Jurnal Indonesia Sosial Teknologi: p–ISSN: 2723 - 6609

e-ISSN : 2745-5254

Vol. 2, No. 3 Maret 2021


HUBUNGAN PERALIHAN FUNGSI LAHAN TERHADAP PENERAPAN PERATURAN PERPAJAKAN


Ahmad Nashih Mustofa, Frans Vernando Marlius Pardede, Muhammad senopati Willmar siladja putra dan Pupus Ardhi

Politeknik Keuangan Negeri STAN Pondok Aren, Banten, Indonesia

Email: [email protected], [email protected],

[email protected], [email protected]


Abstract

This study aims to determine the relationship between land use change and taxation. This research uses a qualitative approach. The method used is documentative study. After the data was collected, reduction was carried out according to the research keywords. After that, data processing and writing are carried out in the form of scientific papers. In Law 28/2009, the central government transfers rural and urban land and building taxes to local governments. This affects the land transfer tax and in the legislation it is stated that it is classified as land and building tax. However, land and building taxes originating from land covering the three mining, forestry and plantation sectors are still collected by the central government. Land and building tax devolution aims to increase regional government revenue autonomy, increase regional revenues, and reduce local government dependence on fiscal transfers from the central government. To increase autonomy, the central government not only delegates responsibility for administering land and building taxes, but also gives certain powers to local governments to make policies. However, mining and forestry in particular is a very politically sensitive sector, which is one of the main reasons why decentralization of property taxes for plantations seems more likely in the near future than for mining and forestry.


Keyword: transition; land functions; taxes; land development.


Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara perubahan penggunaan lahan dan perpajakan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Metode yang digunakan adalah studi dokumentasi. Setelah data terkumpul, dilakukan reduksi sesuai dengan kata kunci penelitian. Setelah itu dilakukan pengolahan dan penulisan data dalam bentuk karya tulis ilmiah. Dalam UU 28/2009, pemerintah pusat mentransfer pajak tanah dan bangunan pedesaan dan perkotaan kepada pemerintah daerah. Hal ini berdampak pada pajak pengalihan tanah dan dalam peraturan perundang-undangan dinyatakan diklasifikasikan sebagai pajak bumi dan bangunan. Namun demikian, pajak bumi dan bangunan yang bersumber dari tanah yang meliputi tiga sektor pertambangan, kehutanan, dan perkebunan tetap dipungut oleh pemerintah pusat. Devolusi Pajak Bumi dan Bangunan bertujuan untuk meningkatkan otonomi pendapatan pemerintah daerah, meningkatkan pendapatan daerah, dan mengurangi ketergantungan pemerintah daerah pada transfer fiskal dari pemerintah pusat. Kesimpulan dari penelitian ini adalah meningkatkan otonomi, pemerintah pusat tidak hanya mendelegasikan tanggung jawab penyelenggaraan pajak bumi dan bangunan, tetapi juga memberikan kewenangan tertentu kepada pemerintah daerah untuk membuat kebijakan. Hasil penelitian ini pertambangan dan kehutanan khususnya adalah sektor yang sangat sensitif secara politik, yang merupakan salah satu alasan utama mengapa desentralisasi pajak properti untuk perkebunan tampaknya lebih mungkin dilakukan dalam waktu dekat daripada untuk pertambangan dan kehutanan.


Kata kunci: peralihan; fungsi lahan; pajak; pengembangan lahan.


Pendahuluan

Salah satu komponen utama kebijakan Ekonomi Berkeadilan Indonesia adalah program peralihan lahan yang signifikan (Julio, Marwoto, & Manullang, 2019). Pemerintah bermaksud untuk mendistribusikan kembali penguasaan atas 21,7 juta hektar tanah, setara dengan sekitar 12% dari seluruh wilayah daratan negara. Dari jumlah tersebut, 16,8 juta hektar merupakan kawasan hutan (Presiden & TERTINGGI, n.d.). Indonesia terkenal dengan kawasan hutan yang sangat luas, sedikit di bawah dari luas hutan Laos, dan lebih besar dari Chili. Tujuan penggunaan dan potensi konversi kawasan hutan pada tingkat itu memiliki implikasi yang signifikan dan sebagian besar belum dieksplorasi, baik untuk mata pencaharian dan perubahan lingkungan. Program peralihan lahan terdiri dari dua komponen utama: tanah yang terkena reforma agraria (Tanah Objek Reforma Agraria, TORA) dan Perhutanan Sosial. Program reforma agraria menargetkan sembilan juta hektar lahan. Ini melibatkan distribusi tanah dan formalitas kepemilikan tanah, yang menguntungkan petani tanpa tanah atau petani dengan kepemilikan tanah kecil. Program Perhutanan Sosial (PS) memberikan masyarakat lokal hak guna dan pengelolaan atas lahan hutan negara, menargetkan 12,7 juta hektar hutan pada 2019. Program-program ini berpotensi menghambat reforma lingkungan yang juga sedang berlangsung di Indonesia.

Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29% atas kemauannya sendiri, dibandingkan dengan skenario bisnis seperti biasa pada tahun 2030, dengan tambahan pengurangan yang tidak jelas antara 9% dan 12% dengan dukungan internasional sesuai dengan kontribusi yang ditentukan secara nasional (NDC) diserahkan ke Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (Tacconi, 2018). Sekitar 60% dari pengurangan ini dicapai dengan pengurangan emisi dari hutan dan lahan gambut yang merupakan sumber utama emisi (Indonesia, 2016). Redistribusi kawasan hutan yang luas kepada petani miskin yang tidak memiliki lahan / lahan berpotensi berdampak negatif terhadap kapasitas Indonesia untuk memenuhi NDC-nya. Mengingat bahwa Indonesia adalah penghasil emisi GRK global terbesar dari hutan, komitmen iklim dan dampak terkait reforma lahan memiliki relevansi global (Herlina, 2016). Sehingga peneliti tertarik membahas mengenai, “Hubungan Peralihan Fungsi Lahan dengan Perpajakan”.


Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode deskriptif analisis. Metode deskriptif analisis ini merupakan metode yang tepat dan efektif dalam mendeskripsikan data-data yang telah diperoleh. Dalam penggunaan metode ini, peneliti tidak melakukan suatu pengubahan terhadap data variabel yang telah diperoleh. Seluruh data, variabel, dan komponen lainnya yang menunjang penelitian ini merupakan data asli yang kemudian dideskripsikan dalam pembahasan. Metode deskriptif analisis menurut (Sugiyono, 2017) adalah suatu metode yang berfungsi untuk mendeskripsikan atau memberi gambaran terhadap objek yang diteliti melalui data atau sampel yang telah diteliti melalui data atau sampel yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa melakukan analisis dan membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum.

Jenis data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh dari publikasi badan Pusat Statistik, Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Padang, serta data penunjang lainnya yang diolah untuk memperoleh analisis secara umum.


Hasil dan Pembahasan

Pajak Lahan di Indonesia

Pada sisi pendapatan, pemerintah Indonesia tidak punya pilihan lain selain memobilisasi pendapatan dari pajak secara efektif. Pajak berpotensi besar menjadi sumber utama pendanaan pemerintah. Kenaikan pajak baru dapat dicapai melalui perbaikan administrasi perpajakan memperluas basis pajak atau dengan menaikkan tarif. Meskipun demikian, penerapan perpajakan sampai dengan tahun 2003 menunjukkan masih adanya peluang untuk meningkatkan penerimaan negara tanpa harus menaikkan tarif yang berlaku saat ini.

Beberapa indikator yang menggambarkan hal tersebut antara lain: (1) Rasio pajak di Indonesia masih relatif rendah dibandingkan negara lain. Rasio penerimaan pajak nonmigas Indonesia untuk tahun 2003 masih sebesar 11,9%, jauh lebih rendah dibandingkan banyak negara dengan pendapatan per kapita lebih rendah dari Indonesia, seperti India (11,49%), Pakistan (13,76%), Sri lanka (19,8%) ) dan negara maju lainnya seperti Filipina (11%), Thailand (16,5%), Korea (16,07%) dan Malaysia (18,5%) (Karuntu, 2017). (2) Rasio pengajuan, yaitu rasio antara wajib pajak yang benar-benar membayar pajak dan wajib pajak terdaftar yang tidak mampu membayar tiga jenis pajak utama, yaitu pajak penghasilan orang pribadi, pajak penghasilan komersial, dan pajak pertambahan nilai. Untuk ketiga jenis pajak yang disebutkan khususnya untuk pajak penghasilan, jumlah aktual wajib pajak dibandingkan dengan yang terdaftar menunjukkan penurunan dalam setahun terakhir. (3) Realisasi penerimaan perpajakan untuk semua jenis pajak: Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) masih di bawah potensi. Rasio efisiensi administrasi (AER) —rasio penerimaan pajak aktual terhadap potensi masih cukup rendah. Studi IMF tahun 1998 menunjukkan bahwa AER untuk pajak penghasilan individu paling rendah dibandingkan dengan dua jenis pajak lainnya. Hal ini menggambarkan bahwa tidak hanya jumlah wajib pajak yang rendah, tetapi juga banyak wajib pajak yang tidak membayar jumlah yang diminta. (4) Elastisitas pemungutan pajak untuk semua jenis pajak sampai lebih dari satu, padahal untuk pajak tertentu seperti Pajak Pertambahan Nilai, Bea Masuk, Cukai dan Pajak Bumi dan Bangunan elastisitasnya masih lebih besar dari dua. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya potensi perpajakan masih belum tergapai. (5) Distribusi penerimaan pajak masih terkonsentrasi pada jumlah wajib pajak yang terlalu sedikit. Misalnya, pada tahun 2002, 1% wajib pajak orang pribadi terdaftar menyumbang sekitar 50% pendapatan PIT sementara 2% wajib pajak terdaftar menyumbang lebih dari 80% pendapatan pajak penghasilan badan.

