Jurnal Indonesia Sosial Teknologi: p–ISSN: 2723 - 6609
e-ISSN : 2745-5254
Vol. 2, No. 3 Maret 2021
PENGATURAN TENGGAT WAKTU PELAKSANAAN PIDANA MATI DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA
Wulan Puji Anjarsari
Magister Hukum Universitas Tujuh Belas Agustus Semarang, Indonesia
Email: [email protected]
Abstract
In the practice of the execution of the death penalty, the death penalty convicts often have to wait for years until the day of execution. The lack of clarity regarding the timing of the execution of the death penalty creates legal uncertainty for the convicts. This research intends to discuss the application of the death penalty and the waiting period for convicts in carrying out the death penalty in the criminal law system in Indonesia. The research was compiled using the normative juridical method by analyzing the statutory regulations related to the death penalty. The results show that the Indonesian Criminal Law in Law Number 2 / PNPS / 1964 does not clearly regulate the deadline for execution of death row convicts. The right to legal certainty has been guaranteed by the constitution as a constitutional right as regulated in the provisions of Article 28D Paragraph 1 of the UUD. NRI 1945. In relation to the deadline for execution of the death penalty as regulated by the current Law Number 2 / PNPS / 1964 which does not regulate the implementation of the death penalty in certainty, this brings legal uncertainty to the convict so that it violates the constitutional rights guaranteed in the constitution. This concludes that there is a need for a strict deadline for execution.
Keyword: waiting time; dead penalty; law certainty
Abstrak
Dalam praktik penerapan eksekusi pidana mati seringkali para terpidana hukuman mati harus menunggu hingga bertahun tahun sampai pada hari pelaksanaan eksekusi mati. Ketidak jelasan mengenai waktu pelaksanaan pidana mati tersebut menimbulkan ketidak pastian hukum bagi para terpidana. Penelitian ini hendak membahas penerapan pidana mati dan masa tunggu bagi terpidana dalam menjalankan hukuman mati dalam sistem hukum pidana di Indonesia. Penelitian disusun dengan metode yuridis normative dengan menganalisis peraturan perundang undangan terkait hukuman mati. Hasil penelitian menunjukkan Hukum Pidana Indonesia dalam UU Nomor 2/PNPS/1964 tidak mengatur secara pasti tentang tenggat waktu pelaksanaan eksekusi bagi terpidana hukuman mati Hak untuk mendapat kepastian hukum telah dijamin oleh konstitusi sebagai hak konstitusional sebagaimana yang diatur di dalam ketentuan Pasal 28D Ayat 1 UUD NRI Tahun 1945. Dalam kaitannya dengan tenggat waktu pelaksanaan eksekusi mati sebagaimana yang diatur oleh UU Nomor 2/PNPS/1964 saat ini yang tidak mengatur pelaksanaan pidana mati secara pasti, hal tersebut membawa ketidakpastian hukum oleh terpidana sehingga itu melanggar hak konstitusional yang dijamin di dalam konstitusi.sehingga penelitian ini menyimpulkan perlu adanya pengaturan yang tegas batas tenggat waktu untuk pelaksanaan eksekusi mati.
Kata kunci: masa tunggu; pidana mati; kepastian hukum.
Pendahuluan
Hukum pidana secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu hukum pidana materiil, hukum pidana formil, dan juga hukum pelaksanaan pidana. Masing masing dari ketiga jenis pidana ini memiliki fungsi dan peran yang berbeda-beda (Sarwoko, 2018). Apabila hukum pidana materiil menentukan perbuatan perbuatan apa saja yang dilarang dan diancam dengan sanksi pidana, maka hukum pidana formil adalah isntrumen hukum pidana yang melaksanakan ketentuan dalam pidana formil sekaligus mengatur panduan dalam beracara di dalam persidangan. Berbeda dengan hukum pidana formil, hukum eksekusi pidana merupakan instrument hukum pidana yang berfungsi untuk mengatur masalah pidana dan pemidanaan beserta lembaga pidana atau pemidanaan (Lamintang, 2019). Ketiga jenis pidana ini memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya dan ketiadaan salah satu dari pidana tersebut akan berdampak pada tidak dapat dilaksanakannya tujuan pemidanaan.
