hukum yang sangat kompleks.
Ilmu yang tidak bisa menjelaskan kebenaran yang kompleks dari realitas-empirik jelas
sangat diragukan posisinya sebagai ilmu hukum yang sebenar ilmu (genuine science).
Hukum Progresif secara sadar menempatkan kehadirannya dalam hubungan erat dengan
manusia dan masyarakat. Dalam posisi yang demikian ini, maka Hukum Progresif dapat
dikaitkan dengan developmetal model hukum dari Nonet dan Selznick. Hukum
Progresif juga berbagi paham dengan Legal Realism dan Freirechtslehre. Meminjam
istilah Nonet dan Selznick, Hukum Progresif memiliki tipe responsive (Nuryadi & SH,
2016). Dalam tipe yang demikian itu, hukum selalu dikaitkan pada tujuan-tujuan di luar
narasi tekstual hukum itu sendiri. Atau sebagaimana disebutkan oleh (Rondonuwu,
2014) bahwa hukum responsif mencoba mengatasi kepicikan (prokialisme) dalam
moralitas masyarakat serta mendorong pendekatan yang berorientasi pada masalah yang
secara sosial terintegrasi (Nuryadi & SH, 2016, p. 21).
Terkait dengan Legal Realism dan Freirechtslehre, Hukum Progresif melihat
hukum tidak dari kacamata hukum itu sendiri, melainkan melihatnya dari tujuan sosial
yang ingin dicapainya serta akibat-akibat yang timbul dari bekerjanya hukum. Oleh
sebab kehadiran hukum dikaitkan dengan tujuan sosialnya, maka Hukum Progresif juga
Irssa Intan Fatiha, Liliek Channa AW
1730 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 10, Oktober 2021
dekat dengan Sociological Jurisprudence dari Roscoe Pound yang menolak studi hukum
sebagai studi tentang peraturan-peraturan (Nuryadi & SH, 2016). Dengan demikian
dalam berolah ilmu, Hukum Progresif melampaui peraturan dan dokumen hukum yang
positivistic. Hukum Progresif juga dekat dengan teori-teori Hukum Alam yakni pada
kepeduliannya terhadap hal-hal yang oleh Hans Kelsen disebut ‘meta-juridical’. Dengan
demikian, Hukum Progresif mendahulukan kepentingan manusia yang lebih besar
daripada menafsirkan hukum dari sudut ‘logika dan peraturan’. Meski hampir mirip
dengan Critical Legal Studies Movement yang muncul di Amerika Serikat tahun 1977,
tapi Hukum Progresif tidak hanya berhenti pada kritik atas sistem hukum liberal.
Hukum Progresif mengetengahkan paham bahwa hukum itu tidak mutlak digerakkan
oleh hukum positif atau hukum perundang-undangan, tetapi ia juga digerakkan pada
asas non-formal (Busro, 2011).
Hukum progresif melihat dunia dan hukum dengan pandangan yang mengalir
saja, seperti Panta Rei (semua mengalir) dari filsuf Heraklitos. Apabila orang
berkeyakinan dan bersikap seperti itu, maka ia akan membangun suatu cara berhukum
yang memiliki karakteristiknya sendiri (Swardhana, 2010), yaitu:
a. Paradigma dalam hukum progresif adalah bahwa “hukum adalah untuk manusia”.
Pegangan, optic atau keyakinan dasar ini tidak melihat hukum sebagai sesuatu yang
sentral dalam berhukum, melainkan manusialah yang berada di titik pusat perputaran
hukum. Hukum itu berputar di sekitar manusia sebagai pusatnya. Hukum ada untuk
manusia, bukan manusia untuk hukum. Apabila kita berpegangan pada keyakinan,
bahwa manusia itu adalah untuk hukum, maka manusia itu akan selalu diusahakan,
mungkin juga dipaksakan, untuk bias masuk ke dalam skema-skema yang telah
dibuat oleh hukum.
b. Hukum progresif menolak untuk mempertahankan keadaan status quo dalam
berhukum. Mempertahankan status quo memberi efek yang sama, seperti pada waktu
orang berpendapat, bahwa hukum adalah tolak ukur untuk semuanya dan manusia
adalah untuk hukum. Cara berhukum yang demikian itu sejalan dengan cara
positivistik, normatif dan legalistik.
