1235
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi: pISSN: 2723 - 6609
e-ISSN : 2745-5254
Vol. 2, No. 7 Juli 2021
KEPASTIAN HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA E-COMMERCE DI
INDONESIA SECARA ONLINE
Stefani
Universitas Jember
Email: cmstefani94@gmail.com
Abstrak
E-commerce adalah bentuk perdagangan secara elektronik yang memberikan
penawaran transaksi yang lebih cepat, mudah dan praktis serta mampu
mempertemukan pembeli dengan berbagai macam penjual yang berbeda dalam
suatu media. Pengembangan e-commerce juga dituntut dalam keamanan,
kenyamanan dalam melakukan transaksi serta kesiapan sumber dayanya sehingga
tidak menghambat perkembangan kegiatan perekonomian digital dan
meminimalisir resiko. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penyelesaian
sengketa e-commerce secara online di Indonesia serta menemukan kepastian
hukumnya. Penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan
pendekatan perundang-undangan dan pendeketan konseptual. Terdapat beberapa
peraturan peruindang-undangan yang mengatur mengenai penyelesaian sengketa e-
commerce, seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen yang bertujuan untuk melindungi konsumen, Undang-Undang Informasi
dan Transaksi Elektronik Nomor 11 tahun 2008 jo Undang-undang Nomor 19 tahun
2016, serta dalam Undang-Undang Perdagangan Nomor 7 tahun 2014.
Penyelesaian sengketa dapat melalui litigasi atau non litigasi. Online Dispute
Resolution adalah salah satu bentuk penyelesaian non litigasi. Namun ODR belum
diatur secara khusus di Indonesia. Hukum harus dapat memberikan kepastian dan
kemanfaatan bagi masyarakat (konsumen). Kesimpulan yang didapat yaitu belum
terdapat kepastian hukum terkait sistem online dispute resolution di Indonesia.
Kata kunci: e-commerce; kepastian hukum; sengketa; penyelesaian.
Abstract
E-commerce is a form of electronic commerce. The emergence of e-commerce
provides transaction offers that are faster, easier, and more practical as well as
being able to bring together buyers with a variety of different sellers in one
medium. The development of e-commerce is also required in terms of security,
convenience in conducting transactions, and the readiness of its resources so that it
does not hinder the development of digital economic activities and minimize risks.
This study aims to analyze online e-commerce dispute resolution inIndonesia and
find the legal certainty. The author uses a normative juridical research method with
a statute approach and a conceptual approach. There are several laws and
regulations governing e-commerce dispute resolution, such as Law Number 8 of
1999 concerning Consumer Protection which aims to protect consumers, Law on
Information and Electronic Transactions Number 11 of 2008 in conjunction with
Stefani
1236 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 7, Juli 2021
Law Number 19 of 2016, as well as in the Trade Law Number 7 of 2014. Disputes
can be settled through litigation or non-litigation. Online Dispute Resolution is a
form of non-litigation settlement. However, ODR has not been specifically
regulated in Indonesia. The law must be able to provide certainty and benefit to the
community (consumers). The conclusion that can be drawn is that there is no legal
certainty regarding the online dispute resolution system in Indonesia.
Keywords: e-commerce; legal certainty; dispute; resolution.
Pendahuluan
Kemajuan teknologi kini semakin pesat dan melekat dengan kehidupan manusia.
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi membuat hubungan dunia menjadi
tanpa batas, terdapat perubahan secara signifikan dan cepat dalam berbagai bidang
kehidupan. Penggunaan teknologi dan internet tidak lagi hanya sebatas untuk
mengakses informasi pada sosial media melainkan juga sebagai sarana transaksi jual
beli yang dikenal pula dengan istilah e-commerce. E-commerce adalah bentuk
perdagangan secara elektronik; yakni pertukaran barang dan/atau jasa serta informasi
(Romindo et al., 2019). Hal ini tentunya sangat berdampak bagi perkembangan bidang
bisnis di Indonesia. Pemanfaatan internet dalam dunia bisnis dilakukan dengan alasan
efisiensi serta modernisasi untuk menjangkau pasar yang lebih luas.
Hadirnya e-commerce memberikan penawaran transaksi yang lebih cepat,
mudah dan praktis serta mampu mempertemukan pembeli dengan berbagai macam
penjual yang berbeda dalam suatu media (Sitompul, Syaifuddin, & Yahanan, 2016).
