1403
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi: pISSN: 2723 - 6609
e-ISSN : 2745-5254
Vol. 2, No. 8 Agustus 2021
ANALISIS PILIHAN RASIONAL TERHADAP KEPUTUSAN PEMBATASAN
SOSIAL BERSKALA BESAR DALAM MENCEGAH PENYEBARAN COVID-19
Raden Farhan Syahir Herdyatomo Wibowo
Program Studi Ilmu Politik FISIP Universitas Padjadjaran
Abstrak
Sampai pada hari ini, Covid-19 tetap menjadi prioritas utama list to do dari apa yang
pemerintah harus selesaikan. Wabah tersebut berhasil mengubah seluruh tatanan dan
regularities masyarakat, dimulai dari patron sosial, sirkulasi ekonomi, sampai pada
penetrasinya dalam diskursus relasi kuasa. Pembatasan Sosial Berskala Besar
(PSBB) menjadi salah satu opsi yang dipilih pemerintah sebagai kebijakan publik
yang dianggap mampu untuk mencegah penyebaran Covid-19. Penelitian ini
mencoba untuk menjawab alasan dan konstruksi yang dibangun pemerintah dalam
menentukan PSBB sebagai kebijakan paling efektif dibanding alternatif lainnya.
Untuk mendapatkan hasil penelitian yang menjawab transparansi mengenai alasan
pemerintah menentukan PSBB menjadi opsi paling menguntungkan kepentingan
bersama, metode penelitian yang digunakan dalam memahami dan meraih semua
jenis hasil pembahasan adalah penelitian kualitatif dengan penyesuaian Rational
Choice Approach (Pendekatan Pilihan Rasional) dalam menyeleksi dan
mengeliminasi fenomena yang terjadi. Metode dan pendekatan ini dipilih dengan
alasan terdapatnya dua preferensi pemerintah dalam menentukan pilihan terbaik
dalam rangka menekan penyebaran Covid-19, antara PSBB atau wacana Lockdown/
Karantina Wilayah, yang mana pada akhirnya pemerintah memilih kebijakan PSBB
sebagai keputusan utamanya. Pembahasan mengenai pemilihan alternatif kebijakan
tersebut tidak dapat dipisahkan dengan diskursus agenda setting kebijakan publik
dan rekapitulasi untung-rugi/cost-benefit yang mana dapat dianalisis melalui
Pendekatan Pilihan Rasional dalam menentukan policy output.
Kata kunci: Rational Choice Approach, Pemerintah, Covid-19, Kebijakan Publik,
Pembatasan Sosial Berskala Besar
Abstract
To this day, Covid-19 remains the top priority on the to-do list of what the
government must solve. The epidemic succeeded in changing the entire order and
regularities of society, starting from social patronage, economic circulation, to its
penetration in the discourse of power relations. Large-Scale Social Restrictions
(PSBB) are one of the options chosen by the government as a public policy that is
considered capable of preventing the spread of Covid-19. This study tries to answer
the reasons and constructions built by the government in determining PSBB as the
most effective policy compared to other alternatives. To obtain research results that
answer transparency regarding the reasons for the government to determine PSBB
to be the most beneficial option for the common interest, the research method used
Raden Farhan Syahir Herdyatomo Wibowo
1404 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 8, Agustus 2021
to understand and reach all types of discussion results is qualitative research by
adjusting the Rational Choice Approach in selecting and eliminating phenomena that
happen. This method and approach was chosen on the grounds that there are two
government preferences in determining the best choice in order to suppress the
spread of Covid-19, between PSBB or thediscourse LockdownRegional/ Quarantine,
where in the end the government chose the PSBB policy as its main decision. The
discussion regarding the selection of policy alternatives cannot be separated from
the discourse on the agendasetting of public policyand the recapitulation of cost-
benefit which can be analyzed through the Rational Choice Approach in determining
policy. outputs.
Keywords: Rational Choice Approach, Government, Covid-19, Public Policy, Large-
Scale Social Restrictions
Pendahuluan
Memahami fenomena dan gejala politik, mulai dari implementasi kekuasaan
beserta wewenang (use of power and authority), peran legitimasi dalam dinamika kuasa
(role of legitimacy), relasi kelembagaan politik (political institutional relations), dan
lainnya, dapat dilakukan dengan beragam sistem dan metode. Kaidah dan sirkulasi itulah
yang selanjutnya disebut sebagai sebuah pendekatan. Dyke (Budiardjo, 2018)
mendefinisikan pendekatan (approach) sebagai kriteria untuk menyeleksi masalah dan
data yang relevan. Dari apa yang telah dikemukakan Dyke, pada akhirnya pendekatan
dipahami sebagai parameter dan acuan yang sepenuhnya digunakan dalam menentukan
sebuah fenomena, di sisi lain juga turut memutuskan data yang akan diperlukan ataupun
dikesampingkan.
(Andrain & Apter, 1995) melakukan tiga kategorisasi utama pendekatan (three
major categorization) dalam kurun waktu pra-1960-an sampai pada pasca-1960-an,
ketiga atribut tersebut antara lain, pendekatan normatif/ normative approach (bentuk
pendekatan dengan penekanan pada nilai apa yang seharusnya ada dan menjadi keinginan
bersama. Pendekatan ini menghadirkan gagasan subtansial dengan mengikuti kaidah atau
norma yang berlaku dan keadaan yang seharusnya dicapai); pendekatan struktural/
structural approach (formasi pendekatan dengan menitikberatkan fenomena pada
struktur- struktur tertentu, seperti struktur institusi, struktur kelas, dan struktur kelompok
masyarakat); pendekatan perilaku/ behavioral approach (konfigurasi pendekatan ini
memiliki focus utama pada perilaku individu sebagai unit analisis yang paling utama)
(Budiardjo, 2018).
Sampai saat ini, berdiri banyak sekali pendekatan dalam rangka memahami
fenomena politik secara esensial dan kontekstual, mulai dari Pendekatan
Institusional/Tradisional, Pendekatan Perilaku, Pendekatan Neo-Marxis, Pendekatan
Neo-Institusionalisme, Pendekatan Pilihan Rasional, dan lain-lain. Seperti memotong
sayur dalam proses memasak, tentunya diperlukan pisau terbaik yang ketajamannya
sesuai dan dapat digunakan untuk memotong sayur tersebut. Demikian pula juga dengan
fenomena politik yang terjadi, diperlukan tools of analysis yang intensitasnya sesuai
Analisis Pilihan Rasional Terhadap Keputusan Pembatasan Sosial Berskala Besar
Dalam Mencegah Penyebaran COVID-19
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 8, Agustus 2021 1405
dengan gejala politk yang terjadi, sehingga pada akhirnya dapat dipahami secara ekstensif
dan menyeluruh.
Salah satu pendekatan yang menjadi titik berangkat dalam artikel ilmiah ini adalah
Pendekatan Pilihan Rasional atau Rational Choice Approach. Terdapat sedikit distingsi
dalam melihat Pilihan Rasional sebagai teori dan di sisi lain sebagai sebuah pendekatan.
