1084
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi: pISSN: 2723 - 6609
e-ISSN : 2745-5254
Vol. 2, No. 7 Juli 2021
FENOMENA PENGAWASAN MARKET CONDUCT DI INDONESIA OLEH
OTORITAS JASA KEUANGAN
Anto Prabowo
1
, Mugi Harsono
2
Universitas Sebelas Maret Surakarta
1
2
Abstrak
Badan pengatur standar global telah sepakat tentang perlunya kerangka pengawasan
perilaku pasar yang kuat, namun pendalaman terhadap fenomena sebenarnya dari
pengawasan market conduct yang telah dilaksanakan oleh Otoritas Jasa Keuangan
Indonesia masih sangat kurang. Artikel-artikel penelitian pengawasan market
conduct di Indonesia pada umumnya juga jarang menyentuh aspek ekonomi dari
fenomena tersebut dengan penekanan analisis yang dominan terhadap dinamika
hukum dari fenomena tersebut. Artikel ini menggunakan metode penelitian kualitatif,
mmelalui pelaksanaan focus group discussion, literature review dan pemanfaatan
Social Fabric Matrix untuk memvisualisasikan bentangan pengawasan market
conduct di Indonesia. Tujuan dari artikel ini adalah untuk mengembangkan
pengetahuan penelitian di bidang pengawasan market conduct yang dianggap
fundamental secara global untuk perlindungan konsumen keuangan, terutama pasca
Krisis Keuangan Global 2008. Penelitian ini menggunakan metode metode kualitatif
dengan paradigma induktif dan eksploratori. Teknis analisis data tahap studi
eksploratori dimulai dengan studi literatur yang dilanjutkan dengan analisis data
dalam sesi focus group. Analisis data dilakukan dengan menelaah data hasil
wawancara focus group, observasi pelaksanaan sesi focus group, dan dokumentasi
sesi tersebut secara deskriptif kualitatif. Hasil dalam penelitian ini terbentuknya
struktur regulasi, kerangka organisasi, proses bisnis dan batasan regulasi serta
tindakan pengawasan market conduct pada OJK bersumber dari prinsip dan kerangka
kerja yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang No.21 tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan.
Kata kunci: pengawasan; perilaku pasar; perlindungan konsumen jasa keuangan; otoritas
jasa keuangan indonesia
Abstract
The global standard-setting bodies have agreed on the need for a strong market
behavior monitoring framework, however, there is still a lack of in-depth study of the
actual phenomenon of market conduct supervision that has been implemented by the
Indonesian Financial Services Authority. Research articles on market conduct
supervision in Indonesia in general rarely touch on the economic aspects of this
phenomenon with the dominant emphasis on analysis of the legal dynamics of the
phenomenon. This article uses qualitative research methods, through the
implementation of focus group discussions, literature reviews and the use of the
Social Fabric Matrix to visualize the landscape of market conduct supervision in
Fenomena Pengawasan Market Conduct di Indonesia oleh Otoritas Jasa Keuangan
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 7, Juli 2020 1085
Indonesia. The purpose of this article is to develop research knowledge in the field
of market conduct supervision which is considered globally fundamental for the
protection of financial consumers, especially after the 2008 Global Financial Crisis.
This research uses qualitative methods with inductive and exploratory paradigms.
Technical analysis of data in the exploratory study phase begins with a literature
study followed by data analysis in a focus group session. Data analysis was carried
out by examining the data from the focus group interviews, observing the
implementation of the focus group sessions, and documenting the sessions in a
qualitative descriptive manner. The results of this study are the formation of
regulatory structures, organizational frameworks, business processes and regulatory
boundaries as well as market conduct supervision actions at the OJK are derived
from the principles and frameworks that have been stipulated in Law No. 21 of 2011
concerning the Financial Services Authority.
Keywords: Supervision, Market Behavior, Financial Services Consumer Protection,
Indonesian Financial Services Authority
Pendahuluan
Pentingnya perlindungan konsumen sektor jasa keuangan pasca krisis global
tahun 2008 yang berdampak signifikan secara sosial dan ekonomi dan pengarusutamaan
behavioral economics sebagai landasan dalam penyusunan regulasi perlindungan
konsumen telah terpublikasi melalui beberapa hasil penelitian (Lefevre & Chapman,
2017) Dalam penelitian-penelitian tersebut, diidentifikasikan bias-bias keperilakuan
umum yang ditunjukkan individu dalam konteks pengambilan keputusan keuangan, dan
penerapan ekonomi perilaku untuk regulasi perlindungan konsumen keuangan yang dapat
membantu menyediakan alternatif yang hemat biaya untuk membuat kebijakan
perlindungan konsumen sektor jasa keuangan lebih efektif dan bermanfaat bagi
kepentingan konsumen (Johnston, Tether, & Tomlinson, 2015).
Sebelum krisis keuangan global 2008, regulasi sektor jasa keuangan didominasi
oleh regulasi prudensial yang mementingkan kesehatan perusahaan keuangan secara
individual. Dalam perkembangannya, prinsip perlindungan konsumen sektor jasa
keuangan juga menjadi perhatian utama regulator sektor jasa keuangan berbagai negara,
khususnya negara-negara G-20. Berpangkal pada biaya ekonomi dan sosial yang besar
dari krisis keuangan global, baik ditinjau dari rambatan dampak melalui jalur pasar barang
dan tenaga kerja, jalur pasar keuangan dan jalur mekanisme penanganan (coping
mechanism) krisis secara privat maupun publik (Otker-Robe & Podpiera, 2013), lembaga
internasional dan lembaga standard-setting regulasi keuangan global mendukung agar
implementasi perlindungan konsumen sektor jasa keuangan diterapkan secara lebih
universal, khususnya karena kebijakan yang melindungi kepentingan konsumen produk
dan jasa keuangan berkontribusi pada peningkatan manajemen risiko oleh rumah tangga,
pasar keuangan yang lebih kompetitif, dan stabilitas keuangan yang lebih baik (Board,
2011).