Angka-angka tersebut menunjukkan potensi yang signifikan untuk ekspansi penerimaan pajak melalui perluasan basis pajak daripada peningkatan tarif pajak. Tingginya tingkat konsentrasi penerimaan pajak juga menunjukkan tingkat kerentanan penerimaan pajak yang tinggi. Ini juga membutuhkan basis pendapatan pajak yang lebih luas. Kelima indikator yang disebutkan di atas sekali lagi menggambarkan bahwa tanpa menaikkan tarif dan dengan meningkatkan kapasitas administrasi perpajakan dan memperluas basis pajak, pemungutan/penerimaan pajak akan meningkat.

Perlunya mereformasi sistem perpajakan di Indonesia juga diangkat dari perspektif daya saing bisnis. Dengan perekonomian dunia yang lebih terintegrasi, sistem perpajakan menjadi salah satu indikator utama iklim investasi. Indonesia memiliki sistem perpajakan yang baik tetapi rasio pajak yang rendah setelah implementasi reformasi perpajakan pada tahun 1985, sistem perpajakan di Indonesia masih mempertahankan banyak unsur positif. Pertama, sistem perpajakan di Indonesia didasarkan pada sistem pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai modern. Kedua, sejak krisis ekonomi, pajak penghasilan telah mendominasi struktur penerimaan perpajakan di Indonesia sehingga progresif perpajakan mulai ditangani; Ketiga, ketergantungan pada pajak migas berkurang. Porsi penerimaan pajak migas menurun dari hampir 80% pada awal 1980-an menjadi hanya antara 10 dan 20% pada saat ini. Keempat, ketergantungan pada pajak internasional yang terbatas sehingga reformasi perdagangan tidak berdampak pada penerimaan pemerintah. Kelima, memiliki ketergantungan yang seimbang pada pajak pendapatan dan konsumsi.


Pembaharuan Reformasi dan Pengalihan Lahan

Definisi dari pembaruan reforma pertanahan atau reforma agraria dan pengalihan lahan sering kali dianggap identik. Berbagai pihak, dengan sangat perspektif yang beragam memberikan pemahaman yang berbeda tentang reforma agraria. Dalam arti terbatas, reforma agraria dipandang sebagai reforma tanah, dengan salah satu programnya adalah redistribusi tanah (sebaran tanah), namun kali ini kajian reforma agraria memiliki arti yang lebih luas dan tidak hanya dalam bentuk pengalihan lahan. Berdasarkan (Wahidin, 2017), reforma tanah adalah penataan struktur secara lengkap kepemilikan dan penguasaan tanah beserta semua paket pendukungnya. Pendukung paket jaminan hukum untuk hak yang diberikan, ketersediaan kredit yang terjangkau, akses pada layanan advokasi, akses ke informasi dan teknologi baru, pendidikan dan pelatihan, dan akses ke berbagai fasilitas produksi dan bantuan pemasaran.

Menurut (Usman, 2013), reforma agraria diartikan sebagai pengalihan lahan plus, artinya inti dari implementasi reforma agraria dalam bentuk pengalihan lahan yang tegas akal adalah penataan kembali struktur penguasaan dan pemilikan tanah. Komponen plus dari reforma agraria yang dimaksud adalah bentuk dan cara mengolah tanah, penyuluhan pertanian, dan lain-lain.

Menurut (Regina, Rusli, & Candradewini, 2020), reforma lahan tidak harus dipahami sebagai tanah belaka seperti berbagi proyek, tetapi harus berorientasi pada upaya untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan merevitalisasi pertanian dan daerah pedesaan secara keseluruhan. Untuk itu, selain harus bersifat struktural upaya penataan menjamin hak rakyat atas sumber daya agraria melalui pengalihan lahan, reforma agraria harus merupakan upaya pembangunan yang lebih luas yang melibatkan beberapa pihak untuk memastikan itu aset tanah yang diberikan dapat berkembang secara produktif dan berkelanjutan. Ini termasuk pemenuhan dari hak dasar dalam arti luas, misalnya pendidikan, kesehatan dan juga pemberian modal, teknologi, manajemen, infrastruktur, pasar dan dukungan lainnya. Komponen pertama adalah disebut reforma aset, sedangkan yang kedua disebut reforma akses.