Dengan adanya e-commerce pembeli tidak perlu lagi berkunjung ke toko fisik untuk
membeli suatu barang melainkan cukup memesan secara online dan membaca
persyaratan yang telah dibuat oleh si penjual menggunakan media elektronik. Besarnya
jumlah pengguna internet di Indonesia menjadi salah satu faktor pendorong
berkembangnya transaksi perdagangan elektronik di Indonesia. Pemerintah melihat
potensi dalam bidang ekonomi tersebut sehingga memiliki tujuan untuk mendukung
pengembangan perdagangan elektronik di Indonesia. Budi Raharjo mengungkapkan
bahwa Indonesia berpotensi dan memiliki kompeten cukup untuk mengembangkan e-
commerce (Putra, 2014). Pengembangan e-commerce juga dituntut dalam keamanan,
kenyamanan dalam melakukan transaksi serta kesiapan sumber dayanya sehingga tidak
menghambat perkembangan kegiatan perekonomian digital dan meminimalisir resiko.
Pertumbuhan e-commerce di Indonesia meningkat pesat, berdasarkan data tahun
2017 menurut ilmu One Data, sepuluh peringkat teratas terdapat empat e-commerce dan
enam marketplace yang mendominasi bisnis digital dipimpin oleh Lazada, Tokopedia,
Blibli, Shopee, Bukalapak. Menurut Kementerian Komunikasi dan Informatika,
Indonesia sendiri menduduki peringkat ketiga di Asia dalam jumlah pengguna internet.
E-commerce sendiri terbagi menjadi beberapa macam seperti iklan baris, online
marketplace, shopping mall, toko online, serta toko online di media sosial. Berbagai
macam layanan e-commerce membuat persaingan e-commerce di Indonesia semakin
kuat dan menunjukkan bahwa ada potensi besar terhadap perekonomian di Indonesia.
Kepastian Hukum Penyelesaian Sengketa E-Commerce di Indonesia Secara Online
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 7, Juli 2021 1237
Transaksi melalui perdagangan elektronik tidak selalu memberikan keuntungan saja,
tetapi terdapat pula kelemahan dalam bertransaksi di dunia maya.
Transaksi jual beli merupakan salah satu jenis perjanjian yang diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata buku III, sedangkan perdagangan elektronik
merupakan bentuk inovasi dari jual beli tersebut. Kekuatan mengikatnya perjanjian ini
berawal dari adanya sepakat antara kedua pihak yang dinyatakan baik secara tertulis
maupun lisan yang mengikat para pihak dengan segala akibat hukumnya (Suharnoko,
2004). Seringkali dalam setiap transaksi jual beli baik yang dilakukan secara langsung
maupun secara online melalui e-commerce konsumen merupakan pihak yang lemah,
dan hak-haknya seringkali tidak terpenuhi. Mengenai hak dan kewajiban baik pelaku
usaha maupun konsumen telah diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen
Nomor 8 tahun 1999. E-commerce tidak sepenuhnya selalu menguntungkan konsumen
sebab lemahnya regulasi yang melindungi konsumen, produsen e-commerce belum
sepenuhnya beritikad baik, belum ada perlindungan data konsumen.
Pemerintah mendukung hadirnya e-commerce di Indonesia dengan adanya
aturan secara umum dalam Undang-undang, baik dalam Undang-Undang Perlindungan
Konsumen maupun Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Nomor 11
tahun 2008 jo Undang-undang Nomor 19 tahun 2016, serta dalam Undang-Undang
Perdagangan Nomor 7 tahun 2014. Pada dasarnya jual beli dalam e-commerce memiliki
konsep yang sama dengan jual beli secara langsung yaitu dengan adanya tahapan
penawaran dan penerimaan. Artinya ada persetujuan dari pihak konsumen, namun hal
ini tak lepas juga dapat menimbulkan sengketa yang timbul dari wanprestasi yang
dialami oleh pihak konsumen ataupun pihak penjual yang memungkinkan timbulnya
gugatan. Para pihak yang bersengketa tentu ingin segera menuntaskan permasalahan
mereka secara efektif dan efisien, terlebih lagi apabila pihak yang bersengketa berada
pada wilayah yurisdiksi yang berbeda. Sengketa tidak hanya terjadi karena wanprestasi
melainkan dapat pula karena perbuatan melanggar hukum. Salah satu unsur penting dari
perbuatan melawan hukum yaitu tuntutan ganti kerugian.
Semakin meningkatnya jumlah transaksi jual beli online maka semakin
meningkat pula angka sengketa yang terjadi dalam transaksi perdagangan elektronik.
Penyelesaian sengketa diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk
dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak
terulangnya lagi kerugian yang diderita konsumen. Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus
Abadi mencatat sepanjang 2017, lembaga tersebut menerima 642 pengaduan, yang 16
persen di antaranya atau 101 pengaduan terkait transaksi belanja online. Karya tulis ini
bertujuan untuk menganalisis mengenai prinsip kepastian hukum dalam penyelesaian
sengketa transaksi e-commerce di Indonesia secara online. Dalam mencapai tujuan
tersebut, penulis menggunakan teori tujuan hukum yaitu kepastian hukum, keadilan
hukum dan kemanfaatan hukum.