Ketidakcukupan regulasi prudensial untuk mendukung stabilitas sektor keuangan
yang terguncang oleh krisis keuangan global tahun 2008 telah diidentifikasi oleh Basel
Anto Prabowo, Mugi Harsono
1086 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No.7, Juli 2021
Committee on Banking Supervision (BCBS), International Association of Insurance
Supervisors (IAIS), dan International Organisation of Securities Commissions (IOSCO).
Joint Forum BCBS-IOSCO-IAIS (2010) menyimpulkan diperlukannya penyusunan
prinsip yang memadai mengenai market conduct dan perlindungan konsumen yang
bermanfaat dan meningkatkan keyakinan konsumen.
Di Indonesia, penerapan perlindungan konsumen sektor jasa keuangan oleh
regulator khusus yaitu Otoritas Jasa Keuangan, diatur dalam Undang-undang No.21 tahun
2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Peraturan teknis terkait perlindungan
konsumen sektor jasa keuangan diatur dalam Peraturan OJK No.1/POJK.07/2013 tentang
Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan (POJK No. 1/2013). Namun demikian,
dalam perkembangannya, masih diperlukan upaya penyempurnaan terkait kegiatan
perlindungan konsumen sektor jasa keuangan tersebut, diantaranya dimana World Bank
(2014) menyimpulkan bahwa mandat pengawasan market conduct belum tercermin
sepenuhnya pada sistem pengawasan lembaga jasa keuangan di Indonesia. Dalam
perkembangannya, OJK melakukan penyempurnaan dalam perlindungan konsumen
sektor jasa keuangan, meskipun regulasi khusus mengenai market conduct saat ini belum
diatur secara tersendiri.
Penelitian ini bertujuan untuk menyajikan latar belakang yang memadai terhadap
topik regulasi dan pengawasan market conduct sektor jasa keuangan Indonesia. Selain
itu, mengingat keterbatasan literatur di Indonesia yang mendalami mengenai (i)
perlindungan konsumen sektor jasa keuangan dan (ii) kerangka regulasi dan pengawasan
market conduct baik dari perspektif ekonomi neoklasik maupun heterodoks, practical
knowledge gap dan theoretical gap yang ada akan dijembatani melalui penggunaan
instrumen analisis Social Fabric Matrix untuk memperjelas fenomena pengawasan
market conduct yang merupakan bentuk perlindungan konsumen sektor jasa keuangan
secara ex-ante. Dengan demikian, diharapkan penelitian ini memperkuat pemahaman
terhadap pengawasan market conduct di Indonesia sehingga dapat dilakukan penelitian
lebih lanjut dari perspektif ilmu ekonomi terhadap fenomena tersebut.
Metode Penelitian
Mengingat masih terbatasnya penelitian terkait pengawasan market conduct di
Indonesia dalam perspektif ekonomi, metode penelitian yang dipergunakan adalah
metode kualitatif dengan paradigma induktif dan eksploratori (Jemna, 2016). Dalam
perspektif ekonomi heterodoks, fenomena yang diamati tidak dapat dipisahkan dari
konteks yang melingkupinya, sehingga setiap analisis yang dilakukan diupayakan
menggunakan perspektif system-wide, meskipun dengan dampak hasil kesimpulan dari
penelitian ini tidak dapat serta-merta diterapkan pada obyek penelitian yang lain. Selain
itu, dikarenakan regulasi market conduct di Indonesia saat ini sedang terus
dikembangkan, desain penelitian kualitatif yang memungkinkan dipergunakannya on-
going design dinilai lebih bermanfaat untuk menyesuaikan dengan perkembangan
penyusunan peraturan dan penerapan pengawasan market conduct.
Fenomena Pengawasan Market Conduct di Indonesia oleh Otoritas Jasa Keuangan
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 7, Juli 2020 1087
Teknis analisis data tahap studi eksploratori dimulai dengan studi literatur yang
dilanjutkan dengan analisis data dalam sesi focus group. Sesi focus group merupakan
sarana untuk menjelajahi wilayah yang tidak diketahui (Mishra, 2016), dan dapat
menghasilkan pemahaman bersama dan beberapa perspektif topik tertentu jika dilakukan
oleh peneliti yang terlatih dan efisien (Dilshad & Latif, 2013). Analisis data dilakukan
dengan menelaah data hasil wawancara focus group, observasi pelaksanaan sesi focus
group, dan dokumentasi sesi tersebut secara deskriptif kualitatif. Analisis data dimulai
selama proses pengumpulan data, selanjutnya dilakukan reduksi data, penyajian data, dan
diakhiri dengan penarikan simpulan hasil wawancara focus group dan verifikasi. Data
lapangan yang diperoleh secara deskriptif kualitatif tersebut kemudian dianalisis
berdasarkan hasil kajian teori dan digunakan untuk menyusun model.
Focus group discussion terkait pengawasan market conduct dilakukan pada
tanggal 10 Juni 2021, yang melibatkan 1 (satu) orang pejabat Otoritas Jasa Keuangan dan
4 (empat) orang pakar dari latar belakang keilmuan ekonomi, hukum dan
komunikasi/pemasaran, sejalan dengan bidang ilmu yang berkaitan dengan fenomena
pengawasan market conduct. Sesi focus group dipimpin oleh seorang moderator yang
independen dan memiliki latar belakang pemahaman terkait topik yang dibahas.
Peneliti menyampaikan overview mengenai teori yang berkaitan dengan
fenomena pengawasan market conduct dan kemudian memberikan kesempatan kepada
para peserta focus group untuk menyampaikan perspektif berdasarkan latar belakang
keilmuan dan pengalamannya. Sesi focus group tersebut juga dihadiri beberapa pemantau
(observer) berlatar belakang akademis yang relevan dengan topik pembahasan dan
melakukan pemantauan independen terhadap jalannya sesi tersebut. Hasil pelaksanaan
focus group discussion menghasilkan data rekaman audiovisual selama 3 jam 7 menit.