Pengaruh tuntutan subnasional untuk otonomi pada proses desentralisasi Indonesia telah menjadi isu penting selama seluruh proses transisi. Pemisahan Timor Timur melalui referendum pada tahun 1999 dan aspirasi kemerdekaan di provinsi Aceh, Papua Barat dan Papua memberikan latar belakang penting lainnya untuk desentralisasi. Otonomi lokal dipandang sebagai sarana untuk menyatukan negara bangsa yang sangat beragam (Bunnell, Miller, Phelps, & Taylor, 2013). Aspirasi separatis tidak hanya memberikan alasan untuk desentralisasi tetapi juga mempengaruhi desain proses. Undang-undang No. 22/1999 membatasi fungsi pemerintah pusat dan menetapkan sejumlah fungsi kompleks kepada pemerintah daerah, sebagian besar melewati tingkat provinsi karena pemerintah daerah kota dan kabupaten dianggap terlalu kecil dan tidak menarik untuk gerakan separatis (Aji, 2018). Selain itu, tingkat pusat memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap pemerintah daerah dibandingkan dengan tingkat provinsi yang relatif lebih kuat (Usman, 2013). Selain itu, hubungan hierarki antara pemerintah provinsi dan daerah sebagian telah dicabut dalam Pasal 4 ayat (2) (UU No. 22, 1999). UU No. 28/2009 memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah dalam pembuatan kebijakan tetapi menetapkan batasan tertentu untuk menjaga sistem yang cukup homogen di seluruh negeri. Dalam batasan tersebut, pemerintah daerah berhak menentukan tarif pajak, pengecualian, tanggal jatuh tempo pembayaran dan jumlah angsuran. Selain itu, mereka bebas memilih sistem administrasi perpajakan yang akan diterapkan.

Dalam kasus penetapan ambang batas pengecualian, UU No. 28/2009 menetapkan nilai minimal Rp 10 juta (kisaran US $720) per objek pajak, tetapi pemerintah daerah dapat menaikkan ambang batas tersebut, sehingga menguntungkan sektor masyarakat yang kurang kaya. Dari tujuh kota dan kabupaten yang termasuk dalam penelitian kami, hanya Denpasar yang menaikkan ambang batas menjadi Rp 15 juta (sekitar US $1.080).

Dengan berlakunya UU No. 28/2009, pemerintah pusat menyerahkan pajak bumi dan bangunan pedesaan dan perkotaan kepada pemerintah daerah. Hal ini mempengaruhi pajak peralihan lahan dan dalam perundang-undangan disebutkan tergolong pada pajak bumi dan bangunan. Namun demikian, pajak bumi dan bangunan yang bersumber dari lahan meliputi tiga sektor pertambangan, kehutanan, dan perkebunan tetap dipungut oleh pemerintah pusat. Undang-undang tersebut menetapkan masa transisi selama empat tahun untuk devolusi pajak bumi dan bangunan pedesaan dan perkotaan, yang berakhir pada 31 Desember 2013 (Kemenkeu, n.d.). Selama masa transisi, pajak bumi dan bangunan dikelola oleh pemerintah pusat atau daerah, tergantung apakah pemerintah daerah sudah melaksanakan pungutan daerah atau belum. Pada akhir masa transisi, semua kecuali 35 kota dan kabupaten telah mengeluarkan peraturan daerah yang disyaratkan. Namun, bukan berarti semua kota dan kabupaten tersebut memang sudah mulai memungut pajak.

