1356
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi: pISSN: 2723 - 6609
e-ISSN : 2745-5254
Vol. 2, No. 8 Agustus 2021
SISTEM PELAPORAN GRATIFIKASI DALAM PENCEGAHAN TINDAK
PIDANA KORUPSI DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG TINDAK
PIDANA KORUPSI
Ingka Harsani Nasution
Fakultas Hukum, Universitas 17 Agustus 1945 Cirebon
Email: Ingkaharsaniuntag@gmailcom
Abstrak
Kerangka Hukum delik gratifikasi dirumuskan dalam pasal 12B Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Rumusan gratifikasi tersebut memiliki
tujuan yang jelas, bersifat memaksa serta dalam kerangka pemberantasan tindak
pidana korupsi, namun dengan delik, gratifikasi masih patut dipertanyakan, karena
seolah-olah sifat melawan hukum dari perbuatan si penerima gratifikasi tergantung
pada ada atau tidaknya laporan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang
sangat subyektif sifatnya. Berdasarkan permasalahan tersebut di atas maka
identifikasi permasalahan yang akan penulis bahas adalah: bagaimanakah efektifitas
KPK dalam menangani pelaporan dari masyarakat tentang tindak pidana korupsi?.
Bagaimanakah kelemahan-kelemahan perangkat hukum pidana dalam usaha
memberantas tindak pidana korupsi, khususnya yg berkaitan dengan gratifikasi atau
suap? dari permasalahan di atas tersebut maka tujuan dari penelitian ini adalah
untuk menganalisis perangkat hukum pidana melakukan penegakan hukum pidana
dalam memberantas tindak pidana korupsi, khususnya yang berkaitan dengan
gratifikasi atau suap. Untuk menganalisis laporan dari masyarakat tindak pidana
gratifikasi. penulisan skripsi ini bersikap deskriptif analisis, guna memperoleh
gambaran yang menyeluruh dan sistematis mengenai norma-norma hukum serta
asas-asas hukum yang berlaku, dengan pendekatan yang yuridis normatif, yaitu
menitik beratkan pada studi dokumen dalam penelitian kepustakaan untuk
mempelajari data skunder yang terkumpul berupa bahan-banhan hukum yang
berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Hasil dari penelitian yang dapat
penulis simpulkan adalah pada dasarnya kelemahan-kelemahan perangkat hukum
pidana dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, khususnya gratifikasi
menyangkut 2 faktor, yaitu: Faktor Kultural dan Faktor Struktural. Efektifitas
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam sistem pelaporan gratifikasi dianggap
belum maksimal. Selama ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lebih bersifat
menunggu laporan gratifikasi dari pejabat terkait. Pilihan menunggu laporan
memang tidak menyalahi hukum. Bahkan memang salah satu fungsi Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah melakukan kajian dan memberikan
rekomendasi perubahan sistem administrasi di instansi pemerintah. Apalagi setiap
departemen sudah memiliki program good governance sehongga upaya preventif
dan perbaikan sistem sebetulnya sudah berjalan.
Kata kunci: pelaporan gratifikasi; pidana; korupsi.
Sistem Pelaporan Gratifikasi Dalam Pencegahan Tindak Pidana Korupsi Dikaitkan Dengan
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 8, Agustus 2021 1357
Abstract
The legal framework for gratification offenses is formulated in Article 12B of the
Corruption Eradication Act. The formulation of gratification has a clear purpose,
is coercive and is within the framework of eradicating corruption, but with offense,
gratification is still questionable, because it seems as if the unlawful nature of the
act of the recipient of gratification depends on whether or not there is a report to
the Corruption Eradication Commission (KPK). KPK) which is very subjective in
nature. Based on the problems mentioned above, the identification of the problems
that will be discussed by the author is: how is the effectiveness of the KPK in
handling reports from the public about criminal acts of corruption?. What are the
weaknesses of criminal law instruments in an effort to eradicate corruption,
especially those related to gratification or bribery? From the above problems, the
purpose of this study is to analyze the criminal law tools to enforce criminal law in
eradicating corruption, especially those related to gratification or bribery. To
analyze reports from the public on criminal acts of gratification. The writing of this
thesis is descriptive analysis, in order to obtain a comprehensive and systematic
picture of legal norms and applicable legal principles, with a normative juridical
approach, which focuses on document studies in library research to study
secondary data collected in the form of materials. - Legal materials related to the
problem under study. The results of the research that the authors can conclude are
basically the weaknesses of the criminal law in eradicating corruption, especially
gratification concerning 2 factors, namely: Cultural Factors and Structural
Factors. The effectiveness of the Corruption Eradication Commission (KPK) in the
gratification reporting system is considered not optimal. So far, the Corruption
Eradication Commission (KPK) has been waiting for gratification reports from
related officials. The option to wait for a report is not against the law. Indeed, one
of the functions of the Corruption Eradication Commission (KPK) is to conduct
studies and provide recommendations for changes to the administrative system in
government agencies. Moreover, each department already has a good governance
program so that preventive and system improvement efforts have actually been
running.
Keywords: gratification reporting; criminal; corruption.
Pendahuluan
Pelarangan atas segala bentuk pemberian hadiah atau gratifikasi dari upaya
pemberantasan korupsi, gratifikasi menjadi perhatian khusus, karena merupakan
ketentuan yang baru dalam perundang-undangan dan perlu sosialisasi yang lebih
optimal. Saat ini, gratifikasi sudah menjadi delik pidana korupsi (Hamzah, 1984).
Pengaturan gratifikasi yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, pemberian-pemberian sulit dibuktikan
sebagai suap serta statusnya diragukan. Penilaiannya diserahkan kepada moralitas dan
kepatutan. Dengan berlakunya dilarang secara tegas. Si pelanggar yang semula hanya
dikenakan sanksi moral, kini diancam pidana yang cukup berat (Siregar, 2017).
Gratifikasi dirumuskan karena benteng moral ternyata tidak sepenuhnya mampu
Ingka Harsani Nasution
1358 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 8, Agustus 2021
menjadi pencegahan praktik suap dikalangan pegawai negeri atau penyelenggara
negara, malahan bentuk dan cara suap ini terus berkembang (Hussein, 2012).
Dalam Pasal 12 C Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
dinyatakan bahwa: (1) Gratifikasi tidak dianggap sebagai suap jika si penerima
Gratifikasi melaporkan gratifikasi yang doterimanya kepada KPK, (2) Si penerima
gratifikasi melaporkan ke KPK paling lambat 30 (tiga puluh) dari terhitung sejak
gratifikasi diterima, (3) KPK dalam waktu 30 hari menentukan status gratifikasi dapat
menjadi milik penerima atau milik negara. Gratifikasi menjadi milik negara, jika
gratifikasi tersebut diduga sebagai suap. Secara a contrario gratifikasi menjadi milik
penerima jika tidak terkait dengan penyuapan.
Bahaya gratifikasi tidak berhenti sampai batas pemberian tersebut. Gratifikasi
sering merupakan embrio atau bibit dari suatu penyalahgunaan kewenangan. Akhir'y,
dapat merugikan keuangan negara dengan nilai kerugian yang berlipat ganda dari nilai
gratifikasi itu sendiri.
Oleh karena itu tidak hanya bertentangan dengan moral tetapi juga bertentangan
dengan hukum. Masyarakat mempunyai alasan untuk membantu penegakan hukum
melalui cara-cara yang bertanggungjawab, sehingga keraguan terhadap tingkat
perbedaan sosial ekonomi yang ada dikalangan aparat dapat terungkap secara transparan
(Subandriyo, 2008).
Seperto diketahui bahwa tindak pidana suap merupakan kejahatan yang
berpasangan sehingga penertiban pegawai negeri atau penyelenggara negara penerima
gratifikasi pun sulit dilakukan. Penegakan hukum yang terkait dengan gratifikasi
diharapkan dengan para pemberi gratifikasi selalu memanfaatkan setiap kesempatan
dengan jalan mudah dan pintas melalui sarana gratifikasi atau suap (Marpaung, 2009).