Selain itu, untuk memastikan bahwa pendekatan yang dipergunakan konsisten dan
relevan untuk sistem ekonomi dunia nyata serta memenuhi paradigma dalam ekonomi
institusional, dipergunakan instrumen analisis Social Fabric Matrix (SFM) yang
Penyampaian Theoretical Background
Mengenai Fenomena yang Dipelajari:
Penyampaian Perspektif Expert terkait
Fenomena tersebut
Interaksi antara Peneliti dengan Expert
Focus Group Discussion
Kesimpulan Diskusi
Independent Observers
Moderation
Pelaksanaan Pengumpulan Data Tidak Terstruktur &
Analisis Lanjutan
Grafik 1. Proses Pelaksanaan Focus Group Discussion
Anto Prabowo, Mugi Harsono
1088 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No.7, Juli 2021
diharapkan dapat memetakan fenomena yang sedang diteliti secara sistematis. SFM
adalah "peta atau matriks pengaruh [yang berfungsi sebagai] upaya sistematis untuk
mengidentifikasi serangkaian pengaruh yang relevan yang membentuk perilaku suatu
sistem. Perangkat ini adalah gambaran dari suatu sistem". Konsisten dengan pendekatan
sistem, SFM memungkinkan cara yang tepat untuk berpikir tentang masalah atau isu
tertentu, dari mana informasi yang berguna dan solusi yang efisien dapat diperoleh.
(Christiawan & Arfianto, 2013) menggunakan Social Fabric Matrix untuk
menyusun deskripsi mendalam tentang operasi harian Federal Reserve dalam konteks
krisis keuangan global tahun 2007-2008, dimana penggunaan kerangka analisis Social
Fabric Matrix (SFM) dari operasi Federal Reserve menyajikan komponen utama norma
utama, institusi, teknologi yang relevan dalam proses penyusunan grounded theory
terkait fenomena aktivitas Federal Reserve tersebut. SFM kemudian digunakan untuk
analisis sistem normatif untuk menunjukkan artikulasi norma-norma utama melalui sub-
kriteria, aturan, peraturan, dan persyaratan yang menjadi pengaruh yang signifikan pada
tindakan komponen institusional yang terlibat dalam operasi Federal Reserve. SFM juga
telah dipergunakan sebagai perangkat analisis pelaksanaan fungsi pengelolaan utang
negara pada Kementerian Keuangan Amerika Serikat (Treasury Debt Operation) untuk
memetakan komponen dari fenomena tersebut.
Dalam penerapannya, peneliti yang menggunakan SFM perlu memetakan institusi
di luar fokus penelitian (dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan) untuk mengetahui batas-
batas dan institusi-institusi yang berinteraksi dan memberikan pengaruh terhadap
jalannya fenomena yang diamati, diantaranya pemangku kepentingan. Menurut
(Alemanno, 2015), jika tujuan utama dari regulasi adalah untuk memastikan bahwa
regulasi mengutamakan kepentingan publik, hal tersebut hanya dapat diidentifikasi dan
didukung oleh pihak-pihak yang terpengaruh oleh regulasi, yaitu pemangku kepentingan,
antara lain warga negara, bisnis, konsumen, LSM, sektor publik, perdagangan
internasional mitra dan lain-lain (Alemanno, 2015). Untuk kepentingan penelitian ini,
institusi di luar Otoritas Jasa Keuangan yang dicantumkan dalam SFM adalah institusi
yang utamanya melakukan interaksi sangat intens dengan Otoritas Jasa Keuangan dalam
pelaksanaan tugasnya, dalam hal ini adalah Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden dan
Kementerian (eksekutif).
Hasil dan Pembahasan
Perspektif ekonomi neoklasik terkait regulasi perlindungan konsumen sektor jasa
keuangan
Literatur ekonomi neoklasik berfokus pada peran pasar, dan cenderung
mengutamakan kontrak antarpihak secara bebas (laissez faire) dibandingkan regulasi,
karena regulasi umumnya mahal dan cenderung inefisien. Namun, dalam
perkembangannya berbagai krisis keuangan yang terjadi menunjukkan bahwa kegagalan
pasar (market failure) dapat terjadi dan berbagai asumsi ekonomi neoklasik tidak berlaku
pada situasi tersebut.
Fenomena Pengawasan Market Conduct di Indonesia oleh Otoritas Jasa Keuangan
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 7, Juli 2020 1089
Dalam kasus pasar produk dan jasa keuangan, terdapat kemungkinan kegagalan
pemenuhan kontrak antara lembaga keuangan dengan. Penyebabnya antara lain konflik
keagenan berupa penyediaan saran keuangan yang buruk bagi konsumen, kebangkrutan
perusahaan penyedia layanan sebelum dipenuhinya komitmen, ketidaksesuaian antara
harapan konsumen dengan produk atau layanan yang diberikan, penipuan atas nama
lembaga keuangan, ketidakmampuan untuk menyediakan layanan dalam standar yang
diharapkan, kesalahpahaman tentang jenis produk atau atribut risikonya oleh konsumen,
dan kecenderungan perilaku yang mengurangi pengambilan keputusan rasional oleh
konsumen.
Terdapat beberapa kegagalan pasar yang mendorong kebutuhan regulasi
perlindungan konsumen sektor jasa keuangan (Campbell, Jackson, Madrian, & Tufano,
2010), yaitu kepastian penegakan perlindungan konsumen terkait hak yang tercantum
dalam kontrak keuangan, eksternalitas dari perilaku satu individu kepada individu yang
lain, biaya pencarian alternatif produk dan kekuatan pasar lembaga yang menyulitkan
proses pencarian alternatif tersebut, dan ketiadaan informasi publik yang memadai, yang
dapat dikategorikan sebagai asimetri informasi antara lembaga keuangan dengan
konsumen.
