1475
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi: pISSN: 2723 - 6609
e-ISSN : 2745-5254
Vol. 2, No. 9 September 2021
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN
HUMAN IMMUNO DEFICIENCY VIRUS ACQUIRED IMMUNE DEFICIENCY
SYNDROME (HIV & AIDS) DI KOTA TASIKMALAYA.
Anton Charliyan
STISIP Tasikmalaya
Email: antoncharliyan21@gmail.com
Abstrak
Implementasi Kebijakan Pencegahan dan Penanggulangan Human
Immunodeficiency Virus Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV & AIDS)
Di Kota Tasikmalaya masih memiliki permasalahan dimana Kota Tasikmalaya
adalah salsatu yang memiliki kasus infeksi HIV & AIDS tinggi di provinsi Jawa
Barat. Hasil observasi awal yang dilakukan penulis Perda tersebut belum
sepenuhnya dapat diimplementasikan dengan baik, dapat dilihat dari (1) Kurangnya
sosialisasi peraturan daerah tersebut kepada masyarakat, (2) Minimnya sumber
daya manusia di KPA Kota Tasikmalaya, dimana belum seluruh anggota KPA
mengetahui secara detail pelaksanaan Perda tersebut. (3) Belum seluruh kegiatan
pencegahan dan penanggulangan HIV & AIDS dilakukan. Serta (4) belum
terdapatnya sarana prasarana yang memadai dalam rangka pencegahan dan
penanggulangan HIV & AIDS. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
bagaimanakah implementasi kebijakan Pencegahan dan Penanggulangan Human
Immunodeficiency Virus-Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV & AIDS) di
Kota Tasikmalaya. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif
dengan pendekatan kualitatif dengan menggunakan teknik Purposive sampling.
Teknik pengumpulan data yang dilakukan berupa observasi, wawancara dan
dokumentasi.teknik analisis data dengan, reduksi data, display data, seta penarikan
kesimpulan, teknik keabsahan data dengan menggunakan triangulasi sumber. Hasil
penelitian menunjukan bahwa (1) Perda belum tersosialisasi dengan baik karena
masing-masing pihak merasa mempunyai tugasnya sendiri, Dinas Kesehatan
maupun KPA belum merata dalam mensosialisasikan upaya pencegahan dan
penanggulangan HIV & AIDS dan belum mampu melaksanakannya. (2) Sumber
daya manusia serta anggaran yang ada masih jauh dari cukup untuk
mengimplementasikan Perda ini. (3) Struktur birokrasi dalam upaya pencegahan
dan penanggulangan HIV & AIDS di kota Tasikmalaya sudah cukup baik, hanya
tinggal memaksimalkan kinerja masing-masing aktor dan kesadaran akan tanggung
jawabnya tersebut. (4) Sikap para pelaksana atau implementor kebijakan ini masih
terhambat oleh kesadaran dan aturan akan tugas dan fungsi masing-masing pihak
dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV & AIDS di Kota Tasikmalaya
ini. Hal ini disebakan belum adanya Peraturan yang spesifik menggambarkan tugas
masing-masing aktor. Kesimpulannya implementasinya belum efektf.
Kata kunci: implementasi kebijakan; pencegahan; penanggulangan; HIV & AIDS
Anton Charliyan
1476 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 9, September 2021
Abstract :
Implementation of the Policy on Prevention and Control of Human
Immunodeficiency Virus Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV & AIDS)
In the City of Tasikmalaya still has problems where the City of Tasikmalaya is the
only one that has high cases of HIV & AIDS infection in the province of West Java.
The results of the initial observations made by the author of the Regional
Regulation have not been fully implemented properly, it can be seen from (1) The
lack of socialization of the regional regulation to the community, (2) The lack of
human resources in the Tasikmalaya City KPA, where not all KPA members know
in detail the implementation the regulation. (3) Not all HIV & AIDS prevention and
control activities have been carried out. And (4) there is no adequate infrastructure
for the prevention and control of HIV & AIDS. The purpose of this study was to
determine how the implementation of the policy of Prevention and Control of
Human Immunodeficiency Virus-Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV &
AIDS) in Tasikmalaya City. The type of research used is descriptive research with a
qualitative approach using purposive sampling technique. Data collection
techniques were carried out in the form of observation, interviews and
documentation. Data analysis techniques were used, data reduction, data display,
and conclusion drawing, data validity techniques using source triangulation. The
results of the study show that (1) Perda has not been well socialized because each
party feels that it has its own task, the Health Service and KPA have not been
evenly distributed in socializing HIV & AIDS prevention and control efforts and
have not been able to implement it. (2) The existing human resources and budget
are far from sufficient to implement this Perda. (3) The bureaucratic structure in
the efforts to prevent and control HIV & AIDS in the city of Tasikmalaya is quite
good, it is just a matter of maximizing the performance of each actor and their
awareness of their responsibilities. (4) The attitude of the implementers or
implementers of this policy is still hampered by awareness and rules regarding the
duties and functions of each party in the efforts to prevent and control HIV & AIDS
in the City of Tasikmalaya. This is due to the absence of regulations that
specifically describe the duties of each actor. In conclusion, the implementation has
not been effective.