Secara kajian teoritis, Pilihan Rasional merupakan teori ekonomi klasik yang dicoba
untuk diterapkan dengan menghubungkan antara atribusi ekonomi mikro dan politik
melalui preferensi pilihan menguntungkan dan tindakan individu, decision makers, dan
kelompok sebagai analogi terhadap kepentingan pribadi (Buchanan & Tollison, 1984).
Namun dengan menggunakan terminologi pendekatan, Rational Choice Approach
beroperasi melalui standar dan tolak ukur asumsi bahwa dengan kondisi sumber daya
yang terbatas, manusia sebagai makhluk rasional akan selalu memiliki tujuan yang
menggambarkan apa yang dianggapnya konsekuensial, sehingga pada akhirnya manusia
harus membuat sebuah pilihan efektif-efisien dari beberapa alternatif yang ditetapkan
(Budiardjo, 2018).
Pilihan Rasional berangkat dari asumsi bahwa setiap individu akan selalu
memiliki aksentuasi maupun pementingan di antara beberapa sortiran yang
memungkinkan individu dapat menentukan keputusan yang diharapkannya. Seperti
memilih antara payung atau mantel untuk menerjang hujan deras, sebagian individu akan
memilih payung sebagai opsinya (dengan asumsi lebih mengurangi kemungkinan terkena
imbas derasnya hujan), namun sebagian pula menentukan mantel sebagai alterasinya
(dengan titik berangkat bahwa mantel lebih efisien dan efektif untuk digunakan dalam
menerjang hujan tersebut). Artinya setiap individu akan selalu memiliki preferensi
diantara beragam pilihan yang telah ditetapkannya dalam daftar surogat-subtitusi. Esensi
paling utama dari Pilihan Rasional menekankan bahwa setiap individu akan selalu
menentukan sirkulasi atau pilihan yang diyakini akan mendatangkan utility/ keuntungan
semaksimal mungkin dengan kerugian seminimal mungkin (Elster, 1989).
Tradisi pendekatan Pendekatan Rasional atau Rational Choice juga tidak dapat
dilepaskan dari epistemologi Rasionalisme Descartes di dalamnya. Pemahaman
Rasionalisme Descartes pada dasarnya cukup mendasar dan sederhana, episteme ini
memberikan penegasan bahwa akal harus diberi ruang utama dan peran yang signifikan
dalam setiap penjelasan, penangkapan pengetahuan, dan pengambilan tindakan maupun
keputusan (Lorens, 1996). Menurut Zaprukhan, bahwa Rasionalisme selalu berangkat
dari asumsi bahwa kebenaran tidak dapat diuji dengan prosedur verifikasi yang dilakukan
oleh indra, melainkan harus dengan syarat kriteria dan logika yang konsisten. Di saat
bersamaan pula Rasionalisme akan selalu menekankan sirkulasi metode rasional dalam
menyelesaikan segala problematika untuk mendapatkan eksplanasi yang menyeluruh,
hakiki, dan ekstensif.
Rational Choice Approach banyak terpengaruh dari episteme tersebutmeskipun
umumnya diketahui bahwa kelahiran Pendekatan Pilihan Rasional dirangsang oleh
beberapa pendekatan dan teori mayor politik seperti, Pendekatan Positivis (Positivism
Approach), Pendekatan Behavioral (Behavioralism Approach), Teori Ketergantungan
Raden Farhan Syahir Herdyatomo Wibowo
1406 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 8, Agustus 2021
(Dependency Theory), serta beberapa tradisi lainnya. Artinya memang Rasionalisme
menjadi pijakan utama pula bagi Rational Choice dalam beroperasi. Satu-satunya yang
menjadi permasalahan adalah adanya disparitas pemaknaan terminologi “rasional” di
antara Rational Choice dengan episteme Rasionalisme. Keduanya sama-sama berangkat
daripada penggunaan akal (rasio) sebagai tolakan dalam mencapai tujuan (Fikri, 2018),
namun yang sedikit membedakan adalah artikulasi daripada makna “rasional” itu sendiri.
(Friedman, 1953) menyatakan bahwa makna rasional yang digunakan oleh Rational
Choice diarahkan melalui definisi “rasional” yang sempit dan mengacu pada perilaku
homo economicus (manusia ekonomi), yaitu penggunaan rasio dalam menyeimbangkan
dan menemukan titik harmoni untuk memaksimalkan keuntungan pribadi ataupun
kelompok dan menurunkan intensitas kerugian yang dimungkinkan masuk dalam
perhitungan. Implikasinya, “rasional” dalam Rational Choice Approach berbicara
bagaimana akal menentukan pilihan yang paling menguntungkan bagi individu tertentu.
Dalam jurnal An Economic Theory of Democracy (1957), (Downs, 1957)
melakukan klaim kebenaran bahwa esensi maupun subtansi dalam kehidupan politik dan
relasi kuasa dapat dijelaskan melalui turunan kaitan kepentingan pribadi aktor politik.
Pelaku Rational Choice ini, baik politisi, birokrat maupun para decision makers, pada
dasarnya memiliki sifat egois dan segala keputusan maupun tindakannya berdasarkan
kecenderungan ego tersebut (Budiardjo, 2018). (Riker, 1962) pernah menggambarkan
suatu simulasi dan skema bagaimana penalaran matematis dan ekonomi dapat diterapkan
pada gerak politis, khususnya dalam membentuk sebuah koalisi/aliansi tertentu. Melalui
The Theory of Political Coalitions, Pilihan Rasional atau Rational Choice ternyata dapat
dilakukan penerapan pada beragam problematika yang membutuhkan eksplanasi, seperti
rational voting behaviour, legislation process, conflict and reconciliation, bureaucratic
circulation, dan yang tidak kalah penting: public policy.
Dari Heywood sampai (Budiardjo, 2018), dari Merkl sampai Surbakti, semua
sepakat untuk melihat kebijakan publik atau public policy sebagai suatu entitas yang
penting di tengah dinamika kuasa dalam masyarakat. (Budiardjo, 2018) mengatakan
bahwa kebijakan atau merupakan gabungan keputusan yang ditentukan oleh aktor politik,
dalam rangka menentukan tujuan serta berbicara skema metoda untuk mencapai tujuan
itu. Senada dengan (Budiardjo, 2018), (David, 1965) turut menyatakan bahwa studi
politik akan selalu berbicara problematika terbentuknya suatu kebijakan umum, dimulai
dari proses pembentukan keputusan oleh pihak berwenang sampai pada sirkulasi
penerimaan kebijakan di tengah masyarakat. Sedangkan menurut (Agustino, 2019),
kebijakan publik merupakan sintesis interaksi antara aktor pengambil keputusan publik/
pembuat kebijakan berdasar pada gejala yang harus dicarikan solusinya di tengah
masyarakat. Agustino menambahkan bahwa kebijakan dikatakan sebagai kebijakan
publik ketika turut menyertakan patisipasi masyarakat guna menghasilkan keputusan
yang terbaik untuk semua pihak. Artinya memang kebijakan publik secara tidak langsung
akan selalu berada di setiap aspek kehidupan masyarakat, sampai kapanpun.