Di sisi lain, kompleksitas pasar keuangan dalam perkembangannya akan
cenderung semakin meningkat dan semakin rentan terhadap asimetri informasi dan
masalah keagenan, sehingga self-regulation berupa kontrak dan penegakan hukum oleh
pelaku pasar cenderung tidak cukup untuk memastikan pasar berfungsi dengan baik, dan
diperlukan intervensi regulasi (Enriques & Hertig, 2011).
Selain pertimbangan kepentingan konsumen, ekonomi neoklasik juga
memperhitungkan dampak regulasi perlindungan konsumen dari sisi lembaga jasa
keuangan. Pertama, permasalahan distorsi kompetisi yang timbul pada saat regulasi
perlindungan konsumen dapat mengganggu keseimbangan persaingan antar lembaga jasa
keuangan. Kedua, biaya fragmentasi rezim regulasi. Regulasi perlindungan konsumen
dapat terfragmentasi dalam kewenangan beberapa lembaga regulator, yang menimbulkan
biaya tambahan bagi pihak yang diawasi. Permasalahan ini terutama mengemuka pada
negara-negara yang menganut model pengawasan twin peak, yang memisahkan
pengawasan prudensial dan pengawasan market conduct pada regulator yang berbeda.
Selanjutnya, pembentukan regulasi perlindungan konsumen akan menimbulkan biaya
administrasi tambahan untuk regulator yang menjalankannya, yang akan diteruskan baik
langsung maupun tidak langsung kepada pihak yang diawasi. Di sisi lain, pemenuhan
regulasi perlindungan konsumen akan menimbulkan biaya sumber daya manusia dan
biaya-biaya lainnya bagi lembaga keuangan. Inovasi untuk menghindari regulator, juga
mungkin terjadi pada saat lembaga keuangan melakukan inovasi produk untuk
menghindari jangkauan instrumen pengawasan oleh regulator. Yang terakhir, keberadaan
rezim regulasi yang ketat dan terperinci (rigid) dapat menimbulkan moral hazard, dimana
rezim regulasi yang kaku, detail, dan protektif dapat menghilangkan tanggung jawab dari
pegawai lembaga keuangan dan mengalihkannya kepada pegawai regulator keuangan,
sehingga menyebabkan pegawai lembaga keuangan berperilaku ceroboh.
Anto Prabowo, Mugi Harsono
1090 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No.7, Juli 2021
Perspektif ekonomi heterodoks dalam regulasi perlindungan konsumen sektor jasa
keuangan
(Shiller, 2005) menyimpulkan bahwa dalam berdasarkan analisis sejarahnya
ekonomi keperilakuan dan ekonomi institusional merupakan kategori ekonomi
heterodoks yang biasanya mengemuka paska krisis ekonomi. Mengemukanya kedua
galur ekonomi heterodoks tersebut disebabkan oleh berubahnya arus utama paradigma
ekonomi yang semula berfokus pada optimalisasi keuntungan kapitalisme sesuai
perspektif neoklasik, beralih menjadi perspektif cenderung mengkritisi dinamika
kapitalisme dan ketidaksesuaiannya terhadap realitas masyarakat yang pada umumnya
menderita dampak dari krisis ekonomi yang terjadi, khususnya disebabkan gagalnya
peran social provisioning dari ekonomi.
Keterkaitan kedua galur ekonomi heterodoks tersebut dan kegunaannya dalam
penelitian ini dapat ditinjau dari peran sentral konsep framing sebagai prinsip dasar dari
ekonomi keperilakuan (Tversky & Kahneman, 1980) yang sangat terkait dengan
kerangka institusi, dimana perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh kerangka referensi
(frames of reference). Di sisi lain, struktur institusional yang tersedia di masyarakat
merupakan kerangka kerja untuk seluruh pengambilan keputusan manusia Sementara itu,
shock perekonomian seperti krisis ekonomi seringkali menimbulkan dampak berupa
inovasi institusional (Shiller, 2005), diantaranya institusi baru seperti perlindungan
konsumen sektor jasa keuangan dan pengawasan market conduct yang berlandaskan
behavioral economics dan sebelumnya belum mengemuka sebelum krisis keuangan
global tahun 2008 (Lefevre & Chapman, 2017).
Dalam perspektif ekonomi perilaku, terdapat beberapa pertimbangan terkait
pengaturan perlindungan konsumen. Pertama, dalam penyusunan kontrak jasa keuangan
dengan konsumen, lembaga keuangan cenderung memiliki keunggulan yaitu analytical
sophistication dan akan mencoba memanfaatkan bias perilaku konsumen untuk
memaksimalkan keuntungan melalui asimetri informasi di dalam kontrak, sehingga
dibutuhkan regulasi keuangan untuk memitigasi upaya pemanfaatan bias tersebut
(Campbell et al., 2010).
Perkembangan pesat sektor jasa keuangan retail (retail finance) pasca krisis
keuangan global tahun 2008 ditunjang oleh perkembangan dukungan teknologi.
Persaingan pada pasar keuangan kemudian menyediakan berbagai alternatif bagi
konsumen. Masalah umum yang kemudian dihadapi konsumen adalah kompleksitas
produk dan layanan keuangan yang cukup sulit dipahami, dan pilihan yang banyak.