Dengan berakhirnya masa transisi, pemungutan oleh pemerintah pusat berakhir, dan pemerintah daerah yang belum melaksanakan pemungutan melalui pemerintah daerah tidak menghasilkan pendapatan sendiri dari sumber tersebut. Devolusi pajak bumi dan bangunan bertujuan untuk meningkatkan otonomi pendapatan pemerintah daerah, meningkatkan pendapatan daerah, dan mengurangi ketergantungan pemerintah daerah pada transfer fiskal dari pemerintah pusat. Untuk meningkatkan otonomi, pemerintah pusat tidak hanya menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pajak bumi dan bangunan, tetapi juga memberikan kewenangan tertentu kepada pemerintah daerah untuk membuat kebijakan. Dengan pengalihan tanggung jawab, pemerintah daerah menghadapi tugas baru terkait administrasi; misalnya, ini termasuk pengelolaan tunggakan, pengumpulan pajak, penilaian, dan lain-lain. Proses administrasi baru ini perlu diintegrasikan ke dalam struktur administrasi lokal dengan dukungan lembaga nasional. UU No. 28/2009 memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah dalam pembuatan kebijakan tetapi menetapkan batasan tertentu untuk menjaga sistem yang cukup homogen di seluruh negeri. Dalam batasan tersebut, pemerintah daerah berhak menentukan tarif pajak, pengecualian, tanggal jatuh tempo pembayaran dan jumlah angsuran. Selain itu, mereka bebas memilih sistem administrasi perpajakan yang akan diterapkan. Untuk pajak bumi dan bangunan, pemerintah daerah dapat dengan bebas menetapkan tarif pajak selama tidak melebihi 0,3 persen dari nilai taksiran properti; ambang pemotongan untuk pajak ini harus paling sedikit Rp 10 juta (US $720) 17 per properti. Selain itu, undang-undang tersebut memberikan keleluasaan kepada pemerintah daerah untuk menetapkan tarif pajak yang berbeda dan memberikan pengecualian tambahan serta keringanan pajak.

Pemerintah daerah perlu menyesuaikan pemerintahannya untuk mengatasi persyaratan pajak bumi dan bangunan. Untuk menangani tanggung jawab ini, investasi dalam administrasi publik sangat penting. Pemerintah pusat menerbitkan template termasuk semua investasi yang diperlukan untuk mengelola pajak bumi dan bangunan secara efektif, memperkirakan total kebutuhan investasi sebesar Rp 2 miliar (sekitar US $144.000) per pemerintah daerah. Menurut informasi yang diberikan oleh Kemenkeu, patut dipertanyakan apakah semua pemerintah daerah mampu dan bersedia untuk berinvestasi dalam jumlah tersebut, mengingat struktur insentif daerah. Namun, penelitian kami menunjukkan bahwa perkiraan ini mungkin membesar-besarkan biaya investasi rata-rata dan mungkin lebih mencerminkan situasi kota-kota besar dengan banyak objek pajak.

Tiga sektor peralihan lahan yang meliputi pertambangan, kehutanan dan perkebunan dibebaskan dari devolusi pajak bumi dan bangunan. Namun, di tingkat pemerintah pusat, ini sedang dibahas kemungkinan devolusi pajak bumi dan bangunan untuk ketiga sektor ini. Perlu dicatat bahwa pendapatan fiskal yang dihasilkan melalui pajak bumi dan bangunan di ketiga sektor ini jauh melebihi pendapatan pajak tanah dan bangunan perkotaan dan pedesaan. Oleh karena itu, kabupaten dengan kegiatan ekonomi yang signifikan di bidang pertambangan, kehutanan atau perkebunan harus memiliki kepentingan yang kuat dalam memperdalam desentralisasi pajak properti untuk memasukkan ketiga sektor ini. Namun, pertambangan dan kehutanan khususnya adalah sektor yang secara politis sangat sensitif, yang merupakan salah satu alasan utama mengapa desentralisasi pajak properti untuk perkebunan tampaknya lebih memungkinkan dalam waktu dekat daripada untuk pertambangan dan kehutanan. Sub-sektor perkebunan terpenting di Indonesia adalah kelapa sawit. Bersama Malaysia, Indonesia merupakan salah satu dari dua produsen utama minyak sawit di seluruh dunia. Pada tahun 2011, produsen minyak sawit Indonesia memanen 23,5 juta ton minyak sawit mentah, dan pemerintah Indonesia berencana untuk mendorong produksi menjadi 40 juta ton pada tahun 2020. Dari 7,8 juta hektar dari total perkebunan, sekitar 6,1 juta hektar produktif pada tahun 2011. Sumatera dan Kalimantan secara historis merupakan pulau dengan bagian produksi minyak sawit tertinggi; sekitar 75 persen dari perkebunan terletak di pulau-pulau ini. Produksi minyak sawit dan ekspornya adalah bagian penting dari perekonomian Indonesia. Pertama, sektor minyak sawit menghasilkan pendapatan bagi pemerintah pusat melalui pajak ekspor. Kedua, produksi minyak sawit padat karya: pada tahun 2011 sekitar 3,2 juta orang bekerja di sektor ini.