Apabila mengacu pada pemaknaan (Riker, 1962) mengenai Rational Choice
dalam setiap aspek politik, maka kebijakan publik atau public policy menjadi bagian di
Analisis Pilihan Rasional Terhadap Keputusan Pembatasan Sosial Berskala Besar
Dalam Mencegah Penyebaran COVID-19
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 8, Agustus 2021 1407
dalamnya. Hal ini berarti pula bahwa setiap policy yang ditetapkan para pembuat
kebijakan akan berdasar pada perhitungan akumulasi keuntungan maupun kerugian bagi
banyak pihak. Aktor pembuat kebijakan dan keputusan akan selalu memiliki tendensi
untuk melihat kelebihan-kekurangan dan untung-rugi terhadap suatu keputusan yang
nantinya akan di validasi menjadi sebuah kebijakan publik.
Berangkat dari asumsi tersebut-lah artikel ilmiah ini mencoba untuk menganalisis
kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar di Indonesia, berikut dengan penerimaan
dan penolakannya di tengah masyarakat, dalam rangka menekan penyebaran virus Covid-
19 dengan menggunakan Rational Choice Approach sebagai tools of analysis dalam
mengungkap realitas dan maksud daripada pembentukan kebijakan tersebut melalui
rekapitulasi dan perhitungan dari pilihan-pilihan tertentu.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam meraih semua jenis hasil pembahasan
adalah penelitian kualitatif, dalam artian menjadikan literatur dan studi pustaka menjadi
sumber utama data juga titik berangkat penelitian. Dalam menguatkan metode penelitian
yang dipilih, digunakan juga pendekatan (approach) utama dalam penelitian ini, yaitu
Pendekatan Pilihan Rasional atau Rational Choice Approach.
Sumber data yang dihimpun dalam artikel ini dikarakterisasikan berdasarkan data
primer juga data sekunder. Data primer disini dikumpulkan langsung oleh peneliti dari
sumber-sumber yang utama, dalam hal ini peneliti menggunakan beberapa buku dan
pustaka, antara lain Dasar-Dasar Ilmu Politik Edisi Revisi oleh (Budiardjo, 2018); Dasar-
Dasar Kebijakan Publik oleh (Agustino, 2019); The Methodology of Positive Economics
oleh Milton (Friedman, 1953). Sedangkan untuk data sekunder, peneliti menggunakan
kepustakaan yang menjadi pihak kedua dari penerimaan data tersebut, dalam hal ini
berupa beberapa buku dan jurnal yang membahas pendalaman mengenai Pendekatan
Pilihan Rasional, Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), dan beberapa
input pemahaman mengenai penanganan pemerintah dalam menekan angka penyebaran
Covid-19.
Peneliti juga mendasari paradigma pembahasan melalui teori dan Analisis
Pendekatan Pilihan Rasional (Rational Choice Analysis) yang dikonstruksi dalam
memahami fenomena melalui tendensi perilaku menguntungkan atas koridor sosial,
politik, dan ekonomi. Melalui Analisis tersebut, titik berangkat penelitian dimulai dengan
asumsi bahwa setiap individu, termasuk pemerintah, akan selalu memiliki urutan
preferensi dari berbagai alternatif yang dianggap menguntungkan dan memberikan
banyak dampak profitabel bagi status quo. Bertolak dari hal tersebut, penelitian ini
bertujuan untuk memahami alasan dan konstruksi yang dibangun pemerintah atas
pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagai alternatif paling efektif
dalam menekan angka penyebaran Pandemi Covid-19 di Indonesia.
Hasil dan Pembahasan
Raden Farhan Syahir Herdyatomo Wibowo
1408 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 8, Agustus 2021
Sampai pada hari ini, Pandemi Covid-19 masih tetap menjadi urutan pertama
priority list to do dari hampir seluruh negara di belahan dunia. Semua berusaha untuk
bergerak cepat dengan mencari metode paling efektif dari penerapan ratusan cara untuk
menanggulangi wabah tersebut, dimulai dari assessment masyarakat, penerapan protokol
pencegahan wabah, distribusi sarana anti-penyebaran, sampai pada retransformasi dan
rekonstelasi peraturan maupun kebijakan publik. Kehadiran wabah ini berhasil secara
cepat dan intens merubah banyak tatanan sosial masyarakat, oleh karena itu wajar-lah
ketika permasalahan ini menjadi multidimensional and interdisciplinary problem
(masalah multidimensi dan interdisipliner). Seluruh aspek di tengah masyarakat turut
merasakan dampaknya, mulai dari kesehatan, sosial, ekonomi, sampai pada penetrasinya
dalam politik.
Dilansir dari website kawalcovid19.id, per-tanggal 15 Juni 2021, jumlah
terkonfirmasi positif Covid-19 berada di angka 1.927.708, dengan spesifikasi 116.787
dalam perawatan dan 53.280 dinyatakan meninggal dunia. Disaat bersamaan juga
distribusi vaksin mulai berjalan, untuk vaksinasi pertama, distribusi dosis sudah
dialokasikan sebesar 20.904.723, sedangkan vaksinasi kedua sudah mencapai angka
11.699.021 (kawalcovid19.id, 2021). Cepatnya penyebaran Covid-19 berimplikasi pada
ketidakstabilan aspek yang ada di tengah tatanan sosial masyarakat, bahkan tingkat
kematian dan kewaspadaan yang hadir dari keberadaan Covid-19 tersebut memicu
Presiden Joko Widodo untuk mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) 12 Tahun
2020 mengenai Penetapan Bencana Non-alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019
(Covid-19) Sebagai Bencana Nasional (peraturan.bpk.go.id, 2020).
Gerilya untuk menemukan metode terbaik dalam upaya mempercepat penanganan
Covid-19 pun terus dilaksanakan, mulai dari pengadaan sarana protokol kesehatan,
penyediaan instrumen tes dengan standar indikator yang telah ditetapkan, distribusi
vaksinasi, sampai pada riset-riset berbasis scientific method. Semua dilakukan dalam
upaya untuk terus menekan dan mencegah penyebaran Covid-19 yang begitu masif dan
cepat. Bahkan di masa genting ini pula-lah justru muncul gagasan riset yang mencoba
untuk mengintegrasikan kaidah-kaidah ilmiah dengan kebutuhan dan problematika di
tengah masyarakat, sehingga diharapkan mampu untuk menjawab seluruh permasalahan
di dalamnya.