Mendapatkan tujuan hukum yang maksimal menurut Satjipto Rahardjo dibangun
dengan istilah Hukum Progresif yaitu yang digantungkan kepada kemampuan manusia
dalam menalar serta memahami dan nurani manusia untuk membuat interprestasi
hukum yang mengutamakan nilai moral keadilan pada masyarakat. Di samping itu ide
lainnya adalah hukum harus pro rakyat, pro keadilan, bertujuan untuk kesejahteraan dan
kebahagiaan, berdasarkan kepada kehidupan yang baik, bersifat responsif, mendukung
pembentukan negara hukum yang berhati nurani, dijalankan dengan kecerdasan spritual
serta bersifat membebaskan (Tripa, 2019). Ada beberapa kata kunci yang layak untuk di
perhatikan tatkala kita ingin mengangkat pengertian progresivisme, yaitu (Marbun,
2014) :
1. Hukum mengikuti perkembangan aspirasi masyarakat (hukum digantungkan kepada
situasi dan kondisi kebutuhan pengaturan masyarakat);
Larangan Mudik dalam Perspektif Hukum Progresif
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 10, Oktober 2021 1731
2. Hukum harus memihak kepada kepentingan Rakyat dan demi kepentingan Keadilan;
3. Hukum bertujuan mengantarkan manusia kepada kesejahteraan dan kebahagian;
4. Hukum selalu bergerak dalam proses perubahan (law as a process, law in the
making);
5. Hukum menekankan kehidupan yang lebih baik sebagai dasar hukum yang baik;
6. Hukumnya memiliki tipe responsif;
7. Hukum mendorong peran publik;
8. Hukum membangun negara hukum yang berhati nurani.
Memhadirkan Kepastian Hukum Kontroversi Larangan Mudik Melalui
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 13 Tahun 2021 dalam Perspektif Hukum
Progresif
Dengan menggunakan titik tolak latar belakang yang menjadi dasar keberlakuan
suatu norma hukum dapat dikonstruksikan arah, alasan dan/atau tujuan diberlakukannya
norma hukum tersebut di tengah masyarakat. Pola tersebut dapat diamati pada Peraturan
Menteri Perhubungan Nomor PM 13 Tahun 2021 tentang Pengendalian Transportasi
Selama Masa Idul Fitri 1442 Hijriah Dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Covid-19.
Berdasarkan keterangan dalam Konferensi Pers Biro Komunikasi dan Informasi
Publik Kementrian Perhubungan, Konferensi Pers Permenhub Pengendalian
Transportasi Selama Masa Idul Fitri, 8 April 2021, latar belakang yang menjadi arah,
alasan dan/atau tujuan keberlakuan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 13
Tahun 2021 adalah dalam rangka menindaklanjuti hasil Rapat Tingkat Menteri dalam
Sidang Kabinet Paripurna yang telah menetapkan kebijakan peniadaan mudik Idul Fitri
tahun 2021. Sementara sebelumnya kencang berhembus kontroversi larangan mudik
sebagai kebijakan inkonsistensi dan lemahnya koordinasi dari pemerintah sendiri,
dimana Kementrian PMK dan Kementrian Perhubungan memberikan keterangan yang
bertolak belakang terkait dengan larangan mudik lebaran tahun 2021. Dalam konteks
inilah logika publik terbentuk bahwa keberlakuan Permenhub untuk menghadirkan
kepastian hukum menghentikan kontroversi (keterbelahan pendapat publik) dan
selanjutnya kepada masyarakat dan khususnya para pelaku bisnis yang secara ekonomi
finansiaal menggantungkan bisnisnya pada kegiatan mudik masyarakat, untuk
mentaatinya. Pelanggaran terhadap semua ketentuan dalam Permenhub akan berujung
kepada sanksi hukum.
Dalam perspektif Hukum Progresif, menghadikan kepastian hukum di tengah
kontrovensi larangan mudik lebaran pada saat pandemic covid-19 melalui Peraturan
Menteri Perhubungan Nomor PM 13 Tahun 2021 menegaskan cara pandang Pemerintah
berdasarkan ajaran ilmu hukum positif (analytical jurisprudence). Cara pandang
terhadap hukum yang terbukti gagal dalam praktik berhukum di Amerika Serikat tahun
1960-an dalam merespon persoalan-persoalan sosial, kejahatan, kemerosotan
lingkungan, protes massa, hak-hak sipil, kemiskinan, kerusuhan di kota-kota serta abuse
of power.
Irssa Intan Fatiha, Liliek Channa AW
1732 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 10, Oktober 2021
Dalam perspektif Hukum Progresif, maka latar belakang yang menjadi arah,
alasan dan/atau tujuan keberlakuan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 13
Tahun 2021 adalah dalam rangka menghadirkan kepastian hukum menghentikan
kontroversi (keterbelahan pendapat publik) terkait larangan mudik pada saat pandemic
Covid-19. Melalui Permenhub, dalam perspektif cara berhukum pemerintah, dihentikan
kontroversi larangan mudik sekaligus menhadirkan kepastian hukum. Permenhub telah
dengan sengaja “melokalisir” kebenaran hanya yang nampak secara tekstual dalam
pasal-pasal Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 13 Tahun 2021, yang oleh
Hukum Progresif justru hal itu dikritik karena sama sekali tidak bisa menjelaskan
kebenaran yang kompleks (keadilan substantive). Dalam perspektif Hukum Proresif,
maka hukum selalu dikaitkan pada tujuan-tujuan di luar narasi tekstual hukum itu
sendiri. Sehingga hukum harus memihak kepada kepentingan masyarakat (publik) dan
demi kepentingan keadilan itu sendiri.