Sampai bulan juli 2010 KPK baru menerima 43 laporan penerimaan gratifikasi
dari penyelenggara negara. Angka ini tentu sangat kecil. Belum jelas apakah angka ini
sudah termasuk yang dilaporkan dari pegawai dari pwgawai negeri diluar penyelenggara
negara. Hali ini, KPK seharusnya mengubah sikap, dari yang cenderung menunggu
laporan dan mengembangkan setiap laporangratifikasi yang masuk, juga secara tegas
dan terbuka menindak kasus gratifikasi yang masuk, juga secara tegas dan terbuka
menindak kasus gratifikasi ke pengadilan (Hussein, 2012).
Selanjutnya menurut pasal 12 C ayat (1) Undang-Undang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi dinyatakan bahwa, apabila penerima gratifikasi melaporkan gratifikasi
yang diterima kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), maka gratifikasi itu tidak
dianggap sebagai pemberian suap, berarti pelakunya tidak dapat dipidana. Perumusan
Pasal 12 C ayat (1) ini terkesan sebagai alasan penghapusan pidana, sehingga secara
substansial hal ini dirasakan janggal, karena seolah-olah sifat melawan hukum dari
perbuatan si penerima gratifikasi tergantung pada adanya atau tidaknya laporan.
Selain itu, kejanggalan pengaturan tentang tindak pidana gratifikasi adalah
dalam sistem pelaporan. Laporan gratifikasi bersifat administrasi dan procedural lebih
lanjut harus disampaikan Komisi Pemberantasan Korupsi (Pasal 16 dan 17 Undang-
Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001).
Sistem Pelaporan Gratifikasi Dalam Pencegahan Tindak Pidana Korupsi Dikaitkan Dengan
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 8, Agustus 2021 1359
Persyaratan administrasi prosedural untuk tidak dipidananya tindak pidana
korupsi ini dirasakan janggal, sekiranya korupsi dipandang sebagai perbuatan,
karenanya pada hakikatnya sangat tercela dalam pengaturannya dengan menerapkan
sistem pelaporan.
Berdasarkan apa yang telah di paparkan pada latar belakang penelitian ini maka
yang menjadi tujuan penelitian ini adalah;1) Untuk mengetahui mekanisme format dan
tata cara pelaporan gratifikasi yang diberlakukan oleh komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK); 2) Untuk mengetahui kelemahan-kelemahan perangkat hukum pidana dalam
usaha memberantas tindak pidana korupsi, khususnya yang berkaitam dengan gratifikasi
atau suap; 3) Untuk mengetahui efektifitas KPK dalam menangani pelaporan dari
masyarakat tentang tindak pidana korupsi.
Metode Penelitian
Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan
analisis kualitatif, karena penelitian ini menitik beratkan kepada penelitian kepustakaan
sebagai data sekunder, yaitu bahan-bahan kepustakaan dibidang hukum, baik berupa
peraturan-peraturan hukum nasional maupun hukum internasional, tertulis maupun tidak
tertulis, serta referensi-referensi lainnya yang berupa bahan-bahan kepustakaan
penjunjang lainnya seperti: buku-buku, artikel-artikel, berita media masa, sumber-
sumber dari internet, dan lain-lain sumber kepustakaan yang berkaitan dengan obyek
penelitian. Data primer sebagai penunjang untuk menganalisa permasalahan diperoleh
dari penelitian lapangan.
Teknik Pengumpulan Data
1) Bahan-bahan hukum primer yang terdiri dari peraturan perundang-undangan yang
berlaku seperti:
a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
b. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
c. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi
d. Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi(KPK)
e. Peraturan perundang-undangan lain, baik nasional maupun internasional, yang
berkaitan dengan tindak pidana korupsi.
2) Bahan-bahan hukum sekunder yaitu, bahan-bahan yang memberikan penjelasan
terhadap bahan-bahan hukum primer yang berupa buku-buku yang tertulis para
ahli.
Analisa Data
Data yang terhimpun dengan cara seperti diuraikan di atas kemudian diolah.
Caranya data diseleksi, diklasifikasikan, secara sistematis, losgis dan yuridis. targetnya
untuk mendapatkan gambaran umum, dan spesifik mengenai obyek penelitian.
Ingka Harsani Nasution
1360 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 8, Agustus 2021
Hasil dan Pembahasan
Pemahaman Masyarakat Terhadap Gratifikasi
Masyarakat Indonesia dalam kurun waktu belakangan ini, baik dalam berbagai
kesempatan lainnya, seringkali melontarkan berbagai macam bentuk ungkapan-
ungkapan yang bernuansa kekecewaan berhadapan langsung dengan aparat atau pejabat
publik yang berkesan pelayanan yang diberikan oleh aparat atau pejabat publik bertele-
tele dan lama.
Berikut ini pernyataan dari anggota masyarakat mengenai gratifikasi atau suap:
"Ketika harus mengurus sesuatu, seperti KTP atau surat-surat lainnya, saya
selalu memberikan "tip" kepada petugas agar proses dapat berjalan cepat dan
tidak berbelit-belit. Kadang saya memberi 'uang lebih' dari biaya yang
sebenarnya, karena saya berharap urusan saya dapat di dahulukan oleh para
petugas yang ada" (Suparman, 05 Maret 2018).
Perlu diakui bahwa gratifikasi atau suap yang sering terjadi dilembaga
pemerintahan terjadi bukan hanya kesalahan aparat atau pejabat publik saja, tetapi
didukung pula oleh persepsi masyarakat atau perbuatan gratifikasi itu sendiri. Pada
umumnya bagi masyarakat perbuatan pemberian 'uang pelicin' merupakan hal yang
sudah lazim, dengan harapan segala urusan dan kepentingannya dapat diutamakan oleh
aparat atau pejabat yang bersangkutan. Masyarakat tidak keberatan memberikan 'uang
lebih' kepada aparat atau pejabat yang mengurusi kepentingannya, asalkan segala urusan
dan kepentingannya dapat selesai dalam jangka waktu yang relatif singkat.
Fenomena tersebut di atas, didukung oleh hasil wawancara sebagai berikut:
"Kami pada dasarnya tidak keberatan dengan memberikan 'uang lebih' kepada
mereka (aparat atau pejabat), asalkan segala urusan kami lancar dan kami tidak
dipersulit. Di sini sudah lumrah kalau kami memberikan 'uang jasa' kepada
mereka (aparat atau pejabat), yang terpenting bagi kami adalah pengurusan
urusan-urusan kami dapat diselesaikan dengan cepat" (Agung Ismail, 05 Maret
2018).
Berdasarkan hasil wawancara tersebut di atas, dapat di tarik kesimpulan bahwa
masyarakat belum menyadari bahwa suap yang dilakukannya itu merupakan suatu
tindakan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Kondisi Tindak Pidana Gratifikasi di Indonesia
Dalam Perspektif hukum pidana, pemberian kepada pejabat negara atau PNS,
termasuk aparat penegak hukum, yang dilakukan dengan cara melalaikan tugas dan
kewajibannya dikualifikasikan sebagai tindak pidana suap-menyuap. Suap-menyuap
tidak harus berupa pemberian dalam bentuk uang atau barang, tetapi juga dapat berupa
janji atau menyediakan kesenangan kepada pejabat tersebut. Misalnya, menyediakan
fasilitas untuk berpelesiran kepada pejabat dan keluarganya yang telah memberikan
Sistem Pelaporan Gratifikasi Dalam Pencegahan Tindak Pidana Korupsi Dikaitkan Dengan
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 8, Agustus 2021 1361
kemudahan. Bahkan fasilitas hotel kepada pejabat agar sesuatu urusan berjalan lancar,
juga merupakan suap-menyuap.
