Jurnal Indonesia SosialTeknologi:p–ISSN: 2723 - 6609
e-ISSN : 2745-5254
Vol. 2, No.3 Maret 2021
JUAL BELI ONLINE DENGAN SISTEM DROPSHIP MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF INDONESIA
Mohammad Suyudi
Magister IlmuHukum, Program Pascasarjana Universitas Merdeka Malang, Indonesia
Email: [email protected]
Abstract
This article aims to examine the dropshipping problem, which is an online sale and purchase carried out by a dropshier for other people's goods (suppliers). Where in Islamic law and Indonesian positive law, it is prohibited to sell other people's property without the permission of the owner. In the various previous studies that have been there, it has discussed more in terms of consumer problems and their validity. Therefore, the author intends to analyze the legal constructs used and who is responsible for the buyer's losses due to the mismatch of goods contained therein according to Islamic law and positive law in Indonesia. This article is a normative research with a statutory, conceptual and comparative approach. Where the legal materials used include primary, secondary and tertiary legal materials, which are obtained by documentary methods and literature studies. The results are: First, the construction of the law of buying and selling online with thesystemdropship in Islamic law can use the construction of thecontractsalam parallel, samsarah, and wakalah. Whereas in positive law in Indonesia, the construction of a power grant agreement in the form of brokers and commissioners can be used. Second, the party responsible for the loss of the buyer due to the mismatch of goods according to Islamic law is the party whose position is the seller in accordance with the construction of the contract used, unless the dropshiper in thecontractsamsarah and wakalah is negligent in carrying out his duties. Meanwhile, according to positive law in Indonesia, the responsibleis the supplier seller, unless the dropshiper is negligent in exercising his power.
Keyword: buy and sell; on line; dropship.
Abstrak
Artikel ini bertujuan untuk mengkaji lebih terarah tentang permasalahan dropship,yang merupakan jual beli online yang dilakukan oleh seorang dropshier terhadap barang milik orang lain (supplier). Dimana dalam hukum Islam dan hukum positif Indonesia, dilarang menjual barang milik orang lain tanpa ada izin dari pemiliknya. Pada dalam berbagai kajian terdahulu yang sudah ada, lebih banyak membahas dari segi permasalahan konsumen dan keabsahannya saja. Oleh karena itu, penulis bermaksud untuk menganalisa terkait dengan konstruksi hukum yang digunakan dan siapa yang bertanggung jawab atas kerugian pembeli karena adanya ketidaksesuaian barang di dalamnya menurut hukum Islam dan hukum positif di Indonesia. Artikel ini merupakan penelitian normatif dengan pendekatan undang-undang, konseptual dan perbandingan. Dimana bahan hukum yang digunakan dinataranya adalah bahan hukum primer, sekunder dan tersier, yang didapatkan dengan metode dokumenter dan studi pustaka. Hasilnya adalah: Pertama, konstruksi hukum jual beli online dengan sistem dropship dalam hukum Islam dapat menggunakan konstruksi akad salam paralel, samsarah, dan wakalah. Sedangkan dalam hukum positif di Indonesia dapat menggunakan konstruksi perjanjian pemberian kuasa berupa makelar dan komisioner. Kedua, pihak yang bertanggung jawab atas kerugian pembeli karena ketidaksesuain barang menurut hukum Islam adalah pihak yang kedudukannya sebagai penjual sesuai dengan konstruksi akad yang digunakan, kecuali dropshiper dalam akad samsarah dan wakalah lalai dalam menjalankan tugasnya. Sedangkan menurut hukum positif di Indonesia, yang bertanggung jawab adalah supplier selaku penjual, kecuali dropshiper lalai dalam melakukan kuasanya.
Kata kunci: jual beli; online; dropship.
Pendahuluan
Dalam melakukan suatu bisnis, keuntungan yang besar merupakan tujuan utama kebanyakan para penggeraknya. Sehingga manusia dalam melakukan bisnis, berusaha untuk mengeluarkan modal yang sedikit dan berkeinginan untuk meraup keuntungan yang besar.
Pada era modern ini, yang notabene nya perdagangan bebas sudah mendunia menyebabkan maraknya praktik jual beli online dengan sistem dropship yang banyak dipraktikkan oleh masyarakat karena minimnya modal yang diperlukan dan pelaku usahanya dapat mengambil keuntungan darinya. Dimana dalam praktiknya, dropship bisa dilakukan oleh orang yang tidak memiliki barang untuk dijual kepada orang lain sebagaimana dalam praktik yang dilakukan secara offline.
Dropship itu sendiri suatu sistem jual beli online yang mana penjual (dropshiper) melakukan penjualan terhadap suatu barang yang tidak ia miliki dan tidak juga memiliki persediaannya, melainkan ia langsung meneruskan pembelian kepada supplier selaku pemilik barang yang sesuai dengan apa yang disepakati dengan pembeli (Nugroho, 2006). Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan bahwa dropshiper selaku penggerak dropship suatu barang tertentu dapat lebih jaya dari pada pemilik usaha asli barang yang dimaksud.
Dengan adanya hal yang demikian, persaingan bisnis antara pengusaha yang satu dengan lainnya berjalan semakin ketat (hyper competitive) untuk berlomba-lomba mencari keuntungan yang besar dari masyarakat. Sehingga dalam menjalankan bisnisnya, ia mampu mempertahankan bisnis yang dimaksud dalam keadaan persaingan yang sengit di era modern ini (Cahyadi, 2018).