Di saat yang bersamaan, untuk menjamin keberlasungan beberapa sirkulasi yang
bertujuan untuk terus menekan alur penyebaran Covid-19, pemerintah mengupayakannya
dengan menghadirkan produk-produk kebijakan publik yang dirasa mampu memberikan
jaminan sekaligus stimulan percepatan dalam penanganan Covid-19 tersebut. Hal ini
senada juga dengan apa yang dikatakan oleh (Atkinson et al., 2020) bahwa terjadi
dinamika yang sangat aktif dalam pembentukan dan perubahan kebijakan di tengah
masyarakat dalam menghadapi Covid-19 ini. Egeham (Liputan6) mengatakan terdapat
banyak kebijakan pemerintah melalui regulasi yang terlahir oleh situasi pandemi seperti
ini, bahkan dapat diliat bagaimana pemerintah menjadi lebih aktif dalam mengeluarkan
keputusan berupa peraturan perundangan dan instruksi pemerintah. Setidaknya terdapat
delapan produk regulasi buah hasil pemikiran dalam upaya menekan angka penyebaran
Analisis Pilihan Rasional Terhadap Keputusan Pembatasan Sosial Berskala Besar
Dalam Mencegah Penyebaran COVID-19
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 8, Agustus 2021 1409
Covid-19, antara lain Keppres Nomor 7 tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan
Penanganan Covid-19; PP Nomor 21 tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala
Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19; Keppres Nomor 11 tahun 2020
tentang Penetapan Status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat; Keppres Nomor 12 tahun
2020 tentang Penetapan Bencana non-alam Penyebaran Covid-19 sebagai Bencana
Nasional; dan lainnya (dilansir dari Liputan6.com, 2020). Menurut (Agustino, 2019),
apabila memahami produksi kebijakan publik berdasar asumsi yang berangkat dari
pemikiran utilitarianisme, maka hal itu berarti institusi pemerintahan berjalan begitu
demokratis, karena akan selalu ada agregasi dan kepentingan publik di dalamnya untuk
menentukan suatu keputusan atau kebijakan tertentu. Namun pendasaran itu-lah yang
setidaknya menjadi sebuah masalah, apakah partisipasi publik benar-benar masuk dalam
blackbox pembentukan dan pengolahan kebijakan publik itu sendiri?
Salah satu produk kebijakan publik yang mendapatkan eksposur besar dari
masyarakat adalah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2020
tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam Rangka Percepatan
Penanganan Covid-19. Kehadiran Beleid ini memunculkan polarisasi besar di tengah
masyarakat Indonesia, sebagian menyetujuinya dalam rangka menekan angka penyebaran
Covid-19 yang terus meningkat, namun separuhnya lagi menentang kebijakan tersebut
karena di khawatirkan dapat merusak sirkulasi ekonomi masyarakat. Beberapa penelitian
sebelumnya telah berusaha untuk mencari format alasan terbaik pemilihan sirkuler
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagai jalan terbaik dalam menekan angka
penyebaran Covid-19 di Indonesia, (Herdiana, 2020) dalam Jurnalnya yang berjudul
“Implementasi Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Sebagai Upaya
Penanggulangan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)secara komprehensif berhasil
menjelaskan bagaimana pelaksanaan dan penerapan PSBB berjalan di Indonesia dengan
menggunakan tiga indikator penelitian, yaitu subtansi kebijakan, pelaksana kebijakan,
dan sasaran kebijakan yang menghasilkan kesimpulan ketidakoptimalan daripada
implementasi daripada PSBB itu sendiri. Sekaligus memberikan rekomendasi akademik,
berdasarkan analisis dalam jurnal tersebut (Herdiana, 2020) menyarankan bahwa
implementasi keputusan PSBB dalam interval waktu berikutnya harus memperhatikan
secara intens daripada penerapan PSBB tersebut, khususnya koridor masyarakat yang
pada dasarnya menjadi kelompok sasaran utama dari keberadaan kebijakan PSBB di
Indonesia. Sejalan dengan hal tersebut, (Fauzi, 2020) dalam “Implementasi Pembatasan
Sosial Berskala Besar, Sebuah Kebijakan Publik dalam Penanganan Pandemi Covid-19”
juga menyatakan bahwa masih terjadi bentuk bias kebijakan dalam perspektif dan
persepsi yang berakibat pada pengaplikasian di tahap implementasi. Disisi lain,
ditambahkan pula bahwa keberhasilan PSBB di beberapa daerah bergantung pada
segenap faktor dan variabel penentu, mulai dari kesiapan para aparat dan pemangku
kebijakan, sarana pendukung, ketersediaan biaya, dan sistematika koordinasi dengan
pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.
Pembahasan dalam penelitian ini akan menunjukkan alasan dan asumsi dasar yang
dibangun pemerintah dalam menentukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB),
Raden Farhan Syahir Herdyatomo Wibowo
1410 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 8, Agustus 2021
berikut dengan segala rekapitulasi untung-rugi; cost-benefits, dengan menggunakan
Pendekatan Pilihan Rasional (Rational Choice Approach) sebagai tools of analysis utama
untuk mendapatkan ragam jawaban di dalamnya.
Agenda Setting Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2020
tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)
Hindmoor (Marsh & Stoker, 1995) mengatakan bahwa terdapat dua asumsi utama
sebagai titik berangkat Rational Choice Approach yaitu rasionalitas dan kepentingan
aktor. Termasuk bagaimana ketika pemerintah menentukan kebijakan mana yang terlebih
dahulu harus di produce, melalui beberapa alternatif pilihan. Namun ketika berbicara
bagaimana Pilihan Rasional tersebut diartikulasikan dalam penentuan preferensi
kebijakan, terlebih dahulu decision makers actor harus menentukan standarisasi dan
parameter capaian, rumusan masalah, sampai pada tujuan dari kebijakan itu sendiri, atau
yang lebih dikenal dengan public policy agenda setting. Artinya implementasi Pilihan
Rasional harus memiliki acuan terlebih dahulu dengan tujuan preferensi yang dipilih akan
proper dengan apa yang dibutuhkan dan diperlukan.
Agenda Setting dapat dimengerti sebagai pendalaman dan pembicaraan isu untuk
mendapatkan atensi daripada aktor kebijakan untuk diangkat sebagai opsi pemerintah
dalam menyelesaikan permasalahan yang ada (Agustino, 2019). Poin utama dari proses
agenda setting adalah bagaimana ketika isu-isu yang ada di tengah publik dapat
bertransformasi menjadi tajuk sentral yang pada akhirnya menjadi policy agenda yang
nantinya akan ditetapkan oleh pembuat kebijakan. PP Republik Indonesia Nomor 21
tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) juga tidak datang secara
tiba-tiba, terdapat subtansi deliberatif yang secara bersamaan muncul dari masyarakat,
mulai dari grass-roots society kelompok-kelompok, sampai pada gerakan sosial atau
social movement. Publik memberikan sebuah overview besar apa yang sedang terjadi di
tengah masyarakat: dibutuhkan sebuah regulasi untuk menekan angka penyebaran Covid-
19, terlebih pada awal wabah ini masuk Indonesia tidak memiliki banyak sirkulasi untuk
menghadirkan dosis pencegahan maupun upaya vaksinasi, sehingga yang menjadi
penetrasi utama gagasan saat itu adalah kebijakan preventif negara untuk mencegah
penyebaran Covid-19 di tengah masyarakat. Hal ini dilakukan melalui beragam cara,
mulai dari lobbying ataupun audiensi, sampai pada gerakan massa penekan pemerintah.
Bahkan terkadang, menurut (Cobb & Elder, 1983), kalangan elit-pun terkadang
melakukan tindakan-tindakan tersebut untuk mendapatkan perhatian masyarakat luas
dalam rangka membuka kesadaran terhadap apa yang sedang terjadi.