Sangat jarang bahkan hampir tidak pernah para pejabat penyelenggara negara
atau pegawai negeri sipil di Indonesia yang melaporkan perbuatan gratifikasi kepada
Komisi Pemberantasan Korupsi. Berdasarkan tulisan Harian Umum Kompas. sepanjang
tahun 2017, hanya beberapa orang dari 40.595 penyelenggara negara, dari kalangan
eksekutif, legislatif, yudikatif, maupun BUMN/BUMD, yang melaporkan gratifikasi
atas kekayaan mereka kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (Kompas, 09 Oktober
2017).
Untuk menghadapi penyakit sosial masyarakat, dalam bentuk suap tiada lain
dengan menegakkan dan mengembalikan moralitas bangsa sebagai dasar motifasi,
inspirasi dan pedoman dalam langkah kehidupan dan perilaku keseharian masyarakat.
Moralitas bangsa harus diaktualisasikan untuk mencuci moral dan mental korup yang
selama ini menghinggapi bangsa Indonesia. Sanksi hukum rasanya sudah tidak lagi
mampu menghapuskan budaya korup dan tradisi suap, karena perilaku suap rasanya
telah membudayakan dan menjadi semacam lingkaran setan yang melilit kehidupan
masyarakat. Sehingga selalu mengalami kesulitan darimana harus memulai dan sampai
dimana harus diakhiri pemberantasan perilaku suap dan korupsi itu.
Sistem Pelaporan Gratifikasi Kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Landasan hukum sistem pelaporan gratifikasi adalah:
1. Pasal 5 ayat (1) dan pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor :
XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas
Korupsi, Solusi, dan Nepotisme;
3. Undang-Undang Nomor: 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan yang Beraih
dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme;
4. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor
20 tahun 2001 Pasal C ayat (2) dan Undang-undang Nomor30 tahun 2002 Pasal 16,
setiap pegawai negeri atau Penyelenggara negara yang menerima gratifikasi wajib
melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dengan cara sebagai
berikut:
1) Penerima gratifikasi wajib melaporkan dokumen penerimaannya selambat-
lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja kepada KPK, terhitung sejak tanggal gratifikasi
tersebut diterima.
2) Laporan disampaikan secara tertulis dengan mengisi formulir sebagaimana
ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan melampirkan dokumen
yang berkaitan dengan gratifikasi.
3) Formulir sebagaimana dimaksud dalam huruf b, sekurang-kurangnya memuat:
a. Nama dan alamat lengkap penerima dan pemberi gratifikasi;
Ingka Harsani Nasution
1362 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 8, Agustus 2021
b. Jabatan pegawai Negeri atau Penyelenggaraan Negara;
c. Tempat dan waktu penerimaah gratifikasi;
d. Uraian jenis gratifikasi yang diterima; dan
e. Nilai gratifikasi yang diterima.
Formulir pelaporan gratifikasi dapat diperoleh dikantor Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) atau dapat pula diunduh (download) dari website KPK www.kpk.go.id
pada halaman khusus mengenai pelaporan gratifikasi.
Sistem pelaporan gratifikasi yang berlaku sekarang ini belum bisa menjaring
perbuatan gratifikasi berskala besar. Para pejabat yang melapor atas perbuatan
gratifikasi pada umumnya bernilai nominal sekotar 5 sampai dengan 50 juta. Di atas
angka itu KPK tidak pernah menerima laporan adanya perbuatan suap. Hal ini
menunjukkan bahwa sistem pelaporan gratifikasi yang ada masih pasif. KPK masih
cenderjng menunggu belum berusaha mencari dan mengungkapkan adanya tindak
pidana penyuapan ini.
Dalam angka pemberdayaan masyarakat dalam menanggulangi gratifikasi adalah
pemerinyah harus mengurangi hambatan dan kendala-kendala bagi aktivitas dan
partisipasi masyarakat, perluasan akses informasi untuk menunjang berbagai laporan
dari masyarakat.
Selama ini pemerintah selalu menyelesaikan masalah gratifikasi melalui proses
administrasi dan hal ini dianggap kurang baik dalam penanggulangan gratifikasi
khsusnya dan tindak pidana korupsi pada umumnya.
Secara teoritik Penyelesaian melalui administratif ini tidak menguntungkan, sebab
dalam kasus-kasus yang serius sebenarnya pertimbangan pemidanaan justru penting
yakni untuk tujuan /moral and deternt effect/. Bagaimana mungkin kasus-kasus yang
serius dan menimbulkan korban hanya diselesaikan secara administratif.
Oleh karenanya penggunaan hukum pidana sangat dibutuhkan dalam rangka
penegakkan hukum ekonomi.
Permasalahan yang dihadapi dalam bentuk kejahatan gratifikasi sedikitnya ada dua,
yaitu:
1. Sukarnya menemukan korban dengan jelas, adanya abstract Victims dan collective
victims;
2. Sukarnya melakukan penuntutan pidana kepada pelaku antara laon karena
kesukaran dalam pengumpulan barang bukti.
Efektivitas Sistem Pelaporan Gratifikasi
1. Mekanisme, Format dan Tata Cara Pelaporan Gratifikasi yang Diberlakukan
oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Kpmisi
Pemberantasan Korupsi, dinyatakan bahwa pegawai negeri sipil (PNS) dan
Penyelenggara negara yang menerima gratifikasi harus melaporkan ke KPK dengan
mepampirkan dokumen yang terkait dengan gratifikasi tersebut. Jika tidak melaporkan
gratifikasi ke Komisi Pemberantasan Korupsi, pejabat penerima akan dikenai hukuman
Sistem Pelaporan Gratifikasi Dalam Pencegahan Tindak Pidana Korupsi Dikaitkan Dengan
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 8, Agustus 2021 1363
sesuai dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi,
dwngan ancaman paling lama 20 tahun pebjara dan paling singkat 4 tahun penjara.
Adapun tata cara atau prosedur pelaporan gratifikasi diatur dalam Pasal 16 Undang-
undang Nomor 30 Tahun 2002 tenyang Komisi Pemberantasan Korupsi, yaitu sebagai
berikut:
1. Laporan disampaikan secara tertulis dengan mengisi formulir sebagaimana
ditetapkan oleh komisi pemberantasan korupsi denga melampirkan dokumen yang
berkaitan dengan gratifikasi.
2. Formulir sebagaimana dimaksud pada huruf a sekurang-kurangnya memuat:
a. Nama dan alamat lengkap penerima dan pemberi gratifikasi
b. Jabatan pegawai negeri atau penyelenggara negara;
c. Tempat dan waktu penerimaan gratifikasi
d. Uraian jenis gratifikasi yang diterima; dan
e. Nilai gratifikasi yang diterima.
Setelah menerima laporan tentang terjadinya penyuapan (gratifikasi) maka Komisi
Pemberantasan Korupsi wajib memproses lebih lanjut sesuai dengan ketentuan Pasal 17
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 yang menyatakan bahwa:
1. Komisi pemberantasan Korupsi dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja
terhitung sejak tanggal laporan diterima wajib menetapkan status kepemilikan
gratifikasi disertai pertimbangan.
2. Dalam mempertimbangkan status kepemilikan gratifikasi tersebut Komisi
Pemberantasan Korupsi dapat memanggil penerima gratifikasi untuk membrrikan
keterangan berkaitan dengan penerimaan gratifikasi.
3. Selanjutnya status kepemilikan gratifikasi ditetapkan dengan Keputusan Pimpinan
Komisi Pemberantasan Korupsi. Keputusan Pimpinan Komisi Pemberantasan
Korupsi ini dapat berupa penetapan status kepemilikan gratifikasi bagi penerima
gratifikasi atau menjadi milik negara.
4. Selanjutnya status kepemilikan gratifikasi ditetapkan dengan keputusan Pimpinan
Komisi Pemberantasan Korupsi. Keputusan Pimpinan Komisi Pemberantasan
Korupsi ini dapat berupa penetapan status kepemilikan gratifikasi bagi penerima
gratifikasi atau menjadi milik negara.
5. Komisi Pemberantasan Korupsi wajib menyerahkan keputusan status kepemilikan
gratifikasi kepada penerima gratifikasi paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung
sejak tanggal ditetapkan.