Perbandingan antar produk sulit dilakukan, karena masing-masing produk memiliki fitur
khusus, dan struktur harga tidak selalu sepenuhnya transparan (Lefevre & Chapman,
2017). Selain itu, pilihan finansial biasanya merupakan keputusan penting dalam hidup
konsumen yang melibatkan elemen emosional, seperti menginvestasikan tabungan
seumur hidup, merencanakan pensiun, dan membeli asuransi yang melibatkan manfaat
kematian (Agarwal, Driscoll, Gabaix, & Laibson, 2009). Di sisi lain, dampak dari
keputusan yang dibuat baru muncul dalam jangka panjang, artinya risiko dan
Fenomena Pengawasan Market Conduct di Indonesia oleh Otoritas Jasa Keuangan
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 7, Juli 2020 1091
ketidakpastian dapat memainkan peran yang lebih besar. Konsumen juga akan kesulitan
untuk belajar dari pengalaman, karena produk keuangan seringkali merupakan pembelian
satu kali (Dambe, Hunt, Iscenko, & Brambley, 2013).
(Campbell et al., 2010) juga mengemukakan perspektif cognitive limitation
konsumen yang mendorong perlunya regulasi, meliputi present-biased preference
(Agarwal et al., 2009), keterbatasan kognitif dan buta huruf finansial (Campbell et al.,
2010). Konsumen dengan keterbatasan kognitif cenderung untuk tidak percaya terhadap
produk keuangan, dan dapat memilih untuk menghindari sama sekali penggunaan produk
keuangan. Perspektif lain meliputi kurangnya self-knowledge, dimana konsumen tidak
memahami dengan benar kebutuhan diri mereka, diantaranya terkait preferensi dengan
waktu yang tidak konsisten (inconsistent time preference) dan keterbatasan kognitif.
Studi yang lebih komprehensif dilakukan oleh Badarinza, (Badarinza, Campbell,
& Ramadorai, 2016) yang mendalami literatur tentang perbandingan situasi keuangan
rumah tangga secara internasional berdasarkan statistik dalam neraca rumah tangga untuk
13 negara maju, terutama terkait dengan proporsi tabungan pensiun, investasi pada aset
berisiko, utang tanpa jaminan, dan hipotek untuk membahas fitur umum dan perbedaan
situasi antarnegara. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian tersebut
memanfaatkan data administratif berkualitas tinggi dan menggali secara mendalam fitur
unik sistem keuangan rumah tangga di berbagai negara dan perubahannya dari waktu ke
waktu. Penelitian mereka mengkonfirmasi literatur yang tersedia dalam keuangan rumah
tangga yang menunjukkan bahwa beberapa rumah tangga membuat keputusan keuangan
yang lebih baik daripada yang lain dan bahwa keputusan keuangan yang buruk dapat
memiliki konsekuensi yang signifikan terhadap kesejahteraan seumur hidup rumah
tangga.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa rasionalitas pelaku ekonomi
memiliki keterbatasan, dan terdapat kemungkinan pengambilan keputusan oleh
konsumen sektor jasa keuangan bukan merupakan keputusan yang terbaik untuk
kepentingan pribadi mereka. Untuk itu, tiga prinsip ekonomi perilaku sangat ditekankan
dalam penerapan awal penyusunan regulasi terkait perlindungan konsumen. Pertama,
pilihan dipengaruhi oleh kesederhanaan informasi dan jangkauan pilihan yang tersedia.
Kedua, konsumen cenderung tertarik pada opsi yang lebih nyaman, terutama opsi default.
Ketiga, penekanan (salience) dari pilihan atau atribut dapat mempengaruhi bagaimana
pilihan tersebut dipertimbangkan dalam keputusan (Lunn, 2014).
Berdasarkan perspektif historiografi, penerapan upaya dan regulasi perlindungan
konsumen biasanya muncul setelah timbulnya permasalahan yang bersifat sistemik,
seperti krisis ekonomi (Shiller, 2005). Struktur industri turut berkontribusi pada
terciptanya akar permasalahan perlindungan konsumen. Aktivitas perlindungan
konsumen yang hanya mengacu pada regulasi lex generalis tersebut di atas cenderung
bersifat ex-post dan menganut imperfectly informed regime”. Dengan demikian,
konsumen kemungkinan tidak menerima informasi secara penuh mengenai risiko terkait
dengan keputusan mereka. Namun, konsumen pada akhirnya tetap dilindungi melalui
berbagai mekanisme ex post (sistem peradilan dan alternatif penyelesaian sengketa).
Anto Prabowo, Mugi Harsono
1092 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No.7, Juli 2021
Dalam perkembangannya, perspektif yang berbeda secara umum telah mulai diterapkan
dalam rezim pengaturan perlindungan konsumen sektor jasa keuangan, khususnya terkait
perlindungan konsumen secara ex-ante melalui pengawasan market conduct.
Permasalahan Konsumen Jasa Keuangan di Indonesia
Sejalan dengan penjabaran sumber conduct risk bahwa, kondisi demografi di
Indonesia sebagai negara berkembang menimbulkan potensi permasalahan yang belum
banyak diulas dalam penelitian-penelitian terkait perlindungan konsumen maupun
pengawasan market conduct. Berdasarkan Sensus Penduduk tahun 2020 (BPS, 2020),
25,87% penduduk Indonesia merupakan generasi Milenial dan 27,94% merupakan
generasi Z yang memiliki daya beli dan pilihan produk keuangan yang masih terbatas.
Sebanyak 9,78% penduduk merupakan segmen lanjut usia yang berpotensi menghadapi
kendala keterbatasan berupa kemampuan kognisi yang menurun dan sulit mengambil
keputusan keuangan. Selain itu, dengan porsi 12,23% penduduk berusia di bawah 18
tahun dan 8,65% penduduk di atas 18 tahun hidup di bawah garis kemiskinan nasional,
ketersediaan akses terhadap produk dan jasa keuangan dengan biaya terjangkau
diharapkan dapat meningkatkan peluang pengentasan kemiskinan dan perbaikan taraf
hidup (BPS, 2020; Otoritas Jasa Keuangan, 2017a dan 2017b; Republik Indonesia, 2016
dan 2020).