Berbicara pidana, maka tidak dapat dilepaskan dari ketentuan sanksi pidana. Sanksi pidana diberikan kepada setiap orang yang melanggar ketentuan yang ada di dalam ketentuan pidana materiil (KUHP) (Ningrum et al., 2016). Menurut Sudarto, pidana pada dasarnya adalah nestapa/penderitaan yang dikenakan kepada setiap orang yang memenuhi unsur unsur tertentu (Rumadan, 2013). Diskursus ilmu hukum pidana, jenis-jenis sanksi tersebut dikenal sebagai stelsel pidana. Stelsel pidana diatur di dalam ketentuan Pasal 10 KUHP yang mengatur bahwa sanksi pidana adalah pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan dan pidana denda.
Selain pidana pokok sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 10A KUHP, ketentuan Pasal 10B KUHP juga mengatur tentang pidana tambahan yang masing masing adalah pencabutan hak hak tertentu, Perampasan barang barang tetentu, Pengumuman putusan hakim (Undang-Undang, n.d.)
Penjabaran stelsel pidana di atas, masing masing ketentuan sanksi pidana tersebut semuanya masih berlaku dan masih diterapkan hingga saat ini termasuk ketentuan stelsel pidana yang paling berat sebagaiman yang diatur di Pasal 10 yaitu Pidana mati. Pidana mati merupakan sanksi yang paling berat di KUHP sebab melalui ketentuan pasal tersebut, hakim dapat merampas nyawa terpidana apabila ia terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana yang diancam pidana mati. Mengenai pelaksanaan pidana mati di dalam sistem hukum Indonesia, pelaksanaan pidana mati migrasi dasar hukum yang cukup berpengaruh. Semula pidana mati dilaksanakan dengan cara digantung oleh Algojo sampai mati sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 11 KUHP, kini ketentuan hukum tersebut tidak lagi digunakan seiring dengan terbitnya UU Nomor 2 /PNPS/1964 yang mengatur bahwa pelaksanaan pidana mati dilakukan dengan cara ditembak tepat di jantung (Putra et al., 2016).
Praktik penegakan hukum pidana Indonesia, begitu terdakwa dijatuhi vonis hukuman mati oleh majelis hakim, ia menunggu masa eksekusi mati di dalam sel tahanan sampai hari pelaksanaan eksekusi mati dilaksanakan. Menjadi persoalan adalah bahwa peraturan perundang undangan yang mengatur tentang pidana mati di Indonesia tidak mengatur secara pasti kapan tenggat waktu pelaksanaan eksekusi pidana mati sejak terpidana divonis hukuman mati oleh majelis hakim. Ketidakpastian ini menimbulkan masalah sebab ketidakpastian tersebut membawa dampak bagi terlanggarnya hak asasi terpidana dalam hak memperoleh kepastian hukum (Setiawan & Wisnaeni, 2017).
Berdasarkan penjabaran pada latar belakang a quo, adapun permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimana pengaturan pelaksanaan eksekusi pidana mati di Indonesia (2) Mengapa belum ada pengaturan tenggat waktu pelaksanaan eksekusi pidana mati di Indonesia. Penelitian ini tergolong belum terlalu banyak dikaji dalam karya ilmiah, baik dalam bentuk buku maupun jurnal penelitian (Agustinus & Eko Soponyono, 2016).
Metode Penelitian
Menurut (Nugraha, 2017), dalam penelitian hukum, terdapat beberapa jenis (metode) pendekatan, yang setidaknya akan menggunakan satu, dalam usaha mengumpulkan dan mendaatkan informasi dari berbagai aspek untuk menjawab sebuah permasalahan hukum. Penelitian hukum, terdapat beberapa jenis (metode) pendekatan yang setidaknya akan menggunakan satu dalam usaha mengumpulkan dan mendaatkan informasi dari berbagai aspek untuk menjawab sebuah permasalahan hukum (Suardy, 2018). Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Yuridis Normatif. Penelitian Yuridis normatif adalah Metode penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau bahan sekunder belaka (Muchtar, 2015). Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan pengetahuan maupun teknologi. Hal ini disebabkan, oleh karena penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis, dan konsisten. Melalui proses penelitian tersebut diadakan analisis dan konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah (Mamudji, 2018).
