Jurnal Indonesia Sosial Teknologi: p–ISSN: 2723 - 6609
e-ISSN : 2745-5254
Vol. 2, No. 4 April 2021
USULAN PERBAIKAN KESEIMBANGAN LINTASAN PERAKITAN DEPARTEMEN ASSEMBLING MENGGUNAKAN METODE RPW-MVM DAN SIMULASI (KASUS PT.XYZ)
Andri Rachmat Kumalasian Nasution, Danang Adi Kusumo, Ilham Darmawan
Universitas Jenderal Achmad Yani
Email: [email protected], [email protected],
Abstract
PT. XYZ is a manufacturing company engaged in the shoe industry. Shoe products manufactured by PT. XYZ has PDH, PDL and Casual shoe models. The three shoe models consist of two main parts, namely the upper which is the upper part of the shoe and thepart which bottom is the bottom of the shoe and the shoe models go through the same production process so that if one shoe model is delayed, the other model will have an impact. and experiencing delays also caused by delays in achieving the production target of upper and bottom shoes. The delay in achieving the production target is due to the imbalance of work time for each work station on the assembly line of thedepartment assembling. In this study, the assembly line balancing was carried out using the RPW-MVM method and simulation design using theapplication Promodel. After balancing the assembly line, the results were obtained, a decrease in the number of work stations to 13 work stations, an increase in the line efficiency bottleneck situation to 88.28%, the balancing efficiency increased to 91.76% and an increase in theoutput averageof 117 pairs of shoes.
Keywords: assembly line balancing; ranked positional weighted-moving target (RPW-MVM); mixed-model assembly line balancing problem (MALBP).
Abstrak
PT. XYZ merupakan salah satu perusahaan manufaktur yang bergerak di bidang industri sepatu. Produk sepatu yang diproduksi oleh PT. XYZ memiliki model sepatu PDH, PDL dan Casual. Ketiga model sepatu terdiri dari terdiri dari dua bagian utama yaitu bagian upper yang merupakan bagian atas sepatu dan bagian bottom merupakan bagian bawah sepatu dan model-model sepatu tersebut melewati proses produksi yang sama sehingga jika salah satu model sepatu mengalami keterlambatan maka model yang lain akan berdampak dan mengalami keterlambatan juga yang disebabkan oleh keterlambatan pencapaian target produksi upper dan bottom sepatu. Keterlambatan pencapaian target produksi tersebut disebabkan tidak seimbangnya waktu kerja setiap stasiun kerja pada lintasan perakitan departemen assembling. Pada penelitian ini dilakukan penyeimbangan lintasan perakitan menggunakan metode RPW-MVM dan perancangan simulasi dengan menggunakan aplikasi Promodel. Setelah dilakukan penyeimbangan lintasan perakitan diperoleh hasil, penurunan jumlah stasiun kerja menjadi 13 stasiun kerja, peningkatan line efficiency bottleneck situation menjadi 88,28%, balancing efficiency meningkat menjadi 91,76% dan pertambahan output rata – rata 117 pasang sepatu.
Kata Kunci : assembly line balancing, ranked positional weighted-moving target (RPW-MVM), mixed-model assembly line balancing problem (MALBP).
Pendahuluan
PT. XYZ merupakan salah satu perusahaan produsen dan penjual sepatu. Beberapa produk yang dibuat antara lain sepatu dinas lapangan dan dinas harian TNI dan POLRI dan konsumen swasta. Strategi memenuhi permintaan konsumen ini adalah Make to Order (MTO) untuk sepatu militer yang biasa dipakai untuk instansi seperti sepatu pakaian dinas harian (PDH) dan sepatu dinas lapangan (PDL) serta strategi Make to Stock (MTS) untuk produksi sepatu casual. Data target dan realisasi mengenai sepatu PDH, PDL dan casual di perusahaan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1.
Target dan Realisasi Produksi Sepatu Tahun 2019
No |
Bulan |
Target dan Realisasi Produksi Sepatu Tahun 2019 (dalam satuan pasang) |
|||||||
Model Sepatu PDH |
Model Sepatu PDL |
Model Sepatu Casual |
|||||||
Permintaan |
Realisasi |
Permintaan |
Realisasi |
Target |
Realisasi |
||||
1 |
Januari |
9866 |
9866 |
0 |
0 |
100 |
100 |
||
2 |
Februari |
0 |
0 |
6472 |
6472 |
100 |
100 |
||
3 |
Maret |
11770 |
10749 |
1339 |
1339 |
100 |
92 |
||
4 |
April |
13250 |
12761 |
1094 |
1094 |
100 |
85 |
||
5 |
Mei |
13757 |
13476 |
1855 |
1832 |
100 |
78 |
||
6 |
Juni |
9287 |
9127 |
4309 |
4278 |
100 |
63 |
||
7 |
Juli |
12343 |
11786 |
1505 |
1505 |
100 |
88 |
||
8 |
Agustus |
8602 |
8602 |
5850 |
5254 |
100 |
76 |
||
9 |
September |
11947 |
11298 |
2888 |
2784 |
100 |
87 |
||
10 |
Oktober |
0 |
0 |
10351 |
10321 |
100 |
55 |
||
11 |
November |
13492 |
13382 |
1905 |
1776 |
100 |
72 |
||
12 |
Desember |
7426 |
7426 |
0 |
0 |
100 |
100 |
||
Total |
111740 |
108473 |
37568 |
36785 |
1200 |
996 |
Ketiga jenis sepatu ini melewati proses produksi (lihat Gambar 1.) dengan fasilitas yang sama secara bergantian. Apabila proses produksi salah satu model sepatu mengalami keterlambatan maka model yang lain akan mengalami keterlambatan penyelesaian produk. Berdasarkan data yang telah disajikan pada Tabel 1 dapat diketahui bahwa sepatu jenis casual menjadi produk yang paling sering tidak memenuhi target produksi bulanan, hal ini menyebabkan perusahaan mengalami loss sales. Jika terus dibiarkan maka kepercayaan konsumen akan hilang dan akan berdampak pada terus menurunnya pendapatan perusahaan. Data total loss sales dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2
Data Loss Sale Tahun 2019
No |
Bulan |
Target (Pasang) |
Realisasi (Pasang) |
Kekurangan (Pasang) (a) |
Harga (b) |
Loss Sales (a)*(b) |
|||||
1 |
Januari |
100 |
100 |
0 |
Rp. 1.250000. 00 |
Rp. 0 |
|||||
2 |
Februari |
100 |
100 |
0 |
Rp. 1.250000. 00 |
Rp. 0 |
|||||
3 |
Maret |
100 |
92 |
8 |
Rp. 1.250000. 00 |
Rp 10.000.000. 00 |
|||||
4 |
April |
100 |
85 |
15 |
Rp. 1.250000. 00 |
Rp 18.750.000. 00 |
|||||
5 |
Mei |
100 |
78 |
22 |
Rp. 1.250000. 00 |
Rp 27.500.000. 00 |
|||||
6 |
Juni |
100 |
63 |
37 |
Rp. 1.250000. 00 |
Rp 46.250.000. 00 |
|||||
7 |
Juli |
100 |
88 |
12 |
Rp. 1.250000. 00 |
Rp 15.000.000. 00 |
|||||
8 |
Agustus |
100 |
76 |
24 |
Rp. 1.250000. 00 |
Rp 30.000.000. 00 |
|||||
9 |
September |
100 |
87 |
13 |
Rp. 1.250000. 00 |
Rp 16.250.000. 00 |
|||||
10 |
Oktober |
100 |
55 |
45 |
Rp. 1.250000. 00 |
Rp 56.250.000. 00 |
|||||
11 |
November |
100 |
72 |
28 |
Rp. 1.250000. 00 |
Rp 35.000.000. 00 |
|||||
12 |
Desember |
100 |
100 |
0 |
Rp. 1.250000. 00 |
Rp. 0 |
|||||
Total |
1200 |
996 |
204 |
Rp. 15.000000. 0.00 |
Rp 255.000.000. 00 |
Dari data diatas dapat diketahui bahwa perusahaan mengalami kerugian setiap bulannya dengan total loss sales sebesar Rp. 255.000.000,00. Jika terus dibiarkan akan menghilangkan kepercayaan pada perusahaan, yang akan berdampak pada jangka panjang pada pendapatan perusahaan. Hal ini disebabkan pada proses produksi yang sering mengalami keterlambatan.
