Jurnal Indonesia Sosial Teknologi: p–ISSN: 2723 - 6609
e-ISSN : 2745-5254
Vol. 2, No. 8 Agustus 2021
PENYUNTIKAN ASAS STRICT LIABILITY PADA PASAL 127 UNDANG UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA MENIMBULKAN KETIDAKPASTIAN HUKUM
Andy Sahat Manogar Silalahi
Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana
Abstrak
Setiap warga negara harus memiliki hak yang sama di hadapan hukum dan mendapatkan kepastian hukum, sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 tanpa diskriminasi. Namun, tampaknya pembuat Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 127 sudah melupakan hal tersebut, sehingga dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dalam Pasal 127 pembuat undang-undang memasukkan sanksi kepada pengguna atau penyalahguna Narkoba yang diancam dalam bentuk hukuman. sanksi. kerugian, sedangkan di sisi lain (Pasal 54,55,103) mengharuskan penyalahguna narkotika direhabilitasi, hal ini sejalan dengan program pemerintah untuk memberantas perdagangan narkotika di Indonesia. Alih-alih negara memberlakukan aturan keras terhadap pengguna narkoba, justru justru membuat wajah peradilan di Indonesia semakin suram, karena tidak ada perbedaan antara pengedar dan pengguna narkoba.
Kata Kunci: pengguna, penyalahguna, kepastian hukum.
Abstract
Every citizen should have the same rights before the law and get legal certainty, as mandated by the 1945 Constitution without any discrimination. However, it seems that the makers of Law Number 35 of 2009 concerning Narcotics in Article 127 have forgotten about this, so that in Law Number 35 of 2009 concerning Narcotics in Article 127 lawmakers include sanctions on drug users or abusers who are punished in the form of sanctions. losses, while on the other hand (Article 54,55,103) requires that narcotics abusers be rehabilitated, this is in line with the government's program to eradicate narcotics trafficking in Indonesia. Instead of the state imposing harsh regulations on drug abusers, it actually makes the face of the judiciary even more grim in Indonesia, because there is no difference between dealers and users.
Keywords: users; abusers; legal certainty.
Pendahuluan
Seperti kita ketahui bersama semakin hari semakin maraknya peredaran narkotika di Indonesia saat ini, dimana dapat kita lihat pada surat kabar dan berita di televisi, dimana hal ini semakin membuat masyarakat Indonesia terutama para orang tua menjadi semakin cemas akan keadaan dimasyarakat khawatir bahwa anaknya akan terpengaruh untuk mengkonsumsi narkotika, dimana sasarannya adalah generasi muda sudah menjangkau seluruh provinsi di Indonesia dan pengguna narkotika sudah merasa diseluruh lapisan masyarakat. Pada tahun 2015 saja jumlah pengguna narkotika di Indonesia tercatat ada 5,2 juta jiwa. Korban pengguna narkotika ituberusia diantara 10-59 tahun. Keadaan ini sungguh riskan karena paling banyak korban pengguna narkotika pada usia yang produktif. Padahal usia produktif merupakan usia dimana seseorang meningkatkan taraf hidupnya mulai dari ekonomi, sosial dan kesehatan.
Apabila narkoba digunakan terus menerus maka dapat menimbulkan ketergantungan. Ketergantungan pada narkotika merupakan salah satu dampak akibat penyalahgunaan obat yang tidak sesuai dengan dosis yang diharuskan, sehingga pemakai zat tersebut tidak dapat menghentikan untuk mengkonsumsinya. Apabila narkotika digunakan terus menerus dapat merugikan kesehatan dan menimbulkan dampak sosial yang luas.