Keyword : policy implementation; prevention; countermeasures; HIV & AIDS
Pendahuluan
Kesehatan merupakan aspek dari hak penting asasi manusia (HAM),
sebagaimana disebutkan dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB) tertanggal 10 November 1948. Dalam deklarasi HAM pasal 25 ayat 1
dinyatakan bahwa “setiap orang berhak atas taraf kehidupan yang memadai untuk
kesehatan dan kesejahteraan dirinya sendiri dan keluarganya”. Di Indonesia sendiri
kesehatan merupakan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai
dengan cita-cita bangsa sebagaimana yang tercantum dalam Pancasila dan Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Untuk mewujudkan
cita-cita tersebut, Pemerintah Indonesia menyelenggarakan pembangunan kesehatan
yang disebutkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009
Implementasi Kebijakan Pencegahan dan Penanggulangan Human Immunodeficiency
Virus Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV & AIDS) di Kota Tasikmalaya
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 9, September 2021 1477
tentang Kesehatan, pasal 3 menyatakan bahwa “Pembangunan kesehatan bertujuan
untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap
orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai
investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan
secara ekonomis”. Masih tingginya angka pengidap HIV & AIDS di Indonesia menjadi
salah satu kendala pemerintah dalam mewujudkan cita-cita tersebut, maka dari itu perlu
dilakukan pencegahan dan penanggulangan supaya angka pengidap tersebut dapat
ditekan semaksimal mungkin (Sagala, Suwitri, & Santoso, 2013).
Menurut data Kementrian Kesehatan pada laporan perkembangan HIV-AIDS,
sampai tahun 2005 jumlah kasus HIV yang dipalorkan sebanyak 859, tahun 2006
(7.195), tahun 2007 (6.048), tahun 2008 (10.362), tahun 2009 (9.793), tahun 2010
(21.591), tahun 2011 (21.031), tahun 2012 (21.511), tahun 2013 (29.037), tahun 2014
(32.711), tahun 2015 (30.935), Tahun 2016 (41.250), dan tahun 2017 (10.376). Jumlah
kumulatif yang dilaporkan sampai dengan bulan Maret 2017 sebanyak 242.699 orang.
Jumlah infeksi HIV tertinggi yaitu di DKI (46.758), diikuti Jawa Timur (33.043), Papua
(25.585), Jawa Barat (24.650), dan Jawa Tengah (18.038).
Untuk kasus AIDS sampai dengan tahun 2005 yang dilaporkan adalah sebanyak
5.239, tahun 2006 (3.680), tahun 2007 (4.828), tahun 2008 (5.298), tahun 2009 (6.744),
tahun 2010 (7.470), tahun 2011 (8.279), tahun 2012 (10.862), tahun 2013 (11.741),
tahun 2014 (7.963), tahun 2015 (7.185), tahun 2016 (7.491), dan tahun 2017 (673).
Jumlah kumulatif yang dilaporkan sampai dengan bulan Maret 2017 sebanyak 87.453
orang. Jumlah kasus AIDS terbanyak dilaporkan dari Jawa Timur (17.041), Papua
(13.398), DKI Jakarta (8.769), Bali (6.824), Jawa Tengah (6.531), Jawa Barat (5.289),
Sumatra Utara (3.897), Sulawesi Selatan (2.812), Kalimantan Barat (2.597), dan NTT
(1.959).
Setiap tahun pengidap HIV & AIDS mengalami peningkatan, hal ini perlu
diwaspadai oleh pemerintah karena apabila tidak dilakukan pencegahan dan
penanggulangan akan terus mengalami peningkatan karena sifat dari penyakit ini adalah
menular.
Dalam rangka meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan AIDS yang
lebih intensif, menyeluruh, terpadu, dan terkoordinasi, pemerintah membentuk Komisi
Penanggulangan AIDS Nasional yang diatur sejak diterbitkannya Keputusan Presiden
No. 36 Tahun 1994 tentang Komisi Penanggulangan AIDS yang diperbarui melalui
Peraturan Presiden No. 75 Tahun 2006 tentang Komisi Penanggulangan AIDS Nasional
(Wahyuningsih, Novianto, & Purwadi, 2017).