Gambar 1 Aliran dan Kapasitas Produksi PT. XYZ
Gambar 1 menjelaskan alur proses produksi dan kapasitas yang dihasilkan pada setiap proses dalam pembuatan sepatu dimulai pada proses cutting dimana pada proses cutting ini merupakan awalan bagi seluruh proses dalam pembuatan sepatu dimana bahan dasar sepatu yaitu kulit dipotong sesuai pola yang telah dibuat, Proses kedua stitching (Jahit) pada proses ini setiap komponen yang sudah dipotong dilakukan proses penjahitan yang sebelumnya sudah dilakukan pemberian pola jahit, Proses ketiga yaitu proses assembling pada tahapan ini komponen kulit serta Insole yang telah menyatu disatukan dengan Outsole, Proses keempat yaitu finishing pada tahapan ini meninjau kembali sisa – sisa lem yang masih menempel pada sisi sepatu serta proses pemberian spray pada sepatu agar sepatu terlihat mengkilap, Proses terakhir yaitu proses packing pada tahapan ini sepatu diberikan tatakan sepatu dan pemberian tali sepatu serta pada tahapan ini pemeriksaan terakhir sepatu sebelum dikemas ke dalam box.
Proses produksi sering mengalami keterlambatan pada target produksi dikarenakan proses assembling yang mengalami waktu terlalu lama, ini dikarenakan karena proses assembling ini memiliki kapasitas yang lebih kecil dibandingkan dengan proses cutting maupun stitching yang lebih besar, Proses Assembling ini lebih kompleks pada saat pengerjaan dimana terdapat 29 elemen kerja yang harus dilakukan dan melalui 17 stasiun kerja dalam satu lintasan kerja yang pada prosesnya saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Proses perakitan yang dikerjakan adalah proses penggabungan upper dan bottom sepatu. 3 varian model sepatu baik itu sepatu PDH, PDL maupun casual dikerjakan pada satu lintasan perakitan yang sama dengan melalui 17 stasiun kerja tersebut. Selama ini lintasan perakitan tersebut dapat dikatakan belum berjalan efisien karena terdapat waktu stasiun kerja yang tidak seimbang. Penyebab terjadinya waktu stasiun yang tidak seimbang diakibatkan oleh jumlah elemen kerja yang tidak terdistribusi secara merata pada setiap stasiun kerja. Berikut ini merupakan data waktu stasiun di lintasan perakitan upper dan bottom sepatu model PDL, PDH dan Casual, yang dijelaskan pada Gambar 2.
Gambar 2 Waktu stasiun perakitan sepatu PDL, PDH dan Casual
Gambar 2 memperlihatkan waktu setiap proses yang terdapat pada setiap stasiun kerja departemen assembling, Terdapat waktu stasiun yang lebih tinggi dibandingkan stasiun kerja sebelumnya, terutama pada stasiun kerja 3, stasiun kerja 7, stasiun kerja 11, stasiun kerja 14 dan stasiun kerja 15 sehingga menimbulkan bottleneck (antrian kerja) pada proses perakitan. Terjadinya bottleneck pada proses perakitan bottom dan upper menyebabkan adanya waktu menganggur pada beberapa stasiun kerja, hal ini merupakan kegiatan yang tidak produktif karena waktu yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk kegiatan perakitan digunakan untuk menunggu produk dari stasiun kerja sebelumnya sehingga hal ini menyebabkan keterlambatan target produksi upper sepatu.
Penelitian-penelitian mengenai kesetimbangan lintasan telah banyak dilakukan dan terbukti memberikan manfaat bagi perusahaan. Beberapa kasus kesetimbangan yang berhasil dilakukan seperti penelitian yang dilakukan oleh (Salim, dkk. 2016), (Saiful, dkk. 2016), (Ahyadi, dkk. 2015), (Dasanti, dkk. 2020), (Djunaidi, dkk. 2018), (Ponda, dkk. 2019). Penelitian-penelitian tersebut membahas produk yang berjumlah satu produk. Jika produk yang dibahas lebih dari satu atau pembahasan operator kombinasi antara mesin dan operator dapat diselesaikan dengan metode-metode heuristic atau meta heuristic seperti pendekatan Mixed – model assembly line balancing problem. Beberapa penelitian yang membahas mengenai Mixed – model assembly line balancing problem antara lain (Alakaş dan Toklu, 2020), (Çil, dkk. 2020), (Mönch, dkk. 2020), (Yang dan Cheng 2020). Apabila proses perbaikan kesetimbangan lintasan telah dilakukan namun hasil kesetimbangan telah mendekati 100 % maka salah satu langkah selanjutnya yaitu perlu melakukan penambahan kapasitas dan melakukan studi kelayakan yang langkah-langkahnya dapat mengacu pada penelitian (Nasution dan Nurhadi 2019).
Berdasarkan permasalahan – permasalahan yang telah diuraikan diatas, penelitian ini merancang keseimbangan lintasan perakitan pembuatan sepatu dengan pendekatan Mixed – model assembly line balancing problem guna meningkatkan efisiensi lintasan perakitan pada departemen assembling untuk meningkatkan output di PT. XYZ. Berdasarkan perumusan masalah tersebut maka tujuan penelitian ini adalah merancang perbaikan keseimbangan lintasan perakitan pada departemen assembling guna meningkatkan efisiensi lintasan perakitan dan meningkatkan output di PT. XYZ.