Sebagai bahan perbandingan untuk penelitian maka penulis mencantumkan
penelitian terdahulu yang membahas mengenai topik yang relevan yaitu oleh Rachel
Oktalia Cahyono, dalam karyanya yang berjudul Kepastian Hukum Dalam Perjanjian
Stefani
1238 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 7, Juli 2021
Electronic Commerce. Karya tulis tersebut pada intinya memuat mengenai upaya
hukum atas sengketa dalam transaksi di e-commerce. pada penelitian tersebut lebih
berfokus pada perjanjian yang dibuat oleh para pihak sebelum melakukan transaksi
dalam e-commerce. Perjanjian online yang dibuat untuk melindungi para pihak dalam
transaksi, sedangkan dalam karya tulis ini lebih berfokus pada kepastian hukum
penyelesaian sengketa e-commerce. Penelitian ini penting dilakukan guna memberikan
bentuk penyelesaian sengketa yang lebih efisien, cepat, dan mudah digunakan bagi para
pihak yang terlibat dalam transaksi e-commerce.
Metode Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif atau
juga dikenal dengan yuridis normatif yaitu penelitian hukum dengan mencari kebenaran
koherensi dari aturan-aturan hukum, norma hukum, maupun prinsip hukum (Marzuki,
2019). Penelitian hukum yang dilakukan dengan cara mengidentifikasi masalah,
melakukan penalaran, serta menganalisis masalah hukum yang ada sehingga dapat
menjawab isu hukum yang diteliti. Pendekatan penelitian yang dapat digunakan peneliti
terdapat lima macam yaitu pendekatan kasus, pendekatan konseptual, pendekatan
perundang-undangan, pendekatan historis, serta pendekatan komparatif. Berdasarkan
kelima pendekatan diatas, maka penulis menggunakan dua macam pendekatan yaitu
berupa pendekatan perUndang-undangan serta pendekatan konseptual.
1. Pendekatan Perundang-undangan
Pendekatan dengan undang-undang yaitu penelitian yang dilakukan dengan menilik
dari undang-undang ataupun regulasi yang sesuai dengan fokus pada isu hukum yang
diteliti. Penggunaan pendekatan ini untuk mengetahui kesesuaian antara undang-
undang ataupun regulasi dengan peraturan lainnya yang berkaitan dengan isu hukum
yang dibahas.
2. Pendekatan Konseptual
Pendekatan konsep ialah pendekatan dengan menggunakan pandangan hukum yang
ada, juga doktrin-doktrin ilmu hukum yang dapat digunakan sebagai suatu
argumentasi dalam menganalisis isu hukum. Artinya bahwa peneliti menggunakan
doktrin, konsep, maupun pandangan yang berkembang dan telah ada untuk
membantu dalam memecahkan isu hukum yang dihadapi dan mendapatkan suatu
kesimpulan.
Hasil dan Pembahasan
1. Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia Tentang Penyelesaian Sengketa
E-commerce
E-commerce memiliki karakter sebagai berikut: transaksi oleh dua pihak penjual
dan pembeli, terjadinya pertukaran atas barang/jasa/informasi, serta penggunaan sistem
elektronik dalam transaksinya (Romindo et al., 2019). Semakin meningkatnya
penggunaan e-commerce di Indonesia menyebabkan peningkatan jumlah sengketa yang
terjadi saat transaksi elektronik dilakukan. E-commerce sebagai suatu media yang
Kepastian Hukum Penyelesaian Sengketa E-Commerce di Indonesia Secara Online
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 7, Juli 2021 1239
mencakup berbagai hal seperti jaringan komunikasi, penyimpanan, pengamanan,
pengambilan data serta banyak elemen lainnya. E-commerce merupakan transaksi
perdagangan yang dimungkinkan secara digital antar organisasi dengan organisasi atau
dengan individual serta antar individual dengan individual (Sarwono & Prihartono,
2012). Tingkat kerumitan yang cukup tinggi tentunya sangat riskan untuk terjadi
malfungsi sehingga berbagai pihak perlu meminimalisir dampak negatif yang mungkin
terjadi agar tidak merugikan berbagai pihak. Posisi pembeli (konsumen) merupakan
posisi yang paling lemah, cenderung menjadi korban atas tindakan sewenang-wenang
pelaku usaha dan memerlukan perlindungan hukum untuk dapat memberikan keamanan,
dan penegakan hukum yang tegas (Hamid & SH, 2017). Kegiatan jual beli yang
mengglobal ini sangat riskan karena juga menyangkut transaksi antar negara. Penjual
harus menyampaikan informasi kepada konsumen dengan benar, jujur dan jelas serta
tidak memberikan pernyataan yang dapat menyesatkan konsumen (MARPI & Kom,
2020).
Adanya e-commerce tidak memungkiri terhadap kemungkinan adanya sengketa.
Sengketa merupakan hal yang dianggap buruk dan patut untuk dihindari/dicegah.
