Raden Farhan Syahir Herdyatomo Wibowo
1406 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 8, Agustus 2021
(Dependency Theory), serta beberapa tradisi lainnya. Artinya memang Rasionalisme
menjadi pijakan utama pula bagi Rational Choice dalam beroperasi. Satu-satunya yang
menjadi permasalahan adalah adanya disparitas pemaknaan terminologi “rasional” di
antara Rational Choice dengan episteme Rasionalisme. Keduanya sama-sama berangkat
daripada penggunaan akal (rasio) sebagai tolakan dalam mencapai tujuan (Fikri, 2018),
namun yang sedikit membedakan adalah artikulasi daripada makna “rasional” itu sendiri.
(Friedman, 1953) menyatakan bahwa makna rasional yang digunakan oleh Rational
Choice diarahkan melalui definisi “rasional” yang sempit dan mengacu pada perilaku
homo economicus (manusia ekonomi), yaitu penggunaan rasio dalam menyeimbangkan
dan menemukan titik harmoni untuk memaksimalkan keuntungan pribadi ataupun
kelompok dan menurunkan intensitas kerugian yang dimungkinkan masuk dalam
perhitungan. Implikasinya, “rasional” dalam Rational Choice Approach berbicara
bagaimana akal menentukan pilihan yang paling menguntungkan bagi individu tertentu.
Dalam jurnal An Economic Theory of Democracy (1957), (Downs, 1957)
melakukan klaim kebenaran bahwa esensi maupun subtansi dalam kehidupan politik dan
relasi kuasa dapat dijelaskan melalui turunan kaitan kepentingan pribadi aktor politik.
Pelaku Rational Choice ini, baik politisi, birokrat maupun para decision makers, pada
dasarnya memiliki sifat egois dan segala keputusan maupun tindakannya berdasarkan
kecenderungan ego tersebut (Budiardjo, 2018). (Riker, 1962) pernah menggambarkan
suatu simulasi dan skema bagaimana penalaran matematis dan ekonomi dapat diterapkan
pada gerak politis, khususnya dalam membentuk sebuah koalisi/aliansi tertentu. Melalui
The Theory of Political Coalitions, Pilihan Rasional atau Rational Choice ternyata dapat
dilakukan penerapan pada beragam problematika yang membutuhkan eksplanasi, seperti
rational voting behaviour, legislation process, conflict and reconciliation, bureaucratic
circulation, dan yang tidak kalah penting: public policy.
Dari Heywood sampai (Budiardjo, 2018), dari Merkl sampai Surbakti, semua
sepakat untuk melihat kebijakan publik atau public policy sebagai suatu entitas yang
penting di tengah dinamika kuasa dalam masyarakat. (Budiardjo, 2018) mengatakan
bahwa kebijakan atau merupakan gabungan keputusan yang ditentukan oleh aktor politik,
dalam rangka menentukan tujuan serta berbicara skema metoda untuk mencapai tujuan
itu. Senada dengan (Budiardjo, 2018), (David, 1965) turut menyatakan bahwa studi
politik akan selalu berbicara problematika terbentuknya suatu kebijakan umum, dimulai
dari proses pembentukan keputusan oleh pihak berwenang sampai pada sirkulasi
penerimaan kebijakan di tengah masyarakat. Sedangkan menurut (Agustino, 2019),
kebijakan publik merupakan sintesis interaksi antara aktor pengambil keputusan publik/
pembuat kebijakan berdasar pada gejala yang harus dicarikan solusinya di tengah
masyarakat. Agustino menambahkan bahwa kebijakan dikatakan sebagai kebijakan
publik ketika turut menyertakan patisipasi masyarakat guna menghasilkan keputusan
yang terbaik untuk semua pihak. Artinya memang kebijakan publik secara tidak langsung
akan selalu berada di setiap aspek kehidupan masyarakat, sampai kapanpun.
Apabila mengacu pada pemaknaan (Riker, 1962) mengenai Rational Choice
dalam setiap aspek politik, maka kebijakan publik atau public policy menjadi bagian di