Hal tersebut terjadi karena masih banyak peredaran-peredaran gelap yang terjadi khususnya di Negara Indonesia, serta minimnya pengawasan aparatur negara terhadap obat-obatan tersebut, selain itu adanya nilai ekonomis yang sangat besar didalamnya, maka dari itu harus adanya kerja sama antara pemerintah dan elemen-elemen masyarakat untuk mengatasi masalah tindak pidana Narkotika. Narkotika perkataannya dalam bahasa Yunani narkotika adalah “Narke” yang artinya yaitu tidak merasakan apa-apa (Sasangka, 2003). Sedangkan pengertian narkotika secara farmokologis medis adalah obat yang dapat menghilangkan rasa nyeri yang bersalah dari daerah visceral dan yang dapat menimbulkan efek stuporserta adiksi. Narkotika menurut ketentuan yang ada dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5062) selanjutnya disebut Undang-Undang Narkotika merupakan “zat ataupun obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis ataupun semisintetis, yang menimbulkan penurunan ataupun perubahan kesadaran, hilangnya rasa, menghilangkan rasa nyeri serta bisa menimbulkan ketergantungan yang dibedakan dalam golongan-golongan sebagaimana dalam undang-undang ini”. Penggolongan narkotika berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Narkotika, dibagi menjadi 3 golongan yaitu narkotika golongan I, narkotika golongan II, dan narkotika golongan III (Nasrullah, 2020).
Pencegahan dan pemberantasan peredaran dan penyalahguna narkotika dalam penegakan hukumnya sangat erat dengan pemidanaan, ruang lingkup dalam penegakan hukum begitu luas dimana bertujuan untuk mencegah terjadinya tindak pidana dan pemberantasan terhadap terjadinya tindak pidana narkotika (Nuryanto, 2018).
Dalam penegakan hukum yang terdapat dalam tindak pidana narkotika dibagi menjadi dua yaitu penegakan hukum secara preventif dan penegakan hukum secara represif (Iskandar & IK, 2019). Penegakan hukum secara preventif merupakan suatu penegakan yang dilakukan sebelum terjadinya suatu tindak pidana, sedangkan penegakan hukum secara represif merupakan suatu penegakan yang dilakukan setelah terjadinya tindak pidana. Penegakan hukum secara preventif dan represif merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan sehingga harus dipahami terlebih dahulu. Pidana atau Pemidanaan merupakan hal yang sangat penting dalam mencegah terjadinya peredaran maupun perkembangan tindak pidana narkotika. Muladi dan Barda Nawawi menyimpulkan bahwa ciri-ciri pidana adalah sebagai berikut: (Saputro & NPM, 2018)
Pidana merupakan suatu pengenaan penderita atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan;
Pidana diberikan oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan;
Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang.
Negara Indonesia dalam hal pencegahan maupun pemberantasan tindak pidana narkotika tentunya memiliki tujuan tersendiri. Tindak pidana narkotika yang semakin lama perkembangannya semakin cepat dan luas mengharuskan ditetapkannya kebijakan-kebijakan hukum diranah pidana yang efektif untuk mencegah maupun memberantas tindak pidana itu sendiri. Tentunya penegakan hukum di tuntut untuk cepat dalam menangani masalah tindak pidana narkotika.
Dikarenakan kejahatan tindak pidana narkotika sebagaimaa sudah dijelaskan bahwa kejahatannya lintas negara yang terorganisir dan tidak mengenal batas-batas wilayah terotorial dan melibatkan jaringan-jaringan dari berbagai negara ditambah lagi di Indonesia yang memiliki wilayah yang sangat luas dengan pintu masuk ke wilayah territorial Indonesia yang dapat dikatakan tidak begitu sulit serta padatnya penduduk dan minimnya kemampuan pendidikan maupun minim secara ekonomi hal tersebutlah yang menjadi sasaran dari tindak pidana narkotika.
Dalam hal ini terdapat suatu permasalahan dimana penegak hukum kurang jelas dalam hal memberikan suatu kepemilikan dari barang-barang narkotika tersebut sebagai salah satu bentuk tindak pidana narkotika (Aminullah, 2018). Dalam hal menentukan pelaku sebagai pemakai hal tersebut sangatlah mudah dengan memanfaatkan teknologi yang ada saat ini. Sebab dalam peraturan perundang-undangan yang adad di Indonesia pemilik narkotika yang tidak pemakai juga diklarifikasikan sebagai tindak pidana, maka hal tersebut harus jelas dalam penegakannya.