6. Penyerahan gratifikasi yang menjadi milik negara kepada Mwnteri Keuangan,
dilakukan palong lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal ditetapkan.
Proses selanjutnya adalah Komisi Pemberantasan Korupsi wajib mengumumkan
gratifikasi yang dotetapkan menjadi milik negara paling sedikit 1 (satu) kali dalam
setahun dalam Beita Negara.
Berdasarkan keseluruhan proses pelaporan gratifikasi sebagaimana telah diuraikan
di muka, pada dasarnya Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai organ yang
menjalankan tugas dan wewenang dalam menerima dan menindaklanjuti tindak pidana
Ingka Harsani Nasution
1364 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 8, Agustus 2021
gratifikasi tetap harus mengikuti hukum acara yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan yang berlaku, yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagai ketentuan khusus (lex specialis) dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
(KUHAP) sebagai ketentuan umum (lex generali) (Pasal 26 Undang-Undang 31 Tahun
tahun 1999, Pasal 62 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002).
Penyelidikan dilakukan dalam rangka menemukan bukti permulaan yang cukup
bahwa telah terjadi tindak pidana gratifikasi (suap) sehingga dapat dilanjutkan pada
tahap penyidikan.
Adapun proses pwnyidikan yang dilakukan penyidik pada komisi Pemberantasan
Korupsi bertujuan untuk:
1) Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian;
2) Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri
teraangka;
3) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
4) Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
5) Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
6) Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
7) Mendatangkan orang ahliyang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara;
8) Mengadakan penghentian penyidikan;
9) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab.
Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 48 Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999, dalam hubungannya dengan data kekayaan tersangka
berada dalam dokumen di bawah pengawasan Komisi Pemberantasan Korupsi, maka
demi keberhasilan penyidikan kiranya perlu diberi kewenangan ini kiranya perlu diatur
dalam mekanisme dan koordinasi yang jelas.
Dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana, harus dilaksanakan
dengan menggunakan Sistem Peradilan Pidana Terpadu (SPPT) seperti yang
diamanatkan oleh kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yaitu pemusatan
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, peradilan dan pemasyarakatan, penyidik dan
penuntut umum harus dapat bekerja sama dengan baik agar proses penyidikan dapat
berjalan dengan cepat dan tepat dan tentunya dwngan tetap memperhatikan hak dari
tersangka yang telah dijamin dalam KUHAP (Kurniawan, 2015).
Proses penyidikan tidak dapat dipisahkan dari proses penuntutan. Kegiatan dalam
penyidikan menjadi faktoe utama bagi kegagalan penuntutan. Koordinasi antara
penyidik dengan penuntut umum harus didasarkan pada suatu sistem hukum yang jelas
dan kongkrit. Disamping itu, diperlukan kemampuan teknis dan penguasaan ilmu oleh
para aparat penegak hukum yang melaksanakannya, terlebih lago kasus korupsi adalah
kejahatan yang sulit pembuktiannya karena intelektual pelaku yang tinggi (white colar
crime).
Sistem Pelaporan Gratifikasi Dalam Pencegahan Tindak Pidana Korupsi Dikaitkan Dengan
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 8, Agustus 2021 1365
Sebelum sampai pada penuntutan, KUHAP mengatur sebuah tahap yang dikenal
dengan prapenuntutan. Undang-Undang memberikan penjelasan tentang hal ini. Dalam
tahap prapenuntutan, setelah menerima berkas hasil penyidikan dari penyidik, penuntut
umum harus memeriksa terlebih dahulu apakah berkas tersebut telah lwngkap atau
belum. Sesuai ketentuan Pasal 2 huruf a jo Pasal 110 ayat (2) dan (3), Pasal 138 ayat (2)
dan pasal 139 KUHAP, apabila menurut hasil penelitian atas berkas perkara yang
diserahkan pada tahap pertama ternyata hasil penyidikan belum lengkap, maka penuntut
umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petinjuk untuk
dilengkapi dalam waktu 14 hari. Penuntut umum tidak hanya melihat aspek yuridisnya
saja tetapi juga harus melihat aspek sosio politik dan sosio kultural, mempertimbangkan
keadaan diri/motivasi terdakwa sehingga tersakwa terdakwa terdorong melakukan
kejahatan, dan juga perlu untuk dipertimbangkan kerugian dan penderitaan yang dialami
oleh pihak korban akibat kejahatan yang dilakukan terdakwa. setelah perkara tersebut
diterima kembali oleh jaksa penuntut umum, dilakukan penelitian ulang atas hasil
penyidikan tambahan.
Bersasarkan uraian sistem pelaporan gratifikasi yang ditangani oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi tersebut di atas, pada hakikatnya terdapat kelemahan mendasar
yang kiranya perlu segera ditanggulangi. Kelemahan dimaksud adalah dalam Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2002 tenyang Komisi Pemberantasan Korupsi jo. Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 Komisi Pemberantasan Korupsi seakan-akan lebih
bersifat pasif, artinya Komisi Pemberantasan Korupsi hanya menunggu adanya Pegawai
Negeri Sipil atau penyelenggara negara yang melaporkan telah terjadi suap (gratifikasi)
pada dirinya. Dengan demikian, gratifikasi baru dapat diproses ketika ada pegawai
Negeri Sipil atau Penyelenggara negara yang jujur dan berjiwa besar.
Berdasarkan hasil wawancara sebagaimana telah diuraikan dalam Bab III penelitian
ini, didapat keterangan bahwa minimnya pegawai negeri dan penyelenggara negara
yang melapor ke Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan indikasi bahwa pegawai
negeri dan indikasi bahwa pegawai negeri dan penyelenggara negara belum terbiasa
dengan sikap transparan dan jujur. Data tersebut menggambarkan bahwa sistem
pelaporan gratifikasi belum dapat diandalkan dalam pemberantasan gratifikasi yang
terjadi selama ini.
Komisi Pemberantasan Korupsi sudah saatnya turun langsung ke lapangan dalam
mencari pelaku gratifikasi, tidak hanya menunggu orang datang melapor. Komisi
Pemberantasan Korupsi harus memikirkan sebagaimana proses penegakan hukum yang
efektif dalam menanggulangi tindak pidana gratifikasi. Komisi Pemberantasan Korupsi
jangan menyerah dengan ketentuan hukum yang tidak ada. Komisi Pemberantasan
Korupsi harus mencari cara dengan mengikat komitmen politik pemerintah dan mencari
segala cara agar semangat terciptanya pemerintahan yang bersih dan bisa tercapai.
Soal tidak dilaporkannya gratifikasi yang diterima Pegawai Negeri Sipil atau
penyelenggara negara, KPK dapat mengejar dwngan bekerja sama dengan pihak
perbankan, dan PPATK. Jika kerja sama ini tidak dilakukan dan hanya menunggu orang
melapor, sangat jarang ada Pegawai Negeri Sipil atau penyelenggara negara yang
Ingka Harsani Nasution
1366 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 8, Agustus 2021
meemiliki kemauan sendiri untuk melaporkan kekayaan atau gratifikasi yang mereka
terima.
Khusus untuk pengisian laporan harta kekayaan penyelenggara negara, KPK
membuat mekanisme berisi petunjuk pengisian laporan harta kekayaan penyelenggara
negara yang melaporkan harta kekayaan mereka juga membuat surat kuasa kepada KPK
untuk mengumumkan harta kekayaan yang dilaporkan dalam Tambahan Berita Negara
(TBN).
Prinsipnya, pwngumuman harta kekayaan itu dilakukan sendiri oleh
penyelenggara. Supaya Komisi Pemberantasan Korupsi bisa mengumumkan harta
kekayaan yang dilaporkan, maka KPK agar para penyelenggara negara itu membuat
surat kuasa kepada KPK agar KPK dapat mengumumkan harta kekayaan yang mereka
laporkan dalam Tambahan berita Negara kepada publik.