Sistematika setelah agenda setting tidak berakhir sampai disitu, kehadiran
perumusan masalah dan policy agenda atau agenda kebijakan menjadi urgensi sirkulasi
juga. Pada tahap perumusan masalah, dibentuk-lah konfigurasi kebijakan yang nantinya
harus menjawab problematika yang ada di tengah masyarakat. Perumusan masalah
dimulai dari bagaimana pembuat kebijakan dapat mengenali permasalahan (problem
search), pendefinisian permasalah (problem definition), dan pada akhirnya menentukan
spesifikasi permasalahan (problem specification) (Agustino, 2019). Dalam PP Republik
Analisis Pilihan Rasional Terhadap Keputusan Pembatasan Sosial Berskala Besar
Dalam Mencegah Penyebaran COVID-19
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 8, Agustus 2021 1411
Indonesia Nomor 21 tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ini
hadir-lah pertanyaan-pertanyaan yang subtansial, seperti “bagaimana dapat menekan
angka penyebaran Covid-19, namun dengan sirkulasi ekonomi yang tetap berjalan?”
atau “bentuk formulasi seperti apakah yang dibutuhkan untuk menjembatani agregasi
antara ekonomi dan kesehatan?” yang nantinya rumusan ini bukan sekedar menjadi
permasalahan yang harus dijawab melalui suatu kebijakan publik, lebih dari itu menjadi
tujuan dan dasar bersama dalam mencapai apa yang telah ditetapkan.
Setelah melewati agenda setting dan perumusan masalah, pembentukan public
policy akan berlanjut pada agenda kebijakan. Pada dasarnya agenda kebijakan merupakan
priority list issues yang mendapatkan banyak atensi serius untuk ditindaklanjuti atau
diproses para decision makers menjadi sebuah kebijakan yang utuh. Disini-lah PP
Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar
(PSBB) menjadi produk yang dianggap dapat menjawab permasalahan yang hadir di
tengah publik, setelahnya kajian mendalam mengenai formulasi dan konstelasi kebijakan
berikut dengan artikulasi dan implementasinya dilakukan dengan maksud turunan
regulasi yang hadir tidak memberikan kerugian bagi publik itu sendiri.
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagai pilihan paling rasional, efektif, dan
“menguntungkan”
Pada 31 Maret 2020, pemerintah secara resmi menandatangani kebijakan PP
Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar
(PSBB) (peraturan.bpk.go.id, 2020). Selain PP Nomor 21 tahun 2020, pada hari yang
sama pemerintah turut mengeluarkan dua regulasi lainnya, yaitu Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan
Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau
Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional
dan/atau Stabilitas keuangan; Keputusan Presiden (Keppres) Tentang Penetapan
Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Covid-19 (kemenkopmk.go.id, 2020). Untuk
Keppres Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan, secara resmi
pemerintah menetapkan Covid-19 sebagai jenis penyakit yang memiliki tendensi besar
untuk menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat, yang berarti pula adanya
penetapan upaya penanggulangan masyarakat dari Covid-19 dengan berdasar ketentuan
Peraturan Perundang-Undangan. Sedangkan dalam PP Nomor 21 Tahun 2020,
pemerintah secara resmi menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagai
usaha preventif dalam rangka menekan angka penyebaran Covid-19 (setkab.go.id, 2020).
Pembatasan Sosial Berskala Besar, selanjutnya disingkat menjadi PSBB, dijadikan
pemerintah sebagai preferensi utama pemerintah sebagai solusi paling efektif dan efisien.
Pemahaman mengenai PSBB dapat ditelusuri melalui Pasal 1 (satu) PP Nomor 21 Tahun
2020, yang diartikan menjadi “…Pembatasan Sosial Berskala Besar adalah pembatasan
kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi Corona Virus
Disease 2019 (Covid-19) sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran
Corona Virus Disease 2019 (Covid-19)” (PP Nomor 21 Tahun 2020). Implikasinya,
Raden Farhan Syahir Herdyatomo Wibowo
1412 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 8, Agustus 2021
PSBB menjadi gerbang utama pencegahan dan penyebaran Covid-19 di Indonesia
(Kemenkopmk.go.id, 2020). (Herdiana, 2020) mengatakan bahwa berdasar pada
implementasi PP Nomor 21 Tahun 2020 dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9
Tahun 2020 sebagai teknis operasional Peraturan Pemerintah, dalam menerapkan PSBB,
suatu wilayah harus memenuhi dua syarat utama, yaitu jumlah kasus dan/atau jumlah
kematian akibat wabah Covid-19 terus meningkat dan mengalami penyebaran yang masif
dan signfikan; terdapat relasi epidemiologis dengan kejadian serupa di wilayah atau
negara lain. Dalam implementasinya juga PSBB menerapkan pengetatan dan pembatasan
dari koridor kehidupan sosial masyarakat, seperti tranformasi sistematika sekolah
maupun tempat kerja menjadi dalam jejaring, pengetatan aktivitas keagamaan, sampai
pada pembatasan kerumunan di fasilitas umum masyarakat, namun dengan tetap
mempertimbangkan kebutuhan mendasar, mulai dari pendidikan, ibadah, sampai pada
kebutuhan pokok penduduk wilayah.
Secara sirkulasi kebijakan, pada dasarnya implementasi dari PP Nomor 21 Tahun
2020 telah memenuhi aspek-aspek pembentukan good policies, mulai dari agenda setting,
rumusan masalah, sampai pada artikulasi dan pelaksanaan. Pada 1 April 2020, Deputi IV
Kantor Staf Presiden (KSP) Juri Ardiantoro menyatakan secara tegas bahwa PSBB
menjadi kebijakan paling rasional dari banyak pilihan dan usulan soal percepatan
penanganan Covid-19 (bnpb.go.id, 2020). Apabila melihat pernyataan tersebut, dengan
jelas dapat disimpulkan bahwa pemerintah telah memilih preferensi dari beberapa
alternatif yang telah ditetapkan, dalam hal ini pemerintah secara nyata menggunakan
pisau Pilihan Rasional untuk menentukan suatu keputusan dalam rangka percepatan
penanganan Covid-19. Setidaknya terdapat tiga kriteria utama ketika aktor politik atau
penentu kebijakan sudah mengatakan bahwa pilihannya rasional, pertama, keputusan
yang dibuat merupakan sebuah artikulasi dan implementasi dari keinginan aktor tersebut
(dalam hal ini pemerintah) yang didasarkan oleh keyakinan terhadap sesuatu; keyakinan
yang diyakini harus memiliki kejelasan yang tinggi, didukung dengan fakta dan bukti
yang kuat; aktor (dalam hal ini pemerintah) dalam hal ini harus memiliki informasi yang
subtansial dan dirasa memenuhi apa yang dibutuhkan (Elster, 1989). Setidaknya sudah
semestinya bahwa hal tersebut menjadi dasar pijakan bagi Ardiantoro dalam melakukan
klaim pilihan PSBB sebagai pilihan yang paling rasional.