Sistem produksi adalah kumpulan komponen-komponen yang saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya untuk tujuan mentransformasikan input produksi menjadi output produksi. Dalam proses produksi mempunyai elemen-elemen utama yaitu input, proses, dan output (Arman Hakim Nasution, 2003). Lebih rinci lagi dibahas oleh (Gaspersz 1998), konsep dasar sistem produksi terdiri dari:
Elemen Input dalam Sistem Produksi
Elemen input dapat diklasifikasikan kedalam dua jenis, yaitu: input tetap (fixed input) merupakan input produksi yang tingkat penggunaannya tidak bergantung pada jumlah output yang akan diproduksi. Sedangkan input variabel (variable input) merupakan input produksi yang tingkat penggunaannya bergantung pada output yang akan diproduksi. Dalam sistem produksi terdapat beberapa input baik variabel maupun tetap adalah sebagai berikut :
Tenaga Kerja ( labor )
Operasi sistem produksi membutuhkan campur tangan manusia dan orangorang yang terlibat dalam proses sistem produksi. Input tenaga kerja yang termasuk diklasifikasikan sebagai input tetap.
Modal
Operasi sistem produksi membutuhkan modal. Berbagai macam fasilitas peralatan, mesin produksi, bangunan, gudang, dapat dianggap sebagai modal. Dalam jangka pendek modal diklasifikasikan sebagai input variabel.
Bahan Baku
Bahan baku merupakan faktor penting karena dapat menghasilkan suatu produk jadi. Dalam hal ini bahan baku diklasifikasikan sebagai input variabel.
Energi
Dalam aktivitas produksi membutuhkan banyak energi untuk menjalankan aktivitas seperti untuk menjalankan mesin dibutuhkan energi berupa bahan bakar atau tenaga listrik, air untuk keperluan perusahaan. Input energy diklasifikasikan dalam input tetap atau input variabel tergantung dengan penggunaan energi itu tergantung pada kuantitas produksi yang dihasilkan.
Informasi
Informasi sudah dipandang sebagai input tetap karena digunakan untuk mendapatkan berbagai macam informasi tentang: kebutuhan atau keinginan pelanggan, kuatitas permintaan pasar, harga produk dipasar, perilaku pesaing dipasar, peraturan ekspor impor, kebijaksanaan pemerintah, dan lain-lain.
Manajerial
Sistem perusahaan saat ini berada pada pasar global yang sangat kompetitif membutuhkan tenaga ahli untuk meningkatkan perfomansi sistem itu secara terus-menerus.
Proses dalam Sistem Produksi
Proses dalam sistem produksi dapat didefinisikan suatu kegiatan melalui suatu aliran material dan informasi yang mentransformasikan berbagai input ke dalam output yang bertambah nilai tinggi.
Elemen Output dalam Sistem Produksi
Output dari proses dalam sistem produksi dapat berbentuk barang atau jasa. Pengukuran karakteristik output sebaiknya mengacu pada kebutuhan atau keinginan pelanggan dalam pasar. Pengukuran pada tingkat output sistem produksi yang relevan adalah mempertimbangkan kuantitas produk, efisiensi, efektifitas, fleksibilitas, dan kualitas produk.
Pengertian MRP II
MRP II (Manufacturing Resources Planning) merupakan sistem perencanaan dan pengendalian yang paling banyak diterapkan pada proses job shop dan flow shop (make to order dan small batch flow process) juga diterapkan pada assemble to order dan make to stock. MRP II biasa juga dikenal dengan MRP & CRP, sebab manajemen material dan kapasitas merupakan inti dari MRP II. Sistem MRP II akan lebih cocok untuk merencanakan dan mengendalikan job shop manufacturing dan memang telah terbukti lebih baik dibandingkan dengan sistem perencanaan dan pengendalian yang lain. Konsep – konsep seperti push system and complex scheduling dapat diterapkan dalam job shop manufacturing.
MRP II merupakan suatu sistem informasi terintegrasi yang menyediakan data di antara berbagai aktivitas produksi dan area fungsional lainnya dari bisnis keseluruhan. Sistem MRP II merupakan sistem yang mengintegrasikan marketing, finansial dan operasi. Ini merupakan semua aspek dari perusahaan manufaktur, dari business planning pada level eksekutif sampai perencanaan dan pengendalian yang sangat detail pada level managerial seperti eksekusi lantai pabrik dan purchasing.
Pengertian Keseimbangan lini
Keseimbangan lini merupakan suatu metode penugasan sejumlah pekerjaan ke dalam stasiun kerja yang saling berkaitan dalam satu lini produksi sehingga setiap stasiun kerja memiliki waktu yang tidak melebihi waktu siklus dari stasiun kerja tersebut. Keterkaitan sejumlah pekerjaan dalam suatu lini produksi harus dipertimbangkan dalam menentukan pembagian pekerjaan ke dalam masing-masing stasiun kerja. Hubungan atau saling keterkaitan antara satu pekerjaan dengan pekerjaan lainnya digambarkan dalam suatu Precedence Diagram atau diagram pendahuluan, sedangkan hubungan itu disebut precedence job atau precedence network. Konsep keseimbangan lini bertujuan untuk meminimalkan total waktu menganggur dalam proses produksi. Dalam konsep ini, elemen-elemen operasi akan digabung-gabung menjadi beberapa stasiun kerja. Tujuan umum penggabungan ini adalah untuk mendapatkan rasio delay/idle (menganggur) yang serendah mungkin. Jika memungkinkan rasio delay ini diupayakan 0% yang berarti efisiensi sama dengan 100%. Dengan demikian, modal tidak akan dialokasikan pada kegiatan menganggur. Sehingga penghematan biaya dapat diperoleh. Hasil penghematan biaya ini selanjutnya dapat digunakan untuk mengurangi harga jual atau dialokasikan pada kegiatan produktif lainnya (Bedworth, 1997).