Tugas dari Komisi Penanggulangan AIDS Nasional adalah menetapkan
kebijakan dan rencana strategis nasional serta pedoman umum pencegahan,
pengendalian dan penanggulangan AIDS, Menetapkan langkah-langkah strategis yang
diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan, Mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan
penyuluhan, pencegahan, pelayanan, pemantauan, pengendalian, dan penanggulangan
AIDS, melakukan penyebarluasan informal mengenai AIDS kepada berbagai media
massa, dalam kaitan dengan pemberitaan yang tepat dan tidak menimbulkan keresahan
Anton Charliyan
1478 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 9, September 2021
masyarakat, melakukan kerjasama regional dan internasional dalam rangka pencegahan
dan penanggulangan AIDS, Mengkoordinasikan pengelolaan data dan informasi yang
terkait dengan masalah AIDS, Mengendalikan, memantau, dan mengevaluasi
pelaksanaan pencegahan, pengendalian, dan penanggulangan AIDS, memberikan arahan
kepada Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam rangka
pencegahan, pengendalian, dan penanggulangan AIDS (Meluwu, 2016).
Jawa Barat termasuk salah satu Provinsi dengan kasus infeksi HIV & AIDS
tertinggi di Indonesia yang menempati posisi ke-4 kasus HIV dengan jumlah sebanyak
24.650 orang dan menempati posisi ke-6 kasus AIDS dengan jumlah 5.289 orang.
Kasus tersebut tersebar di beberapa daerah Kota/Kabupaten di Jawa Barat. Salah satu
daerah di Jawa Barat dengan banyak kasus adalah di Kota Tasikmalaya.
Komisi Penanggulangan Aids (KPA) dan Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya
mencatat penemuan kasus baru HIV & AIDS sejak 2004. Sampai saat ini penemuan
kasus baru HIV & AIDS terus bertambah setiap tahunnya. Sejak 2012 sampai 2016
berdasarkan catatan KPA dan Dinas Kesehatan Kota Tasikmalaya, pada 2012
ditemukan 12 kasus baru, 2013 ditemukan 28 kasus baru dan pada 2014 ditemukan 35
kasus baru. Sepanjang 2004 sampai Juni 2016 sudah ditemukan 386 pengidap HIV &
AIDS di Kota Tasikmalaya. Sebanyak 41 kasus baru di 2016 ditemukan pada beberapa
kelompok. Pada kelompok laki-laki suka laki-laki (LSL) ditemukan 21 orang, kelompok
heterosex 15 orang dan kelompok pengguna jarum suntik (narkoba) 2 orang. Dari
penemuan 41 kasus baru tersebut, sebanyak 51 % didominasi kelompok homosex. 37 %
kelompok heterosex, 7 % penularan dari ibu ke anak dan 5 % akibat penggunaan jarum
suntik (narkoba). Berikut ini adalah data KPA tahun 2016 mengenai kasus HIV & AIDS
tertinggi per kecamatan di kota Tasikmalaya.
Gambar 1. Grafik Data Kasus HIV & AIDS Perkecamatan Pada Tahun 2020
Sumber: Sekretariat Komisi Penanggulangan AIDS ( KPA) Kota Tasikmalaya.
Untuk mengatasi masalah tingginya jumlah kasus penyakit HIV & AIDS yang
terjadi di Kota Tasikmalaya, maka pemerintah Kota menetapkan sebuah peraturan
dalam upaya melakukan pencegahan dan penanggulangan HIV & AIDS, yakni Perda
Kota Tasikmalaya No. 2 Tahun 2008 Tentang Pencegahan dan Penanggulangan Human
Immunodeficiency Virus-Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV & AIDS).
0
20
6
16
11
10
3
4
2
3
1
5
Implementasi Kebijakan Pencegahan dan Penanggulangan Human Immunodeficiency
Virus Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV & AIDS) di Kota Tasikmalaya
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 9, September 2021 1479
Sejak ditetapkan nya peraturan tersebut beberapa tahun yang lalu dari semenjak
peraturan ini dibuat pada tahun 2008 masih dirasa kurang efektif, karena terdapat
adanya permasalahan-pemasalahan dalam pelaksanaannya.
Dari hasil observasi awal yang dilakukan penulis di Komisi Penanggulangan
Aids (KPA) Kota Tasikmalaya, terdapat beberapa permaslahan yang menyebabkan
Perda tersebut belum sepenuhnya dapat diimplementasikan dengan baik, diantaranya
adalah sebagai berikut:
1. Kurangnya sosialisasi peraturan daerah tersebut kepada masyarakat
2. Minimnya sumber daya manusia di KPA Kota Tasikmalaya, dimana belum
seluruh anggota KPA mengetahui secara detail pelaksanaan kebijakan Peraturan
Daerah Kota Tasikmalaya Nomor 2 tahun 2008 tentang Pencegahan Dan
Penanggulangan HIV & AIDS.
3. Belum seluruh kegiatan pencegahan dan penanggulangan HIV & AIDS
berdasarkan Peraturan Daerah Kota Tasikmalaya Nomor 2 tahun 2008 tentang
Pencegahan Dan Penanggulangan HIV & AIDS pasal 7, dilakukan.