Penyelesaian sengketa pada jaman dahulu dilakukan dengan cara informal berdasarkan
hukum adat ataupubn kebiasaan, dan kini berkembang dengan berdasarkan hukum
tertulis di Indonesia (Rahmawayi, SH, & Rukiyah Lubis, 2018). Terdapat Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang bertujuan untuk
melindungi konsumen dari sengketa yang dapat saja terjadi. Pemerintah hadir dengan
memberikan peraturan-peraturan umum mengenai perdagangan elektronik yang
tercantum di dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 jo Undang-Undang Nomor
19 tahun 2016 tentang ITE, tercantum dalam pasal 10 ayat (1) bahwa setiap pelaku
usaha yang menyelenggarakan Transaksi Elektronik dapat disertifikasi oleh Lembaga
Sertifikasi Keandalan. Sertifikasi keandalan sebagai bentuk bukti bahwa pelaku usaha
telah melalui penilaian dan audit dari badan berwenang sehinggga memiliki logo
sertifikasi dalam bentuk trust mark pada laman (home page) pelaku usaha. Sertifikasi
keandalan merupakan bentuk jaminan hukum dari negara kepada masyarakat agar aman
dalam bertransaksi melalui e-commerce, namun faktanya masih banyak kasus penipuan
yang terjadi dalam e-commerce sebab belum diterapkannya lembaga sertifikasi
keandalan di Indonesia secara masif. Peraturan mengenai Sertifikat Keandalan juga
tercantum dalam pasal 42 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 Tentang
Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. Pada tahun 2013 pemerintah
berupaya mendorong pertumbuhan Lembaga Sertifikasi Keandalan (selanjutnya disebut
LSK), yang tentunya menjadi lapangan usaha baru bagi industri IT.
Salah satu LSK yang ada yakni i-trust Telkom namun hanya untuk penggunaan
internal dan belum ada yang untuk komersil. LSK sebagai lembaga penjamin bagi
konsumen untuk mempercayai suatu e-commerce masih belum dapat terpenuhi sehingga
masih menyebabkan terjadi banyak kasus sengketa pada e-commerce. Banyak kendala
yang dialami pemerintah untuk dapat menyelaraskan antara pertumbuhan e-commerce
di Indonesia dengan peraturan hukum yang mengatur. Manfaat hadirnya LSK tentu
Stefani
1240 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 7, Juli 2021
dapat mencegah terjadinya sengketa sebab adanya jaminan dari negara yang melindungi
konsumen sebagai pihak yang lemah dalam transaksi. Masalah legal di internet yang
belum terjangkau oleh hukum secara jelas seperti mengenai kontrak online dan e-
commerce. Dalam hal kontrak dilakukan di cyberspace, peraturan tidak memiliki
perbedaan. Namun, bagaimanapun terdapat keadaan di dunia maya yang sama sekali
baru dan tidak ada suatu ketentuan pun yang berlaku sehingga menyebabkan
ketidakpastian dan resiko bisnis sangat tinggi. Perubahan drastis dari perilaku
komunikasi yang biasanya menggunakan kertas (paper) dan kemudian menggunakan
elektronik mengubah sistem kehidupan masyarakat. Gaya hidup yang beralih dari wujud
(fisik) ke elektronik (non fisik) disebutkan sebagai ruang maya (cyberspace). Dalam
hukum perdata bisnis, kegiatan didunia maya ini terjadi dalam bentuk kontrak dagang
elektronik (E-commerce). Kontrak dagang tidak lagi merupakan paper-based economy,
tetapi digital electronic economy.
Perlu diakui bahwa UU ITE masih memerlukan peraturan turunan sebagai
petunjuk pelaksanaan mengenai implementasi transaksi elektronik itu sendiri.
Pengaturan transaksi E-commerce dalam UU ITE dapat dijabarkan sebagai berikut.:
1) Diperlukannya keberadaan suatu Lembaga Sertifikasi Keandalan untuk
melakukan sertifikasi terhadap pihak yang akan melakukan transaksi;
2) Pengaturan pelaksanaan Transaksi Elektronik (Pasal 17 Ayat (3);
3) Pengaturan mengenai Kontrak Elektronik terhadap Transaksi Elektronik (Pasal
18 Ayat (1));
4) Penyelesaian Sengketa atas Transaksi Elektronik (Pasal 18 Ayat (3);
5) Sistem Elektronik sebagai sistem pelaksanaan Transaksi Elektronik (Pasal 19);
6) Pengaturan mengenai Agen Elektronik sebagai perantara dalam melakukan
Transaksi Elektronik (Pasal 21 dan 22) (Hanim, 2014).
Peraturan pelaksana diperlukan untuk menjamin adanya kepastian dalam hukum yang
dapat melindungi konsumen maupun para pihak lainnya.