Pemerintah dihadapkan dengan beberapa alternatif pilihan dalam rangka menekan
penyebaran Covid-19, di saat bersamaan pula pemerintah harus menentukan kebijakan
yang dianggap paling efektif, efisien, sekaligus “menguntungkan”. Ketika PSBB
dianggap paling rasional, maka dapat dipastikan terdapat alternatif opsi lainnya, dalam
hal ini Lockdown atau yang dikenal dengan Karantina Wilayah. Sejak penetapan
kebijakan PSBB, wacana Lockdown/Karantina Wilayah menjadi objek yang dianggap
menjanjikan bagi masyarakat dalam menekan penyebaran Covid-19. Pada dasarnya, kata
lockdown tidak dapat ditemukan di regulasi manapun, sekalipun dalam kebijakan
Kekarantinaan Kesehatan. Lockdown merupakan protokol darurat yang pada
pelaksanaannya bukan hanya membatasi, melainkan mencegah individu maupun
kelompok untuk meninggalkan wilayah tertentu, implikasinya “mematikan” seluruh
Analisis Pilihan Rasional Terhadap Keputusan Pembatasan Sosial Berskala Besar
Dalam Mencegah Penyebaran COVID-19
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 8, Agustus 2021 1413
aktivitas dan kegiatan masyarakat. Padanan kata paling dekat dan berkorelasi daripada
Lockdown sendiri adalah Karantina Wilayah. Dalam menemukan pemaknaan daripada
Karantina Wilayah itu sendiri, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 Tentang
Kekarantinaan Kesehatan menjelaskan secara komprehensif keberadaan daripada
Karantina Wilayah. Pada pasal 49 ayat (1) yang berbunyi “Dalam rangka melakukan
tindakan mitigasi faktor risiko di wilayah pada situasi Kedaruratan Kesehatan
Masyarakat dilakukan Karantina Rumah, Karantina Wilayah, Karantina Rumah Sakit,
atau pembatasan Sosial Berskala Besar oleh pejabat Karantina Kesehatan”, Karantina
Wilayah disebut sebagai salah satu opsi daripada upaya untuk menyelenggarakan
kekarantinaan kesehatan di wilayah tertentu. Untuk selanjutnya, penulis akan
menyertakan kedua kata tersebut sebagai gambaran padanan antara Lockdown dan
Karantina Wilayah.
Pemerintah harus memilih antara PSBB atau Lockdown/Karantina Wilayah
berikut dengan segala pertimbangan dan kalkulasi, PSBB-lah yang menjadi pilihannya.
Dengan menggunakan Pendekatan Pilihan Rasional, dapat dilihat bahwa pemerintah telah
menetapkan beberapa alternatif dengan tujuan untuk menekan penyebaran Covid-19 dan
menetapkan PSBB sebagai kebijakan yang paling rasional dengan pendasaran efektivitas
dan efisiensi hasil. Setidaknya terdapat penyusunan preference rank yang mempermudah
pemerintah untuk menentukan sikap dan keputusan yang membawa keuntungan beserta
kegunaan maksimal (Budiardjo, 2018). Pemilihan PSBB sebagai alternatif paling rasional
pada dasarnya dapat dianalisis dan diamati melalui koridor-koridor kehidupan
masyarakat, antara lain, pertama, kestabilan ekonomi. Baik mikro maupun makro,
sirkulasi ekonomi dalam suatu negara menjadi penting ketika berbicara keadaan krisis
dan genting. Titik berangkat pemerintah adalah bagaimana menyeimbangkan
pengelolaan kesehatan dengan stabilisasi ekonomi, bahkan (Victoria, 2020) (Menteri
Keuangan Republik Indonesia) menyatakan bahwa aspek kesehatan maupun ekonomi
sama pentingnya dalam membentuk keputusan dan policy dalam rangka mempercepat
penanganan Covid-19 (katadata.co.id, 2020). Memilih antara PSBB dan
Lockdown/Karantina Wilayah pada dasarnya bukan menentukan mana yang terbaik,
melainkan mana yang lebih baik. Meskipun memang ekonomi Indonesia 2020
diperkirakan tumbuh negatif (kompas.com, 2020), namun dengan keputusan PSBB maka
upaya untuk membangkitkan kembali sirkulasi ekonomi nasional menjadi
memungkinkan. Tidak seperti Lockdown/Karantina Wilayah, PSBB tetap memberikan
jalur peredaran ekonomi secara intens, seperti terciptanya prosedur bagi para pelaku
usaha untuk tetap menjalankan transaksi finansialnya dengan memperhatikan protokol
kesehatan yang telah ditetapkan. Menurut (Victoria, 2020) (dalam cnnindonesia.com,
2020), meskipun ekonomi terus mengalami anjlok khususnya kuartal I dan kuartal II
kebijakan PSBB tetap diperlukan, karena jika kasus Covid-19 terus meningkat, ekonomi
dapat bertambah buruk. PSBB berupaya untuk menempatkan masyarakat pada tujuan
penekanan dalam penyebaran Covid-19, namun di sisi lain PSBB juga memberikan
kemungkinan untuk tetap melaksanakan aktivitas dengan memenuhi protokol kesehatan
dan kebijakan pencegahan. Semisal pada hospitality sector diterapkan kebijakan waktu
Raden Farhan Syahir Herdyatomo Wibowo
1414 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 8, Agustus 2021
operasional hingga pukul 19.00/20.00 dengan kuantitas yang dibatasi hingga maksimal
25 persen. Selain itu pula misalnya untuk aspek perkantoran dan kepegawaian,
pemerintah menetapkan pula kebijakan work from home (WFH) dari yang asalnya 50
persen menjadi 75 persen. (cnnindonesia.com, 2020). Lagi-lagi, bahwa pilihan antara
PSBB dan Lockdown/Karantina Wilayah bukan menentukan konstelasi yang terbaik,
melainkan konfigurasi yang lebih baik diantara keduanya, dan PSBB yang menjadi
jawaban dalam rangka menyeimbangkan aspek kesehatan dan ekonomi masyarakat.
Berbeda cerita dengan Lockdown/Karantina Wilayah. Memang pada dasarnya
Lockdown/Karantina Wilayah memberikan suatu kepastian dan jaminan permasalahan
kesehatan akan diatasi, dalam hal ini penekanan angka penyebaran Covid-19, namun
sayangnya bahwa sirkulasi ekonomi-pun akan “tertekan” menuju ketidakstabilan
nasional. Pemerintah menyatakan bahwa opsi Lockdown/Karantina Wilayah justru akan
lebih membawa banyak kerugian bagi setiap aspek kehidupan masyarakat, terlebih sosial,
ekonomi, dan situasi finansial. Pada tanggal 22 April 2020, Mata Najwa melakukan
wawancara eksklusif bersama Presiden Joko Widodo, dengan salah satu pembahasan
utamanya yang berkaitan dengan pengambilan keputusan di antara PSBB atau
Lockdown/Karantina Wilayah. Presiden Joko Widodo, dalam hal ini mewakili seluruh
argumentasi pemerintah, mengawali dengan menyatakan bahwa Lockdown/Karantina
Wilayah tidak memberikan jaminan bahwa permasalahan Covid-19 akan cepat berakhir,
Presiden Joko Widodo menambahkan proposisinya dengan melakukan komparasi
penerapan Lockdown di negara-negara lain namun tidak menghasilkan penanganan yang
signifikan dan efektif. Ia menambahkan bahwa alternatif Lockdown/Karantina Wilayah
sebagai sebuah preferensi juga menciptakan kerugian dan kesusahan bagi bangsa-negara
sendiri dengan mengungkapkannya melalui kalimat “…Artinya, masyarakat harus tetap
di rumah, bus berhenti dan tidak boleh keluar, taxi berhenti, ojek berhenti, sampai pada
pesawat berhenti, MRT berhenti, KRL semuanya berhenti, hanya di rumah”. Makna yang
disampaikan oleh Presiden Joko Widodo memberikan pesan bahwa sirkulasi ekonomi
akan rusak dalam waktu yang singkat apabila pemerintah tetap menggunakan opsi
Lockdown/Karantina Wilayah sebagai pilihannya, karena masyarakat hanya
diperbolehkan diam dirumah dan tidak melaksanakan kegiatan perekonomian apapun.