Isu spasial terkait demografi ditunjukkan dari proporsi penduduk yang berdomisili
di luar Jawa sebanyak 43,90% dengan jangkauan akses keuangan yang tidak merata,
sedangkan 56,10% penduduk yang tinggal di Jawa menghadapi situasi dimana terdapat
variasi tingkat ketimpangan ekonomi pada tiap-tiap daerah kabupaten/kota namun
terdapat akses keuangan yang lebih baik dengan tersedianya jaringan kantor pelaku usaha
jasa keuangan yang terkonsentrasi di pulau Jawa. Kendala lain dihadapi oleh 43,3%
penduduk Indonesia yang tinggal di daerah pedesaan dengan akses komunikasi dan
fasilitas pendukung yang terbatas (BPS, 2020; OJK 2017a, 2017b, dan 2019).
Di sisi lain, masih terdapat variasi tingkat inklusi dan literasi keuangan yang
beragam antar provinsi, yang berpangkal dari berbagai faktor sosio-ekonomis dan
geografis. Di sisi lain, tingkat literasi dan inklusi keuangan wilayah perkotaan sebesar
41,41% dan 83,60%, sedangkan di wilayah pedesaan sebesar 34,53% dan 68,49% (OJK,
2019).
Survei OJK tersebut mengungkap bahwa inklusi dan literasi keuangan di
Indonesia masih didominasi oleh sektor perbankan (OJK, 2019), meskipun seharusnya
kebutuhan konsumen sesuai life cycle-nya dapat lebih tepat dilayani oleh berbagai macam
produk keuangan yang disediakan oleh sektor jasa keuangan lainnya (Badarinza et al.,
2016). Dengan demikian, potensi kerjasama antar pelaku usaha jasa keuangan perbankan
dengan pasar modal dan industri keuangan non-bank lainnya (antara lain asuransi) seperti
kanal distribusi bancassurance dan pemasaran produk pasar modal melalui perbankan
juga dapat memunculkan kompleksitas permasalahan perlindungan konsumen sektor jasa
keuangan.
Fenomena Pengawasan Market Conduct di Indonesia oleh Otoritas Jasa Keuangan
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 7, Juli 2020 1093
Sementara itu, perkembangan teknologi di sektor jasa keuangan yang mendorong
inovasi dan perkembangan strategi lembaga keuangan menimbulkan kecenderungan
strategi pemasaran dan pelayanan konsumen yang mengurangi level playing field antara
pelaku usaha jasa keuangan dan konsumen (OJK, 2017a dan 2017b). Dengan tingkat
penetrasi pengguna internet 2019-2020 yang mencapai 73,7%, dan meningkat dari posisi
2018 sebesar 64,8% (APJII, 2020), layanan keuangan digital akan mengalami
pengarusutamaan dan mengambil pangsa pasar yang semakin besar. Dengan demikian,
potensi permasalahan market conduct dari pelaku usaha jasa keuangan yang menyediakan
layanan berbasis internet dan digital financial services dengan teknik pemasaran digital
berlandaskan data mengenai preferensi konsumen, bauran produk yang semakin beragam
dan penggunaan user interface dan algoritma pada aplikasi digital yang berpotensi
eksploitatif dan mengganggu privasi konsumen akan semakin mengemuka di kemudian
hari.
Dalam perkembangannya, aktivitas pengawasan market conduct yang
dilaksanakan OJK selama periode 2016 sampai dengan 2020 meliputi aktivitas market
intelligence, thematic surveillance dan kegiatan perlindungan konsumen (OJK, 2020).
OJK telah melakukan pemantauan iklan sektor jasa keuangan dalam kurun waktu
tersebut, dengan statistik pelanggaran sebagaimana tercantum dalam tabel 1.
Tabel 1. Social Fabric Matrix dari Pengawasan Market Conduct di
Indonesia oleh Otoritas Jasa Keuangan
B1 B2 B3 B4 B5 B6 B7 C1 C2 C3 C4 C5 C6 C7 C8 IN-1 IN-2 IN-3 IN-4 IN-5 T-1 T-2 T-3 T-4 T-5
B1 - Independensi 1 1 1 1 1 1 1 1 1
B2 - Kepastian Hukum 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
B3 - Kepentingan Umum 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
B4 - Keterbukaan 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
B5 - Profesionalitas 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
B6 - Integritas 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
B7 - Akuntabilitas 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
C1 - UU OJK 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
C2 - UU Perlindungan
Konsumen 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
C3 - POJK No.1/2013 -
Perlindungan Konsumen
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
C4 - POJK No.61/2020 -
Lembaga Alternatif
Penyelesaian Sengketa SJK
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
C5 - SE OJK 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
C6 - PDK 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
C7 - SE DK 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
C8 - Pedoman dan Panduan 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
IN-1 - DPR RI 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
IN-2 - Presiden & Kementerian 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
IN-3 - Otoritas Jasa Keuangan 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
IN-4 - Asosiasi Industri
Keuangan
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
IN-5 - Pelaku Usaha Jasa
Keuangan
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
T-1 - Aplikasi Portal
Perlindungan Konsumen
1 1 1 1 1 1 1 1
T-2 - Sistem Informasi
Pelaporan Edukasi dan
Perlindungan Konsumen
(SiPeduli)
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
T-3 - Sistem Informasi
Pelaporan Market Intelligence
(SPIKE) OJK
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
T-4 - Mystery Shopping 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
T-5 - Thematic Surveillance 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Delivering & Receiving Components of the
System
Technology
Institutions
Criterias and Rules
Beliefs
Anto Prabowo, Mugi Harsono
1094 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No.7, Juli 2021
Hasil Analisis Social Fabric Matrix
Berdasarkan telaah literatur, content analysis dan hasil focus group discussion
yang telah dilaksanakan, penyusunan SFM dilakukan dengan beberapa tahap, yaitu (i)
penyusunan konvergensi social beliefs yang menjadi alasan munculnya fenomena yang
diamati. Dalam hal ini, segenap pembahasan di atas telah mencakup beberapa prinsip
terkait perlindungan konsumen maupun pengawasan market conduct yang perlu dikaitkan
dengan social belief dari economic actor yang menimbulkan fenomena tersebut (dalam
hal ini Otoritas Jasa Keuangan).