Untuk mempermudah dan mempercepat dalam pemberantasan tindak pidana narkotika tersebut dimana tanpa harus adanya pembuktian kesalahan kepemilikan maka penerapan asas yang terdapat di dalam UU Narkotika yaitu penerapan asas atau prinsip strict liability dapat diberlakukan. Pengertian dari asas atau prinsip tersebut yang ada didalam UU Narkotika adalah adanya suatu pertanggungjawaban mutlak dengan tanpa adanya pembuktian kesalahan. Selain itu strict liability dapat diartikan bahwa si pembuat yang telah memenuhi unsur-unsur dalam rumusan undang-undang yang mana tanpa melihat bagaimana sikap batinnya (Barda Nawawi Arief, 2018).
Disisi lain dalam hukum pidana mengatakan bahwa tiada pidana tanpa adanya kesalahan atau disebut geen straft zonder schuld, dimana dala setiap pemutusan pemidanaan yang diputus oleh hakim di pengadilan harus adanya kesalahan yang harus dibuktikan terlebih dahulu setelah seseorang dapat dikatakan bersalah atau tidak. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa seseorang dalam melakukan perbuatan pidana, pertanggungjawaban pidana atau penjatuhan pidana hanya dapat diterapkan ketika tindak pidana dilakukan dengan suatu kesalahan (Saleh, 1983). Pengecualian asas atau prinsip tersebut didalam tindak pidana narkotika mungkin dilakukan untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia di masa sekarang ini.
Penerapan asas atau prinsip strict liability dalam UU Narkotika tidak menyebutkan secara tertulis keberadaan asas atau prinsip diadalam undang-undang tersebut, akan tetapi didalam pasalnya penerapannya dilakukan secara tidak langsung melalui ketentuan yang diatur didalamnya.
Didalam UU Narkotika tersebut bahwasannya pengaturan dengan mengambil beberapa pasal yaitu pasal 111 ayat (1) dan pasal 115 ayat (1), menerapkan asas strict liability berdasarkan unsur kriminalisasi didalam pasal tersebut, yang salah satu perbuatannya hanya kedapatan membawa barang tersebut dapat dikenakan pasal tersebut, pengkriminalisasian tindakan tersebut dapat merugikan orang yang melakukan perbuatan itu tanpa adanya pembuktian kesalahan.
Disamping hal tersebut juga masih banyak terdapat fakta-fakta yang menunjukan adanya unsur pasal tersebut yang mengandung asas strict liability menjadi rawan, dalam prakteknya dapat disalahgunakan aparat penegak hukum khususnya pihak Kepolisian, memanfatatkan celah yang ada didalam UU Narkotika tersebut untuk melakukan rekaya kasus karena adanya target yang harus dipenuhi dalam pemberantasan tindak pidana narotika yang dimana hal tersebut sering terjadi didalam prakteknya.
Hal tersebut tentunya menimbulkan kerugian yang menghukum orang yang tidak bersalah dengan dalil penegakan hukum. Tentunya hal itu bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan, perlindungan hukum, dan kepastian hukum sebagaimana diatur dalam pasal 3 UUNarkotika.
Berdasarkan uraian diatas, dalam artikel ini akan diulas masalah-masalah berikut:
Apa yang dimaksud dengan pertanggungjawaban tanpa kesalahan dalam tindak pidana narkotika?
Bagaimana proses pembuktian tindak pidana narkotika dengan adanya penyuntikan asas strict liabilitydalam Pasal 127 Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
Dengan ulasan ini diharapkan kita dapat mengetahui dan memahami pentingnya asas strict liability dalam pasal 127Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika yang menimbulkan ketidakpastian hukum ditengah masyarakat. Hal ini menjadi perhatian bagi masyarakat Indonesia bahwasannya kepastian hukum adalah hal yang penting sehingga seseorang dalam melakukan perbuatan pidana harus dilihat unsur kesalahannya.