Perdagangan melalui sistem elektronik juga diatur dalam Undang-undang
Perdagangan Nomor 7 Tahun 2014 pasal 1 angka 24, yaitu merupakan perdagangan
yang transaksinya dilakukan melalui serangkaian perangkat dan prosedur elektronik.
Dalam Undang-Undang Perdagangan pasal 65 mengenai perdagangan melalui sistem
elektronik, pada pasal 65 ayat (5) bahwa: dalam hal terjadi sengketa dengan transaksi
dagang melalui sistem elektronik, orang atau badan usaha yang mengalami sengketa
dapat menyelesaikan sengketa tersebut melalui pengadilan atau melalui mekanisme
penyelesaian sengketa lainnya. Hukum memberikan pilihan penyelesaian sengketa
melalui litigasi ataupun non litigasi. Kedua pilihan tersebut tentunya memiliki
kekurangan dan kelebihannya. Penyelesaian melalui litigasi yang umunya lebih
didominasi pihak yang kuat tentu sangat jarang menghasilkan putusan win-win solution.
Selain itu penyelesaian melalui pengadilan memakan waktu yang lama, dan biasanya
digunakan sebagai langkah terakhir apabila langkah non litigasi tidak dapat
menyelesaiakan masalah. Penyelesaian sengketa litigasi yaitu melalui jalur pengadilan
kini mulai ditinggalkan karena memakan waktu yang lama, mahal serta prosedur yang
Kepastian Hukum Penyelesaian Sengketa E-Commerce di Indonesia Secara Online
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 7, Juli 2021 1241
berbelit (Hariyani, Serfiyani, & Purnomo, 2018). Alternatif Penyelesaian Sengketa
merupakan langkah lain yang dapat ditempuh pihak bersengketa yang telah diatur dalam
Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa.
2. Kepastian Hukum Penyelesaian Sengketa E-commerce Melalui Online Dispute
Resolution di Indonesia
Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu pertama,
adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang
boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu
dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu
individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara
terhadap individu (Syahrani & Hukum, 1999). Teori kepastian hukum adalah suatu
yang telah pasti serta tidak menimbulkan multitafsir; kontradiktif dan masyarakat dapat
melaksanakan (Sulfinadia, 2020). Kepastian hukum menghendaki adanya upaya
pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang
dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin
adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati
(Asikin, 2012).
Kepastian dan keadilan bukanlah sekedar tuntutan moral, melainkan secara
factual mencirikan hukum. Suatu hukum yang tidak pasti dan tidak mau adil bukan
sekedar hukum yang buruk. Kepastian dalam hukum merupakan suatu bentuk jaminan
akan adanya keadilan yang didapatkan masyarakat dihadapan hukum. Kepastian hukum
didapatkan dari aturan-aturan hukum yang berlaku, peraturan-peraturan tersebut sebagi
batas antara hak dan kewajiban, perintah dan larangan. Penyelesaian sengketa melalui
litigasi dan non-litigasi. Penyelesaian sengketa melalui litigasi yakni sebagian besar
tugasnya adalah menyelesaikan sengketa dengan menjatuhkan putusan (constitutive)
misalnya menjatuhkan putusan atas sengketa waris, perbuatan melawan hukum dan
sebagian kecil tugasnya adalah penangkalan sengketa dengan menjatuhkan penetapan
pengadilan (deklaratoir) misalnya penetapan wali, penetapan anak angkat dan lain-lain
(Wiryawan, Artadi, & Atmaja, 2010). Nonlitigasi sebagai kebalikan dari litigasi
(argumentum analogium) adalah untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan
melalui perdamaian dan penangkalan sengketa dengan perancangan-perancangan
kontrak yang baik. Penyelesaian sengketa secara nonlitigasi meliputi bidang yang
sangat luas bahkan mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diselesaikan secara
hukum. Online Dipute Resolution (untuk selanjutnya disebut ODR) merupakan salah
satu bentuk Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang juga dikenal dengan model arbitrase
online. Pengaturan mengenai ODR secara jelas dan rinci belum terdapat dalam
peraturan hukum di Indonesia.
ODR memiliki kelebihan dimana dalam penggunaannya yang efisien dan efektif,
sert tidak membutuhkan biaya yang besar. Tata cara ODR tidak jauh berbeda dengan
APS, perbedaan yang mendasar hanya pada kehadiran fisik para pihak yang terlibat
Stefani
1242 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 7, Juli 2021
tidak diperlukan lagi. Pada umumnya meskipun belum ada peraturan yang lebih jelas
mengenai ODR di Indonesia, pada prakteknya para pihak yang bersengketa lebih
memilih menggunakan ODR karena ketidak berpihakannya dan lebih mematuhi standar.