2. Kelemahan-kelemahan Perangakt Hukum Pidana dalam Penegakan Hukum
Pidana Selama ini dalam Memberantas Tindak Pidana Korupsi, Khususnya
Yang Berkaitan Dengan Gratifikasi Atau Suap.
Pada dasarnya kelemahan-kelemahan perangkat hukum pidana dalam
memberantas tindak pidana korupsi, khususnya gratifikasi menyangkut 2 (dua)
faktor,yaitu :
1) Faktor Kultural
2) Faktor Struktural
Faktor Kultural
Adanya tradisi pemberian hadiah, oleh-oleh atau semacam itu kepada pejabat
pemerintah. Bagi masyarakat Indonesia pemberian seperti itu bisa dianggap sebagai
bentuk pemenuhan kewajiban oleh 'kawula' kepada 'gustinya'.
Sangat pentingnya ikatan keluarga dan kesetiaan lainnya. Dalam masyarakat
seperti Indonesia, kewajiban seseorang pertama-tama adalah memperhatiak saudara
terdekatnya, kemudian trah atau sesama etniknya. Sehingga selalu terjadi konflik nilai,
yaitu antara pertimbangan kepentingan keluarga atau kepentingan negara. Dengan kata
lain faktor kultural ini berkaitan dengan kegiatan nepotisme di instansi-instansi
pemerintah.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa sebagian besar pegawai negeri memiliki akar
keterkaitan yang mengarah kepada nepotism. Kecenderungan nepotisme ini dapat
dilohat dalam berbagai bentuk, mulai dari yang paling umum seperti ikatan
kekeluargaan. Ikatan kekeluargaan merupakan bentuk nepotisme yang paling sederhana,
karena mudah dikenali. Hal ini terjadi karena biasanya ikatan kekeluargaan tercermin
dari kesamaan nama belakang atau kemiripan qajah. Lebih luas dari ikatan kekeluargaan
ini adalah adanya fenomena pegawai atau instansi yang berasal dari suku atau suatu
daerah tertentu.
Selain itu, ada pula yang dinamakan College Tribalism, yaitu bentuk nepotisme
yang biasanya terjadi bilamana pelakunya dari alumni dari perguruan tinggi atau jurusan
Sistem Pelaporan Gratifikasi Dalam Pencegahan Tindak Pidana Korupsi Dikaitkan Dengan
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 8, Agustus 2021 1367
yang sama. Tidaklah aneh ketika pimpinan suatu unit kerja adalah alumni atau suatu
perguruan tinggi atau jurusan tertentu, maka mereka akan merekrut sebagian besar
stafnya dari alumni perguruan tinggi atau jurusan yang sama.
Bentuk nepotisme yang lajn adalah dimana para pelakunya adalah sama-sama
anggota suatu organisasi, seperti partai politik, organisasi profesi, organisasi pemuda
dan lain-lain. Bentuk nepotisme ini akan menjadi sangat berbahaya apabila mereka
memiliki misi untuk memperjuangkan suatu kepentingan politik. Hal ini akan
menyebabkan pegawai negeri menjadi orang-orang gratisan. Disamping itu patut disadai
korupsi untuk membiayai kepentingan politik memerlukan biaya yang sangat besar.
Faktor Struktural
Posisi dominan birokrasi dan elit partai politik sebagai sumber utama barang, jasa
dan lapangan kerja dan sebagai pengatur kegiatan ekonomi. Dominasi negara yang
mengerdilkan kekuatan lain dalam masyarakat.
Kelemahan mengentaskan gratifikasi dilihat dari faktor struktural sangat terkait
dengan kinerja jajaran birokrasi di Indonesia. Faktor struktural ini menunjuk pada
situasi dimana seseorang terpaksa menyogok agar dapat memperoleh sesuatu atau
mendapatkan proteksi atas hak dan kebutuhannya. Sebagai misal, seorang pengusaha
terpaksa memberikan sogokan (bribery) pada pejabat tertntu agar bisa mendapat ijin
usaha, perlindungan terhadap usaha sang penyogok, yang bisa bergerak dari ribuan
samai milyaran rupiah. Jenis korupsi ini merujuk pada usaha kotor seseorang untuk
mempengaruhi perbuatan kebijakan atau keputusan pemerintah dalam rangka
memperoleh keuntungan setinggi-tingginya.
Sebagaimana telah diuraikan pada bab sebelumnya, bahwa gratifikasi atau suap
lebih banyak berkaitan dengan moralitas. Maka keberhasilan pelaksanaannya juga
sangat tergantung pada kejujuran aparat, apakah fia melaporkan pemberian atau tidak,
dan aklau dilaporkan apakah pelapornya benar atau tidak. Permasalahan yang timbul
dalam pengaturan gratifikasi dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku
sekarang ini adalah menyangkut kemauan melaporkan gratifikasi dari para pegawai
negeri atau penyelenggara negara penerima gratifikasi.
Penyelenggara negara sesuai dengan kedudukannya dalam sistem administrasi
negara (dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintah dan pembangunan bangsa), dan
sesuai pula dengan sifat dan lingkup pekerjaannya, akan menguasai pengetahuan dan
informasi serta dukungan sumber daya yang tidak dimiliki pihak lain. Dengan posisi
dan kemampuan sangat besar yang dimilikinya tersebut, penyelenggara negara bukan
saja mempunyai akses yang kuat untuk membuat kebijakan yang tepat secara teknis,
tetapi juga yang mendapat dukungan yang kuat dari masyarakat dan dunia usaha
(Kurniawan, 2015).
Penyelenggara negara memegang peranan penting dalam perumusan, pelaksanaan,
dan pengawasan berbagai kebijakan publik, serta dalam evaluasi kinerjanya. Dalam
posisi yang stratejik seperti itu, adalah logis apabila pada setiap perkembangan politik,
selalu terdapat kemungkinan dan upaya menarik penyelenggara negara pada partai
Ingka Harsani Nasution
1368 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 8, Agustus 2021
tertentu; penyelenggara negara dapat dimanfaatkan untuk mencapai, mempertahankan,
atau pun memperkuat kekuasaan oleh partai tertentu atau pihak penguasa. Kalau
perilaku birokrasi berkembang dalam pengaruh politik seperti itu dan menjadi tidak
netral, maka birokrasi yang seharusnya mengemban misi menegakkan "kualitas,
efesiensi, dan efektivitas pelayanan secara netral dan optimal kepada masyarakat", besar
kemungkinan akan berorientasi pada kepentingan partai atau partai-partai; sehongga
terjadi pergeseran keberpihakan dari "kepentingan publik" kepada: pengabdian pada
pihak penguasa atau partai-partai yang berkuasa". Dalam kondisi seperti itu, KKN akan
tumbuh dan birokrasi akan kehilangan jati dirinya, dari pebgemban misi perjuangan
negara bangsa, menjadi partisan kelompok kepentingan yang sempit.
Perubahan politik hukum pidana dalam pemberantasan korupsi ini memiliki
akibat hukum yang tidak kecil karena sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, perbuatan suap dalam
KUHP telah kehilangan arti dan maknanya sebagai tindak pidana umum, melainkan
harus diartikan sebagai tindak pidana khusus. Dengan demikian harus rubrik Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001, perbuatan suap aktif maupun pasif adalah tindak pidana
korupsi; bahkan perbuatan suap harus diartikan sebagai mata rantai dari suatu tindak
pidana korupsi dengan kata lain perbuatan suap adalah embrio dari korupsi sehingha
suap dan korupsi merupaka kembar, yaitu perbuatan yang serupa tapi tidak sama, karena
dengan suap maka penerima suap sudah barang tentu akan memberikan imbalan untuk
melakukan sesuatu di luar tugas dan wewenang yang diberikan undang-undang
kepadanya atau sama sekali tidak melaksanakan tugas dan wewenangnya sesuai dengan
kewajiban yang dibebankan Undang-Undang kepada yang bersangkutan.