Selain itu, pengembangan lebih lanjut sektor kelapa sawit dipandang sebagai langkah penting untuk pengentasan kemiskinan, karena perkebunan sering kali berlokasi di pedesaan dan daerah-daerah yang terpinggirkan. Ketiga, pengembangan lebih lanjut juga dapat memberikan peluang untuk meningkatkan infrastruktur di daerah terpencil. Volume produksi besar di perkebunan ini menjadikannya sektor yang menarik untuk perpajakan. Penggunaan tanah yang intensif selama beberapa tahun (kelapa sawit mulai menghasilkan hanya tiga sampai empat tahun setelah tanam) sangat cocok dalam konteks pajak tanah.

Bahwa rezim saat ini, pemerintah daerah dengan perkebunan hanya mendapat sebagian dari pendapatan pajak tanah. Pendapatan dibagi sebagai berikut: pemerintah daerah menerima 64,8 persen dan provinsi 16,2 persen. Selain itu, pemerintah pusat memungut biaya pungutan sebesar 9 persen dan membagikan 10 persen sisa pendapatan pajak ke semua kota dan kabupaten. Rumus untuk menghitung pajak bumi dan bangunan menggunakan pendekatan hibrida yang mengandung tiga komponen yaitu permukaan tanah, nilai bangunan dan tanaman, dan nilai produksi. Dua komponen pertama merupakan karakteristik setiap pajak properti, sedangkan yang terakhir biasanya merupakan bagian dari pajak penghasilan atau royalti perusahaan. Komposisi khusus ini, karenanya, menimbulkan tantangan tertentu bagi administrasi pajak yang bertugas menilai nilai pajak perkebunan.

Untuk menilai keberhasilan pemungutan pajak daerah, hanya dengan mengandalkan angka pertumbuhan pendapatan hasilnya akan menyesatkan, bahkan jika kota atau kabupaten tertentu mampu meningkatkan pendapatannya dari pajak bumi dan bangunan, pertanyaannya adalah apakah pendapatan ini tinggi dibandingkan dengan potensi pendapatan masih belum terjawab. Oleh karena itu, kerangka konseptual yang lebih dielaborasi akan diperlukan untuk menilai pemanfaatan pajak bumi dan bangunan untuk kota atau kabupaten tertentu. Pendekatan semacam itu dapat mengacu pada persamaan pendapatan dasar untuk pajak properti yang banyak digunakan dalam literatur akademis: Basis pajak dan tarif pajak tunduk pada pilihan kebijakan dan dapat dianggap telah diberikan. Rasio cakupan menentukan persentase objek pajak yang terdaftar dalam kadaster fiskal dibandingkan dengan semua objek pajak.

Rasio penilaian menentukan kesenjangan antara nilai yang ditribusikan dan nilai pasar sebenarnya dari semua objek pajak yang tersedia. Rasio penagihan menyatakan berapa banyak pajak terhutang yang sebenarnya dikumpulkan oleh administrasi pajak. Dalam dunia yang sempurna (dari perspektif pemungut pajak), ketiga variabel ini masing-masing akan membawa nilai satu untuk menilai pendapatan pajak maksimum dan, dengan demikian, potensi pajak teoritis di bawah kebijakan tertentu. Untuk menilai potensi pajak atas pajak bumi dan bangunan di suatu kota atau kabupaten, rumus berikut digunakan oleh administrasi perpajakan Indonesia untuk memperkirakan penerimaan pajak bumi dan bangunan untuk anggaran tahun yang akan datang: Nilai jualan objek pajak (NJOP, yaitu nilai jual objek pajak) adalah nilai taksiran dari setiap objek pajak. Untuk sektor perkotaan dan perdesaan, NJOP ditentukan oleh nilai tanah datar ditambah nilai setiap bangunan.