Penyelesaian sengketa dengan menggunakan ODR dimungkinkan untuk dilakukan
karena tanda tangan elektronik kini dapat menjadi bukti hukum sesuai dengan UU ITE
(Hariyani et al., 2018). Sistem penyelesaian sengketa melalui ODR tentu akan menjadi
cara yang akan berkembang di masa mendatang mengingat semakin meningkatnya
pengguna e-commerce di Indonesia, dan banyaknya sengketa yang dialami konsumen.
Pada bulan Maret 1998 dalam “communication on the out of court settlement of court
consumer disputes”, komisi Eropa telah mempresentasikan standar minimun dari proses
ODR, antara lain:
1. Pembuat keputusan harus bersifat independen dari segala asosiasi profesional
yang menunjuk dirinya (independen).
2. Proses dalam penyelesaian sengketa harus bersifat transparan (prinsip
transparan).
3. Para pihak harus diberikan kesempatan yang sama untuk mengemukakan
pendapatnya, serta diberikan akses yang sama untuk membuktikan (prinsip
adversarial).
4. Konsumen harus mampu untuk mewakili dirinya sendiri dalam proses
penyelesaian sengketa dan bebas dari biaya apapun. Putusan harus dibuat secara
cepat dan pembuat putusan harus mempunyai peran aktif dalam proses
penyelesaian sengketa (prinsip efektifitas).
5. Konsumen tidak boleh dikesampingkan dari ketentuan/aturan wajib dari hukum
tempat badan pembuat keputusan berada dan dari negara dimana konsumen
tercacat sebagai warga negara (prinsip legalitas).
6. Jika putusan mengikat kepada konsumen tanpa bantuan pengadilan, maka
konsumen harus menerimanya dan bersikap waspada (prinsip kebebasan).
7. Pada semua tahap penyelesaian sengketa, konsumen dapat diwakili oleh atau
dibantu oleh pihak ketiga, misalnya pengacara (prinsip perwakilian) (Basarah,
2011).
Dalam Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS belum
tercantum secara jelas. Pada pasal 1 ayat (3) UU No. 30 Tahun 1999 menyatakan bahwa
perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum
dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau
suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.
Mengenai ODR tersirat dalam pasal 4 ayat (3) UU Nomor 30 Tahun 1999 yaitu dalam
hal disepakati penyelesaian sengketa melalui arbitrase terjadi dalam bentuk pertukaran
surat, maka pengiriman teleks, telegram, faksimili, e-mail atau dalam bentuk sarana
komunikasi lainnya, wajib disertai dengan suatu catatan penerimaan oleh para pihak. Isi
pasal tersebut dapat menjadi acuan bagi para pihak untuk melaksanakan ODR. Namun
belum ada kepastian payung hukum yang jelas mengatur mengenai ODR, seperti
bagaimana pendaftaran ODR nantinya, apakah juga didaftarkan ke pengadilan seperti
Kepastian Hukum Penyelesaian Sengketa E-Commerce di Indonesia Secara Online
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 7, Juli 2021 1243
arbitrase pada umumnya dimana arbitrase nasional di pengadilan negeri sedangkan
untuk arbitrase internasional didaftarkan pada pengadilan negeri Jakarta Pusat. UU ITE
berperan penting di masa digitalisasi ini untuk memenuhi segala unsur hukum yang
dibutuhkan masyarakat dalam berselancar di dunia maya. Perlu adanya kepastian
hukum terlebih lagi yang mengatur mengenai ODR secara jelas untuk mempermudah
masyarakt dalam menerapkan sistem ODR.
3. Kemanfaatan Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Melalui Online
Dispute Resolution
Peraturan e-commerce ditujukan untuk memberikan kepastian dan kesepahaman
mengenai apa yang dimaksud dengan e-commerce serta menjamin perlindungan,
kepastian kepada pelaku usaha elektronik, penyelenggara e-commerce, dan konsumen
dalam melakukan kegiatan perdagangan melalui sistem elektronik. Dalam peraturan
tersebut tentunya mengandung asas kemanfaatan. Asas kemanfaatan merupakan asas
yang menyertai kepastian hukum dan keadilan hukum (Hidayat, 2018). Artinya bahwa
selain kepastian dan keadilan dihadapan hukum, hukum harus memiliki manfaat bagi
masyarakat. Hukum hadir bukan hanya sebagai pintu pembatas untuk mebatasi hak dan
kewajiban, tetapi juga bermanfaat bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan
perlindungan masyarakat oleh negara. Hukum bertujuan sebesar-besarnya hanya untuk
kemanfaatan manusia yang dimaksud dengan memberikan kebahagiaan bagi umat
manusia (Gede & Putu, 2018). ODR yang merupakan salah satu alternatif penyelesaian
sengketa tentunya akan memiliki manfaat yang besar bagi masyarakat apabila nantinya
dapat digunakan secara massal oleh masyarakat. Saat ini masyarakat sering kali
melakukan transaksi dalam e-commerce seperti dalam tokopedia, shopee, dan
sebagainya. Sering kali konsumen dihadapai sengketa dengan pihak penjual karena
berbagai alasan, dan penyedia layanan belum mampu untuk membantu menyelesaikan
permasalahan. Dengan adanya lembaga ODR yang dapat beroperasi untuk umum
tentunya akan memudahkan konsumen untuk menyelesaikan permasalah secara online.