Dalam menyelesaikan permasalahan line balancing terdapat beberapa teori yang dikemukakan oleh para ahli yang meneliti pada bidang ini. Secara garis besar bahwa permasalahan line balancing dapat diselesaikan oleh dua metode yaitu:
Metode Analitis/Matematis
Metode yang dilakukan dengan pendekatan analitis/matematis adalah suatu metode yang dapat memberikan solusi yang optimal dalam memecahkan masalah line balancing namun metode ini memiliki kelemahan yaitu memerlukan perhitungan yang besar dan rumit. Berikut ini beberapa metode menurut (Kriengkorakot dan Pianthong 2007):
Metode Optimasi Exact
Linear Programming
Integer Programming
Dynamic Programming
Goal Programming
Shortest-path techniques
Maximal-path techniques
Branch and Bound
Metode Optimasi non-Exact, Heuristik
Priority ranking and assignment
Tree search or heuristic branch and bound
Trade and transfer
Metode Meta-heuristik
1. Simulated Annealing (SA)
2. Tabu Search (TS)
3. Genetic Algorithm (GA)
4. Ant Colony Optimization (ACO)
Metode Heuristik
Metode heuristik merupakan metode yang menggunakan pendekatan trial and error dan metode ini memberikan hasil secara matematis yang secara praktik memberikan hasil yang cepat dan mendekati optimal. Menurut (Baroto 2002) terdapat empat metode heuristic kesetimbangan lintasan, antara lain:
a. Metode Region Approach (Kilbridge Wester Heuristic)
b. Metode Ranked Positional Weight (Helgeson-Birnie)
c. Metode Largest Candidate Rule
d. Metode J-Wagon (Aquilano)
Pengertian RPW-MVM
Metode Ranked Positional Weight (RPW) merupakan metode untuk menyelesaikan permasalahan line balancing yang paling umum digunakan pada kasus kesetimbangan lintasan. Metode ini dikembangkan oleh (Helgeson dan Birnie 1961). Menurut (Boctor 1995), model RPW dapat memberikan solusi memuaskan dan cepat. Pada metode ini dilakukan perhitungan pembebanan (weighted) pada masing-masing elemen kerja (task) berdasarkan Precedence Diagram. Pembebanan (weighted) merupakan penjumlahan dari masing-masing waktu elemen kerja dengan predececor operasi. Terdapat aturan pengurutan pembebanan pada metode ini yaitu bobot posisional diatur dalam urutan menurun, urutan pengalokasian elemen kerja mengikuti urutan pembebanannya dan memperhatikan precedence contraint yang ada (Reginato, dkk. 2016).
Metode RPW-MVM menggunakan bobot posisional RPW yang diusulkan oleh Helgeson & Birnie dan proporsi demand untuk setiap model untuk memacahkan permasalahan Mix-Model Assembly Line Balancing. Metode RPW-MVM memungkinkan lini perakitan dapat memenuhi permintaan produksi dengan waktu workstation untuk setiap model kurang dari waktu siklus/Takt time yang telah. Pemecahan masalah line balancing pada lini perakitan menggunakan metode RPW yang murni di-set dengan waktu siklus yang telah ditetapkan sebelumnya, sehingga dapat diasumsikan bahwa dalam pengalokasian elemen kerja ke dalam workstation berdasarkan waktu siklus yang tetap, hal ini mengakibatkan pengalokasian elemen kerja di setiap workstation memiliki ketidakseimbangan yang terakumulasi yang biasanya menghasilkan performansi yang kurang baik, untuk menghilangkan batasan target yang tetap/waktu siklus yang tetap maka alokasi elemen kerja harus dapat dialokasikan dimana saja dan kapan saja sehingga dikembangkan metode line balancing pada lintasan perakitan berdasarkan pembobotan dengan target bergerak atau Moving-Target (MVM). Perhitungan Moving-Target (MVM) pada lini perakitan dilakukan pada setiap workstation dan menyeimbangkan lini perakitan berdasarkan jumlah workstation yang ada kemudian nilai Moving-Target (MVM) digunakan sebagai acuan untuk melakukan penyeimbangan pengalokasian elemen kerja pada workstation. Perhitungan Moving-Target (MVM) pada proses penyeimbangan lini perakitan akan mempermudah dalam mengkonfigurasi stasiun kerja dengan mengalokasikan elemen kerja secara seimbang ke worktation yang telah ditentukan (Reginato,dkk. 2016)
Menurut (Harrell 2004) mendefinisikan simulasi sebagai tiruan dari suatu sistem dinamis yang dibuat menggunakan model komputer dengan tujuan untuk mengevaluasi dan memperbaiki performansi sistem yang mana sistem merupakan sekumpulan elemen-elemen yang berfungsi bersama untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Sistem yang ditiru terdiri dari sekumpulan elemen-elemen yang meliputi entitas, aktivitas, sumber daya dan kontrol. Secara ringkas, bahwa simulasi merupakan suatu cara untuk melakukan evaluasi dan perbaikan suatu sistem yang meliputi entitas, aktivitas, sumber daya dan kontrol, melalui suatu imitasi model yang dibuat menggunakan program komputer. Model simulasi seringkali dibuat menggunakan program yang ditujukan khusus untuk pemodelan. Beberapa program yang sering digunakan diantaranya adalah ProModel, FlexSim, ARENA, dan Simul8. Program-program tersebut pada dasarnya memiliki fungsi yang sama yaitu untuk memodelkan suatu sistem.
Metode Penelitian
Metodologi penelitian merupakan tahapan – tahapan atau prosedur yang saling berhubungan untuk menyelesaikan masalah berdasarkan dengan tujuan penelitian. Objek yang dikaji pada penelitian ini adalah bagaimana menentukan perbaikan perancangan lintasan perakitan di PT. XYZ. Adapun tahap – tahap penelitian ini digambarkan melalui flowchart pada Gambar 3 dan 4.
Gambar
3.
Flowchart
metodologi
penelitian
Gambar
4.
Flowchart
metodologi
penelitian
(Lanjutan)
Membuat Precedence Diagram gabungan untuk setiap model.
Melakukan perhitungan proporsi demand tiap varian model.
𝑝𝑑𝑚 = ..................................................................................................(3.1)
𝑑𝑚 merupakan permintaan produk pada periode p, dengan model m = 1..,M;
dan D merupakan total permintaan dari seluruh model yang diproduksi pada periode p.
Melakukan perhitungan waktu siklus/Takt time (Tc) berdasarkan total permintaan produksi
𝑇𝑐 = ......................................................(3.2)
Melakukan perhitungan Bobot Waktu Rata-rata (𝑡𝑘̅ ) dan Total Waktu Stasiun Rata-rata (𝑆𝑗̅) untuk pengalokasian elemen kerja pada RPW-MVM dikarenakan metode ini memperhitungkan varian model dari mix-model assembly line.
𝑡𝑘̅ = .............................................................................(3.3)
𝑆𝑗̅ = ...........................................................................................(3.4)
Melakukan perhitungan RPW untuk masing-masing elemen kerja dengan menjumlahkan 𝑡𝑘 dari proses pendahulu berdasarkan Joint Precedence.
Urutkan sesuai pembobotan RPW.
Melakukan perhitungan jumlah minimum workstation (Min W).
afa
CTTm = ..............................................................................(3.5)
MinW = ..................................................................(3.6)
Tentukan jumlah stasiun j=W
Melakukan perhitungan jumlah target bergerak (MVM) workstation terbaru untuk setiap model (MVM j,m=1…,M).
CTAj,m = CTAj + 1,m + Sj,m ...................................................................(3.7)
MVMj,m = .....................................................................(3.8)
Melakukan alokasi elemen kerja untuk setiap model ke workstation berdasarkan pembobotan RPW dengan memperhatikan join precedence dan bobot rata-rata stasiun kerja (𝑆𝑗̅) dengan tujuan pengalokasian elemen kerja tidak melebihi bobot MVM tertinggi (𝑆𝑗̅≤ (major MVM j,m=1,…,M)) dan perhatikan total waktu elemen kerja untuk setiap model pada masingmasing stasiun kerja agar tidak melebihi waktu siklus/Takt time (𝑆𝑗,𝑚=1,..,𝑀 ≤ 𝑇𝑐);
Melakukan pengulangan alokasi elemen kerja sampai elemen kerja untuk setiap model tidak dapat dipindah kembali.