Secara umum, pendekatan yang berbeda untuk menilai NJOP dapat digunakan, seperti nilai transaksi, biaya konstruksi atau, dalam kasus fasilitas komersial, pendapatan yang dihasilkan dari properti. Namun kenyataannya, zonasi sering digunakan di Indonesia untuk memperkirakan nilai properti. Banyak pemerintah daerah menetapkan target pengumpulan 90 persen dari potensi pajak. Pemerintah pusat sebelum devolusi dan pemerintah daerah setelah devolusi menggunakan indikator potensi pajak berdasarkan surat pemberitahuan pajak terhutang atau SPPT yang dikirimkan kepada wajib pajak. Pemberitahuan ini biasanya tidak mencakup tunggakan atau denda pajak, tetapi dalam beberapa kasus, data tentang gedung baru dan nilai yang diperbarui. Sedangkan di sebagian besar kota dan kabupaten potensi pajak berdasarkan SPPT digunakan untuk menentukan target pajak, kota dan kabupaten lain menentukan target pajaknya secara independen dari potensi pajaknya. Kota Depok mengambil 85 persen dari potensi pajak plus tunggakan untuk menyusun target pajak. Lombok Barat bahkan mengambil 100 persen dari potensi pajaknya sebagai dasar pembahasan target pajak dengan DPRD. Rokan Hilir dan Banjarmasin juga menggunakan data potensi pajak untuk menyusun target pajak mereka. Pada Tanjung Pinang dan Denpasar, tampaknya target pemungutan pajak bumi dan bangunan ditetapkan secara independen dari potensi pajak. Denpasar, misalnya, mengambil target tahun sebelumnya dan menyesuaikannya dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi pemerintah pusat, yang mencapai 6,5 persen pada tahun 2014. Namun, bertolak belakang dengan upaya tersebut, kami menemukan bahwa, dalam bentuknya saat ini, “pajak potensi” tidak dapat digunakan sebagai indikator yang dapat dikuantifikasi baik untuk tingkat makro maupun mikro. Secara makro, pemerintah pusat tidak memantau indikator ini secara komprehensif. Oleh karena itu, tidak mungkin menilai apakah kota dan kabupaten yang memulai pemungutan pajak bumi dan bangunan pada tahun 2011 dan 2012 benar-benar meningkatkan penggunaan potensi pajak mereka atau tidak. Di tingkat mikro, indikator potensi pajak yang digunakan oleh semua kota dan kabupaten sampel kami sangat tidak akurat. Pertama, pemberitahuan kewajiban pajak sering dikirim ke gedung dan properti yang dibebaskan dari pembayaran pajak bumi dan bangunan (properti umum, bangunan yang melayani tujuan agama atau sosial). Masalah lain dengan pendekatan ini adalah data yang salah dari KPP, yang menyebabkan SPPT dengan data properti yang salah atau alamat yang salah. Rokan Hilir, misalnya, hanya sekitar 25 persen dari seluruh SPPT yang dibayarkan pada tahun 2013.

Terakhir, menurut informasi yang dikumpulkan dari administrasi pajak daerah, nilai NJOP yang menjadi dasar pemberitahuan kewajiban sering kali berbeda secara signifikan dari pasar. Singkatnya, “potensi pajak” bukan hanya indikator yang valid untuk penelitian ini, tetapi, mungkin yang lebih penting, saat ini bukan merupakan indikator yang berguna untuk perencanaan anggaran daerah di Indonesia, meninggalkan teka-teki bagi pemerintah daerah tentang bagaimana menentukan target "baik" untuk pengumpulan pajak bumi dan bangunan. Sebagai akibat dari kekurangan konseptual ini, studi ini mengacu pada “potensi pajak” sebagai ukuran kualitatif sejauh mana pemerintah daerah menggunakan instrumen kebijakan pajak (seperti menetapkan tarif pajak) dan administrasi perpajakan (seperti menagih tunggakan) yang mereka miliki. Oleh karena itu, kerangka konseptual yang lebih dielaborasi akan diperlukan untuk menilai pemanfaatan pajak bumi dan bangunan untuk kota atau kabupaten tertentu


Kesimpulan

Pada UU 28/2009, pemerintah pusat menyerahkan pajak bumi dan bangunan pedesaan dan perkotaan kepada pemerintah daerah. Hal ini mempengaruhi pajak peralihan lahan dan dalam perundang-undangan disebutkan tergolong pada pajak bumi dan bangunan. Namun demikian, pajak bumi dan bangunan yang bersumber dari lahan meliputi tiga sektor pertambangan, kehutanan, dan perkebunan tetap dipungut oleh pemerintah pusat. Undang-undang tersebut menetapkan masa transisi selama empat tahun untuk devolusi pajak bumi dan bangunan pedesaan dan perkotaan, yang berakhir pada 31 Desember 2013.

Selama masa transisi, pajak bumi dan bangunan dikelola oleh pemerintah pusat atau daerah, tergantung apakah pemerintah daerah sudah melaksanakan pungutan daerah atau belum. Namun, bukan berarti semua kota dan kabupaten tersebut memang sudah mulai memungut pajak. Devolusi pajak bumi dan bangunan bertujuan untuk meningkatkan otonomi pendapatan pemerintah daerah, meningkatkan pendapatan daerah, dan mengurangi ketergantungan pemerintah daerah pada transfer fiskal dari pemerintah pusat. Untuk meningkatkan otonomi, pemerintah pusat tidak hanya menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pajak bumi dan bangunan, tetapi juga memberikan kewenangan tertentu kepada pemerintah daerah untuk membuat kebijakan.