Kedua jenis perbuatan ini sudah tentu bermuara kepada kerugian kepada negara
baik materil maupun immateril (krisis kepercayaan). Apabila kita memiliki persepsi
yang sama dalam memandang perbuatan suap sebagai suatu mata rantai dari perbuatan
korupsi dan tidak merupakan perbuatan yang beridir sendiri (pandangan lama yang
dianut oleh KUHP) maka perbuatan suap pada abad ini sudah mengalami perubahan
makna dan implikasi hukumnya yang berbeda secara mendasar dengan implikasi
hukumnya yang berbeda secara mendasar dengan perbuatan suap pada awal
kelahirannya.
Kondisi saat ini, memerlihatkan bahwa pembahasan mengenai masalah
penyalahgunaan kekuasaan atau kewenangan yang berbentuk KKN, meskipun cukup
komperehensif dan disertai peraturan perundang-undangan yang lengkap dan bagus
sebagaimana diuraikan secara singkat di atas, namun belum nampak dilakukan
penanganan yang serius oleh pemerintah. Selain itu, belum berhasilnya pemberantasan
korupsi, temasuk di dalamnya gratifikasi, meskipun sudah ada perangkat hukum yang
baik dan dilengkapi dengan berbagai lembaga penangkal korupsi yang juga cukup
banyak, disebabkan antara penegak hukum dalam memenuhi dan melaksanakan
peraturan tersebut dan belum menatapnya penyelenggaraan fungsi lembaga-lembaga
penangkal korupsi.
Sistem Pelaporan Gratifikasi Dalam Pencegahan Tindak Pidana Korupsi Dikaitkan Dengan
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 8, Agustus 2021 1369
Sesungguhnya kondisi yang mendukung upaya untuk mencari solusi yang tuntas
terhadap masalah besar ini telah tersedia, yaitu tingkat kritis masyarakat yang tidak lagi
tabu untuk membuka borok penyelewengan atau KKN. Transparansi semakkin menjadi
tuntutan yang tidak bisa ditawar, masyarakat semakin tergugah untuk menuntut
keadilan, kebenaan dan pemerintahan yang bersih. Masyarakat semakin memiliki
keberanian untuk mengungkapkan masalah-masalah yang semula hanya menjadi bahan
gunjingan (Setiawan, 2016).
Namun demikian, dalam keadaan masih lemahnya moralitas, tradisi atau budsya
disiplin, dan patuh hukum dari penyelenggara negara termasuk penegak hukumnya dan
masyarakat, dan selama hukum kita belum dapat benar-benar melindungi semua orang
secara adil, selama hukum masih bisa dibelokkan untuk kepentingan yang berkuasa atau
kelompok atau yang mampu dan bersedia membayar, maka revormasi birokrasi akan
berjalan timpang dan sulit mewujudkan good governance yang dicita-citakan.
Setelah diuraikan kelemahan-kelemahan secara kultural dan struktural dalam
penegakkan hukum pidana dalam memberantas tindak pidana gratifikasi, masih terdapat
kelemahan lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu masalah belum adanya peraturan
pelaksana yang dapat dijadikan acuan KPK dalam menangani tindak pidana grtifikasi.
Msalahnya, perturan perundang-undangan yang mengatur gratifikasi tersebut tidak
dapat diterapkan begitu saja tanpa adanya petunjuk pelaksanaan (juklak) untuk
ditindaklanjuti proses hukum secara lebih konkret, dan hal ini merupakan kelemahan
pihak pemerintah yang harus segera diatasi agar madalahnya tidak berlarut-larut.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang KPK jo Undang-undang Nomor
20 Tahun 2001 tentang Pemberantsan Tindak Pidana Korupsi, sulit bila diretapkan pada
kondisi sekarang, sepanjang tidak ada peraturan pelaksana lain, khususnya dalam
pembrantas tindak pidana gratifiksi (suap) . Pemerintah perlu menentapkan aturan aspek
teknis yng jelas dalam jalur penanganan tindak pidana gratifikasi. Aspek teknis itu
berkaitan dengan apakah pegawai negeri sipil atau penyelenggara negara boleh
menerima komisi dari masysrakat. Kebijakan pemerintah diharapkan bersifat tegas,
konsisten, tanpa adanya keberpihkan pada kepentingan apa pun.
3. Efektifitas Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Menangani Pelaporan dari
Masyarakat tentang Tindak Pidana Gratifikasi
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk untuk mengatasi kemacetan
hukum dalam kasus korupsi. Jaksa dan Polisi dianggap tidak efektif dalam
menyelesaikan kasus korupsi, demikian juga lembaga-lembaga yang pernah dibentuk
sebelumnya. Karena itu, KPK dilengkapi dengan kewenangan luar biasa. Sejumlah
kewenangan besar yang diberikan kepada KPK juga didasarkan klarifikasi korupsi
sebagai tindak kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime). Oleh sebab itu, untuk
menangani kasus korupsi diperlukan lembaga yang luar biasa pula.
Pertama, KPK memiliki kewenangan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan
dalam kasus korupsi. Berbeda dengan komisi-komisi anti korupsi yang pernah dibentuk
sebelumnya, KPK memiliki kewenangan seperti jaksa dalam kasus korupsi.
Ingka Harsani Nasution
1370 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 8, Agustus 2021
Kedua, sebagai sebuah lembaga negara, posisi KPK relatif independen. KPK tidak
bertanggungjawab terhadap presiden atau kepada DPR. Walaupun anggota KPK dipilih
oleh DPR berdasarkan usul dari Preaiden, anggota KPK tidak bisa diberhentikan oleh
Preaiden atau DPR. Posisi yang independen ini merupakan jawaban terhadap persoalan
dalam penegakkan hukum kasus korupsi. Korupsi pada dasarnya adalah
penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Hanya mereka yang memiliki
kekuasaan yang bisa melakukan korupsi dalam banyak kasus, korupsi kerap melibatkan
pejabat tinggi, elit politik dan ekonomi. Situasi ini menyebabkan Kejaksaan atau
Kepolisian acapkali tidak bisa leluasa untuk menegakkan hukum. Karena itu, KPK
diletakkan dalam posisi yang independen dan lepas dari campur tangan kepentingan
politik dan ekonomi kekuasaan (Ramadani, 2020).
Ketiga, KPK tidak memerlukan ijin dari atasan untuk memeriksa pejabat tinggi
negara yang diduga terlibat dalam kasus korupsi seperti halnya kejaksaan harus
mendapatkan ijin dari presiden. Bagi KPK, hambatan prosedural itu tidak dialami lagi.
Bahkan untuk mempermudah pemeriksaan, KPK bisa meminta atasan untuk
memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya.
Keempat, dalam penanganan kasus korupsi, posisi KPK berada di atas Kepolisian
dan Kejaksaan. KPK tidak hanya bertugas melakukan koordinasi dan supervisi terhadap
kejaksaan dan kepolisian dalam kasus korupsi. Bahkan KPK bisa mengambil alih kasus
korupsi yang ditangani oleh Kejaksaan atau Kepolisian.
Kelima, Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN) yang bertugas
menerima laporan kekayaan pejabat negara dibubarkan dan dimasukkan sebagai salah
satu divisi di bawah KPK. Seluruh pejabat negara kini wajib melaporkan kekayaan
pejabat negara kini wajib melaporkan kekayaannya kepada KPK. Dengan demikian,
pencegahan dan penindakan korupsi berada pada suatu lembaga yaitu KPK. Bila ada
pejabat yang diduga mendapat harta yang tidak sah, KPK bisa langsung memeriksanya.