Metode penelitian ditujukan untuk mengetahui serangkaian metode yang digunakan dalam penulisan hukum dan diharapkan dapat diperoleh sebuah penelitian yang sistematis dan juga untuk memperoleh hasil penelitian yang diharapkan dapat menjadi penelitian yang sistematis dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Penelitian Yuridis Normatif ini, yakni penelitian berdasarkan aturan aturan yang diatur dalam peraturan perundang undangan kemudian mendeskripsikan secara faktual tentang pengaturan tenggat waktu bagi terpidana dalam pelaksanaan eksekusi pidana mati.
Hasil dan Pembahasan
Pengaturan Pidana Mati di Indonesia
Sanksi Pidana diatur di dalam sejumlah undang undang. Meskipun tersebar, namun ketentuan pidana mati merujuk pada stelsel pidana sebagaimana yang diatur di dalam ketentuan Pasal 10 A Ayat 1 KUHP. Pasal 10 A Ayat 1 KUHP mengatur bahwa sanksi pidana terberat adalah pidana mati. Indonesia dengan KUHP yang pada waktu itu bernama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie dengan pemberlakuan asas konkordansi sebagaimana yang diberlakukan oleh Belanda sebagai negara penjajah saat itu. Berbeda dengan Belanda yang pada saat ini tidak lagi memberlakukan pidana mati karena lembaga pidana mati telah dihapus sejak KUHP Belanda tahun 1881, Indonesia hingga saat ini masih memberlakukan pidana mati sebagai ancaman pidana terberat (Daming, 2016).
KUHP Indonesia mengatur beberapa pasal yang diancam dengan pidana mati seperti Pasal 104, Pasal 110 Ayat 1, Pasal 110 Ayat 2, Pasal 111 Ayat 2, Pasal 112, Pasal 113, Pasal 123, Pasal 124 Ayat 1, Pasal 124 bis, Pasal 125, pasal 127, Pasal 129, Pasal 140 Ayat 3, Pasal 185, Pasal 340, Pasal 444, Pasal 479 ayat 2. Ketentuan pidana juga diatur di dalam undang undang diluar KUHP diantaranya di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer di dalam ketentuan Pasal 64 angka 1 dan 2, Pasal 65 Angka 2 dan 3, Pasal 66, 67, dan Pasal 68. Ketentuan pidana juga diatur di dalam Pasal 81 Ayat 3 UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Pelaksanaan pidana mati pada awalnya sebagaimana yang diatur oleh Pasal 11 KUHP dilakukan oleh seorang algojo dengan cara menggantung terpidana di atas tiang gantungan sampai mati, namun ketentuan pada pasal tersebut sudah tidak berlaku lagi sejak adanya UU Nomor 2 /PNPS/Tahun 1964 dimana pelaksanaan pidana mati adalah dengan ditembak sampai mati. Ketentuan undang undang a quo pelaksanaan pidana mati diatur di dalam Pasal 2-16 UU diantaranya adalah:
Jangka waktu tiga kali dua puluh empat jam sebelum saat pelaksanaan pidana mati itu dilaksanakan, jaksa tinggi atau jaksa yang bersangkutan harus memberitahukan kepada terpidana mati tentang akan dilaksanakannya pidana mati tersebut. Apabila terpidana berkeinginan untuk mengemukakan sesuatu, maka keterngan atau pesannya itu diterima oleh jaksa tinggi atau oleh jaksa tersebut.
Apabila terpidana merupakan seorang wanita yang sedang hamil, maka pelaksanaan dari pidana mati harus ditunda hingga anak yang dikandungnya itu telah lahir.
Tempat pelaksanan pidana mati ditentukan oleh Menteri Kehakiman yakni di daerah hukum dari pengadilan tingkat pertama yang telah memutuskan pidana mati yang bersangkutan.
Kepala Polisi dari daerah yang bersangkutan bertanggung jawab mengenai pelaksanaan dari pidana mati tersebut setelah mendengar nasihat dari jaksa tinggi atau dari jaksa yang telah melakukan penuntutan pidana mati pada peradilan tingkat pertama.
Pelaksanaan pidana mati itu dilakukan oleh suatu regu penembak polisi di bawah pimpinan seorang perwira polisi.
Kepala Polisi dari daerah yang bersangkutan atau perwira yang ditunjuk harus menghadiri pelaksanaan dari pidana mati itu sedang pembela dari terpidana atas permintaannya sendiri atau atas permintaan dari terpidana dapat menghadirinya.
Pelaksaaan pidana mati itu tidak boleh dilakukan di muka umum.
Penguburan jenazah terpidana diserahkan kepada keluarga atau kepada sahabat sahabat terpidana, dan harus dicegah pelaksanaan dari penguburan yang sidat demonstrative, kecuali demi kepentingan umum maka jaksa tinggi atau jaksa yang bersangkutan dapat menentukan lain.
Setelah pelaksanaan dari pidana mati itu selesai dikerjakan, jaksa tinggi atau jaska yang bersangkutan harus membuat berita acara mengenai pelaksanaan dari pidana mati tersebut, dimana isi dari berita acara tersebut kemudian dicantumkan di dalam Surat Keputusan dari Pengadilan yang bersangkutan.
Pengaturan Tenggat Waktu Pelaksanaan Pidana Mati di Indonesia
Apabila kita mencermati dari rangkaian pelaksanaan eksekusi pidana mati sebagaimana yang diatur di dalam UU Nomor 2/PNPS/1964 tentang eksekusi pidana mati, dapat diketahui bahwa dalam UU a quo belum mengatur tenggat waktu kapan pelaksanaan pidana mati harus dilakukan. UU Nomor 2/PNPS/1964 hanya mengatur pemberitahuan kepada terpidana bahwa ia akan dieksekusi paling lama dalam waktu 3 x 24 jam. Namun itu baru sebatas pada pemberitahuan menjelang eksekusi mati. UU Nomor 2/PNPS/1964 tidak mengatur secara pasti interval waktu pelaksanaan pidana mati dari sejak penjatuhan vonis hukuman mati oleh hakim sampai pada hari pelaksanaan eksekusi mati dilakukan.
Ketidakpastian pengaturan tenggat waktu ini menurut argumentasi penulis menimbulkan ketidakpastian hukum dan akan berdampak pada keadaan psikologis terpidana. Hal demikian sebab ia sudah tau bahwa ia akan mati ditembak pada akhirnya, namun tidak tahu kapan ia akan ditembak. Praktik pelaksanan pidana mati di Indonesia, rentang waktu antara vonis majelis hakim hingga hari pelaksanaan hukuman mati dilakukan kepada terpidana pada realitanya memakan waktu yang sangat lama, bertahun tahun bahkan lebih dari satu decade, terpidana mati belum juga dieksekusi.
Hal ini, penulis paparkan beberapa contoh kasus konkret tentang pelaksanaan pidana mati yang berlarut larut:
Pertama, kasus pembunuhan berantai yang menggegerkan publik Tanah Air pada 2008. Very Idam Henyansyah alias Ryan, pria dari Jombang, Jawa Timur membunuh 11 orang. Dari informasi yang dihimpun Sejarah Hari Ini, terkuaknya pembunuhan yang dilakukan Ryan dimulai dari ditemukannya tujuh potongan tubuh manusia dalam dua buah tas di belakang Kebun Binatang Ragunan, Jakarta Selatan, pada Sabtu pagi 12 Juli 2008. Polisi kemudian membawa jenazah korban mutilasi itu ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta Pusat. Identitas jenazah terungkap. Dia adalah Heri Santoso (40), seorang manager penjualan sebuah perusahaan swasta di Jakarta yang menghilang selama dua hari. Selasa 15 Juli 2008, polisi menangkap Very Idam Henyansyah alias Ryan. Dia ditangkap setelah menggunakan uang sebesar Rp 3.040.000, kartu kredit dan ATM milik Heri untuk berfoya-foya dengan kekasih sesama jenisnya, Noval Andrias. Saat itu, dia ditangkap di kosnya di Pesona Kayangan, Depok. Polisi juga menangkap kekasih Ryan, Noval. Penyidik kemudian menggiring Ryan dan Noval ke Polda Metro Jaya pada hari itu juga untuk diperiksa.
Pada pemeriksaan tersebut, penyidik menghubungkan kasus mutilasi ini dengan hilangnya Aril Somba Sitanggang alias Aril. Ryan pernah dilaporkan keluarganya pada Mei 2008 karena menghilang. Pada saat itu, polisi melepaskannya karena tidak cukup bukti. Ryan pun mengaku telah memakamkan jenazah Aril di dekat rumah orangtuanya di Desa Jatiwates Kecamatan Tembelang, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Senin, 21 Juli 2008, polisi menggiring Ryan untuk menunjukkan lokasi penguburan Aril. Saat itu, polisi menemukan empat mayat dalam dua lubang. Salah satunya diyakini sebagai jasad Aril. Satu lubang berisi tiga jenazah. Satu korban berjenis kelamin wanita. Jenazah perempuan itu ditemukan dalam satu liang lahat bersama dua jenazah laki-laki lainnya di belakang pintu dapur rumah keluarga Ryan. Lubang yang lain berisi satu jasad berjenis kelamin laki-laki ditemukan petugas dalam sebuah liang di bawah pohon bambu yang berjarak sekitar lima meter dari liang pertama. Ryan mengaku melakukan pembunuhan itu sendirian di belakang rumahnya di Jalan Melati, Desa Jatiwates. Rentang pembunuhan dilakukan dari 2007, hingga akhirnya terungkap ada 11 korban jiwa. Pada 6 April 2009, majelis hakim Pengadilan Negeri Depok menjatuhi vonis hukuman mati terhadap Ryan, dan hingga saat ini Ryan belum dieksekusi.
Kedua, kasus Bom Bali 1 dengan terpidana mati Amrozi dan Imam Samudera. Pengeboman di sejumlah tempat di Bali--atau dikenal dengan sebutan peristiwa Bom Bali I--berawal ketika Umar Patek memutuskan tinggal di Sukoharjo, yaitu di rumah kontrakan Dulmatin. Hal ini dilakukan Umar Patek agar memudahkan komunikasi dengan Dulmatin, terkait rencana perlawanan mereka terhadap tentara Amerika Serikat dan sekutunya. Rencana ini disepakati saat mereka mengikuti pelatihan di Afganistan pada bulan September 2002. Saat Umar berada di rumah Dulmatin itulah, Umar ditemui oleh Imam Samudra dan mengajaknya untuk membunuh orang-orang asing yang berada di Bali, menggunakan bom. Selanjutnya, Dulmatin menemui Umar untuk memintanya segera ke Denpasar, Bali dan memberikan informasi bahwa Imam Samudra sudah berada di Bali. Umar pun berangkat melalui terminal Tirtonadi Solo diantar Dulmatin dengan menggunakan sepeda motor. Sesampainya di terminal Ubung Denpasar Bali, Umar dijemput oleh Imam Samudra dan Idris dengan menggunakan mobil Feroza. Lalu mereka menuju rumah kontrakan yang telah disediakan Imam Samudra yang beralamat di Jalan Pulau Menjangan, Denpasar.
Setelah
berada di kontrakan tersebut, Umar bertemu dengan Sarjiyo dan Sawad
yang tengah meracik dan mencampur bahan peledak jenis potasium
klorat, sulfur dan bubuk alumunium. Umar dan kedua orang tersebut
kenal sejak sama-sama sekolah di Akademi Militer milik Mujahidin
Afganistan di Saddah, Pakistan pada tahun 1991 sampai 1993. Imam
Samudra lalu meminta Umar untuk membuat bahan peledak bersama Sarjono
alias Sawad. Proses pembuatan bubuk hitam itu dilakukan selama tiga
minggu. Setelah itu, Ali Imron datang ke rumah itu bersama dengan Dr.
Azhari, Dulmatin, Muklas, Amrozi dan Abdul Ghoni. Mereka datang
menggunakan mobil L 300 berwarna putih dengan membawa empat set
filing cabinet sebagai
wadah bom.
Setelah bahan peledak selesai dibuat oleh Umar,
kemudian bersama Dr. Azhari dan Sawad, Umar memasukkan bubuk hitam ke
dalam empat filing
cabinet tersebut.
Sementara itu, Dulmatin membuat rangkaian elektronik bom. Kemudian,
Umar dan Dr. Azhari merangkai detonating
cord dari satu
filing cabinet
ke filing cabinet
lain. Selanjutnya
filling cabinet
tersebut
diletakkan di mobil L 300. Setelah itu, Dulmatin melanjutkan
pemasangan rangkaian elektronik bom di mobil L 300 antara filing
cabinet satu dan
yang lain. Umar dan Dr. Azhari juga membuat bom rompi dengan
menggunakan sepuluh potong pipa paralon yang diisi dengan bahan
peledak. Selain itu juga membuat bom kotak. Pada Kamis, tanggal 10
Oktober 2002 bom mobil Mitsubishi L 300, bom rompi dan bom kotak
selesai dibuat dan siap diledakkan.
Pada
hari yang sama, sekitar pukul 16.00 WITA, Dulmatin dan Dr. Azhari
mengajari Ali Imron untuk menyalakan switch
bom yang terpasang di mobil, rompi dam kotak. Cara menyalakan switch
inilah, yang diajarkan Ali Imron kepada Jimi alias Arnasal Iqbal
alias Isa yang telah dipersiapkan sebagai eksekutor bom bunuh diri.
Sementara pada malam harinya, Ali Imron dan Idris menguji kesiapan
Jimi dalam hal mengendarai mobil. Setelah itu, Dulmatin dan Dr.
Azhari meninggalkan Denpasar. Sementara Umar dan Abdul Ghoni tetap di
Denpasar.
Kemudian, pada Jumat 11 Oktober 2002, sekitar pukul
08.00 WITA, Umar meninggalkan rumah itu menuju Surabaya dengan
menggunakan bus.
Sabtu pagi, 12 Oktober 2002 Ali Imron memasang
tiga switch
bom di sebelah kiri jok sepeda motor Yamaha FIZR warna merah.
Masing-masing satu switch
untuk mematikan
mesin motor, satu switch
untuk mematikan lampu rem belakang dan satu switch
untuk mematikan lampu belakang. Ali Imron kemudian menentukan lokasi
sasaran peledakan bom, yaitu di Konsulat Amerika Serikat di Renon,
Sari Club dan Paddy's Pub di Legian, Kuta, Bali. "Karena di
tempat tersebut banyak berkumpul orang asing," kata dia.
Pada 12 Oktober 2002, Ali Imron pada pukul 20.45 WITA, dengan menggunakan sepeda motor Yamaha dengan membawa satu bom kotak yang beratnya sekitar 6 kilogram dengan sistem remote handphone. Bom tersebut, kemudian diletakkan di trotoar di samping kanan kantor Konsulat Amerika Serikat. Ali Imron lalu pergi ke Sari Club dan Paddy's Pub untuk melihat situasi serta arus lalu lintas. Setelah itu, Ali Imron kembali ke rumah kontrakan tersebut. Kemudian sekitar pukul 22.30 WITA, Ali Imron bersama dengan Jimi menuju Legian dengan menggunakan mobil L 300. Sementara Idris mengikuti dengan menggunakan motor Yamaha. Setibanya di lokasi, Ali Imron menyuruh Iqbal untuk mengenakan bom rompi dan menyuruh jimi untuk menggabungkan kabel-kabel dari detonator ke kotak switch bom mobil L 300. Selanjutnya, ketika mendekati pertigaan Jalan Legian, Iqbal dan Jimi telah siap untuk melakukan aksi bom. Pada saat itu, Ali Imron turun dari mobil L 300 yang telah diparkir sekitar 50 meter dari pertigaan. Selanjutnya, Jimi mengambil alih kemudi untuk melaksanakan tugasnya melakukan bom bunuh diri di depan Sari Club. Sementara Iqbal melaksanakan tugasnya untuk meledakkan bom rompi di Paddy's Pub.
Lokasi tersebut, Idris menjemput Ali Imron dengan sepeda motor Yamaha menuju jalan Imam Bonjol. Dari tempat inilah, Ali Imron menggunakan handphone sebagai remote control dan menekan nomor handphone yang terpasang pada bom yang telah diletakkan di depan Konsulat Amerika. Sekitar satu menit kemudian, Ali Imron telah mendengar suara ledakan dahsyat dari arah Kuta yang diyakini bahwa ledakan itu berasal dari bom mobil L 300 yang telah diledakkan oleh Jimi. Satu minggu setelah peledakan bom itu, Umar hadir dalam pertemuan dengan Dulmatin di Surakarta. Pertemuan tersebut dipimpin Muklas, dan dihadiri oleh Amrozi, Imam Samudra, Dulmatin, Ali Imron, Sawad, Abdul Ghoni, dan Idris. Pertemuan tersebut membahas keberhasilan pengeboman di Bali. Sementara pengeboman di tiga tempat tersebut mengakibatkan 192 orang meninggal. Sebanyak 187 orang telah teridentifikasi, 5 jenazah belum teridentifikasi dan 197 potongan tubuh belum teridentifikasi. Ledakan juga mengakibatkan 422 unit fasilitas publik rusak, di antaranya jaringan telepon, listrik dan saluran PDAM. Pada Tahun 2003, Amrozi dan Imam Samudera divonis hukuman mati dan baru dieksekusi pada tahun 2008 setelah lima tahun vonis majelis hakim.
Paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa sejatinya hukum pelaksanaan pidana Indonesia in casu hukum pidana mati tidak mengatur secara pasti tentang waktu pelaksanaan eksekusi mati terhitung dari vonis yang dijatuhkan oleh majelis hakim hingga hari pelaksanaan. Mengenai kapan terpidana akan dieksekusi sepenuhnya bergantung dari kebijakan jaksa selaku pelaksana putusan hakim. Hal itu tidak seharusnya tidak dikonstruksikan demikian karena dalam diskursus ilmu hukum pada umumnya, seharusnya hukum mengatur memberikan kepastian hukum tidak hanya dari segi hukum materiil, namun juga formil hingga pelaksanaannya. Hal itu juga diperkuat bahwa meskipun pada dasarnya hukum pidana adalah hukum yang memberikan nestapa dan melanggar hak asasi manusia, namun bukan berarti bahwa hukum pidana lepas dari tiga dasar nilai hukum yakni keadilan, kemanfaatan, dan juga kepastian. Kepastian hukum adalah hak yang juga harus dimiliki oleh tersangka, terdakwa, dan terpidana meskipun mereka telah melakukan delik/ tindak pidana.
Hak untuk mendapat kepastian hukum telah dijamin oleh konstitusi sebagai hak konstitusional sebagaimana yang diatur di dalam ketentuan Pasal 28D Ayat 1 UUD NRI Tahun 1945.Dalam kaitannya dengan tenggat waktu pelaksanaan eksekusi mati sebagaimana yang diatur oleh UU Nomor 2/PNPS/1964 saat ini yang tidak mengatur pelaksanaan pidana mati secara pasti, hal tersebut membawa ketidakpastian hukum oleh terpidana sehingga itu melanggar hak konstitusional yang dijamin di dalam konstitusi.
Kesimpulan
Pidana mati merupakan sanksi yang paling berat di KUHP sebab melalui ketentuan pasal tersebut, hakim dapat merampas nyawa terpidana apabila ia terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana yang diancam pidana mati. Mengenai pelaksanaan pidana mati di dalam sistem hukum Indonesia, pelaksanaan pidana mati mengami migrasi dasar hukum yang cukup berpengaruh. Dari yang semula pidana mati dilaksanakan dengan cara digantung oleh Algojo sampai mati sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 11 KUHP, kini ketentuan hukum tersebut tidak lagi digunakan seiring dengan terbitnya UU Nomor 2 /PNPS/1964 yang mengatur bahwa pelaksanaan pidana mati dilakukan dengan cara ditembak tepat di jantung.
UU Nomor 2/PNPS/1964 tentang eksekusi pidana mati, dapat diketahui bahwa dalam UU a quo belum mengatur tenggat waktu kapan pelaksanaan pidana mati harus dilakukan. UU Nomor 2/PNPS/1964 hanya mengatur pemberitahuan kepada terpidana bahwa ia akan dieksekusi paling lama dalam waktu 3 x 24 jam. Namun itu baru sebatas pada pemberitahuan menjelang eksekusi mati. UU Nomor 2/PNPS/1964 tidak mengatur secara pasti interval waktu pelaksanaan pidana mati dari sejak penjatuhan vonis hukuman mati oleh hakim sampai pada hari pelaksanaan eksekusi mati dilakukan. Ketidakpastian pengaturan tenggat waktu ini menimbulkan ketidakpastian hukum dan akan berdampak pada keadaan psikologis terpidana. Hal demikian sebab ia sudah tau bahwa ia akan mati ditembak pada akhirnya, namun tidak tahu kapan ia akan ditembak.
Dalam praktik pelaksanan pidana mati di Indonesia, rentang waktu antara vonis majelis hakim hingga hari pelaksanaan hukuman mati dilakukan kepada terpidana pada realitanya memakan waktu yang sangat lama, bertahun tahun bahkan lebih dari satu decade, terpidana mati belum juga dieksekusi. Hukum pelaksanaan pidana Indonesia in casu hukum pidana mati tidak mengatur secara pasti tentang waktu pelaksanaan eksekusi mati terhitung dari vonis yang dijatuhkan oleh majelis hakim hingga hari pelaksanaan. Mengenai kapan terpidana akan dieksekusi sepenuhnya bergantung dari kebijakan jaksa selaku pelaksana putusan hakim. Hal itu tidak seharusnya tidak dikonstruksikan demikian karena dalam diskursus ilmu hukum pada umumnya, seharusnya hukum mengatur memberikan kepastian hukum tidak hanya dari segi hukum materiil, namun juga formil hingga pelaksanaannya.
Bibliography
Agustinus, S., & Eko Soponyono, R. (2016). Pelakasaan Pidana Mati Di Indonesia Pasca Reformasi Dari Perspektif Hak Asasi Man Usia. Diponegoro Law Journal, 5(4), 1–16.
Daming, S. (2016). Konfigurasi Pertarungan Abolisionisme Versus Retensionisme dalam Diskursus Keberadaan Lembaga Pidana Mati di Tingkat Global dan Nasional. Yustisi, 3(1), 37.
Lamintang, P. A. F. (2019). Hukum Penitensier Indonesia Ed 2.
Mamudji, S. S. dan S. (2018). Metodologi Penelitian Hukum (Filsafat, Teori, dan Praktik). Cet 2. Rajawali Pers. Depok.
Muchtar, H. (2015). Analisis Yuridis Normatif Sinkronisasi Peraturan Daerah dengan Hak Asasi Manusia. Humanus, 14(1), 80–91.
Ningrum, D. K., Ispiyarso, B., & Pujiono, P. (2016). Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Di Bidang Perpajakan Sebagai Upaya Peningkatan Penerimaan Negara. Law Reform, 12(2), 209–221.
Nugraha, P. M. M. dalam D. P. (2017). Mengamandemen Ketentuan yang Tidak Dapat Diamandemen dalam Konstitusi Republik Indonesia. Cet 1. Thafa Media.
Putra, R. S. P., Sularto, R. B., & Hardjanto, U. S. (2016). PROBLEM KONSTITUSIONAL EKSISTENSI PELAKSANAAN PIDANA MATI DI INDONESIA. Diponegoro Law Journal, 5(3), 1–18.
Rumadan, I. (2013). Problem Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia dan Reorientasi Tujuan Pemidanaan. Jurnal Hukum Dan Peradilan, 2(2), 263–276.
Sarwoko, D. (2018). Pendanaan terorisme: pergeseran politik hukum pencegahan dan pemberantasannya di Indonesia. Genta Publishing.
Setiawan, H., & Wisnaeni, F. (2017). Rekonseptualisasi kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam upaya memaksimalkan fungsi Mahkamah Konstitusi sebagai the guardian of constitution. Fakultas Hukum.
Suardy, F. (2018). The authority of constitutional court as the guardian of constitution against amendment of unamendable provisions= Kewenangan mahkamah konstitusi sebagai penjaga konstitusi dari usaha mengamandemen unamendable provisions. Universitas Pelita Harapan.
Undang-Undang. (n.d.). Perubahan tindak pidana korupsi.
Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No.
3, Maret 2021