Perlu dicatat bahwa pendapatan fiskal yang dihasilkan melalui pajak bumi dan bangunan di ketiga sektor ini jauh melebihi pendapatan pajak tanah dan bangunan perkotaan dan pedesaan. Oleh karena itu, kabupaten dengan kegiatan ekonomi yang signifikan di bidang pertambangan, kehutanan atau perkebunan harus memiliki kepentingan yang kuat dalam memperdalam desentralisasi pajak properti untuk memasukkan ketiga sektor ini. Namun, pertambangan dan kehutanan khususnya adalah sektor yang secara politis sangat sensitif, yang merupakan salah satu alasan utama mengapa desentralisasi pajak properti untuk perkebunan tampaknya lebih memungkinkan dalam waktu dekat daripada untuk pertambangan dan kehutanan. Pertama, sektor minyak sawit menghasilkan pendapatan bagi pemerintah pusat melalui pajak ekspor.

Rasio penagihan menyatakan berapa banyak pajak terhutang yang sebenarnya dikumpulkan oleh administrasi pajak. Dalam dunia yang sempurna, ketiga variabel ini masing-masing akan membawa nilai satu untuk menilai pendapatan pajak maksimum dan, dengan demikian, potensi pajak teoritis di bawah kebijakan tertentu. Banyak pemerintah daerah menetapkan target pengumpulan 90 persen dari potensi pajak. Pemerintah pusat sebelum devolusi dan pemerintah daerah setelah devolusi menggunakan indikator potensi pajak berdasarkan surat pemberitahuan pajak terhutang atau SPPT yang dikirimkan kepada wajib pajak.

Rekomendasi yang dapat peneliti sampaikan adalah terkait penggunaan fungsi lahan yang telah diamanahkan dalam UU 28/2009 untuk pelaksanaan pengembangan lahan di setiap daerah agar dapat dilakukan dengan maksimal oleh pemerintah daerah terkait didukung masyarakat.











Bibliografi


Aji, Alan Bayu. (2018). Politik hukum pengaturan pertanggungjawaban kepala daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Studi Perbandingan antara Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014). Universitas Islam Indonesia.


Bunnell, T., Miller, M. A., Phelps, N. A., & Taylor, J. (2013). Urban Development in a Decentralized Indonesia: Two Success Stories?* Tim Bunnell. Michelle Ann Miller, Nicholas A. Phelps and John Taylor Forthcoming in. Pacific Affairs, 86(4), 1–24.


Herlina, Wina. (2016). Kontribusi Japan International Cooperation Agency Melalui Program Redd-Plus Dalam Upaya Mengatasi Penyebab Perubahan Iklim (Studi Kasus: Implementasi Redd-Plus Di Kalimantan Barat). UNPAS.


Indonesia, Republik. (2016). First Nationally Determined Contribution.


Julio, Julio, Marwoto, Pan Budi, & Manullang, Rizal Ruben. (2019). Analisis Disparitas Perekonomian Antar Pulau Besar Di Indonesia Tahun 2013-2017. Jurnal Progresif Manajemen Bisnis, 6(2), 1–11.


Karuntu, Megga Marcelia Fictoria. (2017). Tugas Dan Fungsi Kepala Kecamatan Selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). LEX ADMINISTRATUM, 5(2).


Kemenkeu. (n.d.). Undang-undang.


Presiden, R. I., & TERTINGGI, PANGLIMA. (n.d.). Republik Indonesia. 2014b).“Introductory Speech the Announcement of the PERPPU Establishment on Regional Election”. Available Online at: Http://Www. Presidenri. Go. Id/Index. Php/Pidato/2014/10/02/2448. Html [Accessed in Surabaya, East Java, Indonesia: October 02, 2016].


Regina, Regina, Rusli, Budiman, & Candradewini, Candradewini. (2020). Koordinasi Pengembangan Program Kampung Keluarga Berencana di Kabupaten Bangka Barat. JAKPP (Jurnal Analisis Kebijakan & Pelayanan Publik), 65–85.


Sugiyono, P. D. (2017). Metode Penelitian Bisnis: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, Kombinasi, dan R&D. Penerbit CV. Alfabeta: Bandung.


Tacconi, Luca. (2018). Indonesia’s NDC bodes ill for the Paris Agreement. Nature Climate Change, 8(10), 842.


Usman, Rachmadi. (2013). Eksistensi Kekayaan Negara Yang Dipisahkan Dalam Lembaga Penjamin Simpanan Sebagai Badan Hukum. Jurnal Cita Hukum, 5(1), 115–138.


UU No. 22. (1999). Undang-Undang.


Wahidin, Samsul. (2017). Reformasi Agraria Dalam Perspektif Perlindungan Lingkungan Hidup. Jurnal Cakrawala Hukum, 8(1), 106–117.


Jurnal Indonesia Sosial Teknologi, Vol. 2, No. 3, Maret 2021 1