4. Belum terdapatnya sarana prasarana yang memadai dalam rangka pencegahan dan
penularan HIV & AIDS sebagaimana yang disebutkan dalam Peraturan Daerah
Kota Tasikmalaya Nomor 2 tahun 2008 tentang Pencegahan Dan Penanggulangan
HIV & AIDS pasal 17
Membahas tentang Implementasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI,
2020) diartikan sebagai pelaksanaan atau penerapan.Implementasi adalah suatu tindakan
atau pelaksanaan rencana yang telah disusun dengan cermat dan rinci. Implementasi ini
biasanya selesai setelah dianggap permanen. Implementasi ini tidak hanya aktivitas,
tetapi suatu kegiatan yang direncanakan dan dilaksanakan dengan serius dengan
mengacu pada norma-norma tertentu mencapai tujuan kegiatan. Oleh karena itu,
pelaksanaan tidak berdiri sendiri tetapi dipengaruhi oleh objek berikutnya (Febrian,
2017). Selain itu, Implementasi merupakan penyediaansarana untuk melaksanakan
sesuatu yang menimbulkan dampak atau akibat terhadap sesuatu. Sesuatu tersebut
dilakukan untuk menimbulkan dampak atau akibat itu dapat berupa undang-undang,
peraturan pemerintah, keputusan peradilan dan kebijakan yang dibuat oleh lembaga-
lembaga pemerintah dalam kehidupan kenegaraan.
(Edward dalam Agustino, 2017) menjelaskan pengertian implementasi kebijakan
adalah sebagai berikut:
Policy implementation as we have seen is the stage of policy making between the
establishment of a policy such as the passage of a legislative act, the issuing of an
executive order, the handing down of a judicial decision, or the promulgation of a
regulatory rule and the consequences of the policy for the people whom it affects”
Dari pengertian diatas menekankan bahwa implementasi kebijakan merupakan
sesuatu yang dilakukan untuk menimbulkan dampak atau akibat dapat berupa Undang-
undang, peraturan pemerintah, keputusan peradilan dan kebijakan yang dibuat lembaga-
lembaga pemerintah dalam kehidupan bernegara dan prinsipnya merupakan cara agar
sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya, dalam mencapai tujuan dan sasaran
Anton Charliyan
1480 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 9, September 2021
program/kebijakan.Semuanya saling bersinergi dalam mencapai tujuan dan satu variabel
akan sangat mempengaruhi variabel yang lain. Dari setiap variable tersebut akan
dijelaskan dibawah ini:
a. Communication (Komunikasi)
Faktor pertama yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan adalah
komunikasi.(Edward III dalam Agustino,2017) menjelaskan:
”The first requirement for effective policy implementation is that those who are
implement a decision must know what they are supposed to do. Policy decisions
and implementation orders must be transmitted to appropriate personal before
they can be followed. Naturally, these communications need to be accurate, and
they must be accurately perceived by implementors. many obstacles lie in the path
of transmission of implementation communications”
Komunikasi sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan dari
implementasi kebijakan publik. Implementasi yang akan terjadi apabila para pembuat
keputusan sudah mengetahui apa yang akan mereka kerjakan. Selain itu, kebijakan yang
dikomunikasikan pun harus tepat, akurat dan konsisten agar para pembuat keputusan
dan para implementor semakin konsisten dalam melaksanakan setiap kebijakan yang
akan diterapkan dalam masyarakat.
b. Resources (Sumber Daya)
Faktor ke-dua yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan adalah
sumber daya. (Edward III dalam Agustino,2017) menjelaskan:
“No matter how clear and consistent implementation orders are and no matter
how accurately they are transmitted, if the personel responsible out policies lack
the resources to do an affective job, implementation will not be effective.
important resources include staff of the proper size and with the necessary
expertise; relevant and adequate information on how to implement policies and
on the compliance of others involved in implementation: the authority to ensure
that policies are carried out as they intended; and facilities (including buildings,
equipment,land and supplies) in which or with which to provide service will mean
that laws will not be provided, and reasonable regulations will not be developed
Konsistensinya ketentuan-ketentuan dan aturan-aturan serta bagaimanapun
akuratnya penyampaian ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan tersebut, jika para
pelaksana kebijakan yang bertanggung jawab untuk melaksanakan kebijakan kurang
mempunyai sumber-sumber daya untuk melaksanakan kebijakan secara efektif maka
implementasi kebijakan tersebut tidak akan efektif. Sumber daya di sini berkaitan
dengan segala sumber yang dapat digunakan untuk mendukung keberhasilan
implementasi kebijakan. Sumber daya ini mencakup sumber daya manusia, anggaran,
fasilitas, informasi dan kewenangan.