Tentukan ( j= j-1 ) dan lakukan perhituangan ulang MVM j,m=1,…,M
Melakukan validasi terhadap tingkat ketidak-merataan (inequality) yaitu jika ((major MVM j,m=1,…,M) ≤ Tc) maka lakukan langkah selanjutnya, jika ((major MVM j,m=1,…,M) ≥ Tc) maka ulangi langkah ke-8 dengan menghitung (MinW= MinW+1) dan lakukan pengulangan alokasi elemen kerja kemudian lakukan pengulangan perhitungan dari langkah ke-10 sampai dengan ke-13 hingga seluruh elemen kerja terdistribusi.
Pembangunan model simulasi merupakan tahap konversi dari model existing menjadi sebuah model simulasi yang representatif dengan model existing. Pembangunan model terdiri dari pembangunan model struktural dan operasional.
Uji verifikasi dan uji validasi berguna untuk menyatakan bahwa sistem nyata dan model simulasi adalah sama. Sebelum melakukan verifikasi dan validasi model, terlebih dahulu perlu dilakukan uji replikasi untuk menentukan banyaknya replikasi yang dilakukan untuk melakukan simulasi.
Pembuatan sistem usulan dilakukan berdasarkan hasil perhitungan line balancing menggunakan metode RPW- MVM yang telah dilakukan sebelumnya.
Tahapan ini merupakan penarikan kesimpulan berdasarkan pengolahan data yang telah dilakukan, apakah pengujian usulan dapat dieksekusi di lapangan atau tidak. Jika hasil simulasi dikatakan lebih baik berdasarkan indikator Performansi metode RPW-MVM yang membuktikan bahwa sistem usulan lebih baik dari sistem nyata, maka sistem usulan dapat diterima.
Indikator Performansi Metode RPW-MWM
Adapun indikator performansi penyeimbangan lini perakitan metode RPW-MVM yang digunakan sebagai berikut (Peinado & Graeml, 2007) :
a. Line Efficiency bottleneck situation (LEb)
𝐿𝐸𝑏 = x 100.......................................................................(3.12)
b. Balancing Efficiency
𝐵𝐸 = x 100.......................................................(3.13)
c. Kapasitas Produksi
𝐶𝑎𝑝𝑏 = .....................................(3.14)
Dimana,Tg merupakan waktu siklus terbesar.
Hasil dan Pembahasan
Keseimbangan Perakitan Kondisi Eksisting
Diagram keterkaitan elemen kerja
Gambar 5. Diagram Keterkaitan Elemen Kerja
Jumlah stasiun kerja
Pada lini perakitan bottom dan upper sepatu model PDH, PDL dan Casual memilki 17 stasiun kerja yang saling terhubung satu sama lain.
Proporsi Demand.
Tabel 3.
Permintaan Produk per model
Model |
Demand (Pasang/hari) |
Proporsi Demand |
PDL |
300 |
37.50 |
PDH |
400 |
50.00 |
Casual |
100 |
12.50 |
Total |
800 |
100.00 |
Perhitungan rata – rata waktu proses (tk)
Tabel 4.
Rata-rata Waktu Proses
No |
Pekerjaan |
PDH |
PDL |
Casual |
Rata - rata |
Stasiun Kerja |
0.38 |
0.50 |
0.13 |
||||
1 |
Pengolesan cairan tolen ke stifinner |
7.26 |
6.10 |
6.17 |
6.55 |
14.82 |
2 |
Pasang Stifinner ke bagian upper |
4.99 |
10.76 |
8.17 |
8.27 |
|
3 |
Proses pembentukan tumit sepatu |
24.37 |
38.09 |
34.94 |
32.55 |
32.55 |
4 |
Proses pemberian latex ke toepuff |
25.06 |
29.44 |
26.15 |
27.39 |
27.39 |
5 |
Proses Pemakuan insole |
21.04 |
19.18 |
16.01 |
19.48 |
19.48 |
6 |
Pemberian latex pada insole |
7.14 |
6.02 |
6.04 |
6.44 |
16.18 |
7 |
Pemberian latex pada upper |
6.08 |
10.86 |
16.23 |
9.74 |
|
8 |
Proses Pemanasan |
7.93 |
12.91 |
10.74 |
10.77 |
23.13 |
9 |
Press Upper Hot |
10.46 |
10.09 |
27.05 |
12.35 |
|
10 |
Proses pembentukan kaki depan (toelasting) |
15.10 |
8.41 |
23.00 |
12.74 |
37.60 |
11 |
Proses tarik pinggang |
7.72 |
14.93 |
12.89 |
11.97 |
|
12 |
Proses Penarikan tumit sepatu (heelasting) |
11.85 |
14.08 |
11.21 |
12.88 |
|
13 |
Prose pelepasan paku pada insole |
17.04 |
14.85 |
24.17 |
16.84 |
16.84 |
14 |
Proses penghalusan slep bawah |
18.01 |
17.15 |
9.02 |
16.46 |
16.46 |
15 |
Proses gambar pola outsole |
17.13 |
18.21 |
12.00 |
17.03 |
17.03 |
16 |
Proses perapihan pinggir slep bawah |
16.14 |
19.76 |
21.19 |
18.58 |
32.29 |
17 |
Proses perapihan gosokan |
10.26 |
15.97 |
14.99 |
13.71 |
|
18 |
Penyesuain garis sejajar kiri dan kanan (QC) |
12.14 |
10.90 |
10.06 |
11.26 |
11.26 |
19 |
Pemeriksaan bahan outsole |
20.17 |
20.07 |
20.12 |
20.11 |
20.11 |
20 |
Pengeleman Outsole |
28.22 |
22.17 |
26.80 |
25.02 |
35.85 |
21 |
Pengeringan Lem Outsole |
12.15 |
10.05 |
10.04 |
10.83 |
|
22 |
Pengeleman Outsole |
28.29 |
25.89 |
25.02 |
26.68 |
38.16 |
23 |
Pengeringan Lem Outsole |
12.19 |
10.78 |
12.13 |
11.48 |
|
24 |
Menempelkan outsole dan Upper |
22.06 |
20.23 |
32.13 |
22.40 |
22.40 |
25 |
Press outsole dan upper |
19.91 |
21.10 |
28.07 |
21.53 |
21.53 |
Waktu siklus lini perakitan
Tabel 5.