Para pihak tidak perlu untuk hadir secara fisik dalam bernegosiasi dan
sebagainya, sebab dapat dilakukan secara online. Selain itu para pihak tidak perlu lagi
takut akan menghabiskan biaya mahal seperti saat di pengadilan, dan jangka waktu
penyelesaian sengketa yang lebih cepat sehingga putusan final didapat secepat mungkin.
Segala kemanfaatan tersebut tentunya sangat menguntungkan bagi para pihak yang
bersengketa. ODR dalam penggunaan melalui sistem online dengan menggunakan e-
mail, nomor telepon. Tidak menutup kemungkinan bahwa dimasa mendatang para
pebisnis tentu lebih memilih penyelesaian melalui online dispute resolution, namun
belum ada lembaga penyedia jasa layanan ODR yang beroperasi di Indonesia. Hal ini
tentunya dapat menjadi peluang bagi para investor di Indonesia untuk mulai
mengembangkan lembaga penyedia jasa layanan ODR di Indonesia yang memiliki
prospek besar dimasa mendatang, sehingga memberi kemanfaatan dan peluang bagi
investor Indonesia. ODR sendiri telah digunakan salah satunya di Amerika, dan
tergolong baru di Indonesia. ODR merupakan suatu wadah bagi masyarakat yang
Stefani
1244 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 7, Juli 2021
seharusnya dapat digunakan secara efektif, namun diperlukan peraturan hukum yang
jelas. Proses penyelesaian sengketa secara online terdiri dari:
a) Para pihak setuju dalam bentuk perjanjian untuk menyelesaikan sengketa melalui
arbitrase online.;
b) Pemberitahuan kepada para pihak dan perhitungan jangka waktu penyelesaian
sengketa oleh Provider.;
c) Pemohon harus membuat dokumen yang berisi tuntutan kepada administrative
site;
d) Pemberitahuan isi tuntutan Pemohon kepada Termohon oleh Provider;
e) Jawaban atas tuntutan Pemohon oleh Termohon.;
f) Jawaban atas tuntutan balasan.
g) Perpanjangan jangka waktu penyelesaian sengketa;
h) Menggunakan bahasa yang digunakan dalam perjanjian arbitrase,
i) Melakukan hearing;
j) Tempat dari putusan dapat ditentukan oleh para pihak, apabila para pihak tidak
menentukan, maka tempat dari putusan ditentukan oleh arbiter
k) Memberitahukan isi putusan.
Langkah-kangkah tersebut merupakan langkah yang harus ditempuh dalam
penyelesaian sengketa melalui ODR. Tata cara preoses ODR tersebut disesuaikan
dengan kebutuhan hukum yang dapat dipakai pada tempat arbitrase
dilaksanakan/diperjanjikan dengan tidak bertentangan dengan kepentiangn umum dan
ketertiban. Pemerintah perlu menyiapkan mengenai lembaga penyedia jasa layanan
ODR, kesediaan layanan internet yang memadai di Indonesia, peraturan pelaksana
mengenai ODR, serta edukasi kepada masyarakat mengenai ODR sehingga masyarakat
tidak lagi bingung dan buta arah mengenai tindakan yang harus ditempuh bila ada
sengketa dalam transaksi elektronik. Pada Undang-Undang ITE Pasal 41 disebutkan
bahwa pemerintah melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai
akibat penyalahgunaan informasi elektronik dan transaksi elektronik yang mengganggu
ketertiban umum, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sistem
penyelesaian sengketa melalui ODR ini telah diterapkan di negara lain seperti Amerika,
Eropa, dan mampu meningkatkan jumlah pengguna e-commerce dinegara tersebut
(Sugiarto, 2019). Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta orang tentunya
memiliki peluang besar untuk mengembangkan pola transaksi jual beli dalam era
digitalisasi ini, sehingga diperlukan peran besar negara untuk mendukung dan
mendorong masyarakat dalam membangun perekonomian negara dengan perlindunga
hukum yang mampu menjamin kenyamanan dan keamanan masyarakat.
