Sistem Pelaporan Gratifikasi Dalam Pencegahan Tindak Pidana Korupsi Dikaitkan Dengan
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 8, Agustus 2021 1369
Sesungguhnya kondisi yang mendukung upaya untuk mencari solusi yang tuntas
terhadap masalah besar ini telah tersedia, yaitu tingkat kritis masyarakat yang tidak lagi
tabu untuk membuka borok penyelewengan atau KKN. Transparansi semakkin menjadi
tuntutan yang tidak bisa ditawar, masyarakat semakin tergugah untuk menuntut
keadilan, kebenaan dan pemerintahan yang bersih. Masyarakat semakin memiliki
keberanian untuk mengungkapkan masalah-masalah yang semula hanya menjadi bahan
gunjingan (Setiawan, 2016).
Namun demikian, dalam keadaan masih lemahnya moralitas, tradisi atau budsya
disiplin, dan patuh hukum dari penyelenggara negara termasuk penegak hukumnya dan
masyarakat, dan selama hukum kita belum dapat benar-benar melindungi semua orang
secara adil, selama hukum masih bisa dibelokkan untuk kepentingan yang berkuasa atau
kelompok atau yang mampu dan bersedia membayar, maka revormasi birokrasi akan
berjalan timpang dan sulit mewujudkan good governance yang dicita-citakan.
Setelah diuraikan kelemahan-kelemahan secara kultural dan struktural dalam
penegakkan hukum pidana dalam memberantas tindak pidana gratifikasi, masih terdapat
kelemahan lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu masalah belum adanya peraturan
pelaksana yang dapat dijadikan acuan KPK dalam menangani tindak pidana grtifikasi.
Msalahnya, perturan perundang-undangan yang mengatur gratifikasi tersebut tidak
dapat diterapkan begitu saja tanpa adanya petunjuk pelaksanaan (juklak) untuk
ditindaklanjuti proses hukum secara lebih konkret, dan hal ini merupakan kelemahan
pihak pemerintah yang harus segera diatasi agar madalahnya tidak berlarut-larut.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang KPK jo Undang-undang Nomor
20 Tahun 2001 tentang Pemberantsan Tindak Pidana Korupsi, sulit bila diretapkan pada
kondisi sekarang, sepanjang tidak ada peraturan pelaksana lain, khususnya dalam
pembrantas tindak pidana gratifiksi (suap) . Pemerintah perlu menentapkan aturan aspek
teknis yng jelas dalam jalur penanganan tindak pidana gratifikasi. Aspek teknis itu
berkaitan dengan apakah pegawai negeri sipil atau penyelenggara negara boleh
menerima komisi dari masysrakat. Kebijakan pemerintah diharapkan bersifat tegas,
konsisten, tanpa adanya keberpihkan pada kepentingan apa pun.
3. Efektifitas Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Menangani Pelaporan dari
Masyarakat tentang Tindak Pidana Gratifikasi
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk untuk mengatasi kemacetan
hukum dalam kasus korupsi. Jaksa dan Polisi dianggap tidak efektif dalam
menyelesaikan kasus korupsi, demikian juga lembaga-lembaga yang pernah dibentuk
sebelumnya. Karena itu, KPK dilengkapi dengan kewenangan luar biasa. Sejumlah
kewenangan besar yang diberikan kepada KPK juga didasarkan klarifikasi korupsi
sebagai tindak kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime). Oleh sebab itu, untuk
menangani kasus korupsi diperlukan lembaga yang luar biasa pula.
Pertama, KPK memiliki kewenangan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan
dalam kasus korupsi. Berbeda dengan komisi-komisi anti korupsi yang pernah dibentuk
sebelumnya, KPK memiliki kewenangan seperti jaksa dalam kasus korupsi.