Waktu Siklus Lini Perakitan Per Stasiun Kerja
Stasiun Kerja |
PDH |
PDL |
Casual |
Sj |
1 |
12.25 |
16.87 |
14.34 |
14.82 |
2 |
24.37 |
38.09 |
34.94 |
32.55 |
3 |
25.06 |
29.44 |
26.15 |
27.39 |
4 |
21.04 |
19.18 |
16.01 |
19.48 |
5 |
13.22 |
16.88 |
22.27 |
16.18 |
6 |
18.40 |
23.01 |
37.79 |
23.13 |
7 |
34.67 |
37.42 |
47.10 |
37.60 |
8 |
17.04 |
14.85 |
24.17 |
16.84 |
9 |
18.01 |
17.15 |
9.02 |
16.46 |
10 |
17.13 |
18.21 |
12.00 |
17.03 |
11 |
26.39 |
35.74 |
36.18 |
32.29 |
12 |
12.14 |
10.90 |
10.06 |
11.26 |
13 |
20.17 |
20.07 |
20.12 |
20.11 |
14 |
40.36 |
32.22 |
36.84 |
35.85 |
15 |
40.48 |
36.66 |
37.16 |
38.16 |
16 |
22.06 |
20.23 |
32.13 |
22.40 |
17 |
19.91 |
21.10 |
28.07 |
21.53 |
Takt time dan Kapasitas Produksi
Takt time
Untuk mengetahui waktu acuan dalam proses perakitan bottom dan upper sepatu diperlukan perhitungan Takt time. Dengan mengetahi Takt time permasalahan dalam memenuhi target produksi dengan menurunkan waktu siklus hingga sama dengan Takt time. Berikut merupakan perhitungan Takt time aktual yang dapat dilihat pada perhitungan 4.1.
𝑇𝑐 = = 𝑇𝑐 = = 36 detik/pasang………..(4.1)
Kapasitas Produksi
Untuk mengetahui kapasitas produksi dapat dilakukan dengan cara membagi waktu kerja tersedia dengan waktu siklus yang mana waktu siklus merupakan waktu stasiun rata – rata (sj) terlama yang terdapat pada lini perakitan. Berikut ini merupakan perhitungan kapasitas produksi kondisi eksisting yang dapat dilihat pada perhitungan 4.2.
𝐶𝑎𝑝𝑏 = = 𝐶𝑎𝑝𝑏 = = 745 ……..(4.2)
Line Efficiency bottleneck situation (LEb)
Nilai effisiensi lini perakitan eksisting dapat dihitung dengan membagi rata – rata waktu proses (tk) perakitan bottom dan upper sepatu model PDH, PDL dan Casual dengan jumlah stasiun kerja dikalikan dengan waktu siklus (Takt time) terlama yang terdapat pada proses perakitan. Sehingga diperoleh nilai efisiensi lini perakitan bottom dan upper sepatu model PDH, PDL dan Casual aktual yaitu :
𝐿𝐸𝑏 = x 100 = 𝐿𝐸𝑏 = x 100 = 58,35%...........................................(4.3)
Balancing Efficiency
Balancing efficiency lini perakitan eksisting proses perakitan bottom dan upper sepatu model PDH, Pdl dan Casual menggunakan perhitungan yang dapat dilihat pada perhitungan 4.4.
𝐵𝐸 = x 100 = 𝐵𝐸 = x 100 = 67,73%........................(4.4)
Perencanaan Lintasan Perakitan Usulan
Perhitungan Pembobotan RPW Setiap Elemen Kerja
Tabel 6.
Pembobotan RPW Elemen Kerja
No |
Pekerjaan |
PDH |
PDL |
Casual |
Rata - rata |
Bobot |
Rank |
0.50 |
0.38 |
0.13 |
|||||
1 |
Pengolesan cairan tolen ke stifinner |
7.26 |
6.10 |
6.17 |
6.69 |
6.69 |
25 |
2 |
Pasang Stifinner ke bagian upper |
4.99 |
10.76 |
8.17 |
7.55 |
14.24 |
24 |
3 |
Proses pembentukan tumit sepatu |
24.37 |
38.09 |
34.94 |
30.84 |
38.39 |
5 |
4 |
Proses pemberian latex ke toepuff |
25.06 |
29.44 |
26.15 |
26.84 |
57.68 |
1 |
5 |
Proses Pemakuan insole |
21.04 |
19.18 |
16.01 |
19.71 |
19.71 |
22 |
6 |
Pemberian latex pada insole |
7.14 |
6.02 |
6.04 |
6.58 |
26.29 |
15 |
7 |
Pemberian latex pada upper |
6.08 |
10.86 |
16.23 |
9.14 |
35.98 |
8 |
8 |
Proses Pemanasan |
7.93 |
12.91 |
10.74 |
10.15 |
19.29 |
23 |
9 |
Press Upper Hot |
10.46 |
10.09 |
27.05 |
12.40 |
22.55 |
20 |
10 |
Proses pembentukan kaki depan (toelasting) |
15.10 |
8.41 |
23.00 |
13.58 |
25.98 |
16 |
11 |
Proses tarik pinggang |
7.72 |
14.93 |
12.89 |
11.07 |
24.65 |
17 |
12 |
Proses Penarikan tumit sepatu (heelasting) |
11.85 |
14.08 |
11.21 |
12.61 |
23.68 |
19 |
13 |
Prose pelepasan paku pada insole |
17.04 |
14.85 |
24.17 |
17.11 |
29.72 |
14 |
14 |
Proses penghalusan slep bawah |
18.01 |
17.15 |
9.02 |
16.56 |
33.67 |
11 |
15 |
Proses gambar pola outsole |
17.13 |
18.21 |
12.00 |
16.89 |
33.45 |
12 |
16 |
Proses perapihan pinggir slep bawah |
16.14 |
19.76 |
21.19 |
18.13 |
35.02 |
9 |
17 |
Proses perapihan gosokan |
10.26 |
15.97 |
14.99 |
12.99 |
31.12 |
13 |
18 |
Penyesuain garis sejajar kiri dan kanan (QC) |
12.14 |
10.90 |
10.06 |
11.42 |
24.41 |
18 |
19 |
Pemeriksaan bahan outsole |
20.17 |
20.07 |
20.12 |
20.13 |
20.13 |
21 |
20 |
Pengeleman Outsole |
28.22 |
22.17 |
26.80 |
25.77 |
45.90 |
2 |
21 |
Pengeringan Lem Outsole |
12.15 |
10.05 |
10.04 |
11.10 |
36.87 |
7 |
22 |
Pengeleman Outsole |
28.29 |
25.89 |
25.02 |
26.98 |
38.08 |
6 |
23 |
Pengeringan Lem Outsole |
12.19 |
10.78 |
12.13 |
11.65 |
38.63 |
4 |
24 |
Menempelkan outsole dan Upper |
22.06 |
20.23 |
32.13 |
22.63 |
34.29 |
10 |
25 |
Press outsole dan upper |
19.91 |
21.10 |
28.07 |
21.38 |
44.01 |
3 |
Perhitungan Stasiun Kerja Minimal
Tabel 7.