Kesimpulan
Indonesia memiliki peraturan tentang perdagangan elektronik secara umum
dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2018 jo Undang-undang Nomor 19 tahun
2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang Nomor 7 tahun 2014
tentang Perdagangan dan Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Kepastian Hukum Penyelesaian Sengketa E-Commerce di Indonesia Secara Online
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 7, Juli 2021 1245
Alternatif Penyelesaian Sengketa. Belum ada kepastian hukum terkait sistem online
dispute resolution di Indonesia sebab belum ada peraturan maupun peraturan pelaksana
yang menjelaskan secara detail tentang ODR namun peraturan secara umum telah
dimuat dalam Undang-Undang ITE dan Undang-Undang Perdagangan, juga Undang-
Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa sebagai pedoman ODR. ODR
akan sangat bermanfaat bagi masyarakat di masa mendatang melihat dari perkembangan
angka pengguna e-commerce di Indonesia, sehingga diperlukan payung hukum yang
mampu melindungi masyarakat secara normatif agar Indonesia dapat bersaing dengan
negara lain di dunia.
Stefani
1246 Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 7, Juli 2021
Bibliografi
Asikin, Zainal. (2012). Pengantar Tata Hukum Indonesia. Rajagrafindo Persada,
Jakarta.
Basarah, Moch. (2011). Prosedur Alternatif Penyelesaian Sengketa Arbitrase
Tradisional dan Modern. Yogyakarta: Genta Publishing.
Gede, Atmadja I. Dewa, & Putu, Budiartha I. Nyoman. (2018). Teori-teori Hukum.
Cetakan Pertama, Setara Press Kelompok Intrans Publishing, Malang, Jawa Timur.
Hamid, Abd Haris, & SH, M. H. (2017). Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia
(Vol. 1). SAH MEDIA.
Hanim, Lathifah. (2014). PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PARA PIHAK DALAM
E-COMMERCE SEBAGAI AKIBAT DARI GLOBALISASI EKONOMI. Jurnal
Pembaharuan Hukum, 1(2), 191199.
Hariyani, Iswi, Serfiyani, Cita Yustisia, & Purnomo, R. Serfianto Dibyo. (2018).
Penyelesaian sengketa bisnis: litigasi, negosiasi, konsultasi, pendapat mengikat,
mediasi, konsiliasi, adjudikasi, arbitrase, dan penyelesaian sengketa daring. PT
Gramedia Pustaka Utama.
Hidayat, Firman. (2018). Tinjauan Asas Kepastian Hukum, Keadilan, Dan
Kemanfaatan Dalam Akta Perjanjian Kawin Yang Di Buat Oleh Notaris. Fakultas
Hukum UNISSULA.
MARPI, YAPITER, & Kom, S. (2020). Perlindungan hukum terhadap konsumen atas
keabsahan kontrak elektronik dalam transaksi e-commerce. PT. ZONA MEDIA
MANDIRI.
Marzuki, Menurut Peter Mahmud. (2019). Ian McLeod, Terry Hutchinson serta Jan
Gijssels dan Mark. Hukum Perjanjian, 37.
Putra, Setia. (2014). Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Transaksi Jual-
Beli Melalui E-Commerce. Jurnal Ilmu Hukum, 5(2), 197208.
Rahmawayi, Intan Nur, SH, M. H., & Rukiyah Lubis, S. H. (2018). Win-Win Solution
Sengketa Konsumen. Media Pressindo.
Romindo, Romindo, Muttaqin, Muttaqin, Saputra, Didin Hadi, Purba, Deddy
Wahyudin, Iswahyudi, M., Banjarnahor, Astri Rumondang, Kusuma, Aditya Halim
Perdana, Effendy, Faried, Sulaiman, Oris Krianto, & Simarmata, Janner. (2019). E-
Commerce: Implementasi, Strategi dan Inovasinya. Yayasan Kita Menulis.
Sarwono, Jonathan, & Prihartono, K. (2012). Perdagangan online: cara bisnis di
internet. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Kepastian Hukum Penyelesaian Sengketa E-Commerce di Indonesia Secara Online
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 7, Juli 2021 1247
Sitompul, Meline Gerarita, Syaifuddin, M., & Yahanan, Annalisa. (2016). Online
Dispute Resolution (ODR): Prospek Penyelesaian Sengketa E-Commerce di
Indonesia. Jurnal Renaissance, 1(2), 7593.
Sugiarto, Suprihantosa. (2019). ONLINE DISPUTE RESOLUTION (ODR) SEBAGAI
ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DI ERA MODERNISASI.
Qawãnïn: Journal of Economic Syaria Law, 3(1), 5065.
Suharnoko, Hukum Perjanjian. (2004). Teori dan Analisa Kasus. Jakarta, Kencana
Prenada Media.
Sulfinadia, Hamda. (2020). Meningkatkan Kesadaran Hukum Masyarakat Studi Atas
Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan Tentang Perkawinan. Deepublish.
Syahrani, Riduan, & Hukum, Rangkuman Intisari Ilmu. (1999). Penerbit Citra Aditya
Bakti. Bandung.
Wiryawan, I. Wayan, Artadi, I. Ketut, & Atmaja, Made Jiwa. (2010). Penyelesaian
sengketa di luar pengadilan. Udayana University Press.