Hasil dan Pembahasan
Pertanggungjawaban Tanpa Kesalahan
Pertanggungjawaban mutlak atau dapat diartikan sebagai istilah tanggungjawab seketika atau langsung, hal ini sangat berbanding terbalik dengan sistem atau unsur-unsur tanggungjawab pidana yang sifatnya kumulatif dengan salah satu unsurnya harus ada suatu kesalahan yang berupa kesengajaan atau kealpaan. Apabila merujuk pada asas yang terdapat dalam pertanggungjawaban pidana yaitu tiada pidana jika tidak terdapat kesalahan (geen straft zonder schuld; actus non facit reum nisi mens sir rea) yang tentunya pada hakikatnya dalam penjelasan mengenai pertanggungjawaban pidana unsur kesalahan ini merupakan hal yang sangat penting dalam menentukan seseorang telah melakukan suatu tindak pidana atau tidak.
Pertanggungjawaban mutlak atau dapat diartikan sebagai istilah tanggungjawab seketika atau langsung dalam hukum pidana, dimana hal ini dapat dikaitkan dengan konsep asas strict liability yang definisi dari asas tersebut adalah pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan dimana si pembuat sudah dapat dipidana apabila ia telah melakukan perbuatan pidana sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang tanpa melihat sikap batinnya (Murdiana, 2012). Didalam undang-undang nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika asas strict liability tidak secara langsung berlaku karena dalam unsur-unsur pasalnya dalam ketentuan pidana tidak disebutkan perumusannya dengan sengaja atau kealpaan. Dalam tindak pidana narkotika unsur kesalahan tidak harus dibuktikan, tetapi orang atau pelaku dianggap melakukan kesalahan apabila perbuatannya sudah memenuhi rumusan undang-undang.
Asas Strict Liability Menimbulkan Ketidakpastian Hukum
Penerapan asas strict liability dalam Pasal127 UU Narkotika menimbulkan ketidakpastian hukum, dimana asas strict liability merupakan suatu pertanggungjawaban seketika yang tanpa melihat adanya unsur kesalahan dari pelaku atau si pembuat. Apabila pelaku telah memenuhi unsur-unsur sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang maka pelaku sudah dapat dipidana atau mempertanggungjawabkan perbuatannya. Hal ini tentu saja bertentangan dengan unsur-unsur tindak pidana dimana harus adanya kesalahan terlebih dahulu baru seorang dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Dalam suatu putusan pemidanaan yang diberikan oleh hakim harus adanya unsur kesalahan (Nugroho, 2017). Apabila unsur kesalahan telah dipenuhi maka si pembuat dapat dijatuhi hukuman. Dalam hal perkara tindak pidana narkotika dimana seorang pencandu narkotika atau penyalahguna narkotika sudah memenuhi unsur-unsur sebagaimana dirumuskan oleh undang-undang sudah dapat mempertangungjawabkan perbuatannya dengan melihat unsur kesalahan yang terdapat didalam dirinya. Sehingga hakim dalam memutus perkara harus melihat adanya unsur kesalahan serta harus memperhatikan Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103. Dimana didalam Pasal 54 UU Narkotika dikatakan bahwa “Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib direhabilitasi medis dan rehabilitasi sosial”. Artinya bahwa dalam setiap putusan yang diberikan oleh hakim bagi pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika harus menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Dalam prakteknya sering sekali terjadi jika pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika tidak menjalani rehabilitasi baik rehabilitasi sosial dan rehabiltasi medis. Hal itu dikarenakan hakim yang memutus perkara tidak mempertimbangkan rehabilitasi bagi pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika. Sebab putusan hakim dalam perkara tindak pidana narkotika terdapat perbedaan pertimbangan antara memberikan terdakwa direhabilitasi atau tidak.
Dimana dalam suatu kasus hukum tidak boleh dibenarkan untuk menerapkan peraturan yang berbeda (Nugroho, 2017). Dalam ilmu hukum biasa dikenal dengan disparitas. Artinya suatu kasus yang sama harus juga diterapkan peraturan yang sama. Hal itu bertujuan untuk menghindari seseorang dari diskriminasi yang harus dirasakan olehnya. Disparitas adalah kebebasan yang diberikan oleh undang-undang kepada hakim untuk memutus perkara sesuai dengan ketentuan, walaupun putusan tersebut saling berbeda antara suatu perkara dengan perkara yang lain. Dalam perkara narkotika, hakim diberikan kebebasan untuk memberikan perbedaan hukuman kepada korban pecandu narkotika untuk direhabilitasi atau tidak. Bisa saja dalam perkara yang satu terdakwa diperitahkan untuk direhabilitasi, akan tetapi dalam perkara yang lain tidak ada perintah untuk direhabilitasi.