Untuk memastikan social beliefs yang dicantumkan dalam SFM merupakan nilai-
nilai yang paling relevan dengan fenomena, dilakukan proses analisis content review
terhadap dokumen-dokumen legislasi, regulasi maupun publikasi resmi Otoritas Jasa
Keuangan agar dapat disimpulkan social beliefs yang paling relevan dengan
permasalahan yang sedang diamati. Berdasarkan tabel 2 di bawah ini, disimpulkan bahwa
asas-asas yang tercantum dalam Undang-Undang No. 21 tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan merupakan social beliefs dalam pelaksanaan pengawasan market conduct yang
paling relevan dan dapat menjembatani segenap prinsip yang menjadi landasan dalam
konteks penelitian. Asas-asas tersebut meliputi independensi, kepastian hukum,
kepentingan umum, keterbukaan, profesionalitas, integritas dan akuntabilitas.
Tabel 2. Konvergensi Social Beliefs dari Prinsip-prinsip terkait Perlindungan
Konsumen Sektor Jasa Keuangan dengan Prinsip dalam Legislasi dan Regulasi
Terkait
UU No.30 tahun
2014 tentang
Administrasi
Pemerintahan
UU No. 8 tahun
1999 tentang
Perlindungan
Konsumen
UU No. 21
tahun 2011
tentang Otoritas
Jasa Keuangan
G-20 High Level
Principles on
Financial
Consumer
Protection
POJK
No.1/POJK.07/2013
tentang
Perlindungan
Konsumen
Ketidakberpihakan
Keseimbangan
Independensi
Competition
Kepastian Hukum
Kepastian
Hukum
Kepastian
Hukum
Legal, Regulatory
and Supervisory
Framework
Kepentingan
Umum
Kemanfaatan
Keadilan
Manfaat
Keamanan dan
keselamatan
konsumen
Kepentingan
Umum
Equitable and
Fair Treatment
of Consumers,
Protection of
Consumer
Data and
Privacy,
Protection of
Consumer
Assets against
perlakuan yang adil;
kerahasiaan dan
keamanan
data/informasi
Konsumen
Fenomena Pengawasan Market Conduct di Indonesia oleh Otoritas Jasa Keuangan
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 7, Juli 2020 1095
UU No.30 tahun
2014 tentang
Administrasi
Pemerintahan
UU No. 8 tahun
1999 tentang
Perlindungan
Konsumen
UU No. 21
tahun 2011
tentang Otoritas
Jasa Keuangan
G-20 High Level
Principles on
Financial
Consumer
Protection
POJK
No.1/POJK.07/2013
tentang
Perlindungan
Konsumen
Fraud and
Misuse,
Financial
Education and
Awareness
Keterbukaan
Keterbukaan
Disclosure and
Transparency
transparansi;
Kecermatan
Pelayanan yang
Baik
Profesionalitas
Responsible
Business Conduct
of Financial
Services Providers
and Authorized
Agents,
keandalan;
Tidak
Menyalahgunakan
Wewenang
Integritas
Complaints
Handling and
Redress
penanganan
pengaduan serta
penyelesaian
sengketa Konsumen
secara sederhana,
cepat, dan biaya
terjangkau.
Akuntabilitas
Role of Oversight
Bodies
Sumber: Republik Indonesia (1999, 2011, dan 2014), OECD (2013), dan OJK (2013),
dianalisis lebih lanjut oleh penulis
Hasil konvergensi social beliefs tersebut kemudian dijadikan sebagai key
component dalam SFM yang disusun. Kemudian keterkaitannya dengan komponen
sistem lainnya yaitu criterias and rules, institutions, dan technology akan menjadi
penjelas visualisasi sistematik dari fenomena yang diteliti. Pemahaman social beliefs
yang jelas akan membantu mempermudah memahami keterkaitan antara beberapa
komponen criterias dan rules yang mendefinisikan regulatory boundaries dari fenomena
pengawasan market conduct oleh Otoritas Jasa Keuangan pada grafik berikut.
Grafik 2. Konstelasi Criterias and Rules terkait Pengawasan Market Conduct
Anto Prabowo, Mugi Harsono
1096 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No.7, Juli 2021
Hasil analisis Social Fabric Matrix berupa penetapan prinsip umum untuk
memahami pengawasan market conduct oleh Otoritas Jasa Keuangan, meliputi social
beliefs dan criteria and rules yang melandasi kegiatan pengawasan market conduct
tersebut, rancangan institusional dan konteks yang melatarbelakangi kegiatan
pengawasan market conduct tersebut, termasuk institusi lain di luar Otoritas Jasa
Keuangan yang memberikan masukan maupun menerima dampak dari pelaksanaan
kegiatan pengawasan market conduct tersebut.
Kesimpulan
Berdasarkan kajian yang telah dilakukan dan dijabarkan pada bab-bab
sebelumnya berkaitan dengan Fenomena Pengawasan Market Conduct Di Indonesia oleh
Otoritas Jasa Keuangan, maka dalam penelitian ini dapat ditarik kesimpulan yaitu dari
sisi fenomena, terbentuknya struktur regulasi, kerangka organisasi, proses bisnis dan
batasan regulasi serta tindakan pengawasan market conduct pada OJK bersumber dari
prinsip dan kerangka kerja yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang No.21 tahun
2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Penelitian ini dapat menelusuri latar belakang teoritis dari penerapan pengawasan
market conduct. SFM yang telah disusun dengan demikian dapat menangkap cakupan
keterkaitan dari berbagai komponen dalam sistematika fenomena pengawasan market
conduct, sehingga dapat memperjelas fenomena yang sedang diamati. Ke depannya,
penyesuaian dari konstruksi sistem tersebut tentunya akan berakar pada penyelarasan
social beliefs dan disesuaikan juga pada criteria dan rules yang akan mengatur dinamika
aktor dan lingkungan yang melingkupi institusi tersebut. Secara pragmatis, dengan
demikian pngembangan pengawasan market conduct ke depan dengan mengacu pada
legislasi tersebut akan cukup terbatas sesuai perimeter regulatory boundaries yang diatur
dalam Undang-Undang No.21 tahun 2011. Penyesuaian regulatory boundaries tersebut
membutuhkan pertimbangan cost and benefit analysis yang menyeimbangkan
kepentingan konsumen dengan kepentingan perusahaan yang diawasi.