c. Dispositions (Disposisi)
Faktor ke-tiga yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan adalah
Disposisi. Dikutip dari (Edward III dalam Agustino,2017) menjelaskan:
Implementasi Kebijakan Pencegahan dan Penanggulangan Human Immunodeficiency
Virus Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV & AIDS) di Kota Tasikmalaya
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 9, September 2021 1481
“The dispositions or attiudes of implementation is the third critical factor in our
approach to the study of public policy implementation. if implementation is to
proceed effectively, not only must implementors know what to do and have the
capability to do it, but they must also desire to carry out a policy. most
implementors can exercise considerable discretion in the implementation of
policies. one of the reasons for this is their independence from their nominal
superiors who formulate the policies. another reason is the complexity of the
policies themselves. the way in which implementors exercise their direction,
however, depends in large part upon their dispositions toward the policies. their
attitudes, in turn, will be influenced by their views toward the policies per se and
by how they see the policies effecting their organizational and personal interests”
Mengenai disposisi atau sikap para pelaksana adalah faktor penting dalam
pendekatan mengenai pelaksanaan (Suharsimi, 2016). Jika pelaksanaan ingin efektif,
maka para pelaksana tidak hanya harus memiliki kemampuan untuk melaksanakannya,
dimana kualitas dari suatu kebijakan dipengaruhi oleh kualitas atau karakter dari para
penyelanggara kebijakan.Sikap dari pelaksana kebijakan akan sangat berpengaruh
dalam implementasi kebijakan. Apabila implementator memiliki sikap yang baik maka
dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh
pembuat kebijakan, sebaliknya apabila sikapnya tidak mendukung maka implementasi
tidak akan terlaksana dengan baik.
d. Bureaucratic Structure (Struktur Birokrasi)
Faktor ke-empat yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan
adalah struktur birokrasi. (Edward III dalam Agustino, 2017) menjelaskan:
“Policy implementors may know what to do and have sufficient desire and
resources to do it, but they may still be hampered in implementation by the
structures of the organizations in which they serve. two prominent characteristics
of bureaucracies are standard operating prosedurs (SOPs) and fragmentation. the
former develop as internal respons to the limited time and resources of
implementors and the desire for uniformity in the operation of complex and widely
dispersed organizations; they often remain in force due to bureaucratic inertia”
Struktur organisasi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi
kebijakan. Aspek struktur organisasi ini melingkupi dua hal yaitu mekanisme dan
struktur birokrasi itu sendiri. Aspek pertama adalah mekanisme, dalam implementasi
kebijakan biasanya sudah dibuat standart operation procedure (SOP). SOP menjadi
pedoman bagi setiap implementator dalam bertindak agar dalam pelaksanaan kebijakan
tidak melenceng dari tujuan dan sasaran kebijakan. Aspek kedua adalah struktur
birokrasi, struktur birokrasi yang terlalu panjang dan terfragmentasi akan cenderung
melemahkan pengawasan dan menyebabkan prosedur birokrasi yang rumit dan
kompleks yang selanjutnya akan menyebabkan aktivitas organisasi menjadi tidak
fleksibel.
Berkaitan dengan pembahasan masalah penelitian tentang implementasi
kebijakan maka terdapat penelitian terdahulu yang di lakukan oleh Yayat (2020)
Anton Charliyan
1482 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 9, September 2021
Implementasi Kebijakan Pengalokasian Dana Desa di Desa Wanasigra Kecamatan
Sindangkasih Kabupaten Ciamis, Berdasarkan hasil observasi penulis ditemukan hal-
hal antara lain Tidak adanya publikasi seperti papan pengumuman atau banner
mengenai pengelolaan atau penggunaan Dana Desa kepada masyarakat di lingkungan
Kantor Desa Wanasigra Kecamatan Sindangkasih Kabupaten Ciamis dan kurangnya
prioritas permodalan dan pengelolaan usaha ekonomi produktif yang dikelola oleh
BUMDesa. Dari permasalahan yang ditemukan selanjutnya penulis memiliki tujuan
untuk mengetahui Bagaimanakah Implementasi Kebijakan Pengalokasian Dana Desa di
Desa Wanasigra Kecamatan Sindangkasih Kabupaten Ciamis.
Teori yang digunakan oleh peneliti adalah Implementasi Kebijakan (Agustino,
2019) yaitu komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi. Dalam penelitian
ini, peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif dengan tujuan untuk memperoleh
informasi mengenai Implementasi Kebijakan Pengalokasian Dana Desa di Desa
Wanasigra Kecamatan Sindangkasih Kabupaten Ciamis secara mendalam dan
komprehensif. Selain itu, dengan pendekatan kualitatif diharapkan dapat diungkapkan
situasi dan permasalahan yang dihadapi dalam kegiatan pelaksanaannya. Teknik
pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, observasi serta studi
dokumentasi. Wawancara dilakukan terhadap informan yaitu Kepala Desa, Sekretaris
Desa, Bendahara Desa, Kaur Keuangan, Ketua LPM dan masyarakat.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat diperoleh kesimpulan bahwa
Implementasi Kebijakan Pengalokasian Dana Desa di Desa Wanasigra Kecamatan
Sindangkasih Kabupaten Ciamis sudah dilaksanakan berdasarkan pada faktor-faktor
kebijakan tetapi belum dilaksanakan dengan optimal. Dari empat faktor kebijakan yang
dilaksanakan ternyata ada faktor kebijakan yang belum dilaksanakan yaitu faktor
komunikasi, sedangkan tiga faktor lainnya yaitu sumber daya, disposisi dan struktur
birokrasi sudah dilaksanakan dengan baik. Kesamaan penelitian terdahulu dengan
penulis adalah terletak pada, variabel tentang kebijakan, metode dan teori.