Stasiun Kerja Minimal
|
Seri/Model Produk Sepatu |
||
PDL |
PDH |
Casual |
|
CTTm (detik) |
377.51 |
391.60 |
381.16 |
Tc (detik) |
36.00 |
36.00 |
36.00 |
Jumlah Stasiun Kerja Minimal (MINw) |
10.49 |
10.88 |
10.6 |
Jumlah Stasiun Kerja (W=j) |
11 |
Perhitungan Moving Target dan Pengalokasian Elemen Kerja Usulan Berdasarkan Pembobotan RPW dan Nilai Moving Target
Setelah melakukan pengalokasian elemen kerja ke stasiun kerja diperlukannya perhitungan jumlah target bergerak (MVM) stasiun kerja terbaru untuk setiap model (MVM j, m=1,…,M) sebagai acuan untuk melakukan pengalokasian elemen kerja ke stasiun kerja baru. Perhitungan moving target (MVM) pada rumus (3.8).
Tabel 8.
Perhitungan Moving Target dan Alokasi Elemen Kerja
Seri/Model Produk Sepatu |
PDH |
PDL |
Casual |
Waktu stasiun kerja (Sj) |
Average Total Station Time |
MAX AVMm |
TAKT TIME |
||||||||||
J(m) |
W |
11 |
11 |
11 |
SJ,A |
SJ,B |
SJ,C |
|
|
|
|||||||
CTTm |
377.51 |
391.60 |
381.16 |
|
|
|
|||||||||||
13 |
CTAj+1 |
0.00 |
0.00 |
0.00 |
32.31 |
35.54 |
32.32 |
33.39 |
35.79 |
36.00 |
|||||||
AVMm |
35.44 |
36.77 |
35.79 |
||||||||||||||
12 |
CTAj+1 |
32.31 |
35.54 |
32.32 |
35.18 |
31.86 |
29.13 |
32.06 |
32.75 |
36.00 |
|||||||
AVMm |
32.41 |
33.43 |
32.75 |
||||||||||||||
11 |
CTAj+1 |
35.18 |
31.86 |
29.13 |
25.86 |
34.95 |
29.98 |
30.26 |
33.05 |
36.00 |
|||||||
AVMm |
32.14 |
33.78 |
33.05 |
||||||||||||||
10 |
CTAj+1 |
25.86 |
34.95 |
29.98 |
34.28 |
31.73 |
32.24 |
32.75 |
32.97 |
36.00 |
|||||||
AVMm |
33.02 |
33.49 |
32.97 |
||||||||||||||
9 |
CTAj+1 |
34.28 |
31.73 |
32.24 |
24.37 |
29.94 |
34.94 |
29.75 |
32.76 |
36.00 |
|||||||
AVMm |
32.23 |
33.79 |
32.76 |
||||||||||||||
8 |
CTAj+1 |
24.37 |
29.94 |
34.94 |
27.30 |
30.82 |
29.94 |
29.35 |
32.51 |
36.00 |
|||||||
AVMm |
33.16 |
33.96 |
32.51 |
||||||||||||||
7 |
CTAj+1 |
27.30 |
30.82 |
29.94 |
35.36 |
28.19 |
32.84 |
32.13 |
32.98 |
36.00 |
|||||||
AVMm |
32.88 |
33.87 |
32.98 |
||||||||||||||
6 |
CTAj+1 |
35.36 |
28.19 |
32.84 |
27.59 |
28.31 |
21.97 |
25.95 |
32.70 |
36.00 |
|||||||
AVMm |
32.12 |
34.12 |
32.70 |
||||||||||||||
5 |
CTAj+1 |
27.59 |
28.31 |
21.97 |
24.90 |
31.87 |
28.05 |
28.27 |
33.73 |
36.00 |
|||||||
AVMm |
32.85 |
34.11 |
33.73 |
||||||||||||||
4 |
CTAj+1 |
24.90 |
31.87 |
28.05 |
28.76 |
34.11 |
28.90 |
30.59 |
33.15 |
36.00 |
|||||||
AVMm |
33.11 |
33.78 |
33.15 |
||||||||||||||
3 |
CTAj+1 |
28.76 |
34.11 |
28.90 |
28.29 |
25.89 |
25.02 |
26.40 |
33.07 |
36.00 |
|||||||
AVMm |
32.74 |
33.57 |
33.07 |
||||||||||||||
2 |
CTAj+1 |
28.29 |
25.89 |
25.02 |
22.06 |
20.23 |
22.80 |
21.70 |
33.44 |
36.00 |
|||||||
AVMm |
32.79 |
34.34 |
33.44 |
||||||||||||||
1 |
CTAj+1 |
22.06 |
20.23 |
22.80 |
31.24 |
28.17 |
33.03 |
30.81 |
33.65 |
36.00 |
|||||||
AVMm |
33.37 |
34.87 |
33.65 |
Perhitungan Indikator Performansi Lintasan Perakitan Usulan:
Line Efficiency (LEb)
𝐿𝐸𝑏 = x 100 = 𝐿𝐸𝑏 = x 100 =
88,28%...............................................(4.8)
Balancing Efficiency
𝐵𝐸 = x 100 = 𝐵𝐸 = x 100 =
91,76%........................(4.9)
Kapasitas Produksi Kondisi Usulan
𝐶𝑎𝑝𝑏= =𝐶𝑎𝑝𝑏= =862pasang/hari(4.10)
Output Simulasi Kondisi Usulan dengan Metode RPW-MVM
Setelah pembangunan simulasi usulan maka selanjutnya akan disimulasikan. Hal ini dilakukan dengan tujuan melihat hasil output model yang telah disimulasikan, Berikut merupakan output pada entries activity dapat dilihat jumlah entitas dalam sistem dan jumlah entitas yang keluar dari sistem atau produk jadi untuk 10 kali simulasi.
Gambar 6 Output Simulasi Kondisi Usulan Metode RPW-MVM
Berdasarkan gambar 4.27 diatas dapat diketahui bahwa berdasarkan 10 kali simulasi dengan 8 jam kerja yang disesuaikan dengan jam kerja nyata pada perusahaan PT. XYZ dapat dihasilkan sepatu untuk proses perakitan bottom dan upper sepatu dengan rata – rata total output 665,1 pasang/hari.
Uji Komparasi
Pembangunan model alternatif perlu diuji komparasi untuk menentukan alternatif yang paling baik. Adapun sistem usulan yang akan dikomparasi adalah sebanyak dua buah. Uji Komparasi berdasarkan uji independensi t-test akan dilakukan menggunakan aplikasi SPSS.
Hipotesis :
H0: µ1 = µ2
H1: µ1 ≠ µ2
Gambar 7 Hasil Uji Komparasi Simulasi Eksisting dan Usulan
Dasar Pengambilan Keputusan dengan menggunakan Alpha 10%:
Jika nilai Sig (2-tailed) ≤ 0,10, maka terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil simulasi eksisting dan simulasi usulan.