Disparitas itu artinya perbedaan. Oleh karenanya, disparitas menjadi kebalikan dari asas hukum secara umum yaitu mengenai adanya persamaan dimata hukum atau biasa disebut equality before the law. Dengan adanya disparitas pidana dalam putusan hakim menimbulkan ketidakpastian hukum serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Hal ini tentu saja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28D ayat (1) yang mengatakan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
Dengan begitu putusan hakim terhadap penyalahguna atau pecandu narkotika yang memvonis untuk mempertanggungjawabkan suatu kesalahannya tersebut tidak sejalan dengan undang-undang narkotika itu sendiri serta Undang-Undang Dasar NRI 1945. Dimana dalam pasal 103 huruf a dan b Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan “hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika dapat memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika;” atau “menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan perawatan melalui rehabilitasi jika pecandu narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika”.
Ketentuan dalam pasal 103 huruf a menegaskan bahwa penggunaan kata memutuskan bagi pecandu narkotika yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika merupakan vonis (hukuman) bagi pecandu narkotika. Sedangkan ketentuan dalam pasal 103 huruf b menegaskan bahwa penetapan hakim tersebut bukan merupakan vonis (hukuman) bagi pecandu narkotika yang bersangkutan. Artinya, apabila pecandu narkotika terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika, tetapi wajib menjalani pengobatan dan atau perawatan yang dimana pengobatan dan/atau perawatan merupakan bagian dari masa menjalani hukuman.
Hal tersebut diatas menimbulkan ketidakpastian hukum ditengah masyarakat sehingga dalam hal ini hakim harus memberikan pengobatan dan/atau perawatan sebagai masa menjalani hukuman terhadap pencandu narkotika (Nainggolan, Zahara, & Saparuddin, 2010). Apabila hakim dalam memutus perkara terhadap pecandu narkotika menerapkan rehabilitasi baik rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial terhadap pecandu narkotika, maka masyarakat memperoleh suatu kepastian hukum.
Pembuktian Tindak Pidana Narkotika
Pembuktian pemilikan narkotika dibuktikan dengan berdasarka adanya minimal 2 (dua) alat bukti yang sah yang menyakinkan Majelis Hakim mengenai perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur delik yang terdapat dalam pasal 111 ayat (1), pasal 112 (1), pasal 117 (1) dan pasal 122 ayat (1) Undang-Undang No 35 Tahun 2009 tetang Narkotika, yang dimana beberapa unsur tersebut secara tindak langsung mengandung asas strict liability. Adapun unsur pasalnya yaitu:
1. Setiap orang;
2. Tanpa hak tau melawan hukum;
3. Memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan;
4. Narkotika golongan I berbentuk tanaman, golongan I bukan tanaman, golongan II dan golongan III.
Pembuktian unsur ke-2 dalam delik memiliki / menguasai narkotika yaitu unsur “tanpa hak tau melawan hukum”, dalam ajaran ilmu hukum (doktrin), wederrechtelitjk dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu melawan hukum dalam arti formil dan melawan hukum dalam arti materiil. Lamintang sebgaimana dikutip oleh Laden Marpaun, dalam “Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana,” Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, Cetakan Ke-5 Tahun 2008 pda halam 44-45, menjelaskan: “Menurut ajaran wederrechtlitjk dalam arti formil, suatu perbuatan hanya dipandang sebagai bersifat wederrechtelitjk apabila perbuatan tersebut memenuhi semua unsur yang terdapat dalam rumusan delik pasal tersebut. Sedangkan arti maeriil masalah bukan saja harus ditinjau sesuai dengan ketentuan hukum yang tertulis melainkan juga harus ditinjau menurut asas-asas hukum umum dari hukum tidak tertulis”. Sehingga dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. “Tanpa hak” pada umumnya merupakan bagian dari “melawan hukum” yaitu setiap perbuatan yang melanggar hukum tertulis dan atu asas-asas hukum umum dari hukum tidak tertulis. Lebih khususnya yang dimaksud dengan “tanpa hak” dalam kaitannya dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentanng Narkotika adalah tanpa izin dana tau persetujuan dari pihak yang berwenang untuk hal tersebut, yaitu Menteri ats rekomendasi dari Badan Pengawas Obat dan Makanan atau pejabat lain yang berwenang berdasarkan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan peratura perundang-undangan yang lain yang bersangkutan.