Perbedaan penelitian dengan penulis sebagai novelty atau kebaharuan penelitian
yaitu pada Fokus dan lokus yang berbeda, masalah dan tema yang berbeda kemudian
pada rumusan masalah, tujuan penelitian, hasil yang berbeda, serta kesimpulan dan
rekomendasi yang berbeda.
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana
implementasi kebijakan pencegahan dan penanggulangan Human Immunodeficiency
Virus Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV & AIDS) di Kota Tasikmalaya.
Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan suatu cara untuk memecahkan suatu
permasalahan. Metode penelitian diperlukan agar diharapkan tujuan dan kegunaan
penelitian dapat dicapai dan dalam melakukan penelitian, metode yang digunakan harus
tepat sehingga dapat memperoleh hasil yang baik (Sugiyono, 2012). “Metode penelitian
merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu.
Cara ilmiah berarti kegiatan penelitian didasarkan pada ciri-ciri keilmuan, seperti
Implementasi Kebijakan Pencegahan dan Penanggulangan Human Immunodeficiency
Virus Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV & AIDS) di Kota Tasikmalaya
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 9, September 2021 1483
rasional, empiris, dan sistematis. Rasional merupakan kegiatan penelitian dilakukan
dengan cara-cara yang masuk akal sehingga terjangkau oleh penalaran manusia.
Empiris merupakan cara yang dilakukan dan dapat diamati oleh indera manusia
sehingga orang lain dapat mengetahui dan mengamati cara-cara yang digunakan.
Sistematis artinya, proses yang digunakan dalam penelitian itu menggunakan langkah-
langkah tertentu yang bersifat logis”
Teknik Pengumpulan Data, Untuk mendapatkan data dan informasi yang
digunakan untuk mengetahui permasalahan yang ada diperlukan sejumlah data baik
data primer maupun data sekunder. Adapun teknik yang digunakan untuk pengumpulan
data dan informasi adalah 1). Pengamatan (Observation) 2). Wawancara 3).
Dokumentasi 4). Triangulasi, analisis data dengan menggunakan, Reduksi data, display
data, dan verifikasi dan penarikan kesimpulan.
(Moleong, 2012). Menyampaikan bahwa informan adalah orang yang
dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian.
Untuk menentukan informan dalam penelitian ini, (Sugiyono, 2016) penentuan sumber
data pada orang yang diwawancarai dilakukan secara purposive, yaitu dipilih dengan
pertimbangan dan tujuan tertentu. Misalnya orang tersebut dianggap paling tahu
tentang apa yang kita teliti.
Adapun informan dalam penelitian adalah: Pengelola Program KPA Kota
Tasikmlaya, Anggota KPA Kota Tasikmalaya, LSM yang bergerak di bidang
pencegahan dan penanggulangan HIV & AIDS, Perwakilan Dinkes Kota Tasikmalaya,
Penderita ODHA.
Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti maka denagn ini
peneliti sajikan pembahasan mengenai implementasi kebijakan pencegahan dan
penanggulangan HIV & AIDS di Kota Tasikmalaya secara gamblang dengan
menyajikan pembahasan berdasarkan dimensi dan parameter yang sudah di tentukan
oleh peneliti sebagaimana yang di sampaikan oleh informan kepada peneliti berikut
pembahasannya:
1. Komunikasi
Perda Kota Tasikmalaya No. 2 Tahun 2008 Tentang Pencegahan dan
Penanggulangan Human Immunodeficiency Virus-Acquired Immune Deficiency
Syndrome (HIV & AIDS) ini belum tersosialisasi dengan baik karena masing-masing
pihak merasa mempunyai tugasnya sendiri, dan Dinas Kesehatan maupun KPA belum
mensosialisasikan upaya pencegahan dan penanggulangan HIV & AIDS secara
menyeluruh dan belum mampu melaksanakannya dengan baik. Karena mereka tidak
tahu dengan adanya Perda ini, mereka bahkan cenderung tidak ingin berurusan dengan
hal-hal terkait HIV & AIDS. Padahal KPA sudah mengupayakan di setiap wilayah ada
komunitas warga peduli aids.
2. Sumber daya
Anton Charliyan
1484 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 9, September 2021
Bila melihat dari program yang ada, sumber daya manusia yang ada pada tubuh
KPA itu belumlah cukup, namun disiasati dengan bermitra dan berjejaring dengan
instansi dan institusi terkait atau LSM dan ORMAS yang ada di Kota Tasikmalaya.