Fenomena Pengawasan Market Conduct di Indonesia oleh Otoritas Jasa Keuangan
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 7, Juli 2020 1097
Tanpa penyesuaian regulatory boundaries, efektivitas pengawasan market
conduct ke depannya bergantung pada kecukupan harmonisasi dengan ruang lingkup dan
kewenangan pengawasan prudensial sesuai UU OJK. Berdasarkan hal tersebut, maka
saran yang dapat diberikan pada penelitian ini adalah diperlukan pengamatan yang lebih
terperinci dan mendalam antara diskursus legal dalam perlindungan konsumen jasa
keuangan dan pengawasan market conduct dengan aspek ekonomi dari fenomena
tersebut. Penggunaan paradigma legal and economics analysis kemungkinan dapat
menjembatani lebih lanjut aspek eksploratori terhadap fenomena tersebut. Dengan
demikian, hal ini akan memperkaya dan mendukung penggunaan perangkat analisis
Social Fabric Matrix dan perspektif heterodoks diharapkan dapat menjembatani
penelitian multidisiplin selanjutnya terkait pengawasan market conduct yang sejalan
dengan perspektif legal-ekonomi dalam institutional economics dan perspektif sosio-
psikologis dalam behavioral economics, serta memungkinkan pemanfaatan literatur
penelitian hukum dan bidang sosial lainnya untuk memperdalam analisis terkait
fenomena pengawasan market conduct oleh Otoritas Jasa Keuangan di Indonesia.
Sebagai sebuah penelitian kualitatif, hasil analisis dan simpulan dari penelitian ini
hanya dapat berlaku bagi penelitian ini dan sejauh ini belum dapat digeneralisasi ke situasi
yang lebih luas tanpa proses kuantifikasi yang memadai. Penggunaan metode penelitian
yang memfasilitasi hal tersebut akan dapat memperjelas pengamatan terhadap fenomena
dan memperkuat validitas dari penelitian tersebut.
Anto Prabowo, Mugi Harsono
1098 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No.7, Juli 2021
Bibliografi
Agarwal, Sumit, Driscoll, John C., Gabaix, Xavier, & Laibson, David. (2009). The age
of reason: Financial decisions over the life cycle and implications for regulation.
Brookings Papers on Economic Activity, 2009(2), 51117.
Alemanno, Alberto. (2015). Stakeholder engagement in regulatory policy. Regulatory
Policy Outlook, OECD Publishing.
Badarinza, Cristian, Campbell, John Y., & Ramadorai, Tarun. (2016). International
comparative household finance. Annual Review of Economics, 8, 111144.
Board, Financial Stability. (2011). Consumer finance protection with particular focus on
credit. Basel: Financial Stability Board.
Campbell, John Y., Jackson, Howell E., Madrian, Brigitte C., & Tufano, Peter. (2010).
The regulation of consumer financial products: an introductory essay with four case
studies.
Christiawan, Nicolaus Gerry, & Arfianto, Erman Denny. (2013). Interbank Contagious:
Sistemik Market Risk Kasus Pada Perbankan Indonesia 2002-2012. Fakultas
Ekonomika dan Bisnis.
Dambe, Kristine, Hunt, Stefan, Iscenko, Zanna, & Brambley, Will. (2013). Applying
behavioural economics at the Financial Conduct Authority. FCA Occasional Paper,
(1).
Dilshad, Rana Muhammad, & Latif, Muhammad Ijaz. (2013). Focus group interview as
a tool for qualitative research: An analysis. Pakistan Journal of Social Sciences
(PJSS), 33(1).
Enriques, Luca, & Hertig, Gérard. (2011). Improving the governance of financial
supervisors. European Business Organization Law Review (EBOR), 12(3), 357378.
Jemna, Ligia Muntean. (2016). Qualitative and mixed research methods in economics:
the added value when using qualitative research methods. Journal of Public
Administration, Finance and Law, (09), 154167.
Johnston, Kirsty, Tether, Christine, & Tomlinson, Ashley. (2015). Financial Product
Disclosure: Insights from Behavioural Economics. Ministry of Business Innovation
& Employment, Hīkina Whakatutuki.
Lefevre, Anne Francoise, & Chapman, Michael. (2017). Behavioural economics and
financial consumer protection.
Lunn, P. (2014). Regulatory Politics and Behavioural Economics. OECD Publishing,
http://www. keepeek. com/Digital-Asset-Management/oecd ….
Fenomena Pengawasan Market Conduct di Indonesia oleh Otoritas Jasa Keuangan
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 7, Juli 2020 1099
Mishra, Lokanath. (2016). Focus group discussion in qualitative research. Techno Learn,
6(1), 1.
Otker-Robe, Inci, & Podpiera, Anca Maria. (2013). The social impact of financial crises:
evidence from the global financial crisis. World Bank Policy Research Working
Paper, (6703).
Shiller, Robert J. (2005). Behavioral economics and institutional innovation. Available at
SSRN 671024.
Tversky, Amos, & Kahneman, Daniel. (1980). The framing of decisions and the
rationality of choice. STANFORD UNIV CA DEPT OF PSYCHOLOGY.