2. Walaupun “tanpa hak” pada umumnya merupakan bagian dari “melawan hukum” namun sebagaimana simpulan angka 1 di atas yang dimaksud “tanpa hak” dalam kaitannya dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 adalah tanpa izin dana tau persetujuan dari Menteri yang berarti elemen “tanpa hak” dalam unsur ini bersifat melawan hukum formil sedangkan elemen “melawan hukum” dapat berarti melawan hukum formil dan melawan hukum materiil (Aminullah, 2018).
Untuk menentukan apakah unsur “tanpa hak atau melawan hukum” dapat dipenuhi atau tidak maka terlebihdahulu akan di kemukakan pokok pikiran sebagai berikut:
Pasal 6 Undang-Undang No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan “tidak seorangpun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut Undang-Undang, mendapat Keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didawakan atas dirinya “. Ketentuan ini memgamdumg sedikitnya 3 (tiga) asas hukum fundamental sebagai dasar pemidanaan yaitu asas legalitas atau asas “tiada pidana tanpa aturan undang- undang yang telah ada” (Pasal 1 ayat (1) KUHP, asas culpabilitas “tiada pidana tanpa kesalahan”, dan asas “tiada pidana tanpa sifat melawan hukum”.
Ketiga asas diatas tersebut secara terpadu harus menjadi sandaran dalam putusan Hakim sehingga Hakim tidak hanya mempertimbangkan aspek yuridis, dengan tidak berpegang pada asas ligalitas semata melainkan harus pula mempertimbangkan aspek non yuridis yang berlandaskan pada asas “tiada pidana tanpa kesalahan”, dan asas “tiada pidana tanpa sifat melawan hukum” dengan melihat aspek filosofis dan aspek sosiologis, antara lain aspek psikologis dan aspek sosila ekonomi terdakwa dan lain sebagainya sehingga diharapkan putusan tersebut dapat memenuhi 3 (tiga) dimensi keadilan, yaitu mendekati keadilan social (social justice) dan keadilan moral (moral justice) dan tidak hanya mementingkan keadilan Undang-Undang (legal justice).
Melihat penjelasan ditas mengenai pokok-pokok pemikiran dapat disimpulkan diman untuk menentukan apakah terdakwa dapat dipidana atau tidak dalam perkara a quo tidak cukup dengan hanya ditinjau sebatas sekedar membuktikan terdakwa memiliki/menguasai narkotika saja secara tanpa haka tau melawan hukum, melainkan harus mencangkupi pembuktian ada tidaknya kesalahan pada diri terdakwa dengan bersandar pada asas “tiada pidana tanpa kesalahan”, dan asas “tiada pidana tanpa melawan hukum”. Namun dalam hal bagaiman dan dengan cara apa narkotika itu berada didalam pememilikan/penguasaan terdakwa sebagai alat bukti terpenuhi atau tidaknya unsur “tanpa hak tau melawan hukum.
Bertolak pada pembahasan sebelumnya mengenai kesalahan (schuld) dalam hal bagaimana dan dengan cara apa narkotika bias dalam kepemilikan (baca: 735 memiliki atau menguasai) seseorang maka berdasarkan asas culpabilitas, orang tersebut tidak dapat dipersalahkan telah melakukan delik kepemilikan narkotika walaupun secara gramatikal yang bersandar pada asas ligalitas perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur delik memiliki atau mengusai narkotika.