Jika nilai Sig. (2-tailed) > 0,10, maka tidak ada perbedaan yang signifikan antara simulasi eksisting dan simulasi usulan.
Berdasarkan Gambar 7 dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak yang artinya terdapat perbedaan/perubahan antara simulasi eksisting dan simulasi usulan.
Kesimpulan
Berdasarkan permasalahan yang dihadapi oleh PT. XYZ tidak terpenuhinya target produksi sepatu PDH, PDL dan Casual yang disebabkan oleh lintasan perakitan yang tidak seimbang dan terdapat waktu stasiun kerja yang melampaui takt time yang telah ditentukan, maka penelitian ini melakukan penyeimbangan lintasan perakitan departemen assembling sepatu model PDH, PDL dan Casual dengan meratakan beban kerja untuk setiap tahun kerja menggunakan metode RPW-MVM. Berikut ini merupakan penjelasan mengenai hasil yang diperoleh dari penyeimbangan lintasan:
Berdasarkan perhitungan performansi terdapat peningkatan kapasitas produksi setelah dilakukannya penyeimbangan lintasan perakitan sebesar 117 pasang sepatu. Dimana kondisi aktual lintasan perakitan memiliki kapasitas produksi sebesar 745 pasang, Kemudian setelah dilakukannya penyeimbangan lintasan perakitan kapasitas produksi yang dapat dicapai sebesar 862 pasang dengan metode RPW-MVM.
Didapatkan indeks performansi yang lebih baik dimana pada kondisi eksisting line efficiency bottleneck situation sebesar 58,35% dan balancing efficiency sebesar 67,73%, sedangkan lintasan perakitan usulan dengan metode RPW-MVM memiliki line efficiency bottleneck situation sebesar 88,28% dan balancing efficiency sebesar 91,76%.
Bibliografi
Ahyadi, Harawan, Saputra, Rudi, & Suhartanto, Eko. (2015). Analisis Keseimbangan Lintasan Untuk Meningkatkan Proses Produksi Pada Air Mineral Dalam Kemasan. Bina Teknika, 11(2), 139–148.
Alakaş, Hacı Mehmet, & Toklu, Bilal. (2020). Problem Specific Variable Selection Rules for Constraint Programming: A Type II Mixed Model Assembly Line Balancing Problem Case. Applied Artificial Intelligence, 34(7), 564–584. https://doi.org/10.1080/08839514.2020.1731782
Baroto, Teguh. (2002). Perencanaan dan Pengendalian Produksi. Jakarta: Galia.
Bedworth, D. D. .. (1997). Integrated Production COntrol System: Analysis, Design (2nd ed.). New york: John WIley and SOns.
Boctor, Fayez F. (1995). A multiple-rule heuristic for assembly line balancing. Journal of the Operational Research Society, 46(1), 62–69. https://doi.org/10.1057/jors.1995.7
Çil, Zeynel Abidin, Li, Zixiang, Mete, Suleyman, & Özceylan, Eren. (2020). Mathematical model and bee algorithms for mixed-model assembly line balancing problem with physical human–robot collaboration. Applied Soft Computing Journal, 93, 106394. https://doi.org/10.1016/j.asoc.2020.106394
Dasanti, a F., Jakdan, F., & Santoso, T. (2020). Penerapan Konsep Line Balancing Untuk Mencapai Efisiensi Kerja Yang Optimal Pada Setiap Stasiun Kerja Di PT GARMENT JAKARTA. Bulletin of Applied Industrial Engineering Theory, 2(1), 2–7.
Djunaidi, Much, & . Angga. (2018). Analisis Keseimbangan Lintasan (Line Balancing) Pada Proses Perakitan Body Bus Pada Karoseri Guna Meningkatkan Efisiensi Lintasan. Jurnal Ilmiah Teknik Industri, 5(2), 77–84. https://doi.org/10.24912/jitiuntar.v5i2.1788
Gaspersz, Vincent. (1998). Production Planning and Inventory Control. Jakarta: PT. Sun.
Harrell, Charles. (2004). Simalation Using Promodel (2nd ed.). Boston: Massachusetts B.
Helgeson, W. P., & Birnie, D. P. (1961). Assembly Line Balancing Using the Ranked Positional Weight Techniqu. Journal of Industrial Engineering, 12(6), 384–398.
Kriengkorakot, Nuchsara, & Pianthong, Nalin. (2007). The Assembly Line Balancing Problem : Review articles *. KKU Engineering Journal, 34(2), 133–140.
Mönch, Tobias, Huchzermeier, Arnd, & Bebersdorf, Peter. (2020). Variable takt times in mixed-model assembly line balancing with random customisation. International Journal of Production Research, 0(0), 1–20. https://doi.org/10.1080/00207543.2020.1769874
Nasution, Andri Rachmat Kumalasian, & Nurhadi, Nurhadi. (2019). Studi Kelayakan Bisnis Produksi & Pemasaran Cake Di Kota Bandung (Kasus Di Cv. Yeye Group). Jurnal Teknik: Media Pengembangan Ilmu Dan Aplikasi Teknik, 18(1), 38. https://doi.org/10.26874/jt.vol18no1.95
Nasution, Arman Hakim. (2003). Perencanaan dan Pengendalian Produksi (1st ed.). Surabaya: Guna Widya.
Ponda, Henri, Hardono, Joko, & Pikri, Sofi Khaerul. (2019). Analisa Keseimbangan Lintasan Produksi Pada Pembuatan Radiator Mitsubishi Ps 220 Dengan Metode Ranked Positional Weight (Rpw). Journal Industrial Manufacturing, 4(1), 77. https://doi.org/10.31000/jim.v4i1.1251
Reginato, Gustavo, Anzanello, Michel José, & Kahmann, Alessandro. (2016). Mixed assembly line balancing method in scenarios with different mix of products. Gestão & Produção, 23(2), 294–307. https://doi.org/10.1590/0104-530x1874-14
SAIFUL, HAMBALI, MULYADI, & MUHADI RAHMAN, TRI. (2016). PENYEIMBANGAN LINTASAN PRODUKSI DENGAN METODE HEURISTIK (STUDI KASUS PT XYZ MAKASSAR). Jurnal Teknik Industri, 15(2), 182. https://doi.org/10.22219/jtiumm.vol15.no2.182-189
Salim, Hengky K., Setiawan, Kuswara, & Hartanti, Lusia PS. (2016). Perancangan Keseimbangan Lintasan Produksi Menggunakan Pendekatan Simulasi Dan Metode Ranked Positional Weights. JTi Undip : Jurnal Teknik Industri, 11(1), 53–60. https://doi.org/10.12777/jati.11.1.53-60
Yang, Wucheng, & Cheng, Wenming. (2020). Modelling and solving mixed-model two-sided assembly line balancing problem with sequence-dependent setup time. International Journal of Production Research, 58(21), 6638–6659. https://doi.org/10.1080/00207543.2019.1683255