Hal ini juga terkait dengan pembiayaan yang harus dikeluarkan ketika penerapan
Lockdown/Karantina Wilayah dilaksanakan, semisal DKI Jakarta yang membutuhkan
anggaran 550 Miliar per hari untuk memenuhi syarat dan kriteria penerapan
Lockdown/Karantina Wilayah (cnbcindonesia.com, 2020). Presiden Joko Widodo
menegaskan bahwa pemerintah akan selalu melihat problematika kesehatan itu sebagai
hal yang jauh lebih penting, namun sirkulasi ekonomi masyarakat pun tetap harus
mendapatkan atensi mendalam. Senada dengan argument tersebut, Lararenjana (2020)
menyatakan bahwa terdapat beberapa kerugian apabila melaksanakan penerapan
Lockdown/Karantina Wilayah di Indonesia, antara lain nasib dan “kematian” para pelaku
UMKM beserta para pekerja dengan pemasukan harian menjadi nyata;
Lockdown/Karantina Wilayah akan menimbulkan suatu kondisi masyarakat yang terus
melakukan kalkulasi kebutuhan, yang pada akhirnya menimbulkan gejala mayor
Analisis Pilihan Rasional Terhadap Keputusan Pembatasan Sosial Berskala Besar
Dalam Mencegah Penyebaran COVID-19
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 8, Agustus 2021 1415
masyarakat seperti panic buying dan lainnya; Over consumption yang terjadi akibat panic
buying juga akan menimbulkan permasalahan baru pada distribusi dan alokasi bahan baku
masyarakat; belum lagi gangguan yang akan dihadapi oleh para pelaku sarana
transportasi, apabila Lockdown/Karantina Wilayah dilakukan maka sektor tersebut akan
mengalami kelumpuhan total. Memang transfigurasi dan tatanan untuk menekan
penyebaran Covid-19 terus dilakukan, semua mencari formulasi terbaiknya dalam
mendapatkan patron paling efektif dalam penanganan. (Agustino, 2019) mengatakan
bahwa sebuah kebijakan dikatakan rasional apabila memenuhi enam aspek penting, yang
mana tiga diantarnya adalah, menetapkan tujuan, value dan sasaran yang akan menjadi
basis pengambilan keputusan. Setelah itu, pemeringkatan disusun untuk memilih pilihan
mana yang paling rasional; mengidentifikasi semua alternatif keputusan; melakukan
prediksi atas konsekuensi dari setiap alternatif pilihan. Dari apa yang disampaikan oleh
pemerintah, setidaknya dapat diidentifikasi bagaimana PSBB menjadi lebih rasional dan
menguntungkan dibandingkan Lockdown/Karantina wilayah melalui argumentasi dan
gagasan yang disampaikan.
Kedua, hal ini berkaitan dengan situasi dan kondisi Indonesia dengan keragaman
perbedaan geografis memungkinkan PSBB menjadi jawaban yang lebih rasional
dibandingkan Lockdown/Karantina Wilayah. Ardiantoro (Deputi Kantor Staf Presiden)
mengatakan bahwa pemerintah turut mempertimbangkan spesifikasi dan karakteristik
bangsa dengan keragaman geografis maupun demografis yang berbeda.
Lockdown/Karantina Wilayah dianggap tidak dapat mengakomodir hal tersebut, pasalnya
sifat yang dihadirkan hanya bermuara pada satu keputusan: menutup dan mematikan
seluruh aktivitas masyarakat, sehingga keperluan dan kebutuhan masyarkat dengan
perbedaan geografis maupun demografis tidak dapat diakomodir dengan baik. Sebaliknya
dengan PSBB yang diawali dengan pengusulan yang dilakukan oleh kepala daerah
kepada menteri yang menyelenggarakan urusan kesehatan. Hal ini bersifat Bottom Up,
bahwa keputusan pengadaan PSBB berasal dari kepala daerah tingkat I atau II menuju
pemerintah pusat. Artinya ketika pengusulan tersebut dilakukan dari bawah, dapat secara
spesifik kepala daerah melihat kebutuhan dan keperluan daripada daerahnya sendiri,
sehingga pada akhirnya PSBB dapat menyesuaikan apa yang menjadi prioritas daerah
dengan keragaman yang berbeda. Ini dapat dilihat dari pemberlakuan parameter ekonomi
yang berbeda di tiap daerah, penetapan zona-zona wilayah berdasarkan tingkat
penyebaran, sampai pada distribusi bantuan dari pemerintah pusat.
Dari beberapa identifikasi alternatif tersebut, pemerintah memutuskan untuk
memilih PSBB sebagai pilihan yang paling rasional dibandingkan dengan
Lockdown/Karantina Wilayah yang menjadi salah satu alternatif opsi penanganan.
(Michael, 1980) menyampaikan bahwa ada 4 langkah sekuensial sekaligus menjadi
konsekuensial dalam pengambilan kebijakan, dimulai dari penetapan tujuan yang akan
dicapai, sampai pada akhirnya strategi kebijakan yang diterapkan harus terus diawasi
sebagai pilihan paling rasional dalam menjawab permasalahan yang ada. Dengan
demikian, artinya pemerintah secara rasional memilih PSBB sebagai bentuk penanganan
paling efektif, efisien, dan “menguntungkan” bagi semua pihak.
Raden Farhan Syahir Herdyatomo Wibowo
1416 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 8, Agustus 2021
Kesimpulan
Analisis fenomena politik dengan menggunakan Rational Choice Approach
menjadi salah satu metode dan sistematika yang menjanjikan untuk mengupas setiap
keputusan yang dipilih oleh para decision makers. Sifatnya yang menuntut adanya
alternatif yang terkuantifikasi dengan melakukan identifikasi mendalam, menjadikan
pendekatan ini menjadi salah satu preferensi metode yang dapat digunakan dalam melihat
setiap keputusan yang terjadi/terlaksana.
Keputusan pemerintah untuk menetapkan PSBB sebagai wacana paling efektif
untuk menekan penyebaran Covid-19 semata-mata tidak berdiri sendiri sebagai satu-
satunya jalan yang harus ditempuh. Pemerintah dihadapkan dengan kemungkinan dan
tendensi yang muncul dari masyarakat, memilih untuk mengutamakan kesehatan, atau
menjaga sirkulasi ekonomi. Lockdown/Karantina Wilayah dengan cepat berhasil menjadi
alternatif pemerintah dalam mencari sistem terbaik dalam percepatan penanganan Covid-
19, konsekuensinya pemerintah diharuskan untuk memilih antara kebijakan PSBB atau
Lockdown/Karantina Wilayah.