Kesimpulan
Pada pasal-pasal di Undang-undang Narkotika mengatur tentang pertanggungjawaban pidana seperti halnya pertanggung jawaban yang ada didalam KUHP, namun akan tetapi konsep pertanggungjawaban pidana yang ada dialam UU Narkotika sangat berbeda didalam KUHP. Dimana didalam KUHP salah satu unsur pertanggungjawaban pidananya adanya kesalahan, didalam UU Narkotika didalam konsep pertanggungjawaban pidana tidak adanya kesalahan atau mengandung asas strict liability dimana orang dalam perbuatannya sudah memenuhi unsur pasal yang ada di UU Narkotika maka orang tersebut sudah melakukan tindak pidana narkotika. Serta kejahatan narkotika ini termasuk kedalam kejahatan transnasional Organized Crime yang persebarannya begitu cepat dan tanpa mengenal batas wilayah dengan melihat hal tersebut maka dariitu keberlakukan asas strict liability diberlakukan didalam UU Narkotika tentunya dalam hal pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Narkotika. Dalam proses pembuktian kesalahan merupakan hal yang sangat penting didalam hukum pidana dimana dengan kesalahan seseorang dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. UU Narkotika dalam ketentuan pidananya tidak menjelaskan secara jelas unsur kesalahan namun dalam pembuktian tindak pidana narkotika dalam proses pemidanaan dalam persidangan unsur kesalahan tersebut tetap harus ada tanpa mengenyampingkan asas geen straf zonder schuld, karena pentingnya kesalahan ini dalam proses pembuktian. Kewenangan hakim disini dalam proses pembuktian sangat penting untuk membuktikan orang bersalah atau tidak. Apabila dalam proses pembuktian ditemukan minimal 2 (dua) alat bukti yang sah yang membuat pelaku tindak pidana narkotika diputus bersalah melakukan tindak pidana narkotika, maka seharusnya hakim memutuskan pecandu narkotika untuk menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi. Hal tersebut dilakukan agar terciptanya kepastian hukum dimasyarakat, dimana kepastian hukum itu juga diatur dalam Undang-Undang Dasar NRI 1945 pasal 28D ayat (1).
Bibliografi
Aminullah, Sakti. (2018). Asas Strict Liability dalam Tindak Pidana Narkotika. Jurist-Diction, 1(2), 723–737.
Barda Nawawi Arief, S. H. (2018). Masalah penegakan hukum dan kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan. Prenada Media.
Iskandar, Anang, & IK, S. (2019). PENEGAKAN HUKUM NARKOTIKA (Rehabilitatif terhadap Penyalah Guna dan Pecandu, Represif terhadap Pengedar). Elex Media Komputindo.
Murdiana, Elfa. (2012). Pertanggungjawaban Pidana dalam Prespektif Hukum Islam dan Relevansinya terhadap Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia. Al-Mawarid Journal of Islamic Law, 12(1), 1–18.
Nainggolan, Marsaulina, Zahara, Elvi, & Saparuddin, Saparuddin. (2010). Peranan Hakim dalam Memberikan Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Penyalahgunaan Narkotika (Studi Pengadilan Negeri Lubuk Pakam). Jurnal Mercatoria, 3(2), 116–132.
Nasrullah, Nasrullah. (2020). Putusan Hakim terhadap Pemberian Sanksi di Bawah Batas Minimal pada Tindak Pidana Narkotika. SIGn Jurnal Hukum, CV. Social Politic Genius (SIGn), 2(1), 1–19.
Nugroho, Bastianto. (2017). Peranan Alat Bukti Dalam Perkara Pidana Dalam Putusan Hakim Menurut KUHAP. Yuridika, 32(1), 17–36.
Nuryanto, Carto. (2018). PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DI DIREKTORAT RESERSE NARKOBA POLDA JAWA TENGAH. Fakultas Hukum UNISSULA.
Saleh, Roeslan. (1983). Dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana. Cetakan Ketiga, Aksara Baru, Jakarta.
Saputro, Andi Tri, & NPM, S. H. (2018). PELAKSANAAN PIDANA TAMBAHAN BERUPA KEBIRI KIMIA TERHADAP PELAKU PEDOFILIA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2016 TENTANG PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 23. Jurnal NESTOR Magister Hukum, 3(3).
Sasangka, Hari. (2003). Narkotika dan Psikotropika dalam hukum pidana. Mandar Maju.