Dengan sifat dinamis hukum, yang selalu bergerak dalam proses perubahan (law
as a process, law in the making) dengan tujuan mengantarkan manusia kepada
kesejahteraan dan kebahagian. Hukum menekankan kehidupan yang lebih baik sebagai
dasar hukum yang baik, sehingga membangun negara hukum yang berhati nurani.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam
perspektif Hukum Progresif, keberlakuan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM
13 Tahun 2021 untuk menghentikan kontroversi larangan mudik lebaran sekaligus
menghadirkan kepastian hukum dalam perspektif Hukum Progresif adalah menegaskan
cara pandang Pemerintah yang masih mendasarkan diri kepada ajaran ilmu hukum
positif (analytical jurisprudence). Upaya menghadirkan kepastian hukum justru tidak
memberikan keadilan bagi kepentingan masyarakat. Menggunakan Permenhub
Larangan Mudik dalam Perspektif Hukum Progresif
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 10, Oktober 2021 1733
Bibliografi
Ali, Zainuddin. (2021). Metode penelitian hukum. Sinar Grafika.
Balitbang. (2021). Survei awal Balitbang Kemenhub sebut 11% masyarakat masih ingin
mudik. Retrieved from https://nasional.kontan.co.id/news/survei-awal-balitbang-
kemenhub-sebut-11-masyarakat-masih-ingin-mudik
Busro, Achmad. (2011). Kebebasan Berkontrak dalam Pandangan Hukum Progresif.
Masalah-Masalah Hukum, 40(2), 172177.
Detiknews. (2021). Polemik Larangan Mudik Lebaran 2021. Retrieved from
https://news.detik.com/berita/d-5510760/polemik-larangan-mudik-lebaran-2021
Fuad, Muskinul. (2011). Makna Hidup Di Bauk Tradisi Mudik Lebaran (Studi
Fenomenologi Atas Pengalaman Pemudik Dalam Merayakan Idul Fitri Di
Kampung Halaman). KOMUNIKA: Jurnal Dakwah Dan Komunikasi, 5(1), 107
123.
Haidar, Galih, & Nurwati, Nunung. (2020). Dampak Kebijakan Larangan Mudik
COVID-19 Terhadap Budaya Mudik di Indonesia. Jurnal Sosial Soedirman, 4(2),
115.
Irawati, Adita. (2021). Biro Komunikasi dan Informasi Publik. Retrieved from
http://dephub.go.id/post/read/permenhub-pengendalian-transportasi-selama-masa-
idul-fitri-telah-diterbitkan
Lestari, F. (2019). Kajian Karakteristik Arus Mudik Lebaran Menggunakan Survei
Online. Jurnal Penelitian Transportasi Darat, 21(1), 3136.
Marbun, Rocky. (2014). Grand Design Politik Hukum Pidana dan Sistem Hukum
Pidana Indonesia Berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945. Padjadjaran Journal of Law, 1(3).
Narti, Ahmad Yani, & Setiyadi, Adika Dharma. (2020). Pemilihan Angkutan Mudik
Lebaran Menggunakan Metode Analytic Hierarchy Process. Paradigma-Jurnal
Komputer Dan Informatika, 22(1), 1724.
Nuryadi, H. Deni, & SH, M. H. (2016). Teori Hukum Progresif Dan Penerapannya Di
Indonesia. Jurnal Ilmiah Hukum DE’JURE: Kajian Ilmiah Hukum, 1(2), 394408.
Putra, Rendika Tryaspada. (2018). Penginderaan Jarak Jauh (Citra Lokasi & Kualitas
Udara). Surabaya: UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945.
Rahardjo, Satjipto. (2005). Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan. Jurnal
Hukum Progresif, 1(1), 124.
Rahardjo, Satjipto. (2009). Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis.
Irssa Intan Fatiha, Liliek Channa AW
1734 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 10, Oktober 2021
Rondonuwu, Diana Esther. (2014). Hukum Progresif: Upaya Untuk Mewujudkan Ilmu
Hukum Menjadi Sebenar Ilmu Pengetahuan Hukum. LEX ADMINISTRATUM,
2(2).
Soebyakto, Bambang Bemby. (2011). Mudik lebaran: Studi kualitatif. Jurnal Ekonomi
Pembangunan, 9(2), 6267.
Swardhana, Gde Made. (2010). Pergulatan Hukum Positivistik Menuju Paradigma
Hukum Progresif. Masalah-Masalah Hukum, 39(4), 378384.
Tripa, Sulaiman. (2019). Rekonseptualisasi Hukum Indonesia. Bandar Publishing.
Wahid, Abdurrahman, & Kosmopolitan, Islam. (2007). Nilai-nilai Indonesia &
Transformasi Kebudayaan. Jakarta: The Wahid Institute.
Yunita, Ria, & Amalliah, Amalliah. (2021). Strategi Komunikasi Pemerintah Terhadap
Masyarakat Mengenai Kebijakan Larangan Mudik Lebaran Tahun 2021 Pada
Pademic COVID 19. Jurnal Akrab Juara, 6(2), 122133.