Tidak ada lagi hambatan seperti yang dialami oleh KPKPN dulu ketika laporannya ke
kepolisian tidak ditindaklanjuti. Salah satu kasus yang kontroversial adalah laporan
KPKPN ke polisi atas harta yang tidak dilaporkan oleh jaksa agung di bawah
pemerintah Megawati. Laporan KPKPN tersebut tidak ditindaklanjuti oleh polisi. Kini
dengan menempatkan KPKPN sebagai salah satu bagian dalam KPK, bila ada yang
tidak wajar dari laporan kekayaan pejabat negara, bisa langsung ditangani oleh KPK
tanpa perlu lapor ke polisi. Selain itu, KPK juga berwenang menerima laporan dan
menetapkan status gratifikasi. Bagi penyelenggara negara, bila menerima pemberian
yang nilainya di atas Rp. 10 juta wajib melaporkan ke KPK. KPK yang akan
menetapkan, apakah pemberian tersebut sah atau tidak. Sampai November 2004, baru
ada satu permintaan penerapan gratifikasi dari Gubernur Kalimangan Tengah, Asmawi
Agani. Asmawi menerima hadiah ulang tahun senilai Rp. 20 juta. Apakah hadiah
tersebut boleh diterima, KPK yang menentukan (Rahmat, 2018).
Keenam, dalam melakukan tugas penyelidikan dan penyidikan korupsi, KPK juga
dilengkapi dengan sejumlah wewenang lainnya. Diantaranya KPK berwenang
memerintahkan bank dan lembaga keuangan untuk memblokir rekening terasangka
Sistem Pelaporan Gratifikasi Dalam Pencegahan Tindak Pidana Korupsi Dikaitkan Dengan
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 8, Agustus 2021 1371
korupsi, menghentikan sementara transaksi keuangan dan persagangan, dan meminta
data tentang kekayaan dan perpajakan kepada instansi terkait.
Ketujuh, KPK tidak hanya bertugas melakukan tindakan preventif. KPK juga
diberi kewenangan untuk melakukan serangkaian tindakan preventif untuk mencegah
korupsi. Karena itu, KPK juga melakukan kampanye anti korupasi kepada masyarakat
umum dan melakukan kajian terhadap pengelolaan administrasi disemua lembaga
negara dan pemerintah untuk mencegah korupsi.
Dalam menjamin jalannya proses pemeriksaan kasus korupsi sampai tuntas, KPK
tidak berwenang mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) (Tawaris,
2016). Dengan demikian, bila seseorang sudah ditetapkan sebagai teraangka, maka
proses itu akan bergulir terus hingga ke pengadilan. Tidak ada lagi cerita pemberian SP3
seperti selama ini disaksikan oleh publik kerap dilakukan oleh kejaksaan dalam kasus-
kasus besar.
Dengan kewenangan luar biasa, KPK menjadi keluarga super dalam
pemberantasan korupsi. Berdasarkan pasal 7, 8, 11, 12, 13, dan 14 Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, terdapat 26
kewenangan yang dimiliki oleh KPK. Besarnya kewenangan yang diberikan kepada
KPK menunjukkan bahwa korupsi di Indonesia sudah sampai pada tahap yang parah
sehingga penegak hukum, konvemsional seperti polisi dan kejaksaan tidak mampu
menyelesaikannya. Besarnya kewenangan itu yang akhirnya memberikan harapan besar
bagi pemberantasan korupsi di Indonesia. Praktis todak ada lagi hambatan yang akan
dialami oleh KPK seperti yang selama ini dikeluhkan oleh kejaksaan (Meliala, 2018).
Salah satu indokator yang dapat dipergunakandalam mengukur efektifitas KPK
dalam mengentaskan gratifikasi (suap) adalah kemampuan KPK menindaklanjuti
laporan yang disampaikan Pegawai Negeri Sipil atau penyelenggara negara yang
menerima gratifikasi. Sejak tahun 2015 hingga tahun 2017, KPK telah menerima 1.452
laporan Pegawai Negeri Sipil atau penyelenggara negara mengenai praktek gratifikasi
(Jurnal Komisi Pemberantasan Korupsi, XXXXV Juli 2017).
Penanganan pelaporan gratifikasi yang dilakukan oleh KPK masih terdapat
sejumlah persoalan. Diantaranya soal kewenangan KPK meminta keterangan keuangan
pelopor gratifikasi kepada bank atau lembaga keuangan lainnya. Kewenangan ini
terhambat karenaGubernur BI berdasarkan Undang-Undang perbankan menyatakan
yang berhak mendapat keterangan keuangan teraangka hanya kapolri, Jaksa Agung dan
Mahkamah Agung.
Gubernur BI kemudian meminta fatwah kepada Mahkamah Agung (MA).
Akhirnya, MA bahwa Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan lex specialis. Sehingga KPK tidak
memerlukan ijin dari Gubernur BI tetapi bisa langsung ke Bank yang bersangkutan.
Asas lex specialis dapat mengesampingkan peraturan perundang-undangan lainnya,
termasuk Undang-Undang perbankan.
Soal lain adalah laporan kekayaan pejabat negara. Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan Pemerintah yang bersih dan bebas dari
Ingka Harsani Nasution
1372 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 8, Agustus 2021
korupsi, kolusi dan nepotisme. Setiap pejabat wajib melaporkan kekayaannya. Laporan
teraebut disampaikan kepada Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN).
Masalahnya, KPKPN ini telah dibubarkan dan menjadi salah satu bagian dari
KPK. Pejabat negara kini harus melaporkan kekayaannya kepada KPK. Pimpinan KPK
beranggapan bahwa KPK tidak berhak mengumumkan kekayaan pejabat negara.
Bahkan KPK sempat menutup akses publik terhadap laporan kekayaan pejabat negara.
Sebuah kebijakan yang tidak populer. Juga kontra-produktif dengan semangat anti-
korupsi. Meskipun akhirnya akses publik terhadap laporan kekayaan pejabat negara
dibuka, kebijakan pimpinan KPK menunjukkan kecenderungan KPK yang bersifat
terlalu berhati-hati. Sikap ini juga yang dapat memberikan penjelasan sebelum
maksimalnya kinerja KPK.
Sampai tahun 2017 lalu, ada 1.450 laporan gratifikasi yang masuk ke KPK. Bila
menghitung prosentasenya, tentu sangat rendah sekali jika dibandingkan jumlah
Pegawai Negeri Sipil atau Penyelenggara Negara yang ada di Indonesia. Selama ini
KPK lebih bersifat menunggu laporan gratifikasi dari para pejabat terkait. Pilihan
menunghu laporan memang tidak menyalahi hukum. Bahkan memang salah satu fungsi
KPK adalah melakukan kajian dan memberikan rekomendasi perubahan sistem
administrasi di instansi pemerintah. Akan tetapi, untuk itu tidak diperlukan wewenang
besar seperti yang diberikan kepada KPK. Apalagi setiap departemen sudah memiliki
program good governance sehingga upaya preventif dan perbaikan sistem sebetulnya
sudah berjalan.
Justru yang perlu disosialisasikan oleh KPK adalah rasa takut melakukan korupsi,
yang termasuk didalamnya kegiatan suap (gratifikasi). Berbeda dengan soaialisasi KPK
selama ini. Dengan skala organisasi yang kecil, tidak mungkin bagi KPK selama ini,
rasa takut hanya bisa disosialisasikan tindakan represif. Dengan skala organisasi yang
kecil, tidak mungkin bagi KPK untuk merespon semua laporan korupsi yang
disampaikan masyarakat. KPK tinggal pilih saja, mana yang paling berat untuk
diselesaikan. Soal dana, KPK juga tidak terlalu menghadapi hambatan. Dana yang
disediakan oleh APBN tahun 2008 misalnya hanya terserap 12,7%. Rendahnya serapan
dana oleh KPK bisa dibaca oleh KPK bisa dibaca sebagai peluang besar bagi KPK
untuk mengoptimalkan fungsi represifnya. Sebagian besar dana sebaiknya dana
dialokasikan untuk mengusut dan menyeret koruptor dan/atau pelaku gratifikasi ke
Pengadilan. Di tengah gratifikasi yang berjalan secara sistemik dan meluas di Indonesia,
pendekatan repreaif merupakan jalan pintas yang tepat untuk menekan gratifikasi.