Dengan beberapa perimbangan dalam menentukan kebijakan yang paling rasional,
pemerintah melakukan analisis yang setidaknya menjadi titik berangkat untuk
menentukan keputusan mana yang lebih baik, efektif, dan menguntungkan. Dimulai dari
koridor ekonomi, PSBB dianggap mampu menjaga kestabilan ekonomi dan menemukan
harmonisasi dengan upaya penjagaan kesehatan, berbeda dengan Lockdown/Karantina
Wilayah yang memungkinkan terjadinya kelumpuhan total ekonomi. Begitu pula dengan
PSBB yang dianggap mampu untuk fit in dalam setiap kebijakan daerah dengan
keragaman demografis maupun geografis. Dari beberapa poin tersebut, pada akhirnya
pemerintah sepakat untuk memilih kebijakan PSBB dibandingkan Lockdown/Karantina
Wilayah sebagai sirkulasi penanganan paling efisien, ampuh, dan rasional.
Analisis Pilihan Rasional Terhadap Keputusan Pembatasan Sosial Berskala Besar
Dalam Mencegah Penyebaran COVID-19
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 8, Agustus 2021 1417
Bibliografi
Agustino, Leo. (2019). Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta Bandung.
Andrain, Charles F., & Apter, David E. (1995). The Learning of Political Attitudes. In
Political Protest and Social Change (pp. 233255). Springer.
Atkinson, P., Gobat, N., Lant, S., Mableson, H., Pilbeam, C., Solomon, T., Tonkin-Crine,
S., & Sheard, S. (2020). Understanding the policy dynamics of COVID-19 in the
UK: Early findings from interviews with policy makers and health care
professionals. Social Science & Medicine, 266, 113423.
Buchanan, James M., & Tollison, Robert D. (1984). The Theory of public choice--II.
University of Michigan Press.
Budiardjo, Miriam. (2018). Dasar-Dasar Ilmu Politik Edisi Revisi. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Cobb, Roger W., & Elder, Charles D. (1983). Participation in American politics: The
dynamics of agenda-building. Johns Hopkins University Press.
David, Easton. (1965). A framework for political analysis. Prentice Hall Incorporated.
Raden Farhan Syahir Herdyatomo Wibowo
1418 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 8, Agustus 2021
Downs, Anthony. (1957). An economic theory of political action in a democracy. Journal
of Political Economy, 65(2), 135150.
Elster, Jon. (1989). Social norms and economic theory. Journal of Economic
Perspectives, 3(4), 99117.
Fauzi, Ahmad. (2020). Implementasi Pembatasan Sosial Berskala Besar, Sebuah
Kebijakan Publik Dalam Penanganan Pandemi COVID-19. Jurnal Ilmu
Administrasi Negara, 16(1), 174178.
Fikri, Mursyid. (2018). Rasionalisme Descartes dan Implikasinya Terhadap Pemikiran
Pembaharuan Islam Muhammad Abduh. TARBAWI: Jurnal Pendidikan Agama
Islam, 3(02), 128144.
Friedman, Milton. (1953). The methodology of positive economics.
Herdiana, Dian. (2020). Implementasi Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar
(Psbb) Sebagai Upaya Penanggulangan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
DECISION: Jurnal Administrasi Publik, 2(2).
Lorens, Bagus. (1996). Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia.
Marsh, David, & Stoker, Gerry. (1995). Theory and methods in political science.
Macmillan London:
Michael, Carley. (1980). Rational techniques in policy analysis. Policy Studies Institute,
London.
Riker, William H. (1962). The theory of political coalitions. Yale University Press.
Victoria, A. .. (2020). Sri Mulyani Sulit Memilih Antara Kesehatan dan Ekonomi Hadapi
Pandemi. Retrieved from Katadata.co.id website:
https://katadata.co.id/agustiyanti/finansial/5f62113ac94d6/sri-mulyani-sulit-memilih-
antara-kesehatan-dan-ekonomi-hadapi-pandemi
Republik Indonesia. 2020. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020 tentang
Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona
Virus Disease 2019 (COVID-19). Jakarta: Presiden Republik Indonesia.
Republik Indonesia. 2018. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2018
tentang Kekarantinaan Kesehatan. Jakarta: Presiden Republik Indonesia.
Roskin, Michael. Theory of Rational Choice. Britannica.com. Diakses tanggal 15 Juni
2021 dari laman https://www.britannica.com/topic/political-science/Enduring-
debates-in-political-science
Analisis Pilihan Rasional Terhadap Keputusan Pembatasan Sosial Berskala Besar
Dalam Mencegah Penyebaran COVID-19
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 8, Agustus 2021 1419
Badan Nasional Penanggulangan Bencana. (1 April 2020). Kebijakan PSBB Pilihan
Paling Rasional di Tengah Covid-19. Bnpb.go.id. Diakses tanggal 15 Juni 2021
dari laman https://bnpb.go.id/berita/kebijakan-psbb-pilihan-paling-rasional-di-
tengah-covid19
Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik
Indonesia. (2020). Pembatasan Sosial Berskala Besar. Kemenkopmk.go.id.
Diakses tanggal 15 Juni 2021 dari laman
https://www.kemenkopmk.go.id/pembatasan-sosial-berskala-besar
Mahardhika, M.A. (2020). Ramai Soal Karantina Wilayah, Apa Bedanya dengan
Lockdown?. Health.detik.com. Diakses tanggal 15 Juni 2021 dari laman
https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-4957326/ramai-soal-karantina-
wilayah-apa-bedanya-dengan-lockdown
Purwanto, A. (2021). Ekonomi Indonesia pada Masa Pandemi Covid-19: Potret dan
Strategi Pemulihan 2020-2021. Kompaspedia.kompas.id. Diakses tanggal 15 Juni
2021 dari laman https://kompaspedia.kompas.id/baca/paparan-topik/ekonomi-
indonesia-pada-masa-pandemi-covid-19-potret-dan-strategi-pemulihan-2020-
2021
Lararenjana, E. (2020). Ini Dampak Lockdown yang akan terjadi Apabila Diterapkan di
Indonesia. Merdeka.com. Diakses tanggal 15 Juni 2021 dari laman
https://www.merdeka.com/jatim/ini-dampak-lockdown-yang-akan-terjadi-
apabila-diterapkan-di-indonesia-kln.html?page=4
CNN Indonesia. (2021). Dampak Ekonomi PSBB Jawa-Bali. Cnnindonesia.com. Diakses
tanggal 15 Juni 2021 dari laman
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20210107064523-532-590460/dampak-
ekonomi-psbb-jawa-bali
Surbakti, H.A. (2020). Terungkap! Alasan Jokowi Pilih PSBB Bukan Lockdown.
Cnbcindonesia.com. Diakses tanggal 15 Juni 2021 dari laman
https://www.cnbcindonesia.com/news/20200423075855-4-153804/terungkap-
alasan-jokowi-pilih-psbb-bukan-lockdown
Victoria, A.O. (2020). Sri Mulyani Sulit Memilih Antara Kesehatan dan Ekonomi Hadapi
Pandemi. Katadata.co.id. Diakses tanggal 15 juni 2021 dari laman
https://katadata.co.id/agustiyanti/finansial/5f62113ac94d6/sri-mulyani-sulit-
memilih-antara-kesehatan-dan-ekonomi-hadapi-pandemi