Sebelum membahas lebih lanjut tentang dropship, perlu untuk ditahui pengetahuan umum tentang jualbeli itu sendiri. Dimana dalam hukum positif, tepatnya dalam Pasal 1457 KUH Perdata dijelaskan bahwa jual beli merupakan suatu perjanjian yang mana pihak pertama mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu benda dan pihak lainnya membayar sejumlah uang yang sudah menjadi kesepakatan dalam perjanjian tersebut. Dimana pengertian ini, dapat kita simpulkan bahwa hal tersebut selaras dengan arti bahasa dalam Islam, yang diartikan sebagai perbuatan memberikan sesuatu dengan menerima sesuatu yang lain (Diana, 2012).
Dari adanya persamaan tersebut, tidak dapat dijadikan acuan bahwa di dalam aturan pelaksanaannya juga memiliki persamaan hukum Islam dan hukum positif itu sendiri. Hal ini dikarenakan dua sistem hukum tersebut ada perbedaan sumber yang membentuk segala peraturan di dalamnya. Dimana hukum Islam itu sendiri bersumber dari a-Quran, hadist, ijma’ dan qiyas (Iryani, 2017). Sedangkan hukum positif bersumber dari undang-undang, kebiasaan, yurisprudensi, traktat dan doktrin.
Selanjutnya dalam Islam dijelaskan bahwa keberadaan transaksi jual beli merupakan kebutuhan dhoruri, yakni suatu kegiatan yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, hukum Islam dengan sifatnya yang rahmatan lil alamin menetapkan hukum tentang kebolehan transaksi jual beli untuk dilakukan dalam kehidupan manusia. Dimana hal tersebut sebagaimana Allah Taala firmankan dalam surah Al-Baqarah ayat 275, yang artinya: “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (QS. al-Baqarah: 275).
Urgensi adanya kegiatan transaksi jual beli dalam kehidupan manusia juga disambut baik oleh Indonesia sebagai negara hukum, yang mana dalam pelaksanaannya pemerintah membentuk peraturan perundang-undangan sebagai bentuk perlindungan bagi para pihak di dalamnya dan bentuk kepastian hukum terkait dengan perjanjian jual beli itu sendiri. Hal ini dapat kita temukan dalam beberapa peraturan seperti KUH Perdata, KUH Dagang dan lainnya (Sari, 2017).
Selain itu dalam hukum Islam, jual beli merupakan perkara muamalah yang dipermudah dalam pelaksanaanya, karena bisa dilakukan dengan cara apapun selama tidak ada dalil yang melarangnya. Hal ini selaras dengan ketentuan kaidah fiqih yang menyatakan: “hukum asal dalam hal muamalah adalah mubah, kecuali ada dalil yang mengharamkannya” (Qardhawi, 2014).
Kemudahan tersebut juga bisa dilihat dalam ketentuan hukum positif Indonesia, tepatnya dalam Pasal 1458 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa jual beli merupakan salah satu perjanjian yang bersifat konsensualisme, yang notabene nya dapat dinyatakan terjadi hanya dengan adanya kesepakatan para pihak di dalamnya, meskipun barang belum diberikan dan uang sebagai harga dari barang belum dibayarkan (KUH Perdata).
Dengan adanya kemudahan yang dimaksud, dapat dijadikan sebagai dasar bagi kita untuk lebih semangat lagi mencari keuntungan dari transaksi jual beli. Dimana pada masa modern ini sudah dikenal dengan adanya jual beli secara online, yang dalam pelaksanaannya para pihak di dalamnya bisa melakukan transaksi jual beli dengan melalui internet tanpa harus bertatap muka.
Selanjutnya dari definisi dropship sebagaimana dijelaskan sebelumnya, dapat dipahami bahwa setidaknya ada 3 pihak yang terlibat di dalamnya, yakni dropshiper selaku penjual, dan supplier selaku pemilik barang dan pembeli (Khisom, 2019). Dimana dalam praktiknya diawali dari dropshiper yang melakukan pemasaran secara online terhadap suatu barang berupa gambar beserta penjelasan spesifikasinya, yang kemudian bila ada pembeli yang tertarik untuk membelinya, maka dropshiper akan melanjutkan pembelian kepada supplier selaku pemilik barang dan meminta untuk dikirim langsung pada pembeli. Oleh karena itu, dalam praktiknya dropshiper sebagai penjual telah melakukan penjualan terhadap barang yang tidak ia miliki dan tidak juga ia memiliki stok atas barang yang dimaksud. Dimana barang yang dijual adalah milik supplier yang notabene nya merupakan pelaku usaha yang sesungguhnya.
Dalam hukum Islam, menjual barang yang tidak ia miliki adalah hal yang dilarang berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam yang artinya : “Janganlah kamu menjual barang yang belum kamu miliki”.” (HR. Abu Daud). Dimana larangan tersebut juga terdapat dalam peraturan hukum positif di Indonesia, tepatnya dalam Pasal 1741 KUH Perdata bahwa menjual barang milik orang lain merupakan perjanjian yang batal (KUH Perdata).
Oleh karena itu, untuk melakukan praktik jual beli online dengan sistem dropship diperlukan konstruksi hukum yang cocok agar transaksi tersebut sesuai dengan hukum yang berlaku. Terlebih lagi dalam praktiknya jual beli tersebut tidak dilakukan secara bertatap muka, melainkan dilakukan secara online. Sehingga dalam pelaksanaannya dapat dimungkinkan adanya penipuan atau ketidaksesuaian barang yang dapat merugikan pembeli yang notabene nya akan kesulitan untuk menentukan siapa yang harus bertanggung jawab atas kerugian yang dimaksud karena banyaknya pihak yang terlibat di dalamnya.
Selanjutnya permalahan yang demikian pada dasarnya sudah banyak dilakukan penelitian oleh mahasiswa atau pihak lainnya, namun dalam pembahasannya lebih banyak menerangkan tentang keabsahan dan perlindungan konsumen di dalamnya. Misalnya, Gusti Ayu Dwi Dhyana Amrita, dkk., dalam jurnalnya yang berujudul “Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Dalam Transaksi Jual Beli Melalui Media Elektronik Dengan Sistem Dropship”, yang dalam pembahasannya lebih memfokuskan pembahasan pada perlindungan dan tanggung jawab dropshiper terhadap konsumennya.
Dari penelitian di atas, dapat dipahami bahwa pada penelitian pertama sangat berbeda dengan apa yang akan dikaji oleh penulis dalam jurnal ini, yang notaene nya lebih memfokuskan permsalahan pada pembeli yang notabene nya berbeda dengan konsumen itu sendiri. Selain itu dalam penelitian tersebut praktik jual beli antara dropshiper dengan konsumen merupakan perjanjian jual beli, yang pada dasarnya hal ini berbeda dengan kanjian penulis dalam jurnal ini yang lebih merinci konstruksi hukum yang mengikat para pihak di dalamnya.
Penelitian lainnya juga dilakukan oleh Ayuningtyas dan Andreina Nur yang berjudul “Tanggung Jawab Dropshipper Terhadap Konsumen Dalam Sistem Jual Beli Barang Secara Dropship Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen”. Dimana di dalamnya mengkaji tentang tanggung jawab dari dropshiper selaku penjual dan konsumen selaku pembeli.
Sehingga dari objek kajian sebagaimana diseutkan di atas, dapat dijelaskan bahwa hal tersebut berbeda dengan apa yang akan dikaji oleh penulis dalam jurnal ini. Dimana dalam tulisan ini lebih memfokuskan pembahasan dari perspektif pembeli dan bukan konsumen. Sehingga peraturan yang digunakan sangat berbeda dengan kajian terdahulu tersebut, karena pada dasarnya pembeli dalam dropship tidak selamanya merupakan konsumen.
Oleh karena itu, menurut hemat penulis penting untuk dibahas terkait dengan bagaimana konstruksi hukum jual beli online dengan sistem dropship dan siapa yang harus bertanggung jawab atas kerugian pembeli akibat adanya ketidaksesuaian barang di dalamnya menurut hukum Islam dan hukum positif di Indonesia. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mengkaji apa konstruksi hukum dan pihak yang bertanggung jawab terhadap kerugian pembeli dalam dropship berdasarkan hukum Islam dan hukum Positif Indonesia. Sehingga diketahui dengan benar dan tepat terkait dengan hukum yang bisa digunakan di dalamnya.
MetodePenelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian yuridis normatif, yaitu salah satu jenis penelitian hukum yang berdasarkan metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang dilakukan dengan pemerikasaan yang tepat terhadap fakta hukum, guna memecahkan suatu permasalahan hukum yang sedang dikaji. Dimana dalam pelaksanaannya, pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya adalah: 1) Pendekatan undang-undang, yakni pemecahan permasalahan didasarkan pada undang-undang yang berlaku dan berkaitan dengan permasalahan yang diteliti, 2) Pendekatan konseptual, yaitu pemecahan permasalahan yang didasarkan pada konsep-konsep selain undang-undang (seperti: pendapat para ilmuan, sarjana dalan lainnya), dan 3) Pendekatan perbandingan, yaitu menelaah permasalahan dengan cara membandingkan hukum yang satu dengan lainnya. Sedangkan jenis bahan hukum dalam penelitian ini, terdiri dari bahan hukum primer (undang-undang dan peraturan lainnya), sekunder (buku-buku, jurnal, dll), dan tersier (kamus bahasa), yang dikumpulkan melalui penelusuran dokumenter dan studi pustaka.
Hasil dan Pembahasan
JualBeliOnlineMenurut Hukum Islam danHukumPositif Indonesia
Jual beli online menurut hukum Islam merupakan hal yang diperbolehkan, dengan menggunakan konstruksi akad salam di dalamnya. Dimana akad salam merupakan akad jual beli yang diperbolehkan dengan pembayarannya dibayar secara tunai di awal dan barang yang dijual belikan diserahkan dikemudian hari. Kebolehan tersebut dapat didasarkan hadist Abdullah bin Abbas Radhiallahu Anhuma berikut:
...مَنْ أَسْلَفَ فِي تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ.
“...Barang siapa yang menjual kurma dengan berjanji, hendaklah dengan takaran tertentu, timbangan tertentu dan jangka waktu tertentu." (Muttafaqun ‘alaih).
Selanjutnya dalam menggunakan akad salam, ada beberapa rukun yang harus dipenuhi, yaitu muslam (pembeli), muslam ilaih (penjual), modal atau harga pembayaran, muslam fiih (objek jual beli) dan shighat (ijab dan qabul). Dimana keberadaan semua rukun tersebut harus jelas semuanya, baik itu para pihak, harga dan barang yang diperjual belikan. Bahkan sebagaimana disebutkan pada hadist di atas sudah dijelaskan bahwa spesifikasi barang dan waktu penyerahan merupakan hal yang harus jelas dalam pelaksanaan akad salam itu sendiri.
Selain itu dalam pelaksanaanya, pembayaran harus dilakukan oleh pembeli (muslam) diawal secara tunai dan tidak terhutang sedikit pun. Hal ini dikarenakan dalam akad jual beli tidak diperkenankan sama-sama terhutang antara barang dan pembayarannya, yang notabenenya dalam hukum Islam disebut dengan istilah kali’ bil kali’.
Jual beli kali’ bil kali’ merupakan jual beli yang dilarang dalam Islam (Syarqawie, 2015). Dimana larangan tersebut dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dalam hadistnya berikut:
...أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «نَهَى عَنْ بَيْعِ الْكَالِئِ بِالْكَالِئِ.
“...Bahwa Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam melarang jual beli utang dengan utang”. (HR. Al-Daruquthny).
Selain itu, dalam pelaksanaannya juga harus terbebaskan dari adanya kezaliman, gharar dan riba, yang merupakan pembatal dalam setiap transaksi termsuk jual beli itu sendiri (Yusuf al-Subaili). Hal ini selaras dengan pendapat yang dinyatakan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah, sebagaimana dikutip oleh Muhammad Abduh Tuasikal dalam artikel Rumaisyo.com bahwa setiap akad adalah sah selama tidak terdapat unsur kezaliman, gharar (ada unsur ketidakjelasan), dan riba di dalamnya (Syarqawie, 2015).
Berbeda bila dalam pelaksanaannya objek transaksi berupa barang yang sifatnya harus diproduksi, maka dalam pelaksanaannya dapat menggunakan akad istishna’ sebagai konstruksi hukumnya. Dimana akad ini merupakan jual beli pesanan yang pembayarannya bisa dilakukan di awal, di tengah dan/atau diakhir dengan cara tunai atau dicicil, sedangkan barang diserahkan dikemudian hari sesuai dengan waktu yang disepakati bersama. Adapun dalam penggunaan akad istishna’ sebagai konstruksi hukum jual beli online harus memenuhi syarat bahwa objek akad harus jelas spesifikasinya dan penjual harus mampu memenuhi objek tersebut (Sudiarti, 2018).
Selanjutnya dalam hukum positif Indonesia, jual beli online termasuk ke dalam bagian transaksi elektronik. Dimana dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektonik (UU ITE) dijelaskan bahwa transaksi eleketonik merupakan perbuatan hukum (transaksi) yang dilakukan dengan menggunakan media komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya.
Dalam undang-undang sebagaimana disebutkan di atas, pada dasarnya ada 2 hal yang menjadi peraturan pokok di dalamnya, yakni pengakuan terhadap transaksi dan dokumen elektronik, serta pelanggaran hukum dan sanksinya dalam penggunaan teknologi informasi. Sehingga berkaitan dengan keabsahan transaksinya, tetap dikembalikan pada ketentuan umum yang ada dalam Pasal 1320 KUH Perdata, bahwa ada 4 syarat sah nya suatu perjanjian yang diantaranya adalah kesepakatan pihak yang mengikatkan diri, kecakapan para pihak, suatu hal tertentu dan sebab (kausa) yang halal.
Hal tersebut dapat kita lihat pada peraturan penyelengaraannya, tepatnya dalam Pasal 47 ayat (2) PP No. 82 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Sistem Dan Transaksi Elektronik (PP PSTE), dijelaskan bahwa kontrak elektronik sah menurut hukum bilamana memenuhi syarat yang diantanya adalah adanya kesepakatan para pihak, dilakukan oleh orang yang cakap hukum, adanya hal tertentu, dan objek transaksi tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan, serta ketertiban umum.
Oleh karena itu dari penjelasan mengenai jual beli online menurut hukum positif di Indonesia sebagaimana dijelaskan di atas, dapat disederhanakan bahwa pada dasarnya jual beli online merupakan perjanjian yang sah bila dalam pelaksanaannya memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana di atur dalam Pasal 1320 KUH Perdata dan Pasal 47 ayat (2) PP PSTE, serta segala aturan yang ada dalam UU ITE.
Dari beberapa penjelasan mengenai jual beli online dalam hukum Islam dan hukum positif Indonesia, terdapat persamaan dan perbedaan didalamnya. Persamaan yang dimaksud diantaranya adalah bahwa jual beli online merupakan tranksaksi yang disahkan, sedangkan perbedaannya dapat kita lihat bahwa dalam Islam pembeyaran harus tunai karena akad yang digunakan adalah akad salam dan dalam hukum positif Indonesia tidak diharuskan demikian.
Konstruksi Hukum Jual Beli Online dengan Sistem Dropship Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif Indonesia
Pada pembahasan sebelumnya sudah dijelaskan bahwa dropship merupakan salah satu bentuk jual beli online yang dilakukan oleh satu pihak (dropshiper) tertentu kepada pihak lain sebagai pembeli terhadap barang yang sebenernya milik orang lain (supplier). Oleh karena itu, dalam praktiknya ada 3 pihak yang terlibat di dalamnya, yakni dropshiper selaku penjual, supplier selaku pemilik barang dan pembeli (Khisom, 2019).
Praktik dropship itu sendiri diawali dengan adanya pemasaran yang dilakukan oleh dropshiper kepada calon pembeli berupa gambar barang yang dijelaskan secara rinci spesifikasinya. Dimana yang menjadi permasalahan dalam hal ini adalah perbuatan penjualan yang dilakukan oleh dropshiper terhadap barang yang sebenarnnya tidak ia miliki atau milik orang lain, yang notabene nya hal tersebut dilarang dalam hukum Islam dan hukum positif Indonesia bila tidak memiliki izin dari pada pemiliknya.
Oleh karena itu untuk mendapatkan izin yang dimaksud, dalam pelaksanaannya diperlukan adanya konstruksi hukum yang jelas sebagai bentuk hubungan hukum antara para pihak di dalamnya. Sehingga transaksi jual beli yang terjalin, sesuai dengan hukum Islam maupun hukum positif Indonesia itu sendiri.
Dalam hukum Islam ada beberapa akad yang bisa digunakan sebagai konstruksi hukum jual beli online dengan sistem dropship, yang diantaranya adalah akad salam paralel, istishna paralel, samsarah dan akad wakalah. Dimana untuk penjelasan lebih rinci dapat dilihat pada pembahasan berikutnya.
Pertama, Akad salam paralel, merupakan praktik jual beli yang menggunakan dua akad salam di dalamnya (Sudiarti, 2018). Dimana dalam dropship, akad salam pertama mengikat pembeli dan dropshiper selaku penjual dan akad salam kedua mengikat dropshiper dan supplier selaku pemilik barang.
Penggunaan akad salam paralel dalam hukum Islam merupakan hal yang diperbolehkan berdasarkan kaidah umum fiqih muamalah yang menyatakan bahwa “hukum asal dalam hal muamalah adalah mubah, kecuali ada dalil yang mengharamkannya”. Namun dalam pelaksanaanya harus memenuhi syarat sebagaimana ditentukan dalam Fatwa DSN-MUI No. 05/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Jual beli Salam, bahwa salam paralel boleh dilakukan dengan 2 syarat utama, yakni akad yang satu terpisah dari akad lainnya dan akad yang satu dilakukan setelah akad lainnya sudah sah. Sehingga dalam praktik dropship, dropshiper wajib menerima terlebih dahulu sebelum diteruskan ke pembeli sebagai wujud dari syarat yang dimaksud, serta dalam praktiknya juga harus memenuhi rukun dan syarat akad salam sebagaimana dijelaskan sebelumya.
Kedua, Akad samsarah (makelar), merupakan akad untuk seseorang yang bekerja pada orang lain dengan suatu upah dalam hal penjualan dan pembelian. Dimana dalam pelaksanaanya ada beberapa rukun yang harus ada atau terpenuhi, yakni para pihak yang berakad, objek akad, upah, dan ijab-qabul (Sudiarti, 2018).
Akad ini dapat digunakan sebagai konstruksi hukum jual beli online dengan sistem dropship sebagai bentuk kerjasama antara dropshiper selaku makelar yang menjual suatu barang dengan supplier selaku pemilik barang tersebut yang menggunakan jasa makelar. Sedangkan akad yang mengikat pembeli di dalamnya adalah akad salam, karena pelaksanaan akad jual belinya dilakukan secara online.
Kemudian selain harus ada rukun-rukun sebagaimana disebutkan sebelumnya, dalam penggunaan akad samsarah juga harus memenuhi syarat-syarat yang diantaranya adalah kesepakatan antara para pihak harus jelas, barang yang dijual bisa diketahui manfaatnya secara nyata dan dapat diserahkan, serta kesepakatan yang dimaksud bukan hal-hal yang maksiat atau haram.
Selanjutnya karena akad samsarah merupakan akad sewa jasa makelar, maka mengenai upah dropshiper sebagai makelar dapat ditentukan dengan 2 cara sesuai kesepakatan bersama, yaitu ditentukan dalam bentuk nominal yang jelas atau prosentase dan ditentukan dengan bentuk kelebihan harga jual barang dari harga patok yang diminta supplier (lihat bab upah simsar dalam kitab Shahih Bukhori).
Dengan demikian praktik dropship yang menggunakan konstruksi akad samsarah, dapat disederhanakan bahwa dropshiper sebagai makelar yang ditunjuk oleh supplier selaku pemilik barang dapat melakukan pemasaran dan penjualan terhadap barang yang dimaksud kepada pihak ketiga sebagai pembeli yang dilakukan dengan akad salam.
Ketiga, akad wakalah, merupakan pelimpahan kekuasaan (perwakilan) yang dilakukan oleh seseorang kepada seorang lainnya sebagai wakil untuk melakukan suatu hal tertentu sesuai dengan apa yang dikehendaki dan diperintah oleh pihak yang mewakilkan. Dimana di dalamnya ada beberapa rukun yang harus dipenuhi, yaitu pihak yang mewakilkan (muwakkil), wakil, objek yang dikuasakan (taukil) dan ijab-qabul (Nawawi & Naufal, 2012).
Bila melihat pengertian dan rukun tentang akad wakalah, dapat disederhanakan bahwa akad tersebut bisa digunakan sebagai akad yang mengikat supplier dan dropshiper, yang notabene nya di dalamnya dropshiper sebagai wakil dari supplier untuk melakukan penjualan pada pihak ketiga sebagai pembeli.
Namun selain rukun-rukun sebagaimana disebutkan di atas, dalam pelaksanaannya ada beberapa syarat yang juga harus dipenuhi, yaitu pihak yang memberi kuasa (mewakilkan) merupakan pihak yang cakap dan memiliki hak atas objek wakalah, penerima kuasa (wakil) memiliki kemampuan untuk melakukannya, serta objek akad merupakan perkara yang dapat dikerjakan dan tidak bertentangan dengan syariah (Sudiarti, 2018).
Adapun terkait dengan keuntungan bagi dropshiper selaku wakil, bisa di dapatkan dengan adanya perjanjian upah mengupah di dalamnya. Dimana penentuan besarnya upah di dalamnya harus ditentukan dengan jelas mengenai jumlahnya, baik ditentukan secara nominal atau secara persentase dari harga barang yang dijual (Bariroh, 2016).
Selanjutnya menurut hukum positif Indonesia, setidaknya ada 2 konstruksi hukum yang lebih aman dan cocok dijadikan sebagai solusi dalam melakukan perjanjian jual beli online dengan sistem drosphip, yaitu makelar dan komisioner. Dimana keduanya merupakan perantara dagang yang notabene nya menjadi penghubung pihak tertentu dengan pihak lainnya untuk melakukan perjanjian atas nama pihak yang memberinya kuasa (Raharjo, 2009).
Namun bila mengacu pada Pasal 1458 KUH Perdata, secara eksplisit jual beli online dengan sistem dropship bisa dilakukan dengan tanpa adanya kerjasama antara dropshiper dan supplier. Hal ini dikarenakan dalam Pasal tersebut jual beli dianggap sudah terjadi meskipun barang dan uang pemyarannya sama-sama belum diserahterimakan.
Oleh karena itu, selama penjual dalam memenuhi barangnya tidak dilakukan dengan cara yang melanggar undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum, maka jual belinya sah menurut hukum yang berlaku. Misalnya, dropshiper dalam memenuhi kewajibannya dilakukan dengan cara membeli secara sah pada pihak lain (supplier).
Adapun untuk penjelasan lebih rinci terkait dengan kontruksi hukum dengan menggunakan perjanjian kerjasama sebagaimana dijelaskan sebelumnya, akan dibahas pada pembahasan berikutnya.
Pertama, Makelar, merupakan pihak yang menghubungkan pengusaha dengan pihak ketiga untuk melakukan suatu perjanjian Dimana dalam Pasal 62 KUH Dagang, diperjelas juga bahwa makelar merupakan perantara dagang yang keberadaaannya diangkat secara resmi oleh pemerintah. Namun dalam pelaksanaannya, ada juga makelar yang pengangkatannya tidak dianggkat secara resmi oleh pemerintah namun atas kesepakatan bersama antara para pihak sebagaimana pemberian kuasa yang dikenal sebagai makelar tidak resmi (Khairandy, 2013).
Dari dua jenis makelar sebagaimana disebutkan di atas, pada dasarnya memiliki kedudukan yang sama sebagai penerima kuasa untuk melakukan penjualan terhadap barang milik pemberi kuasa. Hanya saja untuk makelar resmi, ada aturan khusus terkait dengan hak dan kewajiban para pihak sebagaimana ditentukan dalam Pasal 62-72 KUH Dagang dan hal lainnya tetap dikembalikan pada ketentuan dalam KUH Perdata tentang pemberian kuasa. Sedangkan untuk makelar tidak resmi hanya dikembalikan pada peraturan yang ada dalam KUH Perdata tentang pemberian kuasa.
Terlepas dari hak dan kewajiban yang dimaksud, secara tidak langsung makelar merupakan perantara dagang yang ditunjuk oleh pemilik barang dengan suatu perjanjian pemberian kuasa berupa perbuatan menjual suatu barang kepada pihak ketiga sebagai pembeli. Dimana hal ini cocok sekali untuk dijadikan sebagai konstruksi hukum jual beli online dengan sistem dropship, yang bisa dilakukan dengan penunjukan dropshiper sebagai makelar yang ditunjuk oleh supplier selaku pemilik.
Kedua, Komisioner, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 76 KUH Dagang bahwa ia merupakan orang yang menyelenggarakan perusahaannya dengan melakukan perjanjian-perjanjian atas namanya sendiri atau firmanya, dan dengan nya ia mendapat upah atau provisi tertentu atas order dan atas beban pihak lain.
Dari pengertian di atas, pada dasarnya komisioner sama dengan makelar, yang notabene nya keduanya menerima kuasa untuk melakukan perjanjian dengan pihak ketiga. Hanya saja pada komisioner, kuasa yang berikan adalah kuasa khusus yang pada pelaksanaannya bisa menggunakan nama pribadinya dan/atau pemberi kuasa.
Oleh karena itu, terkait dengan hak dan kewajibannya tetap dikembalikan pada ketentuan tentang pemberian kuasa yang ada dalam KUH Perdata selama tidak ditentukan secara khusus dalam KUH Dagang tentang komisioner. Dimana bila dikaitkan dengan praktik jual beli online dengan sistem dropship, maka dalam praktiknya supplier memberikan kuasa dengan menunjuk dropshiper sebagai komisioner untuk menjualkan barang kepada pihak ketiga sebagai pembeli.
Adapun keuntungan dari pada penerima kuasa dalam makelar maupun komisioner, berdasarkan Pasal 62 dan 76 KUH Dagang dielaskan bahwa keuntungan bagi dropshiper adalah berupa upah atau provisi yang sesuai dengan kesepakatan bersama. Bahkan menurut Pasal 1794 KUH Perdata ia juga bisa menuntutnya meskipun tidak diperjanjikan dengan jelas sebelumnya, dengan syarat tidak melebihi dari besarnya upah yang ditentukan dalam Pasal 411 KUH Perdata.
Selanjutnya dari beberapa penjelasan tentang konstruksi hukum jual beli online dengan sistem dropship menurut hukum Islam dan hukum positif Indonesia sebagaimana dijelaskan di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan tentang perbedaan dan persamaan di dalamnya. Dimana persamaan yang dimaksud, diantaranya sama-sama dilarang menjual barang milik orang lain tanpa adanya izin dari pemilik, bisa dilakukan dengan kontruksi hukum perantara dagang atau perwakilan, dan sama-sama memposisikan supplier sebagai penjual, dropshiper sebagai penengah atau perantara, dan pihak ketiga sebagai pembeli.
Sedangkan perbedaan dari keduanya salah satunya adalah terkait dengan penentuan upah bagi dropshiper, dimana dalam hukum Islam harus dinyatakan dengan jelas di awal, sedangkan dalam hukum positif meskipun tidak dijelaskan masih ada hak bagi dropshiper untuk meminta upah dengan ketentuan tidak melebihi dari apa yang ditentukan dalam Pasal 411 KUH Perdata.
Pihak Yang Bertanggung Jawab Atas Kerugian Pembeli dalam Jual Beli Online dengan Sistem Dropship Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif Indonesia
Sebelum membahas siapa yang harus bertanggung jawab atas kerugian pembeli karena adanya ketidaksesuaian barang dalam jual beli online dengan sistem dropship, perlu untuk diketahui bahwa dalam penelitian ini penulis membagi ketidaksesuaian barang ke dalam dua jenis, yaitu ketidaksesuaian karena adanya cacat (rusak) pada barang dan ketidaksesuaian karena adanya perbedaan spesifikasi barang yang diterima dengan yang diperjanjikan.
Selain itu kita sudah ketahui dalam pembahasan sebelumnya tentang konstruksi hukum yang digunakan dalam jual beli online dengan sistem dropship, yang pada dasarnya dapat kita gunakan untuk mengetahui tentang kedudukan para pihak yang ada di dalamnya. Dimana dengan mengetahui hal tersebut, dapat dijadikan seabagai dasar untuk menentukan siapa yang harus bertanggung jawab atas kerugian pembeli karena adanya ketidaksesuaian barang di dalamnya, baik dalam hukum Islam maupun dalam hukum positif di Indonesia.
Dalam hukum Islam, sudah diketahui pada pembahasan sebelumnya bahwa ada tiga konstruksi hukum yang bisa digunakan dalam jual beli online dengan sistem dropship, yaitu akad salam paralel, samsarah dan wakalah. Dimana dari ketiganya, dapat disederhakan ke dalam 2 kategori, yaitu akad non-kerjasama dan akad kerjasama.
Untuk akad non-kerjasama, akad nya adalah akad salam paralel. Dimana dropshiper menjual barang tertentu tanpa memiliki kerjasama dengan supplier selaku pemilik barang. Sehingga dalam hal ini, dropshiper merupakan pihak yang harus bertanggung jawab terhadap kerugian pembeli yang dikarenakan adanya ketidaksesuaian barang yang diterima pembeli. Hal ini dikarenakan pihak yang mengikatkan diri dalam jual beli salam dengan pembeli adalah dropshiper yang notabene nya memiliki kewajiban untuk memberikan barang yang sesuai dengan apa yang diperjanjikan bersama.
Adapun untuk menuntut tanggung jawab tersebut, dalam Islam ada hak khiyar yang disyariatkan sebagai bentuk perlindungan bagi para pihak dalam akad jual beli, yang berupa hak untuk memilih melanjutkan atau membatalkan akad (Gemala Dewi, 2018). Dimana ada beberapa hak khiyar yang cocok untuk digunakan dalam permasalahan ini, yakni: 1) khiyar aib, yang merupakan hak memilih karena adanya suatu cacat pada barang yang dibelinya (Amiruddin, 2016), 2) khiyar ru’yah, yang merupakan hak memilih karena pembeli belum pernah melihat secara langsung barang yang diperjualbelikan (Hasanah, Kosim, & Arif, 2019), dan 3) khiyar ghabn, yang merupakan hak memilih karena adanya unsur penipuan di dalamnya (Muslich & Muslich, 2010).
Selanjutnya untuk akad kerjasama, di dalamnya ada akad samsarah dan wakalah. Dimana akad tersebut merupakan kerjasama yang mengikat antara dropshiper dan supplier, yang notabene nya kedudukan dropshiper hanya sebagai makelar atau wakil dari pada supplier yang memberikan kuasa untuk melakukan penjualan. Sehingga untuk menuntut kerugian pembeli karena adanya ketidaksesuaian barang dapat dilakukan pada supplier yang terikat akad salam, dengan penggunaan hak khiyar sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Sedangkan untuk dropshiper selaku wakil atau makelar, akan memikul tanggung jawab tersebut bilamana dalam kedudukannya ia lalai dalam menjalankan amanahnya dan menyebabkan kerugian yang dimaksud.
Adapun menurut hukum positif Indonesia, hampir sama dengan apa yang dijelaskan sebelumnya pada pembahasan akad kerjasama dalam hukum Islam. Dimana dalam pelaksanaannya, perjanjian jual beli online dengan sistem dropship dilakukan dengan adanya bentuk kerjasama antara dropshiper dan supplier dalam bentuk perjanjian penunjukan makelar dan/atau komisioner.
Dalam kerjasama yang dimaksud, kedudukan makelar maupun komisioner pada dasarnya merupakan pihak yang menerima kuasa yang notabene nya didasarkan pada peraturan KUH Perdata tentang Pemberian Kuasa, karena dalam KUH Dagang tidak dijelasakan dengan rinci mengenai tanggung jawab keduanya. Sehingga untuk ketentuan tanggung jawab tersebut, tetap dikembalikan pada ketentuan pasal-pasal dalam KUH Perdata tentang Pemberian Kuasa.
Oleh karena itu berdasarkan Pasal 1800-1801 KUH Perdata, dapat disimpulkan bahwa dropshiper dalam jual beli online dengan sistem dropship menurut hukum positif Indonesia bertanggung jawab atas kerugian pembeli bila dalam kerugian yang dimaksud terjadi karena kelalaian atau tidak dilakukannya kuasa yang dikuasakan padanya.
Berbeda bila dalam pelaksanaannya dropshiper melakukan dengan kuasanya dengan benar, maka berdasarkan Pasal 1474, 1491, 1507-1508, dan 1487 KUH Perdata yang bertanggung jawab terhadap kerugian pembeli dalam jual beli online dengan sistem dropship adalah supplier yang kedudukannya sebagai penjual dalam konstruksi hukum yang terjalin, yang diharuskan membayar segala biaya, kerugian dan dimungkinkan bunga bila ada. Dimana ketentuan ini berlaku pula untuk peranjian jual beli dropship non-kerjasama.
Tanggung jawab bagi supplier atau pun bagi dropshiper sebagaimana dijelaskan di atas, dapat juga didasarkan pada ketentuan adanya wanprestasi yang dilakukan oleh pihak tertentu atas pihak yang terikat secara hukum dengannya. Hal ini dikarenakan tidak dilakukannya perjanjian sesuai dengan apa yang diperjanjian, yang notabene nya dalam Pasal 1243 KUH Perdata membolehkan bagi pihak yang merasa dirugikan karena tidak dilaksanankannya suatu perjanjian oleh pihak lain untuk dapat menuntut ganti rugi berupa segala biaya, kerugian dan bunga.
Selanjutnya dari berbagai penjelasan mengenai siapa yang bertanggung jawab atas kerugian pembeli karena ketidaksesuaian barang dalam jual beli online dengan sistem dropship sebagaimana dijelaskan di atas, dapat ditentukan adanya persamaan dan perbedaan di dalamnya. Dimana persamaan yang dimaksud dinataranya adalah cara penetuannya yang didasarkan pada konstruksi hukum di dalamnya, pembagian ketidaksesuaian ke dalam adanya cacat atau spesifikasi barang yang berbeda, pilihan melanjutkan atau membatalkan transaksi, dan hal-hal yang ditanggung berupa pengembalian biaya dan kerugian yang timbul di dalamnya. Sedangkan perbedaan yang ada di dalamnya adalah mengenai istilah tanggung jawabnya yang daam hukum Islam lebih beragam dengan banyak istilah hak khiyar yang sesuai dengan permaslahannya dan dalam hukum positif lebih sempit dan dikenal dengan perbuatan wanprestasi saja.
Kesimpulan
Konstruksi hukum jual beli online dengan sistem dropship menurut hukum Islam dan hukum positif Indonesia bisa dilakukan dengan menggunakan model akad/perjanjian yang sesuai mekanismenya. Dimana dalam hukum Islam yang didasarkan pada al-Quran, hadist, dan sumber lainnya bisa menggunakan akad salam paralel, akad samsarah dan akad wakalah. Sedangkan dalam hukum positif yang didasarkan pada KUH Perdata dan KUH Dagang bisa menggunakan sistem model pengangkatan makelar dan komisioner.
Sedangkan pihak yang bertanggung jawab atas kerugian pembeli karena ketidakseuaian barang dalam jual beli online dengan sistem dropship menurut hukum Islam dan hukum positif Indonesi adalah pihak yang kedudukannya sebagai penjual yang memiliki hubungan hukum dengan pembeli, sesuai dengan konstruksi hukum yang digunakan. Dimana dalam hukum Islam yang bertanggung jawab adalah dropshiper dalam penggunaan akad salam paralel, supplier dan/atau dropshiper yang lalai dalam penggunaan akad samsarah dan wakalah. Sedangkan dalam hukum positif Indonesia yang bertanggung jawab adalah supplier yang kedudukan sebagai penjual dan dropshiper selaku penerima kuasa dari supplier bila mana ia lalai atau tidak melakukan kuasanya yang menyebabkan kerugian yang dimaksud.
Bibliography
Amiruddin, Muhammad Majdy. (2016). Khiyār (hak untuk memilih) dalam Transaksi On-Line: Studi Komparasi antara Lazada, Zalara dan Blibli. Falah: Jurnal Ekonomi Syariah, 1(1), 47–62.
Cahyadi, Iwan Fahri. (2018). Sistem Pemasaran Dropship dalam Perspektif Islam. TAWAZUN: Journal of Sharia Economic Law, 1(1), 24–43.
Diana, Ilfi Nur. (2012). Organizational Citizenship Behavior (OCB) dalam Islam. Jurnal Ilmu Ekonomi Dan Sosial, 1(2), 141–148.
Gemala Dewi, S. H. (2018). Hukum Perikatan Islam di Indonesia. Prenada Media.
Hasanah, Dafiqah, Kosim, Mulyadi, & Arif, Suyud. (2019). Konsep Khiyar pada Jual Beli Pre Order Online Shop dalam Perspektif Hukum Islam. IQTISHODUNA: Jurnal Ekonomi Islam, 8(2), 249–260.
Iryani, Eva. (2017). Hukum Islam, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi, 17(2), 24–31.
Khairandy, Ridwan. (2013). Pokok-Pokok Hukum Dagang Indonesia. FH UII Press.
Khisom, Muhammad. (2019). Akad Jual Beli Online Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif. Turatsuna: Jurnal Keislaman Dan Pendidikan, 1(1), 59–67.
Muslich, H. Ahmad Wardi, & Muslich, H. Ahmad Wardi. (2010). Fiqh muamalat. Amzah.
Nawawi, Ismail, & Naufal, Zaenudin A. (2012). Fikih muamalah klasik dan kontemporer: hukum perjanjian, ekonomi, bisnis, dan sosial. Ghalia Indonesia.
Nugroho, Adi. (2006). Memahami Perdagangan Modern di Dunia Maya. Bandung: Informatika.
Qardhawi, Yusuf. (2014). Kaidah Utama Fikih Muamalat (terj. Fedrian Hasmand). Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar.
Raharjo, Handri. (2009). Hukum Perusahaan. Pustaka Yustisia, Yogyakarta.
Sari, Novi Ratna. (2017). Komparasi Syarat Sah Nya Perjanjian Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dan Hukum Islam. Jurnal Repertorium, 4(2).
Sudiarti, Sri. (2018). Fiqh Muamalah Kontemporer.
Syarqawie, Fithriana. (2015). Fikih Muamalah. Iain Antasari Press.