Untuk melakukan tindakan represif, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pula
dari strategi KPK selama ini. Pertama, KPK harus meningkatkan efektivitas koordinasi
dan supervisi dalam penyelesaian kasus gratifikasi, KPK belum melakukan tugas itu
secara optimal dalam menangani kasus gratifikasi. Untuk meningkatkan efektifitas
supervisi, KPK Perlu menggunakan kewenangan untuk mengambil alih kasus korupsi,
terutama kasus gratifikasi, yang ditangani oleh Kejaksaan dan Kepolisian.
Kedua, KPK perlu memfokuskan upaya repreaifnya. Salahsatu sasaran strategi
KPK adalah pembersihan lembaga peradilan. Lembaga peradilan merupakan salah satu
Sistem Pelaporan Gratifikasi Dalam Pencegahan Tindak Pidana Korupsi Dikaitkan Dengan
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 8, Agustus 2021 1373
lembaga terkorup di Indonesia. Survey yang dilakukan oleh United Nation Development
Program (UNDP) Tahun 2001 mendapatkan institusi kepolisian, bea cukai dan
pengadilan sebagai tiga instansi terkorup, yang susbur bagi tindak pidana gratifikasi.
Sekarang ini, upaya reformasi lembaga peradilan telah berjalan. Mahkamah agung telah
membuat cetak biru pembenahan institusi pengadilan. Kejaksaan Agung juga telah
diaudit oleh Asian Development Bank. Tindak lanjut audit tersebut kini mulai berjalan
di bawah kepemimpinan Jaksa Agung dan Kepolisian sudah mulai berbenah.
Ditengah pembenahan lembaga peradilan kehadiran KPK sangat diperlukan.
Tanpa diiringi strategi represif, upaya pembenahan itu, hanya akan berjalan tanpa arti.
Selain itu , bila berhasil membersihkan korupsi dilembaga peradilan, KPK secara tidak
langsung turut mendorong penegakan hukum dalam skala yang lebih luas.
Dari kasus tersebut, dapat dilihat justru cenderung mencari aman. Situasi serupa
juga dapat dibaca dari keinginan KPK untuk melakukan perubahan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 khususnya tentang gratifikasi, KPK menganggap ketentuan
tentang gratifikasi belum lengkap terutama mengenai rumusan, kriteria, status dan
batasan jumlah yang harus dilaporkan. Seharusnya bila tidak ada kejelasan hukum yang
reaah adalah bakal tersangka atau para pejabat yang kerap menerima sumbangan tidak
sah. Tetapi ironisnya, justru KPK yang terlihat kebingungan. Agaknya publik perlu
mengingatkan kembali pimpinan KPK sejumlah kewenangan yang dimilikinya dan
mendorong utuk menggunakannya. Khususnya agar KPK tampil lebih percaya diri.
Pembentukan KPK dan pengadilan korupsi ini tidak seluruhnya tidak ditanggapi
dengan positif, karena berdasarkan hasil wawancara dengan Kasi Pidsus di Pengadilan
Tinggi Jawa Barat tersirat kekecewaan pada tugas dan wewenang dari KPK.
Menurutnya tugas dan wewenang KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi adalah tidak pada tempatnya karena
sebenarnya Kejaksaan masih mampu untuk melaksanakan tugas tersebut dengan baik,
sehingga dengan diberikannya KPK tugas dan wewenang seperti itu seperti mengebiri
kejaksaan. lebih lanjut dikemukakan bahwa dari pada pemerintah mengeluarkan
banyak dana dan tenaga untuk membentuk KPK serta sarana dan prasarananya akan
lebih baik jika pemerintah membangun dan memperkuat Kejaksaan baik dari segi
finansial dan sumber daya manusia sehingga Kejaksaan dapat melaksanakan tugas dan
wewenangnya dalam menjalankan penyidik dan penuntutan khususnya dalam perkara
korupsi secara optimal.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapatlah ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
1. Pada hakikatnya terdapat kelemahan mendasar yang kiranya perlu segera
ditanggulangi dalam sistem pelaporan gratifikasi. Kelemahan dimaksud adalah
dalam Undang-Undang Nomor 30 Pemberantasan Korupsi seakan-akan lebih
bersifat pasif, artinya Komisi Pemberantasan Korupsi seakan-akan lwbib beraifat
pasif, artinya Komisi Pemberantasan Korupsi hanya menunggu adanya Pegawai
Ingka Harsani Nasution
1374 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 8, Agustus 2021
Negeri Sipil atau Penyelenggara Negara yang melaporkan telah terjadi suap
(gratifikasi) pada dirinya. Dengan demikian, gratifikasi baru dapat diproses ketika
ada pegawai Negeri Sipil atau Penyelenggara negara yang jujur dan berjiwa besar.
2. Pada dasarnya kelemahan-kelemahan perangkat hukum pidana dalam memberantas
tindak pidana korupsi, khususnya gratifikasi mwnyangkit 2 (dua) faktor, yaitu:
a. Faktor Kultural
Adanya tradisi pemberian hadiah, oleh-oleh atau semacam itu kepada
pemerintah.
b. Faktor Struktural
Posisi dominan birokrasi dan elit partai politik sebagai sumber utama barang,
jasa dan lapangan kerja dan sebagai pengatur kegiatan ekonomi.
3. Kinerja KPK dalam sistem pelaporan gratifikasi dianggap belum maksimal. Selama
ini KPK lebih bersifat mwnunggu laporan gratifikasi dari pejabat terkait. Pilihan
menunggu laporan memang tidak menyalahi hukum. Bahkan memang salah satu
fungsi KPK adalah melakukan kajian dan memberikan rekomendasi perubahan
sistem administrasi di instansi pemerintah. Akan tetapi, untuk itu tidak diperlukan
wewenang besar seperti yang diberikan kepada KPK. Apalagi setiap departemen
sudah memiliki program good governance sehingga upaya preventif dan perbaikan
sistem sebetulnya sudah berjalan..
Sistem Pelaporan Gratifikasi Dalam Pencegahan Tindak Pidana Korupsi Dikaitkan Dengan
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 8, Agustus 2021 1375
Bibliografi
Hamzah, Andi. (1984). Korupsi dalam pengelolaan proyek pembangunan. Akademika
Pressindo.
Hussein, M. Zaki. (2012). Pengaturan Gratifikasi dan Permasalahannya, Jurnal
Hukum dan Pembangunan (Edisi Ke-III, Ed.). Jakarta: UI Press.
Kurniawan, Andri. (2015). Politik hukum pembentukan lembaga-lembaga penyidik
tindak pidana korupsi dalam sistem peradilan pidana di indonesia. Universitas
islam indonesia.
Marpaung, Leden. (2009). Tindak Pidana Korupsi: Pemberantasan dan Pencegahan.
Meliala, Adrianus. (2018). Pengaduan Masyarakat: Indikator Demokrasi Lainnya di
Indonesia. Jurnal Kriminologi Indonesia, 13(1).
Rahmat, Aulia. (2018). Urgensi Pengawasan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi
Republik Indonesia dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia.
Ramadani, Rizki. (2020). Lembaga Negara Independen Di Indonesia Dalam Perspektif
Konsep Independent Regulatory Agencies. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, 27(1),
169192.
Setiawan, Jemmy. (2016). Nasionalisme Retorika Gombal. Elex Media Komputindo.
Siregar, Muhammad Habibi. (2017). Fikih: Universalisasi nilai kepatutan dalam
rasionalitas dan moralitas hukum.
Subandriyo, Erika Dewi. (2008). Tinjauan tentang dasar pertimbangan hakim
pengadilan negeri jakarta selatan dalam menjatuhkan putusan berupa dilepas dari
segala tuntutan hukum dalam perkara korupsi BLBI pengalihan piutang (cessie)
antara bank Bali dan BDNI.
Tawaris, Glandy Brayen. (2016). Komisi Pemberantasan Korupsi Tidak Mengenal Surat
Perintah Penghentian Penyidikan.
Lex Privatum, 4(4). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-aundang RI Nomor 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang RI Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI