Fenomena Pengawasan Market Conduct di Indonesia oleh Otoritas Jasa Keuangan
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 7, Juli 2020 1091
ketidakpastian dapat memainkan peran yang lebih besar. Konsumen juga akan kesulitan
untuk belajar dari pengalaman, karena produk keuangan seringkali merupakan pembelian
satu kali (Dambe, Hunt, Iscenko, & Brambley, 2013).
(Campbell et al., 2010) juga mengemukakan perspektif cognitive limitation
konsumen yang mendorong perlunya regulasi, meliputi present-biased preference
(Agarwal et al., 2009), keterbatasan kognitif dan buta huruf finansial (Campbell et al.,
2010). Konsumen dengan keterbatasan kognitif cenderung untuk tidak percaya terhadap
produk keuangan, dan dapat memilih untuk menghindari sama sekali penggunaan produk
keuangan. Perspektif lain meliputi kurangnya self-knowledge, dimana konsumen tidak
memahami dengan benar kebutuhan diri mereka, diantaranya terkait preferensi dengan
waktu yang tidak konsisten (inconsistent time preference) dan keterbatasan kognitif.
Studi yang lebih komprehensif dilakukan oleh Badarinza, (Badarinza, Campbell,
& Ramadorai, 2016) yang mendalami literatur tentang perbandingan situasi keuangan
rumah tangga secara internasional berdasarkan statistik dalam neraca rumah tangga untuk
13 negara maju, terutama terkait dengan proporsi tabungan pensiun, investasi pada aset
berisiko, utang tanpa jaminan, dan hipotek untuk membahas fitur umum dan perbedaan
situasi antarnegara. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian tersebut
memanfaatkan data administratif berkualitas tinggi dan menggali secara mendalam fitur
unik sistem keuangan rumah tangga di berbagai negara dan perubahannya dari waktu ke
waktu. Penelitian mereka mengkonfirmasi literatur yang tersedia dalam keuangan rumah
tangga yang menunjukkan bahwa beberapa rumah tangga membuat keputusan keuangan
yang lebih baik daripada yang lain dan bahwa keputusan keuangan yang buruk dapat
memiliki konsekuensi yang signifikan terhadap kesejahteraan seumur hidup rumah
tangga.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa rasionalitas pelaku ekonomi
memiliki keterbatasan, dan terdapat kemungkinan pengambilan keputusan oleh
konsumen sektor jasa keuangan bukan merupakan keputusan yang terbaik untuk
kepentingan pribadi mereka. Untuk itu, tiga prinsip ekonomi perilaku sangat ditekankan
dalam penerapan awal penyusunan regulasi terkait perlindungan konsumen. Pertama,
pilihan dipengaruhi oleh kesederhanaan informasi dan jangkauan pilihan yang tersedia.
Kedua, konsumen cenderung tertarik pada opsi yang lebih nyaman, terutama opsi default.
Ketiga, penekanan (salience) dari pilihan atau atribut dapat mempengaruhi bagaimana
pilihan tersebut dipertimbangkan dalam keputusan (Lunn, 2014).
Berdasarkan perspektif historiografi, penerapan upaya dan regulasi perlindungan
konsumen biasanya muncul setelah timbulnya permasalahan yang bersifat sistemik,
seperti krisis ekonomi (Shiller, 2005). Struktur industri turut berkontribusi pada
terciptanya akar permasalahan perlindungan konsumen. Aktivitas perlindungan
konsumen yang hanya mengacu pada regulasi lex generalis tersebut di atas cenderung
bersifat ex-post dan menganut “imperfectly informed regime”. Dengan demikian,
konsumen kemungkinan tidak menerima informasi secara penuh mengenai risiko terkait
dengan keputusan mereka. Namun, konsumen pada akhirnya tetap dilindungi melalui
berbagai mekanisme ex post (sistem peradilan dan alternatif penyelesaian sengketa).