Selain itu KPA mendorong di masyarakat ada warga peduli aids (WPA), sehingga WPA
itu bisa ikut berkontribusi dalam penanganan HIV & AIDS. Namun memang jumlah
orang yang ada di kelompok kerja itu tidak sebanding dengan tugas yang yang harus
dilakukan, karena pada dasarnya tetap harus KPA sendiri yang turun tangan ke
masyarakat atau penderita ODHA. Kemudian dana yang dibutuhkan untuk upaya
pencegahan dan penanggulangan HIV & AIDS ini sebenarnya cukup besar. Misal untuk
kelompok khusus ibu hamil, jumlah ibu hamil di Kota Tasikmalaya ini sekitar 13.000
orang, belum yang siap dihamili. Untuk dapat melakukan tes HIV & AIDS itu harus ada
dana yang besar serta fasilitas yang memadai.
3. Struktur Birokrasi
Pengimplementasian Perda Kota Tasikmalaya No. 2 Tahun 2008 Tentang
Pencegahan dan Penanggulangan Human Immunodeficiency Virus-Acquired Immune
Deficiency Syndrome (HIV & AIDS). KPA adalah sebagai lembaga koordinatif.
Dimana KPA adalah koordinator dan fasilitator setiap kegiatan pencegahan dan
penanggulangan HIV & AIDS. Berdasarkan Perda Kota Tasikmalaya No. 2 Tahun 2008
Tentang Pencegahan dan Penanggulangan Human Immunodeficiency Virus-Acquired
Immune Deficiency Syndrome (HIV & AIDS) Pasal 30 menyatakan bahwa dalam
melaksanakan tugasnya KPA bertanggung jawab kepada walikota. Anggota KPA terdiri
dari unsur-unsur instansi vertikal, SKPD, LSM, ODHA dan perwakilan pecandu serta
unsur lainnya sesuai kebutuhan dan ketentuan perundang-undangan. Saat ini KPA
mendampingi penderita dalam pengambilan obat. Dinas Sosial dalam pemberdayaan
ODHA dan Dinas Kesehatan dalam pelayanan HIV & AIDS walaupun belum
sepenuhnya rencana atau program kerja yang ada dijalankan serta belum adanya upaya
rehabilitasi yang menyeluruh dari pemerintah untuk ODHA agar mampu bergaul
kembali di masyarakat. Selain itu hambatannya memang dari penderita sendiri dimana
penderita masih tertutup dan enggan di blow up sehingga menyulitkan KPA, Dinas
Kesehatan maupun LSM sendiri untuk memberi pelayanan dan pengobatan pada
mereka. Disini terlihat sebenarnya struktur birokrasi dalam upaya pencegahan dan
penanggulangan HIV & AIDS di Kota Tasikmalaya sudah cukup baik, hanya tinggal
memaksimalkan kinerja masing-masing aktor dan kesadaran akan tanggung jawabnya
tersebut.
4. Disposisi
Pengimplementasian Perda Kota Tasikmalaya No. 2 Tahun 2008 Tentang
Pencegahan dan Penanggulangan Human Immunodeficiency Virus-Acquired Immune
Deficiency Syndrome (HIV & AIDS) ini baik KPA, Dinas Kesehatan maupun
Puskesmas Kecamatan Cihideung sudah menjalankan tugasnya dengan cukup baik
meskipun belum optimal. KPA dengan sifatnya yang netral, adalah sebagai pendorong
dinas-dinas untuk upaya pencegahan dan penanggulangan HIV & AIDS di Kota
Implementasi Kebijakan Pencegahan dan Penanggulangan Human Immunodeficiency
Virus Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV & AIDS) di Kota Tasikmalaya
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 9, September 2021 1485
Tasikmalaya. KPA dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV & AIDS
mempunyai tugas mengkoordinasi semua kegiatan yang ada di Kota Tasikmalaya
sekecil apapun. Sehingga semua kegiatan terkait upaya pencegahan dan
penanggulangan HIV & AIDS yang dilakukan oleh OPD ataupun LSM harus tercatat di
KPA. Tetapi Disini terlihat bahwa sikap para pelaksana atau implementor kebijakan ini
masih terhambat oleh kesadaran dan aturan akan tugas dan fungsi masing-masing pihak
dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV & AIDS di Kota Tasikmalaya ini.
Berkaitan dengan hasilpenelitian ini maka terdapat perbedaan yang sangat jauh
dengan penelitian terdahulu walaupun sama- sama membahas tentang implementasi
kebijakan tetapi berbeda dalam masalah fokus dan lokus penelitian berdasarkan hasil
pengkajian, tetapi relevan dengan pengkajian ini.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai Implementasi
Kebijakan Tentang Pencegahan dan Penanggulangan Human Immunodeficiency Virus-
Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV & AIDS) dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut:
1. Pemerintah Kota Tasikmalaya telah dijalankan dengan baik, dengan dukungan
kondisi lingkungan yang kondusif, komitmen yang tinggi baik eksekutif,
legislatif, dan masyarakat yang dibuktikan dengan ditetapkannya kebijakan
dalam bentuk Peraturan Daerah Kota Tasikmalaya No. 2 Tahun 2008 Tentang
Pencegahan dan Penanggulangan Human Immunodeficiency Virus-Acquired
Immune Deficiency Syndrome (HIV & AIDS. Untuk mengimplementasikan
Perda ini dilakukan upaya kerjasama antara KPA dengan Dinas Kesehatan Kota
Tasikmalaya juga LSM peduli HIV & AIDS. Namun Perda belum tersosialisasi
dengan baik karena masing-masing pihak merasa mempunyai tugasnya sendiri,
dan instansi yang diberikan mandat baik dari Dinas Kesehatan maupun KPA
untuk mensosialisasikan. Upaya pencegahan dan penanggulangan HIV & AIDS
belum mampu melaksanakannya.
2. Sumber daya manusia serta anggaran yang ada masih jauh dari cukup untuk
mengimplementasikan Perda ini. Perlu kesiapan dan kesadaran tugas masing-
masing pihak terkait untuk memaksimalkan anggaran yang ada untuk upaya
pencegahan dan penanggulangan HIV & AIDS di Kota Tasikmalaya.
3. Struktur birokrasi dalam upaya pencegahan dan penanggulangan HIV & AIDS
di kota Tasikmalaya sudah cukup baik, hanya tinggal memaksimalkan kinerja
masing-masing aktor dan kesadaran akan tanggung jawabnya tersebut.
4. Sikap para pelaksana atau implementor kebijakan ini masih terhambat oleh
kesadaran dan aturan akan tugas dan fungsi masing-masing pihak dalam upaya
pencegahan dan penanggulangan HIV & AIDS di Kota Tasikmalaya ini. Hal ini
disebakan belum adanya Peraturan yang spesifik menggambarkan tugas masing-
masing aktor.
Anton Charliyan
1486 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 9, September 2021
Bibliografi
Agustino, Leo. (2019). Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta Bandung.
EDWARD III, George C. (1980). Implementing public policy. Congressional Quarterly
Press.
Febrian, Yasser. (2017). IMPLEMENTASI PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN
NOMOR 06 TAHUN 2007 TENTANG PENCEGAHAN DAN
PENANGGULANGAN HIV/AIDS DI KOTA TARAKAN.
Meluwu, Daniel Silinggawe. (2016). Implementasi Kebijakan Pemerintah Daerah
Dalam Penanggulangan Penyakit HIV/AIDS Di Kota Palu. Katalogis, 1(1).
Moleong, Lexy J. (2012). Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung. Pariwisata
Pedesaan Sebagai Alternatif Pembangunan Berkelanjutan (Laporan Penelitian
Hibah Bersaing Perguruan Tinggi) Yogyakarta.
Sagala, Afriani Hanna, Suwitri, Sri, & Santoso, Slamet. (2013). Implementasi Kebijakan
Penanggulangan HIV dan AIDS di Jawa Tengah (Kajian Peraturan Daerah
Provinsi Jawa Tengah Nomor 5 Tahun 2009). Diponegoro University.
https://doi.org/10.14710/jppmr.v2i4.3590
Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R &
D.Bandung:Alfabeta. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif Dan R &
D.Bandung:Alfabeta. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Sugiyono. (2016). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D (PT Alfabet).
Bandung.
Suharsimi, Arikunto. (2010). Prosedur penelitian: suatu pendekatan praktik (edisi
revisi). Jakarta: Rineka Cipta, 1.
Wahyuningsih, Siti, Novianto, Widodo T., & Purwadi, Hari. (2017). Implementasi
Kebijakan Pencegahan dan Penanggulangan Human Immunodeficiency/Aquired
Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) di Kota Surakarta. Jurnal Hukum Dan
Pembangunan Ekonomi, 5(2). https://doi.org/10.20961/hpe.v5i2.18298
Deklarasi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tertanggal
10 November (1948). setiap orang berhak atas taraf kehidupan yang memadai
untuk kesehatan.
Implementasi Kebijakan Pencegahan dan Penanggulangan Human Immunodeficiency
Virus Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV & AIDS) di Kota Tasikmalaya
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 9, September 2021 1487
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun (1945).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun (2009) tentang Kesehatan
Keputusan Presiden No. 36 Tahun (1994) tentang Komisi Penanggulangan AIDS
Peraturan Presiden No. 75 Tahun (2006) tentang Komisi Penanggulangan AIDS
Nasional
Perda Kota Tasikmalaya No. 2 Tahun (2008) Tentang Pencegahan dan
Penanggulangan Human Immunodeficiency Virus-Acquired Immune Deficiency
Syndrome (HIV & AIDS).
Agustino, Leo (2017) Dasar Dasar Kebijakan Publik